**
"Tolong maafkan kalau Kiran memilih berhenti. Karena ini terlalu sakit."Kembali terbayang raut tampan itu. Teringat saat pertama kali ayahanda Kiran mengenalkannya kepada putra sahabat karibnya. Kiran terkesima. Dialah Karan, yang memiliki nama hampir mirip dengan dirinya. Yang memiliki paras mempesona, yang mulai dari detik itu juga, sama sekali tidak bisa Kiran usir bayangannya dari dalam benak.Ya, ya. Nevia benar. Kiran mengakui bahwa dirinya sudah jatuh cinta diam-diam kepada lelaki itu, jauh-jauh sebelum kisah ini dimulai. Walau pada akhirnya harus bertepuk sebelah tangan."Kita memang nggak jodoh." Kiran berkata pelan kepada dirinya sendiri. "Gimanapun dipaksa untuk bersama, kalau kita nggak jodoh, ya nggak akan bisa bersama."Semalaman Kiran terjaga, menunggu pagi datang. Selama itu pula air matanya tidak bisa berhenti. Merasa demikian naif karena berani-beraninya sempat bermimpi bisa membangun rumah tangga yang indah bersama Karan, dan mungkin anak-anak mereka nanti. Saat mentari akhirnya merekah terbit, Kiran beranjak menuju kamar mandi. Bersiap-siap untuk melakukan hal besar yang mungkin akan menjadi titik balik dalam hidupnya.Saat Kiran keluar dari kamar, tak ada sesiapapun di sana. Rumah hening, sunyi senyap. Barangkali Karan sudah pergi, atau bahkan masih tidur dengan pacarnya. Kiran tidak ingin tahu. Bahkan melirik pintu kamar Karan pun ia enggan. Perempuan itu bergegas keluar rumah, menuju garasi di mana motor matic kesayangannya berada. Membawa benda itu berkendara sepanjang jalan, untuk mendapatkan kepastian akan hidupnya."Kiran, apa Karan melakukan sesuatu yang menyakiti hati kamu? Tolong bilang sama Ibu dan Ayah kalau Karan ada bikin kesalahan. Kiran, jangan seperti ini."Itu adalah tanggapan yang disuarakan oleh Soraya saat Kiran akhirnya memberanikan diri menghadap dan mengatakan ingin berpisah dengan Karan saja pagi ini. Wanita berusia lima puluh dua tahun itu terisak, berurai air mata. Tidak mengira sepagi ini dirinya harus mendengar berita buruk."Aku minta maaf, Bu. Bener-bener minta maaf." Sementara itu, Kiran pun berusaha menahan sedu sedan. Suaranya nyaris lindap ditelan isak, namun ia masih pula berusaha untuk berbicara dengan baik. "Nggak, Bu. Mas Karan nggak ada salah, kok. Nggak ada yang terjadi. Hanya saja, memang kita berdua ngerasa ini nggak lagi bisa dilanjutkan. Kita nggak pernah bisa menemukan titik temu dari gagasan apapun yang kita lakukan."Dusta. Kiran berusaha menahan isaknya yang seperti akan meledak saat mengatakan segala dusta itu. Pada kenyataannya, yang dilakukan Karan bahkan lebih dari sekedar menghancurkan hatinya."Nggak bisakah kalian omongin ini lagi baik-baik?" Herman berusaha menengahi pula. "Ayah sama Ibu yakin, nggak ada yang bisa menerima Karan lebih baik daripada kamu, Ki."Kiran hanya bisa menunduk dalam-dalam saat mendengar hal itu. Menerima Karan lebih baik daripada dirinya? Itu sudah Nevia lakukan jauh sebelum hari ini."Kiran, ini lebih dari sekedar janji kami dan kedua orang tua kamu. Lebih dari perjodohan main-main karena kami adalah sahabat baik orang tua kamu." Herman masih berusaha melanjutkan, sementara Soraya sepertinya sudah kehabisan kata-kata. "Karena kami pikir kamu adalah perempuan terbaik buat putra kami satu-satunya, Ki."Tapi Karan nggak punya pemikiran yang sama dengan kalian, Ayah, Ibu. Perempuan terbaik buat dia hanya Nevia. Aku nggak akan pernah berusaha menjadi batu sandungan lagi. Kalau Karan bahagia, aku nggak apa-apa.Betapa sakitnya, karena Kiran hanya bisa mengatakan itu melalui kata hati yang jelas saja tidak akan pernah bisa didengar oleh Herman dan Soraya. Ia hanya mampu terisak sebab diliputi rasa bersalah. Terutama kepada mendiang kedua orangtuanya, yang sudah pasti kecewa dengan apa yang ia lakukan sekarang."Kalau memang jalan akhirnya harus seperti itu, terus kami bisa apa." Akhirnya, setelah perjuangan melawan isak tangis, Soraya menemukan kembali suaranya. "Kalian yang menjalankan. Kalau kalian rasa memang bener-bener nggak bisa lagi melanjutkan, Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik, Ki. Walau kamu harus tau, kamu nggak akan pernah tergantikan buat kami berdua."Herman mengangguk mendengar penuturan sang istri. Membuat Kiran dua kali lebih hancur. Ia mencintai Karan, pun mencintai kedua orangtuanya. Tapi terpaksa harus menyudahi semuanya sampai di sini sebab tak mendapat balasan cinta yang sama dari Karan."Aku tetap anak Ibu dan Ayah, kan? Walaupun nggak bisa jadi istri Mas Karan, tapi aku tetap bisa menjadi putri kalian, kan? Karena aku hanya punya Ibu dan Ayah sekarang. Aku nggak punya siapapun lagi."Isak keras Soraya menyambut pernyataan itu. Ia meraih Kiran dan mendekapnya erat-erat. Keduanya saling tenggelam dalam tangis tanpa kata-kata hingga beberapa saat lamanya. Sementara Herman hanya mampu menepuk lembut punggung perempuan muda yang ia sayangi itu."Kiran selalu jadi putri kecil kami," bisik Soraya di sela-sela sedu sedan. "Itu nggak akan pernah berubah."Kiran lepas pelukannya. Seraya tersenyum, ia menghapus air mata di pipi sang ibu mertua. Meski rasa sakit karena perlakuan Karan semalam masih membekas, namun kini ada rasa lega yang menyelimuti hatinya. Walau harus kehilangan suami, setidaknya ia tidak harus kehilangan orang tua."Dan Ki, ke mana Karan sekarang? Kenapa hanya kamu yang datang buat jelasin ini sama Ayah Ibu? Waktu seperti ini, seharusnya kalian datang bareng. Apa Karan nggak mau datang?" Herman kembali melayangkan pertanyaan yang sudah pasti sulit Kiran jawab. Ia menelan saliva, menata hati untuk menyatakan dusta yang selanjutnya kepada ayah mertuanya."Apa Karan nggak mau ketemu sama ayah ibunya sendiri, Ki?""Mas Karan, itu, sebenernya–"Kata-kata Kiran terpotong segera oleh deru mesin mobil yang terdengar di halaman rumah. Perempuan itu menoleh karena refleks. Dan benar, SUV hitam milik Karan telah berhenti di pelataran depan. Demi Tuhan, hati Kiran seperti jatuh dari tempatnya bertengger. Bagaimana jika–"Karan dateng?" Soraya bergegas berdiri untuk melihat keluar. "Karan dateng sama siapa, itu?"Benar. Perempuan itu ikut serta. Nevia. Susah payah Kiran merangkai kata-kata dusta kepada orangtuanya agar Karan tidak mendapat masalah besar, namun lihatlah, yang bersangkutan justru dengan amat sangat santai menyerahkan diri. Lelaki itu menggandeng tangan Nevia untuk memasuki rumah."Karan?" Soraya seketika menyambut dengan pertanyaan ketika sang putra sudah tiba di hadapannya. "Karan, siapa itu? Kenapa kamu gandeng-gandeng tangannya begitu?"Soraya tampak berusaha keras menutupi rasa shock-nya. Sorot matanya nanar menatap sang putra yang tampak salah tingkah."Kiran baru aja bilang sama kami. Dia bilang kalau mau pisah sama kamu karena kalian nggak saling cocok. Jadi ternyata ini yang bikin nggak cocok?"Bencana. Wajah Nevia seketika pucat pasi. Entah ekspektasi apa yang sudah Karan yakinkan kepadanya, sehingga melihat reaksi ibu sang kekasih yang seperti ini, perempuan itu menjadi sangat terkejut."Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"*****"Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"Soraya menunjuk muka putra semata wayangnya yang saat itu masih terpaku di ambang pintu. Belum sempat masuk apalagi mendudukkan diri di atas sofa, ia sudah disambut oleh hawa-hawa kemarahan dari ibunya."Jadi ini yang bikin Kiran sampai minta berpisah sama kamu, ha? Ibu nggak nyangka, Kar! Bisa-bisanya!"Karan menyipitkan mata. Atensinya melayang dan jatuh kepada Kiran yang seketika gemetar karena situasi tidak kondusif itu."Apa aja yang udah diceritain perempuan itu sama Ibu?" Ia berucap dengan nada suara sedingin es kutub."Apa maksudmu?""Apa aja yang udah dia aduin? Dia udah kasih pengaruh buruk ke Ayah sama Ibu dengan sandiwaranya? Berlagak seakan dirinya yang paling teraniaya?"Demi Tuhan! Kiran sampai terhenyak kaget mendengar tuduhan tak berdasar yang barusan dialamatkan kepadanya. Ia menggeleng kuat-kuat."Mas, aku nggak–""Apa? Nggak apa? Masih mau mengelak? Hal buruk apa aja yang udah kamu ceritain sama Ibu tentang
**"Silakan kamu bawa pergi pacarmu!"Karan merasa emosi menggelegak naik hingga mencapai puncak kepalanya saat mendengar ibunya berkata demikian. Soraya benar-benar lebih berat kepada Kiran. Kiran yang notabene bukanlah siapa-siapanya, daripada kepada dirinya yang adalah putra kandung satu-satunya."Karan yakin, Ibu akan menyesali hari ini." Lelaki rupawan itu berkata pelan dengan tajam sebelum menggandeng kekasihnya untuk menjauh dari ruang tamu."Nggak akan.""Karan nggak akan lagi menemui ibu untuk alasan apapun.""Ibu, Ibu nggak ingin ini terjadi, kan?" Sementara itu Kiran masih mencoba membujuk. Siapa tahu saja Soraya berubah pikiran dan mau menarik kembali kata-katanya. "Mas Karan tenang aja. Ini cuma emosi sesaat. Nanti kalau Ibu udah tenang, Mas Karan balik aja ke sini. Kita omongin lagi semuanya baik-baik.""Kiran, berhenti belain dia!" timpal Soraya, masih dengan emosi. "Dia udah jelas-jelas jahat sama kamu, kenapa kamu masih terus belain dia begitu?"Kiran hanya menggeleng
**"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya."Mbaknya kenal sama korban?""Keluarganya, ya?""Oh, syukurlah ada yang kenal.""Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu."Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat
**"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang."Selamat pagi, Ibu."Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki
**"Kamu siapa?"Kiran terkesiap. Kain lap yang sedang ia pegang menggelincir dan jatuh dari tangan ke atas lantai. Kedua matanya terbelalak dengan mulut terbuka."M-Mas, jangan bercanda.""Kamu si-siapa ... ugh!" Karan tiba-tiba menampakkan ekspresi kesakitan dengan tangan menekan sebelah kepala. Membuat panik perempuan di depannya."Mas Karan!""Sa-sakit ....""Sebentar, tunggu sebentar. Tenang di sini ya, Mas. Bentar lagi perawatnya dateng. Mana yang sakit? Ini?"Kiran memijit-mijit dengan lembut pelipis Karan yang sedang lelaki itu tekan kuat-kuat. Menggenggam tangan besarnya yang gemetaran agar tetap tenang. Sampai kemudian dua orang perawat yang datang, terbelalak terkejut."Kenapa lama banget?" Kiran bertanya dengan nada agak keras. Bukan maksudnya bersikap tidak sopan. Hanya refleks sebab ia sedang panik bukan main. "Suami saya udah sadar tapi dia kesakitan gini. Tolong, Sus!""Saya panggil dokter, Bu." Salah seorang perawat melesat berlari keluar, sementara yang seorang lagi
**"Maaf aku baru datang sekarang. Aku sama sekali nggak denger berita apapun tentang ini. Aku baru pulang dari luar kota."Kiran mundur selangkah. Iris gelapnya bergetar saat melihat entitas cantik itu mengayun langkah dengan tergesa untuk mendekati suaminya."Ya Tuhan, Karan! Gimana bisa, sih? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu–" kata-kata Nevia lindap sebelum berakhir karena ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh Karan, lelaki itu justru mundur menjauh dan melayangkan tatapan penuh tanya."Karan? Kenapa? Kamu nggak mau aku pegang?" Nevia memastikan melangkah ke depan sekali lagi, dan lelaki di hadapannya pun mundur sekali lagi pula."Karan ini aku!""Kamu siapa?"Seperti halnya Kiran saat pertama kali mengetahui hal ini, Nevia pun tampak begitu heran dan terpukul. Kedua netra cantiknya terbelalak lebar."Karan! Ini nggak lucu!""Kamu siapa?""Aku kekasihmu! Kita udah lima tahun pacaran! Jangan bikin kesabaranku habis,Kar!""Suruh dia pergi, kepalaku pusing." Karan mundur ke arah d
**"Jadi, kenapa kamu bilang ini kamarku dan kamarmu ada di tempat lain? Bukankah seharusnya kita cuma punya satu?"Kiran terkesiap. Tidak mengira laki-laki yang sedang menatapnya dengan sorot mata polos itu akan bertanya demikian."Kiran? Kok diem? Apa aku salah tanya?" Karan berkata dengan nada khawatir kali ini. Kedua alisnya menukik turun, membuat wajahnya jadi kekanakan."Aah ... sebenernya kita emang ... punya kamar sendiri-sendiri, Mas.""Kok begitu? Katamu kita ini suami istri? Kamu bohongin aku, kah?""Nggak, nggak. Ini agak ...." Bagaimana menjelaskannya? Kiran menilai kondisi suaminya saat ini belum memungkinkan untuk menerima informasi yang agak mengejutkan. Cerita pernikahan mereka, misalnya. "Jangan mikir yang aneh-aneh, Mas. Karena kita masih berdua di rumah ini, maka aku sering pakai kamar itu buat kerja atau rebahan aja biar nggak ganggu istirahat kamu.""Bener begitu?"Kiran mengangguk dengan senyum merekah. Ia kembali melangkah mendekat dan menyusul Karan duduk di t
**Seperti inikah suasana malam pertama?Kiran menepuk pipinya sendiri, mengusir pemikiran konyol yang secara tiba-tiba menghinggapi benaknya. Bisa-bisanya ia terpikir malam pertama saat suaminya sedang dalam keadaan sakit begini."Kamu capek banget, kah?" Karan bertanya dengan wajah bersungguh-sungguh. "Ini karena aku, kan? Kamu kurang istirahat karena ngerawat aku di rumah sakit berhari-hari."Itu benar. Kiran bisa merasakan kepalanya sering pusing sebab tekanan darahnya menurun. Rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tidur. Namun, perempuan itu tetap tersenyum kepada sang suami."Enggak, Mas. Nggak apa-apa. Itu udah kewajibanku ngerawat kamu. Biar kamu cepet sehat lagi.""Maaf aku banyak merepotkan ya, Ki. Aku beruntung kamu yang ada di sampingku saat keadaannya seperti ini."Oh, Ya Tuhan. Benarkah Karan Raditya Gathfan bisa berucap seperti itu? Kiran lagi-lagi tak bisa menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Sini, Ki. Lebih dekat, sini. Kenapa kamu kesannya yang jaga jarak ba