Home / Thriller / Scylaac. Kembalinya Dunia yang Sempurna. / 8. Baik. Akan Kulanjutkan. (4)

Share

8. Baik. Akan Kulanjutkan. (4)

last update Last Updated: 2022-03-22 16:56:19

Ruka tertawa. Apa pun yang terjadi, Ruka akan selalu tertawa. Ia tak pernah menderita. Ia akan selalu bahagia.

Ruka, yang seluruh hidupnya diisi oleh penderitaan, akan selalu tertawa dan bahagia.

Mentari senang dengan hal itu. Awalnya. Perlahan hal itu semakin meresahkannya. Itu tidak normal. Mentari memang selalu mengupayakan yang terbaik demi kebahagiaan Ruka. Namun ia tak pernah berharap puteranya akan selalu tertawa. Menghadapi situasi seperti apa pun, Ruka selalu tertawa. Suka dan duka, senang dan sakit, Ruka selalu tertawa. Mungkin hanya sekali Ruka tidak menghadapi kehidupannya dengan tawa. Dan itu adalah saat ia hancur babak belur dikeroyok preman-preman di gereja.

Ruka pingsan dan baru siuman beberapa jam setelahnya.

Saat itu ia tidak tertawa.

Ia tersenyum.

***

Tak perlu kujelaskan lagi. Itu adalah salah satu kejadian terburuk yang pernah dialami Mentari. Begitu buruknya kejadian itu hingga hampir membunuh Mentari dari dalam. Namun, sial bagi Mentari, kejadian itu bukanlah yang terburuk yang harus ia jalani. Kejadian itu hanyalah eksistensi kecil di hadapan yang terburuk yang kelak akan datang.

Setelah kejadian itu, dengan melewati beberapa tahun waktu kehidupan, rasa takut terbesar Mentari akhirnya datang menghampiri mereka.

Memang sudah suratan takdir Mentari untuk mengalaminya. Ia boleh menundanya. Namun ia tak akan pernah bisa membatalkannya. Itu sudah menjadi takdir Mentari. Ia harus menghadapinya.

Mereka datang.

Para pembunuh dari organisasi mafia tempat suaminya bekerja dulu.

***

Ruka menangis.

“RUKAAA! Lari, Ruka! Lari!"

"Ibu, mereka siapa?"

"Lari, Ruka! Lari ...."

"Ibu ...."

Saat itu Ruka berusia 17 tahun.

"Ruka? Sepertinya pernah dengar," kata salah satu pembunuh itu. "Mungkin aku harus melihatnya lebih dekat lagi."

"Aku bersumpah! Aku bersumpah, demi Tuhan yang hidup, demi segalanya yang hidup, demi segalanya yang ada di alam semesta ini, kau tak akan pernah bisa menyentuh ...."

"IBUUU ...."

Mentari tak sempat menyelesaikan kalimatnya.

Pukulan pembunuh itu datang lebih cepat.

"WAAA ...."

Ruka lepas kendali.

"Wahahaha …. Sini kau! Sini hampiri pembunuhmu! Sini dan kuhempaskan kalian berdua ke neraka!"

Ruka datang.

Para pembunuh tertawa.

Mentari pingsan.

***

"Bu, Ibu. Bangun, Bu ...."

Mentari siuman.

"Ruka! Ruka! Kamu nggak apa-apa kan, Nak? Kamu baik-baik saja kan, Nak?"

"Iya, Bu. Ruka baik-baik saja."

Mentari menghela napas lega.

"Oooh ... anakku ... puteraku … buah hatiku ...."

"Bu, terlalu erat, Bu. Ruka masih luka."

"Di mana! Di mana orang-orang itu!"

"Ibu nggak usah khawatir. Mereka nggak akan bisa lagi menyakiti kita."

"Di mana? Di mana mereka, anakku?"

"Ibu ... mereka ... mereka ada di sana."

Mentari menengok. Lalu roboh.

"Mereka nggak akan bisa menyakiti kita lagi, Bu. Mereka sudah jadi seperti itu. Semuanya. Mereka semuanya sudah jadi seperti itu."

Mentari terguncang.

"Ruka ... ooh, Ruka .... Apa yang sudah kamu lakukan, anakku?"

"Tidak apa-apa, Bu. Ruka sudah pastikan semuanya. Semua, tak ada yang terlewatkan. Mereka tak bisa menghubungi teman mereka karena di sini tak ada sinyal. Mereka juga tak membawa barang-barang mencurigakan apa pun dalam tubuh mereka. Kalau kita kubur mereka semua di sini, tak akan pernah ada yang tahu semua yang telah terjadi di sini."

Mentari menatap puteranya kosong.

"Kita pasti akan baik-baik saja, ibuku."

Dan Ruka pun tersenyum.

Plakk ....

***

Sejak Ruka lahir, Mentari telah merasakan kegelisahan yang aneh dalam batinnya terhadap puteranya. Bukan karena Ruka tidak menangis seperti pada kelahiran baru lainnya pada umumnya. Ini adalah sesuatu yang lain yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang ia ketahui pernah ia rasakan sebelumnya, namun tak pernah bisa ia temukan jawabannya. Mentari menjalani hidup bersama tanda tanya besar di dalam dirinya.

Mentari tak bisa mengabaikannya. Semakin besar Ruka tumbuh menjalani kehidupan di sisinya, semakin melebar luas kegelisahan itu mengisi ketidaknyamanan di jiwanya. Beberapa kali jawaban akan kegelisahan itu melintas cepat di pikirannya. Namun tak sekali pun pernah ia bisa menangkapnya, hingga jawaban itu pergi lagi dan menghilang.

Kini Mentari berhasil menangkapnya.

"Ruka ...."

Jawaban yang sudah muncul sejak awal cerita.

"Ibu kecewa padamu."

Jawaban yang kalian pun pasti telah mengetahuinya.

"Ibu sangat kecewa padamu."

Jawaban yang akan terus mengiringi kisah hidup Scylaac.

"Ibu sangat ... sangat kecewa padamu."

Jawaban yang ... sudahlah.

Iblis.

***

"Bu ... Ruka minta maaf, Bu .... Ruka minta maaf ...."

Ruka menangis.

"Ruka nggak akan melakukan ini lagi. Ruka nggak akan melakukan ini lagi. Ruka minta maaf. Maafkan Ruka, Bu. Maafkan Ruka ...."

Mentari menangis.

"Maafkan Ibu, Nak. Ibu nggak akan berkata seperti itu lagi. Ibu nggak akan menamparmu lagi. Ibu nggak akan membuatmu bersedih lagi. Maafkan Ibu ...."

Mereka berpelukan.

"Ibu mau memaafkan Ruka, kan? Ibu mau memaafkan Ruka, kan?"

"Ya, anakku. Ibu mau memaafkan kamu. Ibu telah memaafkan kamu ...."

Mentari memeluk erat puteranya.

"Bu, kita pasti masuk surga, kan? Kita pasti akan berkumpul bersama Ayah di surga, kan?"

"Tentu saja, anakku. Tentu saja, anakku."

Mentari semakin memeluk erat puteranya.

"Ya? Benar, ya? Ibu janji, ya?"

"Ibu janji, anakku. Ibu janji, anakku. Kita pasti akan hidup bahagia di surga. Kita pasti akan hidup bahagia di surga."

Mentari semakin menangis histeris.

"Tentu saja, anakku. Tentu saja, anakku."

"Tentu saja, Bu. Tentu saja. Ruka sayang Ibu. Ruka sayang Ibu."

Ruka pun ikut menangis histeris. Tubuhnya gemetar hebat. Dan dalam pelukan erat penuh kasih sayang dari Mentari, dalam pelukan erat penuh kasih sayang dari orang yang paling mencintainya itu, Ruka mengecup lembut pipi sang ibu.

Lalu menamparnya.

"Ya kagak mungkin, lah, pe ...."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Scylaac. Kembalinya Dunia yang Sempurna.   50. Ayu (23)

    Semua penghuni Scylaac menjalani hidup tanpa mengenal kewajiban. Mereka semua tidak pernah membebani diri dengan pekerjaan. Itu tidak diperlukan. Hal itu bukan berarti penghuni Scylaac tidak bekerja sama sekali. Sebagian kaum campuran masih memiliki pekerjaan tetap di dunia luar. Mereka memang hidup berpindah-pindah dari Scylaac ke dunia luar dan sebaliknya hingga seterusnya. Tapi mereka tidak terikat pada pekerjaan mereka. Jika mereka mau, mereka dapat melepaskan status mereka di dunia luar dan hidup nyaman di alam Scylaac kapan pun mereka mau.Untuk orang asing, sebagian dari mereka bekerja dengan menjalankan apa yang mereka yakini. Ayu adalah contoh yang paling gamblang. Mungkin misinya di Scylaac tidak berorientasi kepada hasil berupa upah pekerjaan. Tetapi baginya apa yang dilakukannya itu tetaplah sebuah pekerjaan. Kebanyakan orang asing yang bekerja melakukan hal yang berbeda dengan dasar yang serupa. Mereka yakin dan percaya pada kebenaran diri sendiri.

  • Scylaac. Kembalinya Dunia yang Sempurna.   49. Ayu (22)

    Jika aku mengatakan bahwa para penduduk asli bisa dan biasa berinteraksi dengan hewan liar, mungkin itu sudah tidak lagi terdengar mengejutkan. Tetapi pengertian hubungan sosial bagi para penduduk asli jauh melebihi itu. Bagi mereka apa pun yang ada di alam Scylaac, hidup maupun mati, semua itu adalah sama. Semua itu adalah sesama mereka yang sama-sama hidup dan mati dalam satu kesatuan. Penduduk asli bisa menghabiskan waktu seharian penuh berinteraksi dengan pohon, air, bahkan batu. Itu sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa di alam Scylaac. Mereka berinteraksi dengan menggunakan pikiran dan batin mereka - sesekali dengan mulut. Mereka berbincang-bincang, mereka bermain bersama, mereka saling berbagi kesenangan dengan semua yang ada di alam Scylaac. Mereka melakukan itu semua secara alami tanpa pernah sekali pun mereka paksakan untuk mereka umbar kepada para penghuni lainnya. Penduduk asli hidup dengan menjadikan alam sebagai bagia

  • Scylaac. Kembalinya Dunia yang Sempurna.   48. Ayu (21)

    “Kak?”“Kamu sudah bangun?” kata Baskara sambil tersenyum.“Itu apa?”“Tanaman obat. Bunga-bunga di sini bisa menjadi obat yang baik untukmu.”Ayu memandangi ramuan yang sedang dibuat oleh Baskara. “Aku baru tahu Kakak mengerti tentang ilmu tanaman.”“Tidak, kok. Aku hanya kebetulan saja mendengarnya dari percakapan para penduduk asli saat sedang mencari tempat untuk kita tinggali.”Ayu bangun dan mengambil posisi duduk.“Kakak tak perlu terus menjagaku di sini. Aku baik-baik saja, kok. Kalau Kakak mau, Kakak boleh jalan-jalan.”“Tidak, aku tidak mau meninggalkanmu. Kamu sedang sakit. Kamu pasti perlu bantuan sewaktu-waktu.”“Tak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Aku juga tak mau jadi beban buat

  • Scylaac. Kembalinya Dunia yang Sempurna.   47. Ayu (20)

    “Kompresnya sudah dingin?” tanya Baskara.“Sedikit lagi,” jawab Ayu.Baskara menghela napas jenuh.“Mengapa kamu belum juga tidur?” tanyanya khawatir. “Dengan kondisimu yang seperti ini, kamu juga tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lebih baik kamu istirahat saja sekarang. Kamu kan belum tidur lagi sejak tumbang subuh tadi.”“Kakak malah sama sekali belum tidur sejak semalam.”“Jangan pikirkan orang lain.”Ayu membuka kedua matanya.“Tuh, kan. Matamu juga sudah sangat merah. Tidurlah. Kamu pasti sudah sangat mengantuk, kan?”“Seharusnya aku tetap memejamkan mata saja tadi.”Baskara tersenyum. Ayu pun ikut tersenyum.“Kakak benar tidak mau tidur? Kakak juga pasti mengantuk, kan?&r

  • Scylaac. Kembalinya Dunia yang Sempurna.   46. Ayu (19)

    Selama berada di Scylaac, tak pernah sekali pun Ayu dan Baskara bertemu dengan penghuni perempuan - setidaknya yang bernyawa. Padahal mereka telah beberapa kali mendengar cerita tentang penghuni-penghuni perempuan. Bahkan dua dari keempat pencetus Scylaac pun adalah perempuan. Selama ini Ayu tak pernah ambil pusing akan hal itu. Tapi begitu akhirnya ia benar-benar melihat seorang penghuni perempuan, seluruh perhatian dan pemikirannya langsung terfokus penuh kepadanya.“Ya, Kakak benar. Itu memang perempuan. Tidak salah lagi.”Baskara kembali memandang Ayu. “Mungkin dia Yuhita atau Lala.”Ayu tidak menjawab. Ia seperti tertegun oleh pemandangan yang seharusnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang dari tadi disaksikannya.“Apa mungkin itu ... Zia.”Baskara sedikit mengerutkan dahinya. “Kamu percaya yang seperti itu?”

  • Scylaac. Kembalinya Dunia yang Sempurna.   45. Ayu (18)

    “Kakak? Kakak tak apa-apa?” tanya Ayu khawatir.“I-iya. Aku baik-baik saja,” jawab Baskara, mencoba bersikap tenang. Tak lama kemudian, ia pun mengoreksi, “Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Aku mual.”Baskara pun akhirnya kembali muntah untuk yang kedua kalinya – sebelumnya ia juga telah muntah.“Sebaiknya Kakak tak usah melihatnya lagi. Awasi saja keadaan di sekeliling kita ini. Aku masih membutuhkan bantuan Kakak untuk itu,” kata Ayu lagi, sambil memegang pundak pacarnya itu.“Ya, kamu benar. Mungkin itulah yang terbaik untukku,” jawab Baskara sambil menyeka air matanya yang keluar secara natural oleh karena dirinya muntah.Baskara terguncang melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Wajar saja. Aku tak menyalahkannya. Aku pun juga akan mengalami hal yang sama jika menjadi dirinya. Itu bukan sesuatu yang dapat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status