**
Mungkin sekarang sudah tengah malam. Entahlah, Kiran tidak tahu. Ia tidak membawa ponselnya. Perempuan itu hanya merasa telah duduk di halaman belakang rumahnya sejak berjam-jam yang lalu. Berkali-kali membersit air matanya yang terus-terusan luruh tanpa bisa ia cegah.Jadi ternyata Karan sudah memiliki kekasih sebelum ini? Pantaslah mengapa sikapnya sangat dingin kepada Kiran. Sedikitpun tak bisa disentuh bagaimanapun Kiran berusaha."Dan kamu biarin aku membadut selama beberapa waktu belakangan ini, Mas?" Kiran berbisik lirih kepada dirinya sendiri. Tersenyum pahit, merasakan sengatan nyeri lagi-lagi meremas hatinya kala ia mengingat kembali perempuan cantik yang dibawa pulang suaminya. Ah, siapa namanya tadi?"Kalau sudah tau begini, lantas apalagi yang harus kita pertahankan? Kalau alasanmu nggak bisa mencintaiku adalah karena belum terbiasa, mungkin aku bisa menunggu. Tapi ternyata alasanmu adalah ini, jadi apalagi yang bisa menahanku?" Kiran menghela napas dalam-dalam sebelum beranjak berdiri dan memutuskan kembali ke rumah. Berdiam diri selama beberapa jam membuat kepalanya sedikit menjernih.Perempuan itu melangkah dengan lunglai menuju pintu dapur rumahnya yang terhubung dengan halaman belakang di mana dirinya duduk tadi. Ketika pintu terbuka, Kiran mendadak mematung sebelum sempat melangkah masuk. Perempuan cantik kekasih Karan tadi, sedang berdiri di balik counter dapur. Suasana canggung membuat keduanya hanya diam. Namun kemudian, Kiran mendengar perempuan itu bersuara."Aku minta maaf, Mbak," ujarnya pelan. Meski kata-katanya pelan, namun kali ini sorot katanya tajam menatap ke arah Kiran yang masih tetap terpaku di tempat. "Meskipun aku nggak tau kenapa harus minta maaf. Karena sejujurnya, yang paling dirugikan di sini adalah aku."Kiran terperangah. Kedua alisnya terpaut mendengar kata-kata pelan namun bernada sarkas itu. Ia segera mengkonfirmasi. "Apa maksudmu ngomong begitu?""Maksudku?" Perempuan itu berdecih pelan. "Kamu udah denger sendiri tadi Karan bilang gimana. Aku sama dia udah berhubungan cukup lama. Kalau kamu nggak ada hujan nggak ada angin tiba-tiba dateng dan ngerebut posisi yang seharusnya aku tempati, jadi siapa menurutmu yang paling dirugikan?"Kiran hanya bisa menggeleng pelan. Hatinya lagi-lagi terasa seperti ditikam. Mudah sekali perempuan ini berkata-kata tanpa tahu bagaimana kisah yang sebenarnya."Jadi ini salahku?""Siapa lagi, kan?""Aku lakukan ini demi ibu dan ayah. Juga demi bapak dan mamakku. Jangan pikir aku mau menikah karena aku suka sama Karan.""Omong kosong."Kedua alis Kiran sontak kembali bertaut. "Omong kosong, apa maksudmu?""Aku tau kamu diem-diem juga nyimpen rasa sama Karan. Kita sama-sama perempuan. Aku bisa liat dari gimana cara kamu mandang Karan."Oh, Tuhan. Kiran menggelengkan kepala kuat-kuat. Sejujurnya, Kiran tidak pernah tahu bagaimana caranya berdebat. Terlebih lagi, memperdebatkan hal-hal seperti ini."Sorry, Mbak. Tapi aku nggak bisa kalau harus ngelepasin Karan begitu saja."Entah berapa kali sudah, Kiran tersentak kaget hari ini. Belum reda rasa terkejutnya karena mendapati suaminya sudah memiliki kekasih, sekarang ditambah lagi kekasih suaminya berkata terang-terangan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja."Sekali lagi, kami udah bersama sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku cinta Karan, dan Karan juga cinta sama aku. Aku pastikan nggak akan ada orang lain yang bisa menyusup di antara kami. Kamu seharusnya tau diri, Mbak."Demi Tuhan, Kiran rasa dirinya seperti disambar petir. Mengapa perempuan yang belum ia ketahui siapa namanya ini bisa berkata-kata seakan Kiran sudah merebut kekasih orang dengan seenaknya tanpa mengaca dulu?"Dengar!" Kiran akhirnya bersuara. Kesabarannya menipis sudah. "Kamu pikir ini kemauanku? Kamu pikir aku bahagia? Kamu pikir karena apa aku setuju menikah dengan laki-laki yang sama sekali nggak bisa memanusiakan orang lain?"Terlalu menyakitkan. Kiran tidak akan repot-repot berusaha mempertahankan sopan santunnya lagi. Ia menunjuk perempuan di hadapannya."Apa kamu pikir hanya kamu aja yang dirugikan?""Apa ruginya buat kamu, memangnya?" Perempuan itu kembali menyela. "Kamu berhasil menjadi istri seorang Karan Raditya Gathfan yang diimpikan banyak perempuan. Omong kosong kalau kamu bilang kamu terpaksa."Kiran lelah. Ia tidak mengenal dan tidak tahu menahu siapa perempuan ini. Tahu-tahu saja datang bersama Karan, dan keduanya bersama-sama membuat hati Kiran hancur menjadi serpihan-serpihan kecil."Ya Tuhan.""Nevia? Kamu lagi apa di dapur?"Sosok yang tengah menjadi bahan perdebatan itu akhirnya muncul juga dari ruang tengah. Wajahnya mendadak keruh saat melihat dua perempuan yang tampaknya sedang bersitegang. Dan baru sekaranglah akhirnya Kiran mengetahui siapa nama perempuan ini. Nevia."Kamu lagi apa?" Sekali lagi Karan bertanya. Wajahnya penuh selidik. Barangkali khawatir kalau-kalau Kiran sudah mencakar pacarnya atau apa."Hanya ngobrol." Nevia mengedikkan bahu. "Aku bilang sama dia kalau aku nggak akan menyerah begitu aja, Kar. Kita udah lama bareng. Hal seperti ini nggak akan bikin hubungan kita terganggu."Hal seperti ini. Kiran menelan saliva dengan pahit saat melihat Karan justru mengangguk setuju. Seremeh inikah Karan memandang pernikahannya?"Aku harap kamu nggak ngelakuin hal aneh-aneh sama Nevia." Karan berkata memperingatkan, membuat —untuk yang ke sekian kalinya, hati Kiran tersengat nyeri."Bisa tolong minggir aja?" Kiran menjawabnya dengan gumam lelah. "Aku akan balik ke kamar dan nggak akan peduli kalian berdua mau apa. Lakukan aja apa yang kalian mau.""Memang harusnya begitu." Karan menimpali, membuat rasa hati Kiran semakin perih. "Seperti kataku saat pertama kali kita pindah ke sini. Jangan pernah mengganggu urusan pribadiku. Kita ini bukan siapa-siapa."Nah, Kiran yang awalnya hendak segera mengayun langkah kembali ke kamarnya, mendadak membatalkan niat. Ia berbalik ke arah sang suami dan berkata pelan, "Kamu bisa temui Ibu besok pagi, Mas. Bilang sama beliau kalau memang kita nggak bisa lagi ngelanjutin pernikahan ini dan sebaiknya berpisah aja.""Kamu gila!" Tapi, justru reaksi Karan kontradiktif seperti itu. "Bisa-bisanya ngomong begitu!""Terus maumu apa, ha? Tetep menjalani kehidupan pernikahan, tapi tetep jalan sama pacarmu juga, begitu?"Lelaki rupawan itu terdiam. Namun hal itu menjadi sangat jelas untuk Kiran. Memang seperti ini yang suaminya inginkan."Kamu pikir aku ini apa, Mas? Kamu pikir aku mainan yang nggak punya hati? Kalau kamu masih mau jalan sama pacarmu, maka sudahi pernikahan kita! Kalau kamu nggak mau ngomong sama Ibu dan Ayah, maka aku yang berangkat!" Kiran yang akhirnya berseru penuh tuntutan. Lelah yang ia rasa selama berminggu-minggu ini mencapai puncaknya. Tak bisa lagi Kiran bertahan."Aku nggak mau sakitin hati Ibu, Ki!""Kamu nggak mau sakitin hati Ibu dan perempuanmu, tapi kamu hancurin hatiku seperti ini! Memangnya aku punya dosa apa sama kamu? Sama sekali bukan aku yang pengen kita menikah!"Air mata itu jatuh berhamburan. Menetes membasahi blus yang Kiran kenakan. Membuatnya tak mampu lagi terus berdiri di dapur. Ia mengayun langkah tergesa menuju kamarnya, dan menangis sejadi-jadinya di sana. Tidak mengerti mengapa takdir mempermainkan hidupnya seperti ini."Bapak, Mamak, maaf Kiran nggak bisa. Kiran udah udah berusaha, tapi tetap nggak bisa. Tolong maafkan kalau Kiran memilih berhenti."*****"Tolong maafkan kalau Kiran memilih berhenti. Karena ini terlalu sakit."Kembali terbayang raut tampan itu. Teringat saat pertama kali ayahanda Kiran mengenalkannya kepada putra sahabat karibnya. Kiran terkesima. Dialah Karan, yang memiliki nama hampir mirip dengan dirinya. Yang memiliki paras mempesona, yang mulai dari detik itu juga, sama sekali tidak bisa Kiran usir bayangannya dari dalam benak.Ya, ya. Nevia benar. Kiran mengakui bahwa dirinya sudah jatuh cinta diam-diam kepada lelaki itu, jauh-jauh sebelum kisah ini dimulai. Walau pada akhirnya harus bertepuk sebelah tangan."Kita memang nggak jodoh." Kiran berkata pelan kepada dirinya sendiri. "Gimanapun dipaksa untuk bersama, kalau kita nggak jodoh, ya nggak akan bisa bersama."Semalaman Kiran terjaga, menunggu pagi datang. Selama itu pula air matanya tidak bisa berhenti. Merasa demikian naif karena berani-beraninya sempat bermimpi bisa membangun rumah tangga yang indah bersama Karan, dan mungkin anak-anak mereka nanti. Saat
**"Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"Soraya menunjuk muka putra semata wayangnya yang saat itu masih terpaku di ambang pintu. Belum sempat masuk apalagi mendudukkan diri di atas sofa, ia sudah disambut oleh hawa-hawa kemarahan dari ibunya."Jadi ini yang bikin Kiran sampai minta berpisah sama kamu, ha? Ibu nggak nyangka, Kar! Bisa-bisanya!"Karan menyipitkan mata. Atensinya melayang dan jatuh kepada Kiran yang seketika gemetar karena situasi tidak kondusif itu."Apa aja yang udah diceritain perempuan itu sama Ibu?" Ia berucap dengan nada suara sedingin es kutub."Apa maksudmu?""Apa aja yang udah dia aduin? Dia udah kasih pengaruh buruk ke Ayah sama Ibu dengan sandiwaranya? Berlagak seakan dirinya yang paling teraniaya?"Demi Tuhan! Kiran sampai terhenyak kaget mendengar tuduhan tak berdasar yang barusan dialamatkan kepadanya. Ia menggeleng kuat-kuat."Mas, aku nggak–""Apa? Nggak apa? Masih mau mengelak? Hal buruk apa aja yang udah kamu ceritain sama Ibu tentang
**"Silakan kamu bawa pergi pacarmu!"Karan merasa emosi menggelegak naik hingga mencapai puncak kepalanya saat mendengar ibunya berkata demikian. Soraya benar-benar lebih berat kepada Kiran. Kiran yang notabene bukanlah siapa-siapanya, daripada kepada dirinya yang adalah putra kandung satu-satunya."Karan yakin, Ibu akan menyesali hari ini." Lelaki rupawan itu berkata pelan dengan tajam sebelum menggandeng kekasihnya untuk menjauh dari ruang tamu."Nggak akan.""Karan nggak akan lagi menemui ibu untuk alasan apapun.""Ibu, Ibu nggak ingin ini terjadi, kan?" Sementara itu Kiran masih mencoba membujuk. Siapa tahu saja Soraya berubah pikiran dan mau menarik kembali kata-katanya. "Mas Karan tenang aja. Ini cuma emosi sesaat. Nanti kalau Ibu udah tenang, Mas Karan balik aja ke sini. Kita omongin lagi semuanya baik-baik.""Kiran, berhenti belain dia!" timpal Soraya, masih dengan emosi. "Dia udah jelas-jelas jahat sama kamu, kenapa kamu masih terus belain dia begitu?"Kiran hanya menggeleng
**"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya."Mbaknya kenal sama korban?""Keluarganya, ya?""Oh, syukurlah ada yang kenal.""Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu."Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat
**"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang."Selamat pagi, Ibu."Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki
**"Kamu siapa?"Kiran terkesiap. Kain lap yang sedang ia pegang menggelincir dan jatuh dari tangan ke atas lantai. Kedua matanya terbelalak dengan mulut terbuka."M-Mas, jangan bercanda.""Kamu si-siapa ... ugh!" Karan tiba-tiba menampakkan ekspresi kesakitan dengan tangan menekan sebelah kepala. Membuat panik perempuan di depannya."Mas Karan!""Sa-sakit ....""Sebentar, tunggu sebentar. Tenang di sini ya, Mas. Bentar lagi perawatnya dateng. Mana yang sakit? Ini?"Kiran memijit-mijit dengan lembut pelipis Karan yang sedang lelaki itu tekan kuat-kuat. Menggenggam tangan besarnya yang gemetaran agar tetap tenang. Sampai kemudian dua orang perawat yang datang, terbelalak terkejut."Kenapa lama banget?" Kiran bertanya dengan nada agak keras. Bukan maksudnya bersikap tidak sopan. Hanya refleks sebab ia sedang panik bukan main. "Suami saya udah sadar tapi dia kesakitan gini. Tolong, Sus!""Saya panggil dokter, Bu." Salah seorang perawat melesat berlari keluar, sementara yang seorang lagi
**"Maaf aku baru datang sekarang. Aku sama sekali nggak denger berita apapun tentang ini. Aku baru pulang dari luar kota."Kiran mundur selangkah. Iris gelapnya bergetar saat melihat entitas cantik itu mengayun langkah dengan tergesa untuk mendekati suaminya."Ya Tuhan, Karan! Gimana bisa, sih? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu–" kata-kata Nevia lindap sebelum berakhir karena ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh Karan, lelaki itu justru mundur menjauh dan melayangkan tatapan penuh tanya."Karan? Kenapa? Kamu nggak mau aku pegang?" Nevia memastikan melangkah ke depan sekali lagi, dan lelaki di hadapannya pun mundur sekali lagi pula."Karan ini aku!""Kamu siapa?"Seperti halnya Kiran saat pertama kali mengetahui hal ini, Nevia pun tampak begitu heran dan terpukul. Kedua netra cantiknya terbelalak lebar."Karan! Ini nggak lucu!""Kamu siapa?""Aku kekasihmu! Kita udah lima tahun pacaran! Jangan bikin kesabaranku habis,Kar!""Suruh dia pergi, kepalaku pusing." Karan mundur ke arah d
**"Jadi, kenapa kamu bilang ini kamarku dan kamarmu ada di tempat lain? Bukankah seharusnya kita cuma punya satu?"Kiran terkesiap. Tidak mengira laki-laki yang sedang menatapnya dengan sorot mata polos itu akan bertanya demikian."Kiran? Kok diem? Apa aku salah tanya?" Karan berkata dengan nada khawatir kali ini. Kedua alisnya menukik turun, membuat wajahnya jadi kekanakan."Aah ... sebenernya kita emang ... punya kamar sendiri-sendiri, Mas.""Kok begitu? Katamu kita ini suami istri? Kamu bohongin aku, kah?""Nggak, nggak. Ini agak ...." Bagaimana menjelaskannya? Kiran menilai kondisi suaminya saat ini belum memungkinkan untuk menerima informasi yang agak mengejutkan. Cerita pernikahan mereka, misalnya. "Jangan mikir yang aneh-aneh, Mas. Karena kita masih berdua di rumah ini, maka aku sering pakai kamar itu buat kerja atau rebahan aja biar nggak ganggu istirahat kamu.""Bener begitu?"Kiran mengangguk dengan senyum merekah. Ia kembali melangkah mendekat dan menyusul Karan duduk di t