Share

8. Penjelasan Kiran

**

"Tolong maafkan kalau Kiran memilih berhenti. Karena ini terlalu sakit."

Kembali terbayang raut tampan itu. Teringat saat pertama kali ayahanda Kiran mengenalkannya kepada putra sahabat karibnya. Kiran terkesima. Dialah Karan, yang memiliki nama hampir mirip dengan dirinya. Yang memiliki paras mempesona, yang mulai dari detik itu juga, sama sekali tidak bisa Kiran usir bayangannya dari dalam benak.

Ya, ya. Nevia benar. Kiran mengakui bahwa dirinya sudah jatuh cinta diam-diam kepada lelaki itu, jauh-jauh sebelum kisah ini dimulai. Walau pada akhirnya harus bertepuk sebelah tangan.

"Kita memang nggak jodoh." Kiran berkata pelan kepada dirinya sendiri. "Gimanapun dipaksa untuk bersama, kalau kita nggak jodoh, ya nggak akan bisa bersama."

Semalaman Kiran terjaga, menunggu pagi datang. Selama itu pula air matanya tidak bisa berhenti. Merasa demikian naif karena berani-beraninya sempat bermimpi bisa membangun rumah tangga yang indah bersama Karan, dan mungkin anak-anak mereka nanti. Saat mentari akhirnya merekah terbit, Kiran beranjak menuju kamar mandi. Bersiap-siap untuk melakukan hal besar yang mungkin akan menjadi titik balik dalam hidupnya.

Saat Kiran keluar dari kamar, tak ada sesiapapun di sana. Rumah hening, sunyi senyap. Barangkali Karan sudah pergi, atau bahkan masih tidur dengan pacarnya. Kiran tidak ingin tahu. Bahkan melirik pintu kamar Karan pun ia enggan. Perempuan itu bergegas keluar rumah, menuju garasi di mana motor matic kesayangannya berada. Membawa benda itu berkendara sepanjang jalan, untuk mendapatkan kepastian akan hidupnya.

"Kiran, apa Karan melakukan sesuatu yang menyakiti hati kamu? Tolong bilang sama Ibu dan Ayah kalau Karan ada bikin kesalahan. Kiran, jangan seperti ini."

Itu adalah tanggapan yang disuarakan oleh Soraya saat Kiran akhirnya memberanikan diri menghadap dan mengatakan ingin berpisah dengan Karan saja pagi ini. Wanita berusia lima puluh dua tahun itu terisak, berurai air mata. Tidak mengira sepagi ini dirinya harus mendengar berita buruk.

"Aku minta maaf, Bu. Bener-bener minta maaf." Sementara itu, Kiran pun berusaha menahan sedu sedan. Suaranya nyaris lindap ditelan isak, namun ia masih pula berusaha untuk berbicara dengan baik. "Nggak, Bu. Mas Karan nggak ada salah, kok. Nggak ada yang terjadi. Hanya saja, memang kita berdua ngerasa ini nggak lagi bisa dilanjutkan. Kita nggak pernah bisa menemukan titik temu dari gagasan apapun yang kita lakukan."

Dusta. Kiran berusaha menahan isaknya yang seperti akan meledak saat mengatakan segala dusta itu. Pada kenyataannya, yang dilakukan Karan bahkan lebih dari sekedar menghancurkan hatinya.

"Nggak bisakah kalian omongin ini lagi baik-baik?" Herman berusaha menengahi pula. "Ayah sama Ibu yakin, nggak ada yang bisa menerima Karan lebih baik daripada kamu, Ki."

Kiran hanya bisa menunduk dalam-dalam saat mendengar hal itu. Menerima Karan lebih baik daripada dirinya? Itu sudah Nevia lakukan jauh sebelum hari ini.

"Kiran, ini lebih dari sekedar janji kami dan kedua orang tua kamu. Lebih dari perjodohan main-main karena kami adalah sahabat baik orang tua kamu." Herman masih berusaha melanjutkan, sementara Soraya sepertinya sudah kehabisan kata-kata. "Karena kami pikir kamu adalah perempuan terbaik buat putra kami satu-satunya, Ki."

Tapi Karan nggak punya pemikiran yang sama dengan kalian, Ayah, Ibu. Perempuan terbaik buat dia hanya Nevia. Aku nggak akan pernah berusaha menjadi batu sandungan lagi. Kalau Karan bahagia, aku nggak apa-apa.

Betapa sakitnya, karena Kiran hanya bisa mengatakan itu melalui kata hati yang jelas saja tidak akan pernah bisa didengar oleh Herman dan Soraya. Ia hanya mampu terisak sebab diliputi rasa bersalah. Terutama kepada mendiang kedua orangtuanya, yang sudah pasti kecewa dengan apa yang ia lakukan sekarang.

"Kalau memang jalan akhirnya harus seperti itu, terus kami bisa apa." Akhirnya, setelah perjuangan melawan isak tangis, Soraya menemukan kembali suaranya. "Kalian yang menjalankan. Kalau kalian rasa memang bener-bener nggak bisa lagi melanjutkan, Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik, Ki. Walau kamu harus tau, kamu nggak akan pernah tergantikan buat kami berdua."

Herman mengangguk mendengar penuturan sang istri. Membuat Kiran dua kali lebih hancur. Ia mencintai Karan, pun mencintai kedua orangtuanya. Tapi terpaksa harus menyudahi semuanya sampai di sini sebab tak mendapat balasan cinta yang sama dari Karan.

"Aku tetap anak Ibu dan Ayah, kan? Walaupun nggak bisa jadi istri Mas Karan, tapi aku tetap bisa menjadi putri kalian, kan? Karena aku hanya punya Ibu dan Ayah sekarang. Aku nggak punya siapapun lagi."

Isak keras Soraya menyambut pernyataan itu. Ia meraih Kiran dan mendekapnya erat-erat. Keduanya saling tenggelam dalam tangis tanpa kata-kata hingga beberapa saat lamanya. Sementara Herman hanya mampu menepuk lembut punggung perempuan muda yang ia sayangi itu.

"Kiran selalu jadi putri kecil kami," bisik Soraya di sela-sela sedu sedan. "Itu nggak akan pernah berubah."

Kiran lepas pelukannya. Seraya tersenyum, ia menghapus air mata di pipi sang ibu mertua. Meski rasa sakit karena perlakuan Karan semalam masih membekas, namun kini ada rasa lega yang menyelimuti hatinya. Walau harus kehilangan suami, setidaknya ia tidak harus kehilangan orang tua.

"Dan Ki, ke mana Karan sekarang? Kenapa hanya kamu yang datang buat jelasin ini sama Ayah Ibu? Waktu seperti ini, seharusnya kalian datang bareng. Apa Karan nggak mau datang?" Herman kembali melayangkan pertanyaan yang sudah pasti sulit Kiran jawab. Ia menelan saliva, menata hati untuk menyatakan dusta yang selanjutnya kepada ayah mertuanya.

"Apa Karan nggak mau ketemu sama ayah ibunya sendiri, Ki?"

"Mas Karan, itu, sebenernya–"

Kata-kata Kiran terpotong segera oleh deru mesin mobil yang terdengar di halaman rumah. Perempuan itu menoleh karena refleks. Dan benar, SUV hitam milik Karan telah berhenti di pelataran depan. Demi Tuhan, hati Kiran seperti jatuh dari tempatnya bertengger. Bagaimana jika–

"Karan dateng?" Soraya bergegas berdiri untuk melihat keluar. "Karan dateng sama siapa, itu?"

Benar. Perempuan itu ikut serta. Nevia. Susah payah Kiran merangkai kata-kata dusta kepada orangtuanya agar Karan tidak mendapat masalah besar, namun lihatlah, yang bersangkutan justru dengan amat sangat santai menyerahkan diri. Lelaki itu menggandeng tangan Nevia untuk memasuki rumah.

"Karan?" Soraya seketika menyambut dengan pertanyaan ketika sang putra sudah tiba di hadapannya. "Karan, siapa itu? Kenapa kamu gandeng-gandeng tangannya begitu?"

Soraya tampak berusaha keras menutupi rasa shock-nya. Sorot matanya nanar menatap sang putra yang tampak salah tingkah.

"Kiran baru aja bilang sama kami. Dia bilang kalau mau pisah sama kamu karena kalian nggak saling cocok. Jadi ternyata ini yang bikin nggak cocok?"

Bencana. Wajah Nevia seketika pucat pasi. Entah ekspektasi apa yang sudah Karan yakinkan kepadanya, sehingga melihat reaksi ibu sang kekasih yang seperti ini, perempuan itu menjadi sangat terkejut.

"Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status