Share

6.2. Baik. Akan Kulanjutkan. (2)

Ruka kecil hidup dalam naungan kasih sayang yang luar biasa dari Mentari.

Tentu saja. Ruka itu anak kandungnya sendiri. Tidak mungkin Mentari tidak mengasihinya.

Bukan. Maksudku bukan seperti itu. Ruka memang anak kandung Mentari. Tapi hal seperti itu tidak menjamin apa-apa. Nyatanya di dunia ini ada begitu banyak ibu yang tidak mengasihi buah hatinya sendiri.

Tapi Mentari beda. Ia tidak seperti beberapa orang tua gila yang tidak mengasihi anaknya sendiri. Namun ia juga tidak seperti kebanyakan orang tua normal yang mengasihi anaknya sebagaimana mestinya. Ngg, bagaimana cara menjelaskannya .... Mungkin bisa dikatakan seperti ini: Jika orang tua normal mengasihi anaknya dengan sepenuh hati, maka Mentari mengasihi Ruka dengan sepenuh hati, jantung, paru-paru, otak, seluruh tubuh, hingga seluruh keberadaan dirinya.

Mentari mengasihi Ruka secara berlebihan. Itu bukan kasih yang normal. Itu buruk. Sebagai contoh, Mentari tak pernah memarahi Ruka. Atau memukulnya. Atau menghukumnya. Tidak, tidak pernah. Ia terlalu takut untuk itu. Mentari takut Ruka menderita. Rasa takut yang sungguh tidak normal, bahkan dalam lingkup fobia sekalipun.

Hebatnya, sepertinya Ruka sendiri memang tidak pernah menderita. Ia seperti mengamalkan penuh sumpah yang diukir ibunya dalam dirinya. Faktanya, Ruka tidak pernah menangis. Sejak lahir ia tak pernah menangis. Bahkan saat lahir pun ia tidak menangis. Ia seperti ditakdirkan oleh alam untuk hidup bahagia.

Orang yang ditakdirkan untuk hidup bahagia, orang yang tidak pernah menderita, pada akhirnya mendapati seluruh hidupnya diisi oleh penderitaan.

Aneh memang.

Itulah Scylaac.

***

Selain kasih sayang, hal lain yang diberikan Mentari kepada Ruka secara berlebihan adalah perlindungan. Sebenarnya pada dasarnya itu juga adalah bagian dari kasih sayang. Namun karena porsinya begitu besar dalam hidup Ruka, maka hal itu pantas untuk mendapat perhatian khusus. Perlindungan.

Ruka kecil menjalani hidupnya dalam perlindungan yang berlebihan dari Mentari. Semua berangkat dari fobia Mentari terhadap penderitaan Ruka. Kondisi kejiwaan Mentari yang sudah seperti itu semakin diperparah dengan fobia baru: takut kepada manusia.

Mungkin hal itu belum dapat disebut sebagai fobia. Trauma, lebih tepatnya. Mentari trauma berhubungan dengan orang lain. Bukan hanya takut kepada kemungkinan bahwa orang lain akan mencelakakannya; rasa takut yang wajar karena memang ada sekelompok orang yang ingin membunuhnya. Mentari juga takut kepada orang biasa; orang yang tidak berbahaya. Dalam hal ini, ia takut dikhianati.

Akumulasi pengalaman pahit di masa lalu menggiring Mentari menjadi sosok yang seperti itu. Semua itu membuatnya menjadi pribadi yang sangat tertutup. Mentari tak mau berhubungan dengan siapa pun. Ia bahkan memilih untuk hidup berpindah-pindah. Selain supaya dapat selalu melarikan diri dari orang-orang yang ingin membunuhnya, dengan hidup nomaden ia juga dapat menghindari relasi mendalam dengan orang lain. Mentari sudah terlalu banyak menderita oleh karena rasa percaya yang terlalu besar kepada orang yang dicintainya. Ia tak ingin lagi mengalami hal yang sama.

Saat itu - ya, saat itu - Ruka menjadi "korban" Mentari. Ia hidup terkekang. Tak punya sahabat, tak punya teman, tak punya kenalan. Ruka terjebak dalam rutinitas kaku tanpa makna selama bertahun-tahun. Semua yang ia lakukan, tidak satu pun yang ia pahami. Dalam kehidupan yang datar seperti itu, yang ia ketahui hanyalah cara untuk terus melanjutkannya, sambil tetap mencoba bertahan di dalamnya.

Namun tetap saja. Sebetapa pun Mentari membelenggu Ruka dalam "kasih" dan "perlindungan", permasalahan hidup tetap tak akan pernah bisa ditolak. Ruka tetap tak bisa terhindar dari kerasnya dunia. Tampaknya itu sudah menjadi hakikat kehidupan. Dan Mentari tidak akan pernah bisa menolaknya.

Dunia bukanlah surga. Permasalahan akan selalu ada di dunia. Apalagi dunia Ruka. Yang seperti itu sama sekali jauh dari surga. Pinggiran kota besar, miskin, terkucilkan. Di dunia yang seperti itu yang berlaku adalah hukum alam. Dan jangan lupa bahwa Ruka adalah seorang anak "aneh". Raksasa. King Kong, kata mereka. Sudah menjadi kodratnya, di mana pun itu, untuk seorang anak "aneh" mendapat perlakuan khusus dari sekitarnya.

Ruka akrab dengan bully. Status aneh, miskin, dan tidak punya teman membuatnya menjadi sasaran bully. Melanjutkan hidup pun menjadi sebuah perjuangan bagi Ruka. Jika ia tidak berjuang, atau hanya berjuang setengah-setengah, ia akan kehilangan nyawanya. Ya, nyawa.

Sepertinya aku salah ketik. Untuk yang seperti itu, bully bukanlah kata yang tepat.

Yah, sudahlah.

Ruka dibenci sesamanya. Ia tidak pernah mau berbaur dengan siapa pun. Orang-orang di sekitarnya jadi sangat membencinya karena hal itu. Meski begitu, Ruka tak pernah mengeluh. Ia tak pernah meratapi nasibnya. Ia bahkan selalu tertawa. Tak peduli seberat apa pun pergumulan hidup yang dijalaninya, ia selalu tertawa. Dan ia akan selalu menang atas semua masalah yang dihadapinya.

Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, Ruka tak pernah menderita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status