**"Apa dia orang jahat, Ki? Kenapa kepalaku selalu sakit kalau aku lihat dia?"Kiran terkesiap lagi. Ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Karena sebenarnya pun, Kiran tidak tahu sudah sejauh mana hubungan antara Karan dengan Nevia. Segala sesuatu tentang lelaki ini buram seperti bayang-bayang. Sekarang Kiran menyadari, betapa ia tidak mengenal suaminya sendiri."Dia itu ... teman dekat kamu." Setelah berbagai pertimbangan panjang tanpa suara, akhirnya Kiran memutuskan menjawab."Teman dekat?""Benar, Mas.""Kok bisa teman dekat? Sepertinya nggak mungkin, ah. Bahkan kepalaku sakit kalau lihat dia.""Itu–"Dering ponsel yang berbunyi di kejauhan menyelamatkan situasi. Kiran bergegas beranjak dari kursinya untuk menghampiri benda pipih di atas meja di seberang ruangan itu. Setelah bercakap-cakap beberapa saat, ia kembali ke luar balkon di mana sang suami sudah menunggu."Siapa yang nelepon, Ki?""Dokter Frans. Aku beneran lupa kalau hari ini jadwal check-up kamu, Mas. Siap-siap
**"Kiran, ini ...."Jantung Kiran mencelos. Ia mematai ekspresi kebingungan kosong di wajah sang suami ketika mobil yang ia kemudikan tengah melaju memasuki halaman yang asri dengan taman kecil yang berhias aneka rupa bunga. Jalan beton berkelok berakhir pada depan teras rumah. Beberapa pot berisi berbagai jenis Anggrek menggantung di tepi-tepi atap teras."Mas? Kenapa? Apa kamu ingat sesuatu?" tanya Kiran dengan risau."Ah ... sepertinya iya, tapi aku nggak sepenuhnya ingat.""Ini rumah Ayah Ibu. Ini rumah kamu dari kecil."Karan berdiam diri, menyapukan pandang pada sekeliling. Sedan berwarna putih yang dikemudikan Kiran sudah berhenti di penghujung jalan beton itu."Rumah?""Yuk, kita turun. Barangkali keadaan kamu bisa membaik kalo kita refreshing ke rumah Ayah Ibu sebentar aja."Pria itu tampak ragu-ragu. Membuat ingatan Kiran kembali melintas pada waktu terakhir kali Karan berada di tempat ini. Ia sedang bersama dengan Nevia saat itu, kan? Sedang membuat keputusan yang akan men
**"M-Mas ...." Kiran tertawa dengan gugup. Sungguh, ia tidak tahu harus mengutarakan jawaban macam apa kepada lelaki ini. "Ya mana mungkin sih, aku ngelakuin hal seperti itu. Kita bener-bener suami istri. Kamu bisa tanya Ayah sama Ibu kalau nggak percaya."Tapi raut wajah Karan tetap saja menyiratkan keragu-raguan. Kembali ia layangkan pandang mengitari kamar lamanya itu. Memang tak ada bingkai foto apapun di sana. Pun poster, gambar, atau semacamnya. Dinding ruangan bercat putih itu bersih dari ornamen apapun."Aku mau lihat foto pernikahan kita, Ki."Ugh! Kiran menelan saliva. Amnesia ternyata tidak membuat Karan berhenti menjadi orang yang kritis."Kamu nggak percaya sama aku, Mas? Kamu nggak percaya kalau aku ini istrimu?""Percaya," sahut Karan tegas. "Aku sangat percaya. Kamu rawat aku sepenuh hati selama aku sakit. Kamu bener-bener perhatian dan sayang sama aku.""Ya, lalu?""Aku cuma penasaran, kenapa nggak ada foto pernikahan atau cincin.""Ada, Nak ...."Sepasang insan itu
**Kiran hanya mampu menutup kedua matanya rapat-rapat. Telapak tangannya kini dicekal erat oleh Karan."Mas, lepasin tanganku, astaga!""Ih, kenapa, sih? Aku kan suami kamu."Benar sekali. Karan memang suaminya, tapi Kiran tidak mengira akan terjadi hal seperti ini. Oh, bodoh sekali. Seharusnya ini pasti terjadi, kan?"Kiran, ayolah!""Oke, oke, sebentar. Aku ambilkan celana, tapi tolong kamu menyingkir sebentar. Aku akan jalan ke kamar kamu buat ambil bajunya."Meski yang terdengar hanyalah decak kesal, namun Kiran melangkah juga. Tersaruk-saruk keluar dari kamarnya sendiri untuk menuju kamar Karan di ujung koridor. Perempuan itu memilih atasan lengan panjang dan celana katun yang nyaman. Juga sebuah underwear, yang belakangan mulai familiar ia sentuh. Sebelum ini, bahkan Kiran tidak pernah melihat benda itu seujung pun. Karan mencucinya sendiri dan langsung membawanya masuk kamar begitu keluar dari mesin dryer."M-Mas, ini baju kamu." Dengan gugup, ia kembali ke kamarnya. Menelusup
**"Ayo kita balik ke atas.""Hah?"Kiran termangu di depan wastafel dapur. Ia sudah selesai mencuci piring sejak tadi, namun masih tetap diam di sana. Tak bergerak seincipun. Rasa gugup luar biasa melingkupi seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki.Karan sedang menunggunya di kamar.Dan mengapa pikiran Kiran sudah berkelana ke sana kemari, membayangkan bahwa suaminya itu tengah menunggunya untuk sesuatu yang lain?Haruskah terjadi hari ini?"Kenapa, sih? Bukannya ini wajar? Mas Karan kan memang suamiku. Jadi kenapa?" gerutunya lirih. Ia mendelik kepada pancuran wastafel yang tidak berdosa. Berharap benda itu membalas kata-kata frustasinya tadi."Oke, baiklah. Ayo tarik napas dan bersikap seakan-akan ini udah sering terjadi. Jangan malu-maluin, Kiran!" Ia tepuk-tepuk dengan keras kedua pipinya sendiri seraya melangkah menuju lantai atas di mana kamarnya berada."Kamu nggak apa-apa, Ki? Kenapa lama banget?"Dan seketika disambut dengan pertanyaan demikian oleh sang suami yang telah me
**Karan terpana. Pria dua puluh tujuh tahun itu membatu selama sepersekian detik saat bibir Kiran menyentuh bibirnya."Kiran?""Oh, astaga! Ya ampun, maaf. Maaf, Mas, aku kebawa suasana." Kiran otomatis menarik diri menjauh dari suaminya. Tak terelakkan, wajahnya membara merah padam. Ia lemparkan seribu kutukan kepada dirinya sendiri. Bagaimana bisa sampai berbuat di luar kendali seperti itu? Ah, jangan salahkan, karena Karan begitu menawan terutama saat berada dalam jangkauan."Ka-kamu harus tidur sekarang, Mas. Aku ke bawah du–""Mau ke mana?""Laptopku ketinggalan. Aku ambil–""Nggak."Giliran Kiran yang mematung. Napasnya seperti tercekat saat sang suami menariknya kembali mendekat. Jantungnya bergelora sehingga ia menahan dada Karan dengan kedua tangan agar tidak terlalu menempel dengannya."M-Mas?""Kamu nggak boleh ke mana-mana. Tetap di sini sama aku.""Aku cuma mau ambil laptop buat meriksa kerjaan. Aku akan temenin kamu tidur sementara ngerjain beberapa projek."Karan mengg
**Kiran terdiam. Yang ia takutkan akhirnya terjadi. Bagaimanapun, ia memang harus menceritakan tentang Nevia suatu saat. Dan sekarang ternyata saat itu tiba."Kiran, apa pertanyaanku bikin kamu nggak nyaman? Aku minta maaf kalau begitu." Karan berkata dengan serius. Wajahnya mendung kelabu. "Tapi aku bener-bener penasaran.""Kenapa? Mau membandingkan aku sama dia? Oh, udah pasti aku kalah jauh, Mas. Dia cantik seperti bidadari."Karan buru-buru menggeleng keras. "Bukan, bukan begitu. Aku cuma penasaran. Lagi pun, meski kamu bilang dia secantik bidadari, tapi buat aku, kamu yang paling cantik."Segera saja, kedua pipi Kiran kembali merona. Ia mengalihkan pandang dan tidak bisa menahan senyum. Karan menyebutnya cantik."Aku nggak bohong," sambung pria itu seraya mendekatkan posisinya ke arah Kiran. Ia pandangi wajah perempuan itu lekat. Ia mendekat untuk kembali mendaratkan ciuman mesra di atas bibirnya. "Kamu yang paling cantik. Dan lebih-lebih lagi malam ini. Maaf kalau mungkin aku t
**"Loh, Pak Karan nggak apa-apa?"Karan menghela napas berkali-kali. Berusaha menahan pening yang tiba-tiba menghampiri kepalanya. Tidak, ia harus mengendalikan diri dan tidak boleh menyusahkan istrinya di tempat ini."Pak, Karan, saya–""Maaf, saya harus ke toilet. Permisi." Ia berucap sembari bangkit dari kursinya. Meninggalkan si gadis yang kebingungan ke arah sudut ruangan di mana papan bertuliskan toilet berada. Ia di sana, membasuh muka dan menghela napas berkali-kali. Meredakan gemuruh misterius yang seperti memenuhi gendang telinga meski nyatanya ruangan itu sunyi senyap."Aku nggak apa-apa," bisiknya kepada diri sendiri. " Please, aku nggak apa-apa. Aku nggak boleh terus begini. Aku harus lawan.""Ah, Pak Karan!" Oh, sial sekali. Ternyata gadis itu masih ada di sana. Ia mencegat Karan yang kembali ke mejanya untuk mengambil buku yang tadi ia pinjam."Ini saya baru nelepon Kak Nevia. Katanya dia kok nggak tau kalo Pak Karan ada di sini?""Ah?""Tapi katanya dia juga mau langs