Baru ia selesai berkeliling beberapa tempat dan hendak meletakkan kepalanya dengan nyaman di sofa, mendadak berita kehadiran seseorang membuatnya bangkit terduduk.
"Siapa?" tanyanya ulang atas berita yang tak pernah ia duga.
"Ibu Alvan." jawab Anna sambil mengulang kembali berita yang dia dengar dari meja resepsionis. "Ibu Alvan menunggu Anda di ruang tunggu. Apa yang harus saya lakukan?"
Tak hanya bangkit terduduk, kini ia sudah berdiri tegap dengan panik. Elsie berjalan kian kemari dalam perasaan cemas, lalu memberikan instruksi darurat. "Katakan bahwa aku sedang melakukan urusan penting. Suruh dia menunggu."
"Baik." Dengan sigap, Anna meneruskan instruksinya, lalu bersiap untuk perintah selanjutnya.
Tanpa berlambat-lambat, Elsie segera menghubungi putra dari calon ibu mertuanya. Hingga sambil menunggu pria itu menerima panggilannya, ia mengetuk-ngetuk lantai dengan kakinya sesuai nada sambung yang terdengar.
"Halo?"
"Halo." jawabnya
Sebagaimana janjinya, seusai kelasnya berakhir, Alvan langsung terburu-buru pergi menuju perusahaan Elsie. Namun untuk memastikan keadaan apa yang saat ini sedang terjadi di sana, Alvan menghubungi Elsie selama di perjalanan."Elsie." panggilnya segera setelah teleponnya diangkat. "Bagaimana di sana? Apakah yang dikatakan ibu? Aku sedang perjalanan ke sana."Sementara dirinya berbicara panjang lebar, di ujung telepon lainnya Alvin tidak mendengar respon apapun dari lawan bicaranya. Dari sana, ia pun menyadari kalau Elsie mungkin masih kesal padanya atas pembicaraan mereka di telepon terakhir kali."Elsie? Elsie, kau mendengarku?"Anehnya, —setelah ia merasa wanita itu marah padanya— tiba-tiba Elsie tertawa. Tertawa dengan sangat keras hingga ia menjauhkan ponselnya dari daun telinganya. Sekilas, ia menatap nama Elsie yang tertulis di layar teleponnya dengan pandangan heran, tapi —begitu ia memikirkan ulang tindakan Elsie yang
Nia tidak tahu kenapa ia mendadak di panggil oleh Direktur Johan siang ini. Selain ia tak memiliki hubungan pribadi dengannya, ia juga tak mempunyai hubungan kerja dengan pria itu. Bahkan bisa dibilang Nia tidak mengenalnya dan jika bertemu di acara perusahaan Elsie, ia hanya sekedar menyapa untuk kesopanan.Namun dengan sangat mengejutkan, pria itu menghubungi ponselnya pagi tadi, dan tak hanya itu, dia juga meminta bertemu di jam makan siang. Entah hanya perasaannya atau mungkin memang seperti itu, Nia merasa ada yang mencurigakan dalam pertemuan ini.Sesaat ia sempat berpikir untuk melaporkannya pada Elsie dan meminta saran darinya, tapi karena ia tak memiliki bukti yang kuat untuk melandasi kecurigaannya, ia pun berpikir untuk menemuinya terlebih dulu untuk melihat apa yang terjadi.Siang itu, seperti waktu dan tempat yang dijanjikan, ia datang tepat waktu ke restoran yang Direktur Johan sebutkan.Seolah semua sudah dipersiapkan dengan baik, begitu
"Tidak. Aku tidak akan setuju." tegas Elsie ketika Alvan mendatanginya dengan permintaan yang mustahil."Aku tetap harus bekerja, sebagai bentuk tanggung jawab atas keluargaku. Jadi tolong perpanjang kontrakku di toko."Meskipun Alvan adalah kekasih palsunya, tapi Elsia tetap tak bisa membiarkan calon suaminya bekerja sambilan di sebuah toko.Bagaimana jika nanti akan ada seorang dari para petinggi perusahaannya yang melihatnya di toko? Bagaimana jika mereka mengenalinya?Bukannya ia merasa malu dengan profesi pria itu. Hanya saja, ia takut jika nantinya orang-orang itu mencoba mencari celah dan menjadikan profesi Alvan sebagai kelemahannya? Mereka mungkin akan berkicau tentang pantas dan tidak pantas, lalu menghambat pernikahannya. Sehingga ia akan kehilangan warisannya.Itu tidak boleh terjadi.Elsie mendongak menatap Alvan yang berdiri di depan mejanya, lalu menyunggingkan sebuah senyum yang mencurigakan. "Kau hanya memerlukan
Selagi duduk di bangku wali, Alvan menatap Elsie yang masih terbaring di ranjang UGD.Kata dokter, tak ada yang salah dengan wanita ini. Namun melihat Elsie belum sadarlan diri, membuat Alvan merasa sangat khawatir.Sungguhkah Elsie baik-baik saja? Namun jika tak ada yang perlu dikhawatirkan, mengapa dia masih belum siuman?Dari arah pintu, seorang wanita berlari menghampirinya."Apakah Direktur baik-baik saja?"Tadinya, karena merasa perlu untuk memberitahu sekretarisnya, Alvan menelpon Anna mengenai kondisi Elsie yang tiba-tiba tak sadarkan diri. Namun melihatnya datang dengan berkeringat dan napas yang terengah-engah, membuat Alvan sedikit menyayangkan keputusannya yang membuat orang lain menjadi khawatir seperti ini."Ya, dia baik-baik saja. Kau sendiri, apa kau baik-baik saja?""Eh?" Anna kemudian melihat dirinya yang tampak kacau dan menggeleng. "Aku baik-baik saja."Alvan mengangguk, lalu kembali
Elsie terbangun dalam kesendirian. Ketika ia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan berkeliling rumahnya, ia tak menemui satu orang lain pun di rumahnya. Baik Alvan maupun Anna, tak terlihat batang hidungnya.Lalu dengan langkah terseok-seok, ia menghampiri meja makan untuk mengisi cairan tubuh. Namun ia melihat sesuatu yang lain di atas meja.Di sisi meja makannya, Elsie melihat sebuah hotpot diletakkan dengan sebuah catatan kecil yang ditempelkan tepat di sampingnya.'Makanlah kalau sudah bangun. Lalu jangan lupa minum obat.'Bahkan pesan singkatnya terlihat sangat suka ikut campur.Dari panas yang masih tersisa pada sisi hotpot dan uap yang melewati celah tutup hotpot tersebut, Elsie bisa tahu bahwa pria itu belum lama ini meninggalkan rumahnya."Apakah dia melakukan semuanya karena aku membayarnya menjadi temanku?" Dalam perut yang terasa kosong, Elsie menarik kursinya dan membuka tutup panas itu dengan hati-hati. "J
Hari itu, Alvan harus memaksa tubuhnya untuk bekerja meskipun ia merasakan lelah di sekujur tubuhnya.Di depan mesin fotokopi, Alvan merenggangkan lehernya yang kaku dan memijatnya ringan dengan sentuhan lembut tangannya."Ah." keluhnya ringan."Ada apa dengan lehermu?" tanya Profesor Nia, ketika dia tiba-tiba memasuki ruangannya dan melihatnya mendesah lelah sambil memegang lehernya. "Apakah kau diam-diam melakukan pekerjaan sambilan lain? Kau terlihat sangat letih.""Entah aku bisa menyebutnya pekerjaan sambilan atau tidak." gumam Alvan pada dirinya sendiri.Namun sepertinya Profesor Nia bisa mendengarkan suaranya, hanya saja dia tidak menangkap jelas ucapannya. "Apa? Kau mengatakan sesuatu?""Tidak." tampiknya. "Aku tidak melakukan pekerjaan sambilan lagi. Meskipun aku sudah mengajukan hal itu pada Elsie, tapi dia tampak tak setuju dengan pendapatku."Entah mereka memiliki pemikiran yang sama atau bagaimana, Profesor Nia lang
Malam ini, Direktur Johan tiba-tiba mengajak Eizel untuk makan bersama. Meskipun Direktur Johan adaah orang pertama yang menghubunginya ketika Direktur Jere meninggal. Ia tahu kalau panggilannya bukanlah hanya sekedar untuk memanggil biasa.Seperti yang tertulis dalam wasiat kakek angkatnya, baik Eizel maupun Elsie memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan harta. Hanya saja, harta itu akan jatuh ke tangannya jika Elsie tidak memenuhi syarat.Mungkin atas dasar tulisan di atas meterai itulah yang membut Direktur Johan tertarik untuk menggaet Eizel dalam pemberontakannya. Karena dia sadar tak memiliki kuasa untuk merebut perusahaan dari Elsie, dia meminjam tangannya untuk merebut semua kekayaan itu demi dirinya.Namun meskipun ia mengerti semua situasi itu, Eizel tidak menghindari Direktur Johan. Ia sudah terlanjur masuk ke dalam dunia ini, jadi ia akan meneruskannya, walau ia harus menanggung resiko kalau Elsie akan terus mencurigainya dan membe
Karena ia sudah dibayar menjadi temannya, Alvan merasa ia perlu bekerja sesuai bayarannya dan datang tepat waktu.Jadi tanpa memandang motornya yang sudah menua, ia menerjang jalan layaknya pembalap dan mengambil kecepatan yang tinggi dengan motornya yang butut.Hingga setelah menyiksa motor perjuangannya itu sedemikian rupa, Alvan sampai juga di tempat kerja kedunya dan terburu-buru menaiki tangga untuk sampai ke kantor wanita itu."Aku datang."Namun betapa sangat kecewanya yang dirasakannya, Alvan melihat ruang kerja Elsie kosong tanpa ada satu orang pun di sana."Ah, dia sedang bekerja di luar kantor." gumamnya sambil masuk ke ruangan Elsie dan menutup pintu yang ada di belakangnya. "Haruskah aku pulang lagi?"Jika tahu seperti ini, ia tak akan datang ke kantor dengan terburu-buru. Dalam secarik penyesalannya, ia merebahkan dirinya di kursi. Sambil menatap sekitar, ia memikirkan kegiatan apa yang dapat ia lakukan untuk menghabiskan