Share

4. Sogokan maut

Pagi ini Kana sudah berada di lapangan sekolah. Ia berdiri dengan tegak di tengah lapangan. Rambutnya yang semula panjang sepinggang itu sudah berubah menjadi pendek sebahu. Ia menganggap potong rambut itu bisa menjadi satu-satunya cara untuk buang sial. Tapi ... mengapa Kana masih berada di tengah lapangan saat ini? Keningnya sudah penuh dengan keringat. Ia menyeka keningnya itu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan nya masih berusaha bertahan pada posisi hormat.

Kana menarik nafasnya yang sudah mulai terasa sukar. Terserang terik matahari seakan membuat jantungnya memompa begitu cepat. Kana menyesal dalam hati tentang dirinya yang memaksa pergi pukul 10 malam hanya untuk memotong rambutnya. Kana berhasil menemukan salon yang masih buka, tapi berjarak sangat jauh dari rumahnya. Alhasil ia kelelahan dan bangun terlalu siang.

"Kana, posisi tanganmu!" tegur guru pengawas berjanggut 10 cm yang ada di pinggir lapangan.

Kana kembali membenarkan posisi hormatnya walaupun sangat malas. Ia menghela napasnya dengan lemas. Matanya menyapu ke arah koridor yang sepi. Lalu dari arah ruang guru keluar seorang cowok yang sangat tak asing di matanya. Guru pengawas yang sedari tadi tak mengalihkan tatapannya dari Kana itu pun menoleh saat melihat seorang siswa yang berkelana di koridor saat jam pelajaran sudah di mulai.

"Gilang! Mengapa kamu ada di luar kelas?" tanya guru pengawas tersebut.

Gilang tersenyum tipis ke arah guru tersebut. "Maaf Pak Agus, tadi saya dipanggil Bu Endang."

Guru pengawas berwajah galak di hiasi janggut 10 cm bernama Agus itu menganggukkan kepalanya. Lalu ia memerintahkan Gilang untuk segera masuk ke kelas. Cowok itu menatap sekilas ke arah Kana yang berada di tengah lapangan. Ia yang saat itu memang sedang memperhatikannya pun segera mengalihkan tatapan ke tiang bendera di hadapannya. Beberapa menit kemudian, ia kembali mengedarkan pandangannya ke segala arah mencari sosok Gilang. Tapi sepertinya cowok itu sudah kembali ke kelasnya.

'Lo ga boleh lupa sama tekad lo Kana! Lo harus bahagia walau tanpa cinta!' batin Kana dengan sangat yakin.

~~~

Saat jam istirahat, Kana yang baru selesai menjalani hukumannya itu menghambur ke kantin. Untuk pertama kalinya ia berdiri di tengah lapangan selama 3 jam. Rasanya seperti ingin mati di tempat, tapi sayangnya tak bisa. Kana menyapukan pandangannya ke seluruh meja di kantin. Ia berusaha mencari sosok Mirna, Ilham dan Fahri yang sudah terlebih dahulu ke kantin. Ia menemukan sosok Mirna yang sedang berbincang dengan Fahri, tapi nampaknya Mirna tak melihatnya. Ia pun bergegas menghampiri sahabatnya tersebut. Namun dirinya seperti tersambar seekor elang yang sangat cepat.

Kini Kana berada di samping kamar mandi cowok yang cukup jauh dengan kantin. Lututnya terasa sudah tak sanggup menopang tubuhnya lagi. Ia menatap cowok yang menariknya dengan paksa tersebut.

"Ada perlu apa ya, Kak?" tanya Kana.

Gilang menggaruk tengkuknya. "Gue mau jelasin sedikit tentang maksud martabak itu."

"Anggaplah martabak itu sebagai sogokan dari gue," lanjut Gilang sambil menarik kedua sudut bibirnya.

"Untuk apa?" tanya Kana dengan wajah yang sebisa mungkin di buat datar.

"Gue mau lo jadi pacar gue selama gue masih sekolah disini. Lo tau kan reputasi Mirna di sekolah ini cukup baik, dia ga pernah terima hal buruk selama sekolah disini," jelas Gilang.

Kana mengangguk setuju. "Terus?"

Gilang menghela nafasnya. "Gue ga mungkin biarin cewek gue di gangguin sama fans gue. Jadi ...."

Kana berdeham pelan, seolah mengisyaratkan Gilang untuk melanjutkan kalimatnya.

"Jadi gue mau seisi sekolah ini tahunya gue pacaran sama lo. Tapi kalau di luar sekolah, lo bisa bersikap seolah ga kenal sama gue," ujar Gilang dengan senyum manisnya.

'Ganteng doang, ga waras!' batin Kana.

"Jadi, lo mau gue yang diganggu sama semua fans lo yang kayak setan itu?" tanya Kana.

Gilang mengangguk samar dengan senyum kecilnya. Lalu ia meletakan kedua tangannya di bahu Kana. "Gue tau lo cewek kuat, Na. Gue memang ga kenal sama lo, tapi menurut semua cerita buruk tentang lo ... lo itu kuat bisa bertahan di sekolah ini."

Kana tersenyum getir. "Setres lo!"

Kana segera pergi dari dari hadapan Gilang. Nafsu makannya sudah sangat berantakan. Ia pun memutuskan untuk pergi ke kelas saja. Makan tak makan pun sama sekali tak ada yang berubah. Nasib nya tetap saja dipenuhi hal tragis, terutama kisah cintanya.

Seusai bertemu dengan Gilang, tekad Kana menjadi sangat kuat untuk hidup tanpa cinta. Walau kata orang-orang hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga, tapi ia memang tak mengingingkan bunga. Ia bisa saja menanam banyak kaktus di tamannya agar siapapun yang masuk akan merasakan sakit.

Sesampainya di dalam kelas, Kana langsung menuju ke kursinya. Ia merebahkan kepalanya di atas meja yang sama sekali tak empuk tersebut. Ia memejamkan kedua matanya, berharap ia bisa tidur sebentar saja sampai bel masuk berbunyi. Lalu ia pun terlelap dalam tidurnya.

~~~

"KANAAAA!!!"

"KANAAAA!!!!!!"

Kana mengerjapkan kedua matanya saat mendengar suara melengking yang begitu mengganggu tidurnya. Ia menggeliat pelan dengan mata yang masih terasa sulit terbuka. Kana merasakan bahu kirinya seperti di tepuk oleh seseorang. Ia menoleh ke sebelahnya yang ternyata adalah sosok Mirna. Kana tersenyum lebar sambil mengusap cairan kental yang ada di sudut bibirnya.

"Na! Bangun!" ujar Mirna sambil mengguncang bahu Kana.

Kana menganggukan kepalanya dengan lemah. "Sudah bangun ...."

"KANA! KELUAR KAMU!" teriak Bu Endang yang sudah berada di depan kelas dengan penggaris kayu jumbo.

Kana mendelikan matanya saat menyadari suara Bu Endang. Kana segera bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari kelas. Semua mata memandangnya dengan penuh ejekan. Kana sudah terbiasa di pandang seperti itu. Jadi ia tak akan memperdulikan pandangan tersebut.

Kana berdiri di luar kelas dengan mata yang masih terasa berat. Ia menyentuh ujung rambutnya yang sudah berubah jadi pendek. Ia tersenyum kecil saat menyadari bahwa memotong rambut sama sekali tak mengurangi kesialannya.

Kana menolehkan kepalanya ke arah depan kelas sebelah. Ia melihat Edo dan Gilang yang sedang tertawa. Lalu Edo tak sengaja melihat Kana yang sedang menatap ke arahnya. Ia langsung mengalihkan pandangannya. Walau samar, ia dapat mendengar Edo yang setengah berbisik pada Gilang.

"Lihat kan? Gue kan sudah bilang dia selalu sial," ujar Edo setengah berbisik.

Kana menundukan kepalanya dengan lemah. Ia kembali melirik ke arah dua orang itu yang sudah mulai menjauh dari depan kelasnya. Beberapa orang terlihat berlalu lalang di depan Kana yang sedang menunduk.

"Potong rambut buat buang sial, eh sialnya malah double kill," ujar seorang cewek yang lewat di depannya.

'Sialan!' batin Kana.

"Bu, pinjam Kana buat bantu saya ambil alat praktikum."

Kana reflek mengangkat kepalanya saat mendengar suara tersebut. Ia melihat Gilang yang entah sejak kapan sudah berada di depan pintu kelasnya. Ia menatap Gilang dengan bingung.

"Bawa aja. Ga perlu di kembalikan," ujar Bu Endang.

Gilang pun segera menarik lengan Kana menjauh dari depan kelas. Lalu mereka menyusuri koridor dan berhenti di depan laboratorium. Kana menghentakan tangannya agar lepas dari genggaman cowok tersebut.

"Ada perlu apa lagi sih, Kak?" tanya Kana.

Gilang menghela nafasnya. "Jadi gimana? Lo setuju?"

Kana menggelengkan kepalanya. "Gue ga sebodoh itu, Kak!"

"Gue bayar 500.000 rupiah perminggu," tawar Gilang.

Kana menggelengkan kepalanya. Walaupun Gilang akan membayarnya satu juta perhari, ia tidak akan menerimanya. Cowok itu terdiam, masih sama sekali tak bisa membuka mulutnya. Ia sibuk memikirkan kelanjutan dari negosiasinya.

"Satu juta rupiah perminggu?" tawar Gilang lagi.

Kana menggelengkan kepalanya lagi.

Gilang tersenyum tipis. "Martabak keju setiap hari?"

Kana menarik sebelah lengan Gilang dan mengayunkannya. "Deal."

Bersambung...​

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status