Share

7. Baik. Akan Kulanjutkan. (3)

Ruka memang selalu menang terhadap orang-orang yang menganiayanya. Namun bukan berarti ia selalu selamat dalam kondisi baik-baik saja. Walau bagaimana pun juga, perjuangannya adalah untuk mempertahankan nyawa. Orang-orang di sekitarnya datang bukan untuk mem-bully-nya. Mereka datang untuk menyiksanya. Jika kebablasan, Ruka bisa mati. Ini memang tentang nyawa.

Ruka pernah hampir mati. Ia dikeroyok orang dalam jumlah besar. Dua puluh orang, kurang lebih. Entah apa penyebabnya, yang jelas mereka ingin menghabisi Ruka.

Saat itu Ruka berusia 13 tahun.

“RUKAAA …,” jerit Mentari seraya berlari menghampiri puteranya. "Kamu baik-baik saja kan, Nak? Ruka baik-baik saja, kan?"

"Ruka baik-baik saja, Bu. Dia selamat."

"Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini?"

"Saya juga kurang tahu, Bu. Saya cuma kebetulan lewat waktu Ruka dikeroyok orang."

"Dikeroyok? Ruka? Ruka dikeroyok orang?"

"Iya. Dia dikeroyok preman-preman di gereja. Ruka dikeroyok sampai babak belur."

Mentari terguncang.

"Kenapa bisa begitu? Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Saya juga kurang tahu. Orang-orang itu memang suka bikin rusuh. Mungkin Ruka nggak sengaja terlibat sesuatu dengan mereka."

"Kamu siapa? Kenapa kamu bisa kenal Ruka?"

"Saya temannya, Bu. Saya dan Ruka biasa ngamen bareng."

"Teman? Kamu teman Ruka? Kenapa Ruka bisa punya teman?"

"Bu, sekarang udah nggak ada waktu lagi. Ibu dan Ruka harus segera pergi dari sini. Teman-teman mereka tahu kalau Ruka tinggal di sini. Mereka pasti akan segera datang. Kalau tidak segera pergi dari sini, Ibu dan Ruka bisa dibunuh."

Mentari terkulai lemah. Tubuhnya lunglai tak berdaya. Ia tak percaya hal seperti ini akan terjadi kepada Ruka. Mentari telah melakukan segalanya untuk melindungi Ruka. Tak pernah ia sadari bahwa ternyata Ruka hidup dalam pergumulan yang luar biasa di luar sana.

"Bu, ayo pergi dari sini. Sebentar lagi mereka pasti datang untuk balas dendam," kata orang itu lagi. Mentari tak menanggapi. Ia hanya memandanginya dengan tatapan kosong.

"Balas dendam? Apa maksudmu balas dendam?" kata Mentari pada akhirnya.

"Bu, Ruka memang dikoroyok. Dia memang hancur. Tapi dia selamat. Ruka selamat dan nggak mati."

Orang itu menghentikan ucapannya sejenak. Sementara itu Mentari mulai merasakan kengerian datang menyelimuti batinnya.

"Ruka selamat dan nggak mati. Mereka, preman-preman yang mengeroyok Ruka, merekalah yang nggak selamat. Mereka semua mati."

Mentari roboh.

"Ruka membunuh mereka semua."

***

Mentari telah melakukan segalanya untuk melindungi Ruka. Segalanya. Ia mengekang hidup Ruka. Ruka tak memiliki siapa pun selain ibunya. Tidak teman, tidak kenalan, bahkan musuh pun tidak. Ruka hanya mengenal ibunya seorang dalam hidupnya. Semua dilakukan Mentari demi melindungi Ruka. Ruka sebatang kara.

Itulah yang diketahui Mentari. Di luar itu, Ruka memiliki kehidupannya sendiri. Ia memiliki kenalan, teman, bahkan musuh. Semua di luar kendali Mentari. Dan sampai titik tertentu - tadi kalian sudah membacanya - sedikit pun Mentari tidak menyadari semua itu.

Kini - argh, maksudku waktu itu - Mentari akhirnya menyadarinya. Semua terkuak sekaligus. Mentari mendapati puteranya memiliki teman dan musuh. Mentari juga mendapati puteranya tersiksa dalam genangan darah antara hidup dan mati. Semua itu menenggelamkan Mentari ke dalam palung terendah dari fobia abnormalnya. Dan ketika Mentari mendengar bahwa Ruka baru saja membunuh orang - banyak orang sekaligus - tak ada lagi yang dapat menopang tubuh dan kesadarannya.

Mentari roboh. Shock, hingga hampir membunuhnya. Otak dan hati Mentari tidak sanggup menerima kenyataan; beruntung jantungnya masih sanggup. Selama seharian penuh Mentari terbaring tak sadarkan diri. Ia pingsan. Mungkin justru itulah yang terbaik baginya. Dengan berada dalam kondisi pingsan, ia dapat mengistirahatkan tubuhnya. Pikiran, hati, jantung, semua yang tertimpa beban berat, tak perlu lagi membebani diri untuk memikulnya.

Teman Ruka - entah siapa orang itu - terpaksa meninggalkan Mentari sendirian di gubuknya. Ia harus membawa Ruka pergi dari sana. Mungkin pikirnya, keselamatan Ruka adalah yang nomor satu. Orang-orang yang ingin membunuh Ruka pasti mengutamakan Ruka dibanding ibunya. Dan belum tentu juga mereka mengetahui bahwa Mentari adalah ibu Ruka. Selama Mentari tidak bersama-sama dengan Ruka, Mentari akan baik-baik saja. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh orang itu. Mungkin.

Pada akhirnya, mereka semua selamat. Tidak ada seorang pun yang datang. Ternyata semua itu hanyalah kekhawatiran yang berlebihan dari teman Ruka. Mereka pun kembali ke gubuk Mentari. Mentari bangkit dan meneguhkan lagi hatinya yang sempat remuk. Ruka pun pulih secara ajaib tanpa pengobatan yang layak. Semua kembali membaik seperti sedia kala. Mentari dan Ruka siap untuk kembali melanjutkan hidup. Namun kali ini ada sedikit perubahan dalam kehidupan Ruka oleh tuntunan Mentari.

Tidak ada lagi perlindungan yang berlebihan. Mentari menyadari bahwa dengan membatasi kehidupan Ruka, ia justru telah membahayakan nyawa puteranya. Mulai sekarang - ya, ya, mulai saat itu - ia tak akan pernah lagi mengekang Ruka dalam penjaranya. Ruka diberi kebebasan gerak, meski tidak mutlak. Hal ini memang sedikit berbahaya. Namun ini jauh lebih baik daripada menyiksa Ruka dalam kesendirian, yang akhirnya justru menghancurkannya.

Mentari takut. Itu sudah tentu. Kini - ah, sudahlah - tak ada lagi yang dapat membatasi Ruka dari dunia. Ruka akan memiliki teman; mungkin sahabat. Dan ia juga akan memiliki musuh. Mungkin akan ada lagi kejadian-kejadian tak terduga seperti yang terjadi di gereja itu. Dan mungkin akan datang orang-orang tak dikenal yang siap membunuh mereka berdua. Mentari tak peduli. Mentari sudah siap. Ia siap menghadapi segalanya. Ia tahu bahwa Tuhan bersamanya. Seburuk apa pun hidupnya di dunia mulai dari sekarang, pada akhirnya ia akan tetap hidup bahagia di surga. Seburuk apa pun hidupnya di dunia mulai dari sekarang, pada akhirnya ia akan tetap hidup bahagia di surga, berkumpul bersama kedua Ruka dalam hidupnya di sisinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status