**
Masih seperti kemarin, Kiran memandang mobil hitam yang berlalu meninggalkan halaman melalui kaca jendela lantai dua. Setelah semalam Karan marah-marah dan membanting pintu di depan wajah Kiran, pagi ini berlalu tanpa drama apapun. Benar, Kiran memilih keluar kamar setelah lelaki itu selesai bersiap-siap dan pergi bekerja. Ia memilih tidak menampakkan diri sedikitpun demi menjaga pagi hari yang tetap damai.Perempuan itu hendak masuk ke kamar mandi saat suara dering ponsel menghentikan langkahnya."Halo, Ibu?" Ternyata Soraya yang menelepon. "Tumben nelepon pagi-pagi? Ada apa?""Nggak apa-apa, Ki." Suara Soraya menyambut dari seberang sana. "Kamu lagi sibuk, kah?""Ah, enggak. Aku lagi mau mandi, Bu.""Karan udah berangkat, ya?""Udah, baru aja berangkat." kiran menelan saliva. Berharap ibu mertuanya tidak bertanya yang aneh-aneh perihal kehidupan rumah tangganya yang tragis."Ibu pengen main ke sana, dong.""Ah? Main ke sini?""Iya, Nak. Ibu kan sama sekali belum pernah nengokin kalian sejak pindah. Rencananya ibu mau ke sana hari ini. Makanya telepon dulu. Takut kamu nggak di rumah."Kiran tersenyum. Sepertinya akan menyenangkan jika sekali-sekali ia punya teman bicara, kan? Rumah ini rasanya terlalu dingin karena tak pernah ada percakapan hangat di dalamnya."Oke, Bu. Aku tunggu, ya.""Ibu akan datang dalam waktu setengah jam. Kamu bisa mandi dulu, sana."Kiran menutup teleponnya setelah mengucapkan salam. Perempuan itu lantas bergegas memasuki kamar mandi. Untuk sejenak, kesedihannya setelah apa yang terjadi semalam sedikit surut. Kiran tidak sabar menunggu kedatangan ibu mertuanya."Bu, aku belum masak." Kiran berkata dengan agak sungkan saat Soraya datang setengah jam kemudian. Wanita itu menuju dapur dengan sekantong besar belanjaan di tangannya."Kalo Ibu jadi kamu sih, ya nggak akan masak juga. Sendirian di rumah mending delivery, kan?"Ah, Kiran menghela napas lega. Ternyata mertuanya justru lebih mengerti. Soraya tersenyum seraya membongkar belanjaannya."Mas Karan nggak mau sarapan di rumah, Bu." Perempuan itu kembali berkata dengan murung. Refleks saja, Kiran sama sekali tidak berniat mengadu ini-itu."Begitu?""Hm. Aku udah coba siapin, tapi selalu nggak disentuh. Apa Mas Karan memang selalu begitu, Bu? Maksudku, terbiasa nggak sarapan?"Soraya tersenyum kecil sembari menepuk-nepuk pelan pundak menantunya. "Nggak apa-apa, Ki. Nanti juga kamu terbiasa. Tolong maklum kalau beberapa sikap Karan mungkin mengganggu kamu, ya."Mengganggu? Yang benar menyakiti. Tapi Kiran mengangguk dan membalas senyum manis Soraya."Kita memang belum saling mengenal, Bu. Nggak apa-apa. Sambil jalan aja.""Ibu beruntung bisa menitipkan putra satu-satunya kepada tangan yang tepat seperti kamu. Ibu tau, kamu pasti punya kesabaran lebih buat meng-handle orang yang keras seperti Karan."Kiran lagi-lagi hanya bisa tersenyum. Kesabaran lebih? Tidak, Kiran bukan punya kesabaran lebih. Tapi ia tidak punya pilihan. Bapak dan Mamaknya pergi tanpa meninggalkan sanak saudara. Satu-satunya keluarga yang Kiran miliki saat ini adalah Herman dan Soraya."Ibu udah belanja banyak, nih. Kita masak terus makan bareng, yuk. Biar sekalian kamu juga tahu macam-macam makanan kesukaannya suamimu.""Oh, Mas Karan ada makanan kesukaan?""Ya, makanya biar kamu tau dan bisa masakin sendiri besok-besok."Wah. Itu kedengaran sangat mustahil sekali.*Setengah sembilan malam. Lebih dari waktu yang biasanya, Kiran memandang jam dinding dengan khawatir. Karan belum pulang sampai jam sekian, sementara Soraya sudah meninggalkan rumah sejak beberapa jam yang lalu. Perempuan itu mondar-mandir di ruang depan rumahnya dengan cemas. Sampai kemudian saat jarum jam sudah hampir menyentuh angka sembilan, suara deru mesin mobil yang mulai familiar itu akhirnya terdengar memasuki garasi. Kiran menghela napas lega, karena meski pulang terlambat, setidaknya suaminya baik-baik saja."Mas, kok agak ter–"Kata-kata itu tidak pernah selesai Kiran ucapkan, sebab pemandangan yang baru saja menyita atensinya saat pintu depan terbuka."Mas?" Kedua netra Kiran membola. Memandang bergantian kepada Karan dan objek lain yang berada di belakangnya. "Siapa itu, Mas? Kamu bawa pulang perempuan?""Iya. Kenapa?"Demi Tuhan! Kiran menekap mulutnya dengan telapak tangan. Menatap nyalang kepada perempuan cantik yang masih berdiri terpaku di ambang pintu depan. Itu perempuan yang sama dengan yang berjalan bersama Karan di kantornya waktu itu."Mas, maksudmu apa? Kamu bawa pulang perempuan lain?" Kiran berseru tak percaya sementara pria yang bersangkutan hanya berdecih dengan muak."Aku sampai bosan kasih tau kamu. Aku bilang jangan ikut campur masalah pribadiku, Ki.""Tapi aku istrimu, Mas! Dan kamu bawa pulang perempuan lain? Hal seperti ini, aku masih nggak boleh ikut campur juga, kah?""Aku udah bersama dia jauh sebelum kedatangan kamu, Kiran!" Karan menunjuk wajah istrinya dengan murka. "Aku udah punya dia jauh sebelum ini. Aku udah nyaris menikah sama dia, tapi kamu tiba-tiba datang dan bikin kacau segalanya. Dan apa kamu lupa? Kita menikah cuma status. Aku nggak pernah suka sama kamu!"Kiran menggeleng keras. Dua tetes air bening meluncur turun di sela-sela kelopak matanya. Kiran tahu suaminya tidak pernah menyukainya, tapi ini benar-benar sudah kelewatan dan di luar batas."Mas, kamu keterlaluan!""Keterlaluan, ha? Kamu hancurin semua mimpiku, jadi siapa yang keterlaluan?""Kalau kamu nggak suka sama aku, kenapa kamu nggak ngelarang Ayah sama Ibu ngelamar aku? Kenapa kamu ngucapin akad? Kenapa kamu biarin pernikahan ini terjadi?""Kamu pikir kenapa?" Karan kembali menunjuk istrinya yang sudah berurai air mata. Tak ada sedikitpun iba dalam wajah lelaki itu meski melihat seorang perempuan menangis di hadapannya. "Karena Ibu! Hanya karena Ibu aku rela ngelakuin ini. Aku nggak peduli sama orang lain, aku hanya nggak mau kecewain Ibu!"Kiran kehabisan kata-kata. Ia menekan dada dengan kedua telapak tangan, menahan sesak dan nyeri yang tiba-tiba mencekik. Habis sudah segala kata-kata, Kiran hanya bisa terisak tersedu sedan menahan sakit dalam hati."Karan?" Setelah sekian lama, akhirnya perempuan cantik yang masih berada di ambang pintu itu berani bersuara. Ia berdiri dengan kikuk dan tampak rikuh. Memandang sekilas kepada Kiran yang masih terisak di seberang ruang tamu."Karan, gimana kalo aku balik aja? Aku bisa cari hotel, kok. Nggak apa-apa.""Jangan, Nev. Ayo, masuk aja.""T-tapi kan–""Aku jelasin semuanya di dalam."Sekali lagi hati Kiran terasa seperti ditikam ketika suaminya menggandeng perempuan itu untuk memasuki rumah dan menuntunnya menuju lantai dua. Tidak lagi menoleh dan sama sekali tidak peduli pada sedu sedan Kiran."Mas, kamu keterlaluan." Seraya menyeka air matanya, perempuan itu memutuskan beranjak pergi pula. "Aku nggak akan bisa lagi bertahan kalau kamu terus begini, Mas."*****Mungkin sekarang sudah tengah malam. Entahlah, Kiran tidak tahu. Ia tidak membawa ponselnya. Perempuan itu hanya merasa telah duduk di halaman belakang rumahnya sejak berjam-jam yang lalu. Berkali-kali membersit air matanya yang terus-terusan luruh tanpa bisa ia cegah.Jadi ternyata Karan sudah memiliki kekasih sebelum ini? Pantaslah mengapa sikapnya sangat dingin kepada Kiran. Sedikitpun tak bisa disentuh bagaimanapun Kiran berusaha."Dan kamu biarin aku membadut selama beberapa waktu belakangan ini, Mas?" Kiran berbisik lirih kepada dirinya sendiri. Tersenyum pahit, merasakan sengatan nyeri lagi-lagi meremas hatinya kala ia mengingat kembali perempuan cantik yang dibawa pulang suaminya. Ah, siapa namanya tadi?"Kalau sudah tau begini, lantas apalagi yang harus kita pertahankan? Kalau alasanmu nggak bisa mencintaiku adalah karena belum terbiasa, mungkin aku bisa menunggu. Tapi ternyata alasanmu adalah ini, jadi apalagi yang bisa menahanku?" Kiran menghela napas dalam-dalam sebelum
**"Tolong maafkan kalau Kiran memilih berhenti. Karena ini terlalu sakit."Kembali terbayang raut tampan itu. Teringat saat pertama kali ayahanda Kiran mengenalkannya kepada putra sahabat karibnya. Kiran terkesima. Dialah Karan, yang memiliki nama hampir mirip dengan dirinya. Yang memiliki paras mempesona, yang mulai dari detik itu juga, sama sekali tidak bisa Kiran usir bayangannya dari dalam benak.Ya, ya. Nevia benar. Kiran mengakui bahwa dirinya sudah jatuh cinta diam-diam kepada lelaki itu, jauh-jauh sebelum kisah ini dimulai. Walau pada akhirnya harus bertepuk sebelah tangan."Kita memang nggak jodoh." Kiran berkata pelan kepada dirinya sendiri. "Gimanapun dipaksa untuk bersama, kalau kita nggak jodoh, ya nggak akan bisa bersama."Semalaman Kiran terjaga, menunggu pagi datang. Selama itu pula air matanya tidak bisa berhenti. Merasa demikian naif karena berani-beraninya sempat bermimpi bisa membangun rumah tangga yang indah bersama Karan, dan mungkin anak-anak mereka nanti. Saat
**"Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"Soraya menunjuk muka putra semata wayangnya yang saat itu masih terpaku di ambang pintu. Belum sempat masuk apalagi mendudukkan diri di atas sofa, ia sudah disambut oleh hawa-hawa kemarahan dari ibunya."Jadi ini yang bikin Kiran sampai minta berpisah sama kamu, ha? Ibu nggak nyangka, Kar! Bisa-bisanya!"Karan menyipitkan mata. Atensinya melayang dan jatuh kepada Kiran yang seketika gemetar karena situasi tidak kondusif itu."Apa aja yang udah diceritain perempuan itu sama Ibu?" Ia berucap dengan nada suara sedingin es kutub."Apa maksudmu?""Apa aja yang udah dia aduin? Dia udah kasih pengaruh buruk ke Ayah sama Ibu dengan sandiwaranya? Berlagak seakan dirinya yang paling teraniaya?"Demi Tuhan! Kiran sampai terhenyak kaget mendengar tuduhan tak berdasar yang barusan dialamatkan kepadanya. Ia menggeleng kuat-kuat."Mas, aku nggak–""Apa? Nggak apa? Masih mau mengelak? Hal buruk apa aja yang udah kamu ceritain sama Ibu tentang
**"Silakan kamu bawa pergi pacarmu!"Karan merasa emosi menggelegak naik hingga mencapai puncak kepalanya saat mendengar ibunya berkata demikian. Soraya benar-benar lebih berat kepada Kiran. Kiran yang notabene bukanlah siapa-siapanya, daripada kepada dirinya yang adalah putra kandung satu-satunya."Karan yakin, Ibu akan menyesali hari ini." Lelaki rupawan itu berkata pelan dengan tajam sebelum menggandeng kekasihnya untuk menjauh dari ruang tamu."Nggak akan.""Karan nggak akan lagi menemui ibu untuk alasan apapun.""Ibu, Ibu nggak ingin ini terjadi, kan?" Sementara itu Kiran masih mencoba membujuk. Siapa tahu saja Soraya berubah pikiran dan mau menarik kembali kata-katanya. "Mas Karan tenang aja. Ini cuma emosi sesaat. Nanti kalau Ibu udah tenang, Mas Karan balik aja ke sini. Kita omongin lagi semuanya baik-baik.""Kiran, berhenti belain dia!" timpal Soraya, masih dengan emosi. "Dia udah jelas-jelas jahat sama kamu, kenapa kamu masih terus belain dia begitu?"Kiran hanya menggeleng
**"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya."Mbaknya kenal sama korban?""Keluarganya, ya?""Oh, syukurlah ada yang kenal.""Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu."Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat
**"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang."Selamat pagi, Ibu."Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki
**"Kamu siapa?"Kiran terkesiap. Kain lap yang sedang ia pegang menggelincir dan jatuh dari tangan ke atas lantai. Kedua matanya terbelalak dengan mulut terbuka."M-Mas, jangan bercanda.""Kamu si-siapa ... ugh!" Karan tiba-tiba menampakkan ekspresi kesakitan dengan tangan menekan sebelah kepala. Membuat panik perempuan di depannya."Mas Karan!""Sa-sakit ....""Sebentar, tunggu sebentar. Tenang di sini ya, Mas. Bentar lagi perawatnya dateng. Mana yang sakit? Ini?"Kiran memijit-mijit dengan lembut pelipis Karan yang sedang lelaki itu tekan kuat-kuat. Menggenggam tangan besarnya yang gemetaran agar tetap tenang. Sampai kemudian dua orang perawat yang datang, terbelalak terkejut."Kenapa lama banget?" Kiran bertanya dengan nada agak keras. Bukan maksudnya bersikap tidak sopan. Hanya refleks sebab ia sedang panik bukan main. "Suami saya udah sadar tapi dia kesakitan gini. Tolong, Sus!""Saya panggil dokter, Bu." Salah seorang perawat melesat berlari keluar, sementara yang seorang lagi
**"Maaf aku baru datang sekarang. Aku sama sekali nggak denger berita apapun tentang ini. Aku baru pulang dari luar kota."Kiran mundur selangkah. Iris gelapnya bergetar saat melihat entitas cantik itu mengayun langkah dengan tergesa untuk mendekati suaminya."Ya Tuhan, Karan! Gimana bisa, sih? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu–" kata-kata Nevia lindap sebelum berakhir karena ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh Karan, lelaki itu justru mundur menjauh dan melayangkan tatapan penuh tanya."Karan? Kenapa? Kamu nggak mau aku pegang?" Nevia memastikan melangkah ke depan sekali lagi, dan lelaki di hadapannya pun mundur sekali lagi pula."Karan ini aku!""Kamu siapa?"Seperti halnya Kiran saat pertama kali mengetahui hal ini, Nevia pun tampak begitu heran dan terpukul. Kedua netra cantiknya terbelalak lebar."Karan! Ini nggak lucu!""Kamu siapa?""Aku kekasihmu! Kita udah lima tahun pacaran! Jangan bikin kesabaranku habis,Kar!""Suruh dia pergi, kepalaku pusing." Karan mundur ke arah d