Share

Undangan Pernikahan Tanpa Pengantin Pria

Baru berselang semalam semenjak kakeknya meninggal, kini semua orang terus mempertanyakan siapa penerus perusahaan kakeknya. Tentu hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan, mengingat perusahaan kakeknya merupakan perusahaan grup besar yang menguasai berbagai bidang. Namun perlukah mereka seheboh itu mempeributkan mengenai siapa pewarisnya, ketika dihadapan mereka sudah berdiri seorang kandidat yang kuat?

Jujur saja, apa yang masih kurang darinya? Ia seorang wanita cantik, kompeten, perusahaan kakeknya selalu mendapatkan keuntungan semenjak ia memegang jabatan sebagai direktur, dan yang tak kalah penting, ia adalah satu-satunya keluarga sedarah kakeknya.

"Semuanya karena wasiat sialan itu!" umpatnya ketika tak kuasa menahan dirinya. Elsie melihat pantulan dirinya di kaca dan menepis tangan orang yang mendandaninya, "Cukup. Riasan yang tebal hanya akan membuat mereka memiliki bahan untuk bergosip. Aku akan menggunakan riasan sederhana saja. Setidaknya aku harus tampak berkabung hari ini."

Sesuai permintaannya, perias wajahnya pun langsung membereskan semua alat make up-nya dan meninggalkannya sendiri di ruangan istirahat itu, bersama sekretarisnya.

"Saya sudah mempersiapkan bahan pidato untuk pemakaman Dirut Jeri Wijaya." Anna menyerahkan materi tersebut dan menatapnya dengan wajah prihatin. "Tak perlu merasa gusar. Jabatan direktur utama pasti akan jatuh ke tangan Anda."

Elsie menghela napas dan berusaha bangkit dari dunianya yang terasa hampir runtuh. "Benar. Aku seharusnya tak perlu merasa terlalu cemas kerena wasiat itu. Baiklah, kita keluar sekarang."

Dengan bahu yang tegap, ia keluar dari kamar istirahatnya dan menghadapi orang yang menunggunya di ruang duka. Lalu satu persatu, ia menerima ucapan turut berbelasungkawa dari semua orang yang di sana. Namun anehnya, sepanjang ia menyusuri ruangan dan menerima salam dari semua orang, ia tak bisa merasakan perasaan duka yang dimiliki para pelayat. Sebaliknya, selama ia menyapa para pelayat di sana, ia hanya bisa merasakan perasaan ketertarikan mereka mengenai siapa yang akan meneruskan kakeknya setelah ini, alih-alih bersedih atas kematian kakeknya.

Sungguh malang kakeknya, dia sangat mencintai uang dan kini dia hanya memiliki bawahan pecinta uang yang sama seperti dirinya.

"Elsie." Seorang pria tua mencegatnya, ketika ia tengah berjalan menuju podium.

'Ah, seorang pecinta uang lainnya'

"Aku turut berduka atas kematian Jeri." Direktur Johan menatap ke arah foto besar kakeknya yang terpajang di ruang duka dan tersenyum simpul, "Kami sudah bersahabat sejak dari bangku sekolah, tapi dari sekian banyak perjumpaanku dengannya, tak pernah aku mengira hari semacam ini akan tiba, di mana aku akan datang ke acara pemakamannya."

Jika saja dia berhenti hanya sampai di sana, mungkin dia akan tampak seperti seorang sahabat yang sesungguhnya. Namun dengan sangat kurang ajar, dia justru melanjutkan ucapannya dan membuatnya sangat geram. "Kudengar dalam semalam kau kehilangan banyak pendukung, lantaran isi surat wasiat Jeri. Apa kau baik-baik saja?"

Meskipun ucapannya terdengar seperti orang yang khawatir, tapi rautnya berkata sebaliknya. Dia sedang berusaha mengejeknya, "Seharusnya kau menikah dari dulu, saat kakekmu memintanya. Karena kau tak mau menurutinya, kini dia terpaksa memasukkannya ke dalam persyaratan warisan. Jika saja kau dulu memilih untuk menikah, mungkin pemakaman ini akan menjadi upacara pengangkatanmu menjadi dirut baru."

Dalam kemarahan, Elsie meremas-remas jarinya dan menyinarkan sinar cahaya laser dari kedua matanya.

"Anda harus segera memberikan pidato pemakaman." bisik Anna mengingatkan, selaku sekretarisnya.

Sekuat tenaga Elsie mencoba menelan seluruh emosinya, dan memulai langkah awalnya untuk berjalan kembali menuju ke podium. Namun lagi-lagi pria itu memancingnya dan meskipun ia tahu itu adalah pancingan untuknya, ia tetap membiarkan dirinya terpancing emosi.

"Kemarin Eizel menghubungiku." ujar lantang Direktur Johan ketika ia berjalan melewatinya.

Kini langkahnya kembali terhenti, namun tak sedikit pun ia menoleh ke arah sahabat kakeknya.

"Dia bilang, dia sedang dalam perjalanan menuju ke sini." lanjutnya lagi, yang berhasil membuat pikirannya kosong dan cemas. "Sebagai saudaranya, seharusnya kau menghubungi dan membawanya pulang. Dia adalah cucu kesayangan kakekmu, bagaimana bisa sekarang kau mengabaikannya hanya karena dia tidak sedarah denganmu. Tunggu, mungkinkah kau seperti ini karena warisan Jere?"

Sementara dirinya masih terdiam memaku, Direktur Johan terus-menerus berkoar agar membuatnya gentar. "Tapi jika dipikirkan lagi, aku bisa tahu perasaan khawatirmu. Kau tidak memenuhi syarat dan kini sainganmu yang lebih diuntungkan dengan keadaanmu, tiba-tiba muncul di saat-saat yang penting. Tentu kau sangat frustasi sekarang. Namun jangan khawatir, ini belum akhir dari semuanya. Kau bisa mengejar ketertinggalanmu."

Tanpa perlu memikirkannya baik-baik, Elsie tahu kalau ini adalah deklarasi perang dari pria itu. Semua orang yang ada di sana juga pasti tahu mengenai hal itu. Oleh karenanya, mereka mulai berbisik-bisik untuk mempeributkan siapa pemenang dalam pertarungan sengit itu.

"Apa ini? Apa Eizel akan segera kemari?"

"Jika benar, maka itu akan menjadi kabar buruk untuk Elsie."

"Kenapa menjadi kabar buruk? Bukankah sudah jelas, apapun yang terjadi, Elsie tetap yang berhak menjadi pewarisnya. Eizel hanyalah cucu angkat Dirut Jeri." bisik seorang yang tertangkap oleh telinganya.

"Dulu aku pun juga berpikir begitu, tapi sekarang aku tidak yakin."

"Benar, Elsie tidak memenuhi syarat, jadi masih ada kemungkinan Eizel-lah yang akan merebut semua hak warisannya. Kudengar jika Elsie tidak menikah maka warisan itu akan langsung jatuh kepada Eizel tanpa syarat."

"Masalahnya, Elsie bahkan belum memiliki calon suami. Akankah dia dapat memenuhi syarat itu?"

"Ckckck, sayang sekali. Alih-alih cucu kandungnya yang mewarisi perusahaannya, justru malah seorang asing yang akan merebut kerja kerasnya nanti."

Ruang yang seharusnya menjadi tempat berduka tersebut, perlahan berubah menjadi tempat perang di mana semua orang mengatakan opininya.

Tersulut oleh semua ucapan orang-orang tersebut, Elsie menghampiri podium dan menggebrak meja podium itu hingga suaranya memecahkan kebisingan yang memenuhi ruangan.

Lalu semua orang mulai terdiam dan setiap mata terarah padanya dengan penuh perhatian serta rasa takut.

"Saya merasa sangat malu harus berlaku seperti ini di hari pemakaman kakek saya. Namun saya rasa saya memiliki kewajiban atas ketenangan perusahaan dan terutama kakek saya yang bahkan tidak merasa tenang di ambang kematiannya. Alih-alih menceritakan hubungan baik saya dengan kakek, sebagai pidato pemakamannya. Dalam kesempatan ini saya akan mengumumkan apa yang menjadi keinginan kakek saya."

Apa kata pria itu tadi? Ketertinggalan? Ia sudah melakukan semuanya demi perusahaan, tapi dengan sangat mudah dia berkata kalau dirinya 'tertinggal' hanya karena belum menikah? Ia tak bisa membiarkannya. Elsie tidak akan pernah menerima 'ketertinggalan' yang semacam ini.

Elsie mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan bertemu pandang dengan Eizel yang baru saja memasuki ruang duka.

Dengan mata yang masih menatap saingannya, ia pun memprovokasinya dengan sebuah pengumuman yang bahkan belum ia siapkan beberapa menit yang lalu, "Aku akan segera menikah."

...****************...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status