Share

6. Perempuan Lain

**

Masih seperti kemarin, Kiran memandang mobil hitam yang berlalu meninggalkan halaman melalui kaca jendela lantai dua. Setelah semalam Karan marah-marah dan membanting pintu di depan wajah Kiran, pagi ini berlalu tanpa drama apapun. Benar, Kiran memilih keluar kamar setelah lelaki itu selesai bersiap-siap dan pergi bekerja. Ia memilih tidak menampakkan diri sedikitpun demi menjaga pagi hari yang tetap damai.

Perempuan itu hendak masuk ke kamar mandi saat suara dering ponsel menghentikan langkahnya.

"Halo, Ibu?" Ternyata Soraya yang menelepon. "Tumben nelepon pagi-pagi? Ada apa?"

"Nggak apa-apa, Ki." Suara Soraya menyambut dari seberang sana. "Kamu lagi sibuk, kah?"

"Ah, enggak. Aku lagi mau mandi, Bu."

"Karan udah berangkat, ya?"

"Udah, baru aja berangkat." kiran menelan saliva. Berharap ibu mertuanya tidak bertanya yang aneh-aneh perihal kehidupan rumah tangganya yang tragis.

"Ibu pengen main ke sana, dong."

"Ah? Main ke sini?"

"Iya, Nak. Ibu kan sama sekali belum pernah nengokin kalian sejak pindah. Rencananya ibu mau ke sana hari ini. Makanya telepon dulu. Takut kamu nggak di rumah."

Kiran tersenyum. Sepertinya akan menyenangkan jika sekali-sekali ia punya teman bicara, kan? Rumah ini rasanya terlalu dingin karena tak pernah ada percakapan hangat di dalamnya.

"Oke, Bu. Aku tunggu, ya."

"Ibu akan datang dalam waktu setengah jam. Kamu bisa mandi dulu, sana."

Kiran menutup teleponnya setelah mengucapkan salam. Perempuan itu lantas bergegas memasuki kamar mandi. Untuk sejenak, kesedihannya setelah apa yang terjadi semalam sedikit surut. Kiran tidak sabar menunggu kedatangan ibu mertuanya.

"Bu, aku belum masak." Kiran berkata dengan agak sungkan saat Soraya datang setengah jam kemudian. Wanita itu menuju dapur dengan sekantong besar belanjaan di tangannya.

"Kalo Ibu jadi kamu sih, ya nggak akan masak juga. Sendirian di rumah mending delivery, kan?"

Ah, Kiran menghela napas lega. Ternyata mertuanya justru lebih mengerti. Soraya tersenyum seraya membongkar belanjaannya.

"Mas Karan nggak mau sarapan di rumah, Bu." Perempuan itu kembali berkata dengan murung. Refleks saja, Kiran sama sekali tidak berniat mengadu ini-itu.

"Begitu?"

"Hm. Aku udah coba siapin, tapi selalu nggak disentuh. Apa Mas Karan memang selalu begitu, Bu? Maksudku, terbiasa nggak sarapan?"

Soraya tersenyum kecil sembari menepuk-nepuk pelan pundak menantunya. "Nggak apa-apa, Ki. Nanti juga kamu terbiasa. Tolong maklum kalau beberapa sikap Karan mungkin mengganggu kamu, ya."

Mengganggu? Yang benar menyakiti. Tapi Kiran mengangguk dan membalas senyum manis Soraya.

"Kita memang belum saling mengenal, Bu. Nggak apa-apa. Sambil jalan aja."

"Ibu beruntung bisa menitipkan putra satu-satunya kepada tangan yang tepat seperti kamu. Ibu tau, kamu pasti punya kesabaran lebih buat meng-handle orang yang keras seperti Karan."

Kiran lagi-lagi hanya bisa tersenyum. Kesabaran lebih? Tidak, Kiran bukan punya kesabaran lebih. Tapi ia tidak punya pilihan. Bapak dan Mamaknya pergi tanpa meninggalkan sanak saudara. Satu-satunya keluarga yang Kiran miliki saat ini adalah Herman dan Soraya.

"Ibu udah belanja banyak, nih. Kita masak terus makan bareng, yuk. Biar sekalian kamu juga tahu macam-macam makanan kesukaannya suamimu."

"Oh, Mas Karan ada makanan kesukaan?"

"Ya, makanya biar kamu tau dan bisa masakin sendiri besok-besok."

Wah. Itu kedengaran sangat mustahil sekali.

*

Setengah sembilan malam. Lebih dari waktu yang biasanya, Kiran memandang jam dinding dengan khawatir. Karan belum pulang sampai jam sekian, sementara Soraya sudah meninggalkan rumah sejak beberapa jam yang lalu. Perempuan itu mondar-mandir di ruang depan rumahnya dengan cemas. Sampai kemudian saat jarum jam sudah hampir menyentuh angka sembilan, suara deru mesin mobil yang mulai familiar itu akhirnya terdengar memasuki garasi. Kiran menghela napas lega, karena meski pulang terlambat, setidaknya suaminya baik-baik saja.

"Mas, kok agak ter–"

Kata-kata itu tidak pernah selesai Kiran ucapkan, sebab pemandangan yang baru saja menyita atensinya saat pintu depan terbuka.

"Mas?" Kedua netra Kiran membola. Memandang bergantian kepada Karan dan objek lain yang berada di belakangnya. "Siapa itu, Mas? Kamu bawa pulang perempuan?"

"Iya. Kenapa?"

Demi Tuhan! Kiran menekap mulutnya dengan telapak tangan. Menatap nyalang kepada perempuan cantik yang masih berdiri terpaku di ambang pintu depan. Itu perempuan yang sama dengan yang berjalan bersama Karan di kantornya waktu itu.

"Mas, maksudmu apa? Kamu bawa pulang perempuan lain?" Kiran berseru tak percaya sementara pria yang bersangkutan hanya berdecih dengan muak.

"Aku sampai bosan kasih tau kamu. Aku bilang jangan ikut campur masalah pribadiku, Ki."

"Tapi aku istrimu, Mas! Dan kamu bawa pulang perempuan lain? Hal seperti ini, aku masih nggak boleh ikut campur juga, kah?"

"Aku udah bersama dia jauh sebelum kedatangan kamu, Kiran!" Karan menunjuk wajah istrinya dengan murka. "Aku udah punya dia jauh sebelum ini. Aku udah nyaris menikah sama dia, tapi kamu tiba-tiba datang dan bikin kacau segalanya. Dan apa kamu lupa? Kita menikah cuma status. Aku nggak pernah suka sama kamu!"

Kiran menggeleng keras. Dua tetes air bening meluncur turun di sela-sela kelopak matanya. Kiran tahu suaminya tidak pernah menyukainya, tapi ini benar-benar sudah kelewatan dan di luar batas.

"Mas, kamu keterlaluan!"

"Keterlaluan, ha? Kamu hancurin semua mimpiku, jadi siapa yang keterlaluan?"

"Kalau kamu nggak suka sama aku, kenapa kamu nggak ngelarang Ayah sama Ibu ngelamar aku? Kenapa kamu ngucapin akad? Kenapa kamu biarin pernikahan ini terjadi?"

"Kamu pikir kenapa?" Karan kembali menunjuk istrinya yang sudah berurai air mata. Tak ada sedikitpun iba dalam wajah lelaki itu meski melihat seorang perempuan menangis di hadapannya. "Karena Ibu! Hanya karena Ibu aku rela ngelakuin ini. Aku nggak peduli sama orang lain, aku hanya nggak mau kecewain Ibu!"

Kiran kehabisan kata-kata. Ia menekan dada dengan kedua telapak tangan, menahan sesak dan nyeri yang tiba-tiba mencekik. Habis sudah segala kata-kata, Kiran hanya bisa terisak tersedu sedan menahan sakit dalam hati.

"Karan?" Setelah sekian lama, akhirnya perempuan cantik yang masih berada di ambang pintu itu berani bersuara. Ia berdiri dengan kikuk dan tampak rikuh. Memandang sekilas kepada Kiran yang masih terisak di seberang ruang tamu.

"Karan, gimana kalo aku balik aja? Aku bisa cari hotel, kok. Nggak apa-apa."

"Jangan, Nev. Ayo, masuk aja."

"T-tapi kan–"

"Aku jelasin semuanya di dalam."

Sekali lagi hati Kiran terasa seperti ditikam ketika suaminya menggandeng perempuan itu untuk memasuki rumah dan menuntunnya menuju lantai dua. Tidak lagi menoleh dan sama sekali tidak peduli pada sedu sedan Kiran.

"Mas, kamu keterlaluan." Seraya menyeka air matanya, perempuan itu memutuskan beranjak pergi pula. "Aku nggak akan bisa lagi bertahan kalau kamu terus begini, Mas."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status