“Ahmed! Ayo cepat. Aku sudah tidak sabar ingin berlibur!”
Pekikan Isabel yang cempreng dan nyaring itu memenuhi seisi hotel, membuat Ahmed menggelengkan kepalanya seraya menutup kedua telinganya. Kebiasaan buruk Isabel yang tak bisa dihilangkan hanya satu, berteriak.
Wanita itu tak akan segan untuk berteriak sekeras-kerasnya jika ia sudah kama menunggu. Hal yang tidak biasa Isabel lakukan adalah menunggu lebih lama dari lima menit. Jika lebih dari lima menit, niscaya wanita itu akan mengeluarkan suara membahananya, hal itu sudah Ahmed hafal bahkan di luar kepalanya.
Tak ingin membuat wanita itu berteriak untuk kedua kalinya, Ahmed memilih bergegas keliar dari kamar dan menghampiri Isabel yang telah berkacak pinggang di depan pintu hotel. Wajahnya tampak terlihat kesal dengan bibir yang mengerucut beberapa centimeter.
“Kamu lama banget sih! Aku udah pegal berdiri di sini,” gerutu Isabel.
Ahmed pun membalasnya dengan cengiran
"Kita mau ke mana lagi, Sayang?" tanya Ahmed seraya menatap Isabel yang tengah sibuk menggulir layar ponselnya, melihat hasil jepretan mereka selama berjalan-jalan tadi.Isabel pun mengalihkan pandangannya menatap Ahmed, ia terlihat berpikir sejenak akan rencana mereka ke depannya. Ia kemudian mengangkat lengan kirinya dan melihat jam tangan yang terpasang manis di sana."Sebentar lagi waktu Dzuhur tiba, bagaimana kalau kita ke Blue Mosque dulu? Kamu harus merasakan bagaimana teduhnya beribadah di sana!" Isabel terlihat sangat antusias mengajak Ahmed.Melihat istrinya sangat bahagia, membuat Ahmed tak ada alasan untuk menolak permintaan wanita itu. Lagipula, tempat yang akan mereka kunjungi juga merupakan rumah Allah kan, pikir Ahmed."Yaudah, ayo. Nanti waktunya gak keburu kalau mau berjamaah," ajak Ahmed. Ia menggandeng tangan istrinya menuju mobil Syam yang sudah terparkir tepat waktu.Syam yang melihat mereka pun tersenyum ramah dan membukakan
Selama perjalanan menuju Selat Bosporus Isabel hanya terdiam selama perjalanan, membuat Ahmed bingung melihat perilaku istrinya yang tak biasa itu. Biasanya Isabel akan berceloteh sepanjang perjalanan mereka."Kamu kenapa, Bel?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari bibir Ahmed yang sedari tadi gatal ingin bertanya.Tubuh Isabel sedikit tersentak karena suara Ahmed yang membuyarkan lamunannya. Ia pun membalikkan kepalanya menatap Ahmed seraya memberikan senyuman kecilnya. "Aku ngga apa-apa kok.""Yang benar?" tanya Ahmed memastikan. Ia tak percaya begitu saja pada istrinya, melihat wajah lesu dan tak bersemangat milik wanita itu. "Apa kamu gak suka kalau kita ke Selat Bosporus? Mau ganti tempat aja?"Dengan cepat Isabel menggelengkan kepalanya. "Nggak kok, aku cuma kelelahan aja makanya jadi lemas."Tak ingin membuat mood istrinya semakin memburuk, Ahmed pun hanya menganggukkan kepalanya seolah percaya pada perkataan wanita itu. Ia memilih me
"Sean?"Mendengar seseorang namanya, Sean pun mendongakkan kepalanya menatap sang pelaku yang memanggil namanya itu.Tubuh keduanya mematung seketika saat pandangan mereka saling bertemu, membuat kerinduan yang mereka kubur bersama dengan susah payah akhirnya terbongkar hanya dalam satu detik saja."Isabel." Nama itu meluncur begitu saja dengan bebas keluar dari bibir Sean dengan bergetar.Entah mengapa kaki Isabel melangkah dengan sendirinya, berjalan mendekati pria yang sangat ia rindukan itu.Jarak keduanya pun semakin terkikis, membuat langkah Isabel terhenti tepat di hadapan pria itu. Ia mengangkat tangannya yang terlihat gemetar, hingga akhirnya tangan itu berakhir di pipi Sean."Aku rindu," bisik Isabel. Ia saat ini sama sekali tak memikirkan akibat dari perbuatannya.Ia kini seolah melupakan apa yang ada di sekitarnya, dan di mana saat ini berada. Semuanya seolah terlupakan begitu saja saat melihat wajah pria yang sangat ia rin
"Isabel, aku ingin meminangmu. Aku ingin menjadikanmu pasangan hidupku, menemaniku hingga tua, saat susah maupun senang, saat kaya maupun miskin." Pria berkulit putih itu memegang erat kedua tangan kekasihnya.Seolah, jika melepaskan tangan gadis itu barang sebentar saja akan membuat gadis itu menghilang dari hidupnya selamanya. Meninggalkannya dalam curam yang dalam, tak berpenghuni dan tak bercahaya. Karena gadis itu adalah cahayanya.Kepala gadis bernama Isabel itu pun menggeleng kecil, tetesan demi tetesan air matanya terus berjatuhan. Membuat kedua pipinya menjadi basah akibat cucuran air mata yang berlimpah."Tidak bisa, Se. Aku tidak bisa menerima lamaran kamu, menjadi kekasihmu saja sudah merupakan dosa besar yang kuperbuat. Aku takut.... Aku takut jika aku kembali melangkah lebih jauh, maka Tuhanku akan melaknatku dengaan azabnya," ucap Isabel. Gadis berwajah Timur Tengah itu kini sudah berlinang air mata.Bahkan, hijab berwarna hitam yang membal
Isabel, ayo keluar dulu, Nak. Kamu kan belum makan dari kemarin, nanti sakit loh.”Suara Umi Isabel sedari tadi terus terdengar dari luar sana, berbagai cara dilakukan oleh wanita paruh baya tersebut untuk membujuk Isabel keluar dari kamarnya.Khawatir? Tentu saja. Umi Isabel sangat khawatir dengan putri semata wayangnya. Pasalnya seusai berdebat dengan sang Abi, Isabel tak kunjung keluar dari kamarnya. Bahkan tuk makan sekalipun.“Umi pergi aja, Isabel tidak lapar!” seru Isabel dari dalam kamar. Wajahnya saat ini benar-benar kacau; kedua matanya sebam, rambutnya berantakan. Belum lagi perutnya yang sedari tadi berbunyi meminta asupan makanan.“Sudahlah, kau jangan terlalu memikirkan dan memanjakan dia. Ini adalah akibat dari kau yang memanjakannya, akhirnya dia jadi berani menentangku, kan? Kalau dia lapar pasti dia akan keluar sendiri, tidak usah pedulikan dia!”Suara Abi Isabel terdengar dari luar sana membuat
Saat ini Isabel dan kedua orang tuanya tengah duduk bersama di ruang keluarga. Ruangan dengan interior bergaya klasik tersebut hanya dipenuhi keheningan, tak ada yang berani mengangkat bicara sedikit pun atau hanya sekadar memecahkan keheningan.“Isabel, kamu maukan Abi jodohkan dengan anak teman Abi?” Akhirnya suara berat dari Abi Isabel memecahkan keheningan tersebut. Membuat emosi Isabel kembali tersulut.“Isabel nggak mau, Abi! Isabel sudah punya pilihan sendiri!” tolak Isabel. Kesua mata gadis itu saat ini tampak berkaca-kaca.Alis Abi Isabel pun saling bertautan, terkejut atas ucapan putrinya. “Siapa? Jangan berdusta Isabel. Abi dan Umi tidak pernah melihat seorang pria pun yang dekat denganmu. Siapa nama pria itu?”“Sean. Namanya Sean Abi.” Entah keberanian dari mana Isabel menyebut nama pria itu, yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Sean seorang. “Isabel mencintai dia, Abi. Nama dia t
“Neng, sudah sampai di tujuan.”Lamunan Isabel sontak terbuyar seketika karena ucapan sopir taksi tersebut, ia pun meronggoh tasnya dan mengambil beberapa lembaran uang sesuai harga yang tertera di papan digital.“Terima kasih, ya, Pak,” ucap Isabel serta menyerahkan uang bayarannya kepada sopir tersebut, lalu keluar dari mobil.Isabel berdiri di depan sebuah rumah bergaya minimalis, dengan pagar besi yang tak terlalu tinggi terbentang di sana. Ia pun menekan tombol bel yang berada di tembok tersebut.“SEAN! INI AKU ISABEL!”Tetapi sia-sia, tak ada jawaban apapun dari dalam sana. Sekeras apapun Isabel berteriak atau puluhan kali pun ia memencet bel, tak ada jawaban apapun dari dalam sana.Hati Isabel nyeri, ia merasakan hatinya bagai ditusuk oleh sebilah pisau. Pikirannya menjadi tak tenang, selalu memikirkan hal yang tidak-tidak terjadi pada Sean.“Kamu di mana, Sean?” gumam Isabe
“Isabel terima kalau Abi jodohkan Isabel.”Raut bahagia terpancar dari wajah pria paruh baya tersebut, ia beranjak dari duduknya dan memeluk tubuh putrinya."Keputusan yang sangat bagus, Isabel." Pria itu melepaskan pelukannya dengan putrinya."Tapi, bukannya kamu memiliki pilihan sendiri, ya?" tanya Umi Isabel, kening wanita itu mengerut membuat beberapa garisan di dahinya.Kepala Isabel menggeleng pelan, ia tersenyum masam mendengarnya. "Nggak, Umi. Dia bukan orang terbaik untuk Isabel.""Sudah, tidak usah memikirkan pria itu lagi. Abi akan segera mengabari teman Abi, biar mereka bisa secepatnya datang bersama anak mereka," ucap Abi Isabel girang. Pria itu beranjak dari hadapan Isabel dan istrinya lalu mengambil ponsel miliknya di kamar.Tatapan Umi Isabel tak pernah berpaling dari gadis itu. Ia seolah mengetahui ada yang disembunyikan oleh Isabel, tangannya pun ia rentangkan.Dengan cepat, Isabel menyambutnya dan memeluk