Ruka pernah hampir mati. Ia dikeroyok orang dalam jumlah besar. Dua puluh orang, kurang lebih. Entah apa penyebabnya, yang jelas mereka ingin menghabisi Ruka.
Saat itu Ruka berusia 13 tahun.
“RUKAAA …,” jerit Mentari seraya berlari menghampiri puteranya. "Kamu baik-baik saja kan, Nak? Ruka baik-baik saja, kan?"
"Ruka baik-baik saja, Bu. Dia selamat."
"Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini?"
"Saya juga kurang tahu, Bu. Saya cuma kebetulan lewat waktu Ruka dikeroyok orang."
"Dikeroyok? Ruka? Ruka dikeroyok orang?"
"Iya. Dia dikeroyok preman-preman di gereja. Ruka dikeroyok sampai babak belur."
Mentari terguncang.
"Kenapa bisa begitu? Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Saya juga kurang tahu. Orang-orang itu memang suka bikin rusuh. Mungkin Ruka nggak sengaja terlibat sesuatu dengan mereka."
"Kamu siapa? Kenapa kamu bisa kenal Ruka?"
"Saya temannya, Bu. Saya dan Ruka biasa ngamen bareng."
"Teman? Kamu teman Ruka? Kenapa Ruka bisa punya teman?"
"Bu, sekarang udah nggak ada waktu lagi. Ibu dan Ruka harus segera pergi dari sini. Teman-teman mereka tahu kalau Ruka tinggal di sini. Mereka pasti akan segera datang. Kalau tidak segera pergi dari sini, Ibu dan Ruka bisa dibunuh."
Mentari terkulai lemah. Tubuhnya lunglai tak berdaya. Ia tak percaya hal seperti ini akan terjadi kepada Ruka. Mentari telah melakukan segalanya untuk melindungi Ruka. Tak pernah ia sadari bahwa ternyata Ruka hidup dalam pergumulan yang luar biasa di luar sana.
"Bu, ayo pergi dari sini. Sebentar lagi mereka pasti datang untuk balas dendam," kata orang itu lagi. Mentari tak menanggapi. Ia hanya memandanginya dengan tatapan kosong.
"Balas dendam? Apa maksudmu balas dendam?" kata Mentari pada akhirnya.
"Bu, Ruka memang dikoroyok. Dia memang hancur. Tapi dia selamat. Ruka selamat dan nggak mati."
Orang itu menghentikan ucapannya sejenak. Sementara itu Mentari mulai merasakan kengerian datang menyelimuti batinnya.
"Ruka selamat dan nggak mati. Mereka, preman-preman yang mengeroyok Ruka, merekalah yang nggak selamat. Mereka semua mati."
Mentari roboh.
"Ruka membunuh mereka semua."
***
Mentari telah melakukan segalanya untuk melindungi Ruka. Segalanya. Ia mengekang hidup Ruka. Ruka tak memiliki siapa pun selain ibunya. Tidak teman, tidak kenalan, bahkan musuh pun tidak. Ruka hanya mengenal ibunya seorang dalam hidupnya. Semua dilakukan Mentari demi melindungi Ruka. Ruka sebatang kara.
Itulah yang diketahui Mentari. Di luar itu, Ruka memiliki kehidupannya sendiri. Ia memiliki kenalan, teman, bahkan musuh. Semua di luar kendali Mentari. Dan sampai titik tertentu - tadi kalian sudah membacanya - sedikit pun Mentari tidak menyadari semua itu.
Kini - argh, maksudku waktu itu - Mentari akhirnya menyadarinya. Semua terkuak sekaligus. Mentari mendapati puteranya memiliki teman dan musuh. Mentari juga mendapati puteranya tersiksa dalam genangan darah antara hidup dan mati. Semua itu menenggelamkan Mentari ke dalam palung terendah dari fobia abnormalnya. Dan ketika Mentari mendengar bahwa Ruka baru saja membunuh orang - banyak orang sekaligus - tak ada lagi yang dapat menopang tubuh dan kesadarannya.
Mentari roboh. Shock, hingga hampir membunuhnya. Otak dan hati Mentari tidak sanggup menerima kenyataan; beruntung jantungnya masih sanggup. Selama seharian penuh Mentari terbaring tak sadarkan diri. Ia pingsan. Mungkin justru itulah yang terbaik baginya. Dengan berada dalam kondisi pingsan, ia dapat mengistirahatkan tubuhnya. Pikiran, hati, jantung, semua yang tertimpa beban berat, tak perlu lagi membebani diri untuk memikulnya.
Teman Ruka - entah siapa orang itu - terpaksa meninggalkan Mentari sendirian di gubuknya. Ia harus membawa Ruka pergi dari sana. Mungkin pikirnya, keselamatan Ruka adalah yang nomor satu. Orang-orang yang ingin membunuh Ruka pasti mengutamakan Ruka dibanding ibunya. Dan belum tentu juga mereka mengetahui bahwa Mentari adalah ibu Ruka. Selama Mentari tidak bersama-sama dengan Ruka, Mentari akan baik-baik saja. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh orang itu. Mungkin.
Pada akhirnya, mereka semua selamat. Tidak ada seorang pun yang datang. Ternyata semua itu hanyalah kekhawatiran yang berlebihan dari teman Ruka. Mereka pun kembali ke gubuk Mentari. Mentari bangkit dan meneguhkan lagi hatinya yang sempat remuk. Ruka pun pulih secara ajaib tanpa pengobatan yang layak. Semua kembali membaik seperti sedia kala. Mentari dan Ruka siap untuk kembali melanjutkan hidup. Namun kali ini ada sedikit perubahan dalam kehidupan Ruka oleh tuntunan Mentari.
Tidak ada lagi perlindungan yang berlebihan. Mentari menyadari bahwa dengan membatasi kehidupan Ruka, ia justru telah membahayakan nyawa puteranya. Mulai sekarang - ya, ya, mulai saat itu - ia tak akan pernah lagi mengekang Ruka dalam penjaranya. Ruka diberi kebebasan gerak, meski tidak mutlak. Hal ini memang sedikit berbahaya. Namun ini jauh lebih baik daripada menyiksa Ruka dalam kesendirian, yang akhirnya justru menghancurkannya.
Mentari takut. Itu sudah tentu. Kini - ah, sudahlah - tak ada lagi yang dapat membatasi Ruka dari dunia. Ruka akan memiliki teman; mungkin sahabat. Dan ia juga akan memiliki musuh. Mungkin akan ada lagi kejadian-kejadian tak terduga seperti yang terjadi di gereja itu. Dan mungkin akan datang orang-orang tak dikenal yang siap membunuh mereka berdua. Mentari tak peduli. Mentari sudah siap. Ia siap menghadapi segalanya. Ia tahu bahwa Tuhan bersamanya. Seburuk apa pun hidupnya di dunia mulai dari sekarang, pada akhirnya ia akan tetap hidup bahagia di surga. Seburuk apa pun hidupnya di dunia mulai dari sekarang, pada akhirnya ia akan tetap hidup bahagia di surga, berkumpul bersama kedua Ruka dalam hidupnya di sisinya.
Ruka tertawa. Apa pun yang terjadi, Ruka akan selalu tertawa. Ia tak pernah menderita. Ia akan selalu bahagia.Ruka, yang seluruh hidupnya diisi oleh penderitaan, akan selalu tertawa dan bahagia.Mentari senang dengan hal itu. Awalnya. Perlahan hal itu semakin meresahkannya. Itu tidak normal. Mentari memang selalu mengupayakan yang terbaik demi kebahagiaan Ruka. Namun ia tak pernah berharap puteranya akan selalu tertawa. Menghadapi situasi seperti apa pun, Ruka selalu tertawa. Suka dan duka, senang dan sakit, Ruka selalu tertawa. Mungkin hanya sekali Ruka tidak menghadapi kehidupannya dengan tawa. Dan itu adalah saat ia hancur babak belur dikeroyok preman-preman di gereja.Ruka pingsan dan baru siuman beberapa jam setelahnya.Saat itu ia tidak tertawa.Ia tersenyum.***Tak perlu kujelaskan lagi. Itu adalah salah satu kejadian terburuk yang pernah dialami Mentari. Begitu buruknya kejadian itu hingga hampir membunuh Mentari dari dalam.
"Ternyata benar. Aku sudah menduga akan seperti itu jadinya," sela Lovelyn."Hei, aku belum selesai bercerita," keluh Vith."Tak usah kau lanjutkan. Aku sudah paham. Pantas saja kau menyebutnya lebih buruk daripada Iblis. Ternyata memang benar begitu adanya."Vith menghela napas singkat. Ia memandangi Lovelyn dengan saksama. Setelah beberapa detik, ia pun berkata, "Begitu adanya?""Ya. Begitu adanya," jawab Lovelyn. "Tak ada yang lebih buruk dari orang yang memperlakukan ibu kandungnya sendiri seperti itu.""Seperti itu?""Ya. Seperti itu. Aku sudah bisa menebaknya. Ruka pasti membunuh ibunya. Iya, kan?""Ya, Ruka membunuh Mentari. Lalu?"Lovelyn terdiam sejenak."Ya ... lalu dia menjadi Iblis. Ah, maksudku, menjadi sesuatu yang lebih buruk daripada Iblis. Setelah itu dia menjadi pembunuh yang berkeliaran membantai banyak nyawa. Dan sekarang dia sampai di Scylaac. Iya, kan?""Aku tidak bertanya sampai sejauh i
"Lovelyn.""Wah, nama yang sangat indah. Salam kenal, ya.""Lalu, apa yang kau inginkan dariku?""Eh?""Aku tanya, apa yang kau inginkan dariku?" Lovelyn mendesak lelaki itu."Eh? Umm ... maaf, aku tidak mengerti." Lelaki itu kebingungan.Lovelyn berdiri dari tempat duduknya. "Kau datang kepadaku. Kau mengajakku bicara. Kau, yang tadi ada di sana, sekarang ada di sini dan mengajakku bicara. Kau masih berani mengatakan bahwa kau tidak punya maksud apa pun?" Lovelyn semakin mendesak lelaki itu."Umm ... aku benar-benar tidak mengerti maksudmu," kata lelaki itu. "Aku tidak punya maksud apa-apa. Aku hanya ingin berkenalan denganmu.""Berkenalan? Denganku?""Ya. Berkenalan. Denganmu.""Hanya untuk itu kau menyita waktuku?""Eeh ... uum ...." Lelaki itu semakin kebingungan."Pergilah kau, dasar sampah." Lovelyn mengakhiri.Dulu dia tidak seperti itu.Dulu dia tidak seperti itu. Dulu dia anak
"Lovelyn.""Wah, nama yang sangat indah. Seindah pemiliknya.""Baiklah, Lovelyn. Mulai sekarang, kamu anak ka ....""Lovelyn! Ah, ternyata kamu ada di sini," seru ayah Lovelyn, membuyarkan kenangan di kepala Lovelyn."Lovelyn! Mengapa kamu lari dari Mama dan Papa seperti itu?" sambung ibu Lovelyn."Semua berkumpul, semua tersenyum, semua bahagia. Aku penasaran, apakah foto ini benar-benar jujur?" kata Lovelyn."Foto? Apa maksudmu? Foto apa itu?"Orang tua Lovelyn berjalan menghampiri puteri mereka yang sedang duduk di meja riasnya."Lovelyn ... itu ....""Foto terakhirku bersama teman-temanku di panti asuhan sebelum kalian mengambilku.""Oh, Lovelyn ... Mama mohon kepadamu. Mama mohon dengan sangat kepadamu. Jangan pernah memikirkan itu." Ibu Lovelyn mulai meneteskan air mata."Lovelyn. Jika Papa dan Mama telah menyakiti hatimu, Papa dan Mama minta maaf. Papa dan Mama akan berubah. Papa dan Mama akan menjad
"Sa-saya ... Lo-Lovelyn. Sa-salam kenal, Pak ... Pak Ruka," sapa Lovelyn dengan bibir bergetar. Ruka mengerutkan dahinya. "Siapa lu? Anggota girlband? Ngapain lu di sini?" "Sa-saya penghuni baru di sini. Na-nama saya Lovelyn." "Lovely?" "Lo-Lovelyn," kata Lovelyn mengoreksi. "Lovelyn? Apaan, tuh? Merk lolipop? Pergi sana! Ini Scylaac, bukan Disney Land!" sembur Ruka. Lovelyn tak menanggapi. Ia gemetar hebat. Tak berkutik. Ia tak punya nyali di hadapan sosok raksasa yang mengerikan itu. "Kok bisa-bisanya kutu kupret begini jadi penghuni? Apa yang terjadi dengan Scylaac selama aku pergi?" "Dia bukan penghuni. Dia baru saja datang hari ini dan ingin menjadi penghuni," kata Vith menjawab. Ia lalu melirik ke arah Lovelyn. "Dia tidak pantas berada di sini." "A-aku pantas berada di sini!" sambar Lovelyn. Vith dan Ruka menatap Lovelyn. "Aku muak dengan dunia di luar sana. Dunia yang penuh dengan kepa
Dan inilah Scylaac. Scylaac adalah sebuah gagasan kehidupan. Sebuah idealisme yang melawan kenyataan yang diakui dunia. Ia bukan bagian dari kehidupan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Scylaac adalah dunia yang sesungguhnya. Bagiku, Scylaac adalah dunia yang lain. Scylaac adalah lawan kata dari dunia. Segala aturan, norma, kebiasaan, atau apa pun itu, yang berlaku di dunia nyata, tidak berlaku di Scylaac. Scylaac adalah penolakan atas semua itu. Para penghuni menolak gagasan bahwa Scylaac adalah penolakan. Bagi mereka, Scylaac adalah kenyataan yang sesungguhnya. Sedangkan dunia di luar sana, adalah dunia yang sudah tidak suci lagi. Dunia yang terkontaminasi aturan-aturan kasat mata dan tidak kasat mata yang membelenggu hakikat kehidupan. Dunia yang sesungguhnya - dunia yang lain itu - adalah dunia yang nyata. Itu bukan dunia fantasi. Para penghuni percaya, bahwa pada suatu masa di zaman lampau, pernah ada peradaban nyata yang berisi dunia
Schoistuedie, Yuhita, Lala, Acsac. Kalau boleh jujur, tidak semua dari keempat pencetus ini paham betul akan gagasan Scylaac di masa lampau. Yang mereka tahu, dunia tempat mereka tinggal adalah dunia yang sudah tidak suci lagi. Dunia di mana mereka harus bersandiwara untuk dapat bertahan hidup di dalamnya. Mereka sudah muak dengan itu. Mereka hanya ingin hidup bebas dalam kejujuran yang apa adanya. Para pencetus ingin mengubah dunia ini. Karena itu mereka memulai semuanya dengan menciptakan dunia mereka sendiri terlebih dahulu. Tempat mereka bertemu. Itu adalah sebuah tanah yang sangat kaya dan masih suci. Tempat itu hanya dihuni oleh hewan dan tumbuhan. Tidak ada seorang manusia pun di dalamnya dan tidak ada pihak mana pun yang memilikinya. Tempat yang benar-benar sempurna untuk membangun kembali dunia yang telah lama tertidur. Para pencetus merasa perlu untuk menamai dunia itu. Mereka mulai mencari nama yang tepat. Schoistuedie, Yuhita, Lala, dan Acsac. Akhirnya te
"Dan itulah akhir dari cerita ini." Vith mengakhiri. "Scylaac ...." Ayu menghela napas panjang. "Ya, Scylaac. Dunia yang sesungguhnya," kata Vith. "Yang benar saja," celetuk Ayu malas. Vith mengerutkan dahi. "Aku serius," katanya kemudian. "Scylaac adalah dunia yang sesungguhnya. Ini adalah dunia yang sebenarnya. Kau tidak akan menemukan kepalsuan di tempat ini. Ini adalah jawaban atas segala kekeliruan di luar sana. Ini adalah duni ...." "Ya, ya, ya, aku paham. Scylaac itu begini, Scylaac itu begitu, bla bla bla, aku mengerti," sela Ayu. "Lalu kenapa? Kau pikir aku datang untuk bergabung bersama kalian? Kau pikir aku tersentuh dengan semua ocehanmu itu? Jangan bercanda! Aku datang untuk menghancurkan ini semua. Aku datang untuk menyelamatkan kalian." Vith menatap dalam kedua mata Ayu. Ia tidak langsung membalas perkataan Ayu. Ia mencoba menyelidiki dahulu kesiapan mental dari wanita di hadapannya itu. Setelah terdiam selama beberapa s