Share

8. Penjelasan Kiran

last update Last Updated: 2023-06-01 18:27:09

**

"Tolong maafkan kalau Kiran memilih berhenti. Karena ini terlalu sakit."

Kembali terbayang raut tampan itu. Teringat saat pertama kali ayahanda Kiran mengenalkannya kepada putra sahabat karibnya. Kiran terkesima. Dialah Karan, yang memiliki nama hampir mirip dengan dirinya. Yang memiliki paras mempesona, yang mulai dari detik itu juga, sama sekali tidak bisa Kiran usir bayangannya dari dalam benak.

Ya, ya. Nevia benar. Kiran mengakui bahwa dirinya sudah jatuh cinta diam-diam kepada lelaki itu, jauh-jauh sebelum kisah ini dimulai. Walau pada akhirnya harus bertepuk sebelah tangan.

"Kita memang nggak jodoh." Kiran berkata pelan kepada dirinya sendiri. "Gimanapun dipaksa untuk bersama, kalau kita nggak jodoh, ya nggak akan bisa bersama."

Semalaman Kiran terjaga, menunggu pagi datang. Selama itu pula air matanya tidak bisa berhenti. Merasa demikian naif karena berani-beraninya sempat bermimpi bisa membangun rumah tangga yang indah bersama Karan, dan mungkin anak-anak mereka nanti. Saat mentari akhirnya merekah terbit, Kiran beranjak menuju kamar mandi. Bersiap-siap untuk melakukan hal besar yang mungkin akan menjadi titik balik dalam hidupnya.

Saat Kiran keluar dari kamar, tak ada sesiapapun di sana. Rumah hening, sunyi senyap. Barangkali Karan sudah pergi, atau bahkan masih tidur dengan pacarnya. Kiran tidak ingin tahu. Bahkan melirik pintu kamar Karan pun ia enggan. Perempuan itu bergegas keluar rumah, menuju garasi di mana motor matic kesayangannya berada. Membawa benda itu berkendara sepanjang jalan, untuk mendapatkan kepastian akan hidupnya.

"Kiran, apa Karan melakukan sesuatu yang menyakiti hati kamu? Tolong bilang sama Ibu dan Ayah kalau Karan ada bikin kesalahan. Kiran, jangan seperti ini."

Itu adalah tanggapan yang disuarakan oleh Soraya saat Kiran akhirnya memberanikan diri menghadap dan mengatakan ingin berpisah dengan Karan saja pagi ini. Wanita berusia lima puluh dua tahun itu terisak, berurai air mata. Tidak mengira sepagi ini dirinya harus mendengar berita buruk.

"Aku minta maaf, Bu. Bener-bener minta maaf." Sementara itu, Kiran pun berusaha menahan sedu sedan. Suaranya nyaris lindap ditelan isak, namun ia masih pula berusaha untuk berbicara dengan baik. "Nggak, Bu. Mas Karan nggak ada salah, kok. Nggak ada yang terjadi. Hanya saja, memang kita berdua ngerasa ini nggak lagi bisa dilanjutkan. Kita nggak pernah bisa menemukan titik temu dari gagasan apapun yang kita lakukan."

Dusta. Kiran berusaha menahan isaknya yang seperti akan meledak saat mengatakan segala dusta itu. Pada kenyataannya, yang dilakukan Karan bahkan lebih dari sekedar menghancurkan hatinya.

"Nggak bisakah kalian omongin ini lagi baik-baik?" Herman berusaha menengahi pula. "Ayah sama Ibu yakin, nggak ada yang bisa menerima Karan lebih baik daripada kamu, Ki."

Kiran hanya bisa menunduk dalam-dalam saat mendengar hal itu. Menerima Karan lebih baik daripada dirinya? Itu sudah Nevia lakukan jauh sebelum hari ini.

"Kiran, ini lebih dari sekedar janji kami dan kedua orang tua kamu. Lebih dari perjodohan main-main karena kami adalah sahabat baik orang tua kamu." Herman masih berusaha melanjutkan, sementara Soraya sepertinya sudah kehabisan kata-kata. "Karena kami pikir kamu adalah perempuan terbaik buat putra kami satu-satunya, Ki."

Tapi Karan nggak punya pemikiran yang sama dengan kalian, Ayah, Ibu. Perempuan terbaik buat dia hanya Nevia. Aku nggak akan pernah berusaha menjadi batu sandungan lagi. Kalau Karan bahagia, aku nggak apa-apa.

Betapa sakitnya, karena Kiran hanya bisa mengatakan itu melalui kata hati yang jelas saja tidak akan pernah bisa didengar oleh Herman dan Soraya. Ia hanya mampu terisak sebab diliputi rasa bersalah. Terutama kepada mendiang kedua orangtuanya, yang sudah pasti kecewa dengan apa yang ia lakukan sekarang.

"Kalau memang jalan akhirnya harus seperti itu, terus kami bisa apa." Akhirnya, setelah perjuangan melawan isak tangis, Soraya menemukan kembali suaranya. "Kalian yang menjalankan. Kalau kalian rasa memang bener-bener nggak bisa lagi melanjutkan, Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik, Ki. Walau kamu harus tau, kamu nggak akan pernah tergantikan buat kami berdua."

Herman mengangguk mendengar penuturan sang istri. Membuat Kiran dua kali lebih hancur. Ia mencintai Karan, pun mencintai kedua orangtuanya. Tapi terpaksa harus menyudahi semuanya sampai di sini sebab tak mendapat balasan cinta yang sama dari Karan.

"Aku tetap anak Ibu dan Ayah, kan? Walaupun nggak bisa jadi istri Mas Karan, tapi aku tetap bisa menjadi putri kalian, kan? Karena aku hanya punya Ibu dan Ayah sekarang. Aku nggak punya siapapun lagi."

Isak keras Soraya menyambut pernyataan itu. Ia meraih Kiran dan mendekapnya erat-erat. Keduanya saling tenggelam dalam tangis tanpa kata-kata hingga beberapa saat lamanya. Sementara Herman hanya mampu menepuk lembut punggung perempuan muda yang ia sayangi itu.

"Kiran selalu jadi putri kecil kami," bisik Soraya di sela-sela sedu sedan. "Itu nggak akan pernah berubah."

Kiran lepas pelukannya. Seraya tersenyum, ia menghapus air mata di pipi sang ibu mertua. Meski rasa sakit karena perlakuan Karan semalam masih membekas, namun kini ada rasa lega yang menyelimuti hatinya. Walau harus kehilangan suami, setidaknya ia tidak harus kehilangan orang tua.

"Dan Ki, ke mana Karan sekarang? Kenapa hanya kamu yang datang buat jelasin ini sama Ayah Ibu? Waktu seperti ini, seharusnya kalian datang bareng. Apa Karan nggak mau datang?" Herman kembali melayangkan pertanyaan yang sudah pasti sulit Kiran jawab. Ia menelan saliva, menata hati untuk menyatakan dusta yang selanjutnya kepada ayah mertuanya.

"Apa Karan nggak mau ketemu sama ayah ibunya sendiri, Ki?"

"Mas Karan, itu, sebenernya–"

Kata-kata Kiran terpotong segera oleh deru mesin mobil yang terdengar di halaman rumah. Perempuan itu menoleh karena refleks. Dan benar, SUV hitam milik Karan telah berhenti di pelataran depan. Demi Tuhan, hati Kiran seperti jatuh dari tempatnya bertengger. Bagaimana jika–

"Karan dateng?" Soraya bergegas berdiri untuk melihat keluar. "Karan dateng sama siapa, itu?"

Benar. Perempuan itu ikut serta. Nevia. Susah payah Kiran merangkai kata-kata dusta kepada orangtuanya agar Karan tidak mendapat masalah besar, namun lihatlah, yang bersangkutan justru dengan amat sangat santai menyerahkan diri. Lelaki itu menggandeng tangan Nevia untuk memasuki rumah.

"Karan?" Soraya seketika menyambut dengan pertanyaan ketika sang putra sudah tiba di hadapannya. "Karan, siapa itu? Kenapa kamu gandeng-gandeng tangannya begitu?"

Soraya tampak berusaha keras menutupi rasa shock-nya. Sorot matanya nanar menatap sang putra yang tampak salah tingkah.

"Kiran baru aja bilang sama kami. Dia bilang kalau mau pisah sama kamu karena kalian nggak saling cocok. Jadi ternyata ini yang bikin nggak cocok?"

Bencana. Wajah Nevia seketika pucat pasi. Entah ekspektasi apa yang sudah Karan yakinkan kepadanya, sehingga melihat reaksi ibu sang kekasih yang seperti ini, perempuan itu menjadi sangat terkejut.

"Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 4

    **Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 3

    **Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 2

    **“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 1

    **Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   102. Kembali Bersamamu

    **Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   101. Melamar

    **“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status