Share

8. Baik. Akan Kulanjutkan. (4)

Ruka tertawa. Apa pun yang terjadi, Ruka akan selalu tertawa. Ia tak pernah menderita. Ia akan selalu bahagia.

Ruka, yang seluruh hidupnya diisi oleh penderitaan, akan selalu tertawa dan bahagia.

Mentari senang dengan hal itu. Awalnya. Perlahan hal itu semakin meresahkannya. Itu tidak normal. Mentari memang selalu mengupayakan yang terbaik demi kebahagiaan Ruka. Namun ia tak pernah berharap puteranya akan selalu tertawa. Menghadapi situasi seperti apa pun, Ruka selalu tertawa. Suka dan duka, senang dan sakit, Ruka selalu tertawa. Mungkin hanya sekali Ruka tidak menghadapi kehidupannya dengan tawa. Dan itu adalah saat ia hancur babak belur dikeroyok preman-preman di gereja.

Ruka pingsan dan baru siuman beberapa jam setelahnya.

Saat itu ia tidak tertawa.

Ia tersenyum.

***

Tak perlu kujelaskan lagi. Itu adalah salah satu kejadian terburuk yang pernah dialami Mentari. Begitu buruknya kejadian itu hingga hampir membunuh Mentari dari dalam. Namun, sial bagi Mentari, kejadian itu bukanlah yang terburuk yang harus ia jalani. Kejadian itu hanyalah eksistensi kecil di hadapan yang terburuk yang kelak akan datang.

Setelah kejadian itu, dengan melewati beberapa tahun waktu kehidupan, rasa takut terbesar Mentari akhirnya datang menghampiri mereka.

Memang sudah suratan takdir Mentari untuk mengalaminya. Ia boleh menundanya. Namun ia tak akan pernah bisa membatalkannya. Itu sudah menjadi takdir Mentari. Ia harus menghadapinya.

Mereka datang.

Para pembunuh dari organisasi mafia tempat suaminya bekerja dulu.

***

Ruka menangis.

“RUKAAA! Lari, Ruka! Lari!"

"Ibu, mereka siapa?"

"Lari, Ruka! Lari ...."

"Ibu ...."

Saat itu Ruka berusia 17 tahun.

"Ruka? Sepertinya pernah dengar," kata salah satu pembunuh itu. "Mungkin aku harus melihatnya lebih dekat lagi."

"Aku bersumpah! Aku bersumpah, demi Tuhan yang hidup, demi segalanya yang hidup, demi segalanya yang ada di alam semesta ini, kau tak akan pernah bisa menyentuh ...."

"IBUUU ...."

Mentari tak sempat menyelesaikan kalimatnya.

Pukulan pembunuh itu datang lebih cepat.

"WAAA ...."

Ruka lepas kendali.

"Wahahaha …. Sini kau! Sini hampiri pembunuhmu! Sini dan kuhempaskan kalian berdua ke neraka!"

Ruka datang.

Para pembunuh tertawa.

Mentari pingsan.

***

"Bu, Ibu. Bangun, Bu ...."

Mentari siuman.

"Ruka! Ruka! Kamu nggak apa-apa kan, Nak? Kamu baik-baik saja kan, Nak?"

"Iya, Bu. Ruka baik-baik saja."

Mentari menghela napas lega.

"Oooh ... anakku ... puteraku … buah hatiku ...."

"Bu, terlalu erat, Bu. Ruka masih luka."

"Di mana! Di mana orang-orang itu!"

"Ibu nggak usah khawatir. Mereka nggak akan bisa lagi menyakiti kita."

"Di mana? Di mana mereka, anakku?"

"Ibu ... mereka ... mereka ada di sana."

Mentari menengok. Lalu roboh.

"Mereka nggak akan bisa menyakiti kita lagi, Bu. Mereka sudah jadi seperti itu. Semuanya. Mereka semuanya sudah jadi seperti itu."

Mentari terguncang.

"Ruka ... ooh, Ruka .... Apa yang sudah kamu lakukan, anakku?"

"Tidak apa-apa, Bu. Ruka sudah pastikan semuanya. Semua, tak ada yang terlewatkan. Mereka tak bisa menghubungi teman mereka karena di sini tak ada sinyal. Mereka juga tak membawa barang-barang mencurigakan apa pun dalam tubuh mereka. Kalau kita kubur mereka semua di sini, tak akan pernah ada yang tahu semua yang telah terjadi di sini."

Mentari menatap puteranya kosong.

"Kita pasti akan baik-baik saja, ibuku."

Dan Ruka pun tersenyum.

Plakk ....

***

Sejak Ruka lahir, Mentari telah merasakan kegelisahan yang aneh dalam batinnya terhadap puteranya. Bukan karena Ruka tidak menangis seperti pada kelahiran baru lainnya pada umumnya. Ini adalah sesuatu yang lain yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang ia ketahui pernah ia rasakan sebelumnya, namun tak pernah bisa ia temukan jawabannya. Mentari menjalani hidup bersama tanda tanya besar di dalam dirinya.

Mentari tak bisa mengabaikannya. Semakin besar Ruka tumbuh menjalani kehidupan di sisinya, semakin melebar luas kegelisahan itu mengisi ketidaknyamanan di jiwanya. Beberapa kali jawaban akan kegelisahan itu melintas cepat di pikirannya. Namun tak sekali pun pernah ia bisa menangkapnya, hingga jawaban itu pergi lagi dan menghilang.

Kini Mentari berhasil menangkapnya.

"Ruka ...."

Jawaban yang sudah muncul sejak awal cerita.

"Ibu kecewa padamu."

Jawaban yang kalian pun pasti telah mengetahuinya.

"Ibu sangat kecewa padamu."

Jawaban yang akan terus mengiringi kisah hidup Scylaac.

"Ibu sangat ... sangat kecewa padamu."

Jawaban yang ... sudahlah.

Iblis.

***

"Bu ... Ruka minta maaf, Bu .... Ruka minta maaf ...."

Ruka menangis.

"Ruka nggak akan melakukan ini lagi. Ruka nggak akan melakukan ini lagi. Ruka minta maaf. Maafkan Ruka, Bu. Maafkan Ruka ...."

Mentari menangis.

"Maafkan Ibu, Nak. Ibu nggak akan berkata seperti itu lagi. Ibu nggak akan menamparmu lagi. Ibu nggak akan membuatmu bersedih lagi. Maafkan Ibu ...."

Mereka berpelukan.

"Ibu mau memaafkan Ruka, kan? Ibu mau memaafkan Ruka, kan?"

"Ya, anakku. Ibu mau memaafkan kamu. Ibu telah memaafkan kamu ...."

Mentari memeluk erat puteranya.

"Bu, kita pasti masuk surga, kan? Kita pasti akan berkumpul bersama Ayah di surga, kan?"

"Tentu saja, anakku. Tentu saja, anakku."

Mentari semakin memeluk erat puteranya.

"Ya? Benar, ya? Ibu janji, ya?"

"Ibu janji, anakku. Ibu janji, anakku. Kita pasti akan hidup bahagia di surga. Kita pasti akan hidup bahagia di surga."

Mentari semakin menangis histeris.

"Tentu saja, anakku. Tentu saja, anakku."

"Tentu saja, Bu. Tentu saja. Ruka sayang Ibu. Ruka sayang Ibu."

Ruka pun ikut menangis histeris. Tubuhnya gemetar hebat. Dan dalam pelukan erat penuh kasih sayang dari Mentari, dalam pelukan erat penuh kasih sayang dari orang yang paling mencintainya itu, Ruka mengecup lembut pipi sang ibu.

Lalu menamparnya.

"Ya kagak mungkin, lah, pe ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status