**
"Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"Soraya menunjuk muka putra semata wayangnya yang saat itu masih terpaku di ambang pintu. Belum sempat masuk apalagi mendudukkan diri di atas sofa, ia sudah disambut oleh hawa-hawa kemarahan dari ibunya."Jadi ini yang bikin Kiran sampai minta berpisah sama kamu, ha? Ibu nggak nyangka, Kar! Bisa-bisanya!"Karan menyipitkan mata. Atensinya melayang dan jatuh kepada Kiran yang seketika gemetar karena situasi tidak kondusif itu."Apa aja yang udah diceritain perempuan itu sama Ibu?" Ia berucap dengan nada suara sedingin es kutub."Apa maksudmu?""Apa aja yang udah dia aduin? Dia udah kasih pengaruh buruk ke Ayah sama Ibu dengan sandiwaranya? Berlagak seakan dirinya yang paling teraniaya?"Demi Tuhan! Kiran sampai terhenyak kaget mendengar tuduhan tak berdasar yang barusan dialamatkan kepadanya. Ia menggeleng kuat-kuat."Mas, aku nggak–""Apa? Nggak apa? Masih mau mengelak? Hal buruk apa aja yang udah kamu ceritain sama Ibu tentang Nevia? Dasar tukang cari muka!"Air mata yang belum juga surut itu kini terpaksa harus jatuh lagi. Kiran sebenarnya bukan perempuan cengeng yang gampang menangis. Namun sungguh, sejak kemarin Karan terus saja menghantam pertahanannya dengan kata-kata dan perlakuan yang nyaris tidak bisa ia toleransi."Mas, aku sama sekali nggak cerita apapun sama Ibu.""Bullshit! ""Karan!" Soraya menegur keras. Semakin ke sini semakin tidak menyangka bahwa putranya yang selalu manis dan lembut itu bisa bersikap sekasar itu. "Karan, apa sih yang mengganggu pikiranmu? Ibu nggak percaya kamu bisa berkata sekasar itu sama Kiran! Asal kamu tau, Kiran itu justru berusaha nutupin semuanya! Dia hanya bilang kalian nggak saling cocok lagi. Dia sama sekali nggak menyinggung tentang perempuan lain!"Sebenarnya, Karan terkejut juga saat mendengar kata-kata ibunya. Sedikitnya tidak percaya bahwa Kiran masih berusaha menutupi perbuatannya. Namun, reaksi penuh tanya dari Soraya ketika baru melihat Nevia tadi, sepertinya menjadi bukti valid bahwa Kiran memang tidak menceritakan apapun. Nah, terlanjur. Karan sudah meneriakkan tuduhan-tuduhan jahat kepada Kiran, dan rasa gengsi membuatnya tidak akan menarik kata-katanya kembali."Jawab pertanyaan Ibu, jadi ini alasanmu? Ini yang membuat rumah tanggamu rusak?" Sekali lagi, Soraya menunjuk murka muka putranya. Wajah wanita itu tampak merah padam."Ibu ...." Kiran mencoba menenangkan. "Ibu, aku nggak apa-apa. Nggak perlu semarah itu sama Mas Karan. Kita udah sepakat masalah ini–""Kesepakatan macam apa, Ki?" sela Soraya dengan suara keras. "Ibu sama sekali nggak liat ada kesepakatan di antara kalian. Yang bisa Ibu liat, dia mengusirmu dengan terang-terangan!"Kiran terdiam mendengar itu. Sebenarnya memang benar, kan? Memang seperti itu yang terjadi. Meski tanpa kata-kata verbal, namun Karan telah mengusirnya pergi."Ibu, kasih kesempatan buat Karan bicara." Akhirnya, Herman menengahi dengan bijaksana. Meski tak bisa dipungkiri juga, raut wajahnya terlihat menegang. "Kita dengar apa alasannya melakukan ini. Jadi, apa pembelaanmu, Karan?"Lelaki tampan itu membuang napas dengan kesal. Sementara Nevia yang berada di sampingnya sama sekali tak mengeluarkan suara."Sebelumnya kenalkan dulu, Ayah, Ibu. Ini adalah Nevia. Karan udah lama punya hubungan sama dia. Udah sejak tahun terakhir kuliah.""Kenapa nggak pernah ngomong masalah ini, ha?" Soraya histeris lagi. "Kenapa kamu setuju menikah sama Kiran kalau gitu? Ibu sungguh nggak ngerti apa maumu, Kar!"Dia mau tetap menjalin hubungan dengan pacarnya, tapi juga tidak mau menceraikan aku, Bu. Lihat betapa egoisnya putramu."Karena Ayah sama Ibu selalu ribut sendiri masalah perjodohan ini. Apa Ibu pernah tanya, apakah aku setuju atau enggak menikah sama dia? Enggak, kan? Semuanya terserah kalian. Aku yang jalani, tapi kalian nggak pernah mau tau sama perasaanku.""Karan, Ya Tuhan!" Soraya menangis tergugu. Benar-benar tidak mengira putranya bisa bersikap sejauh ini. Kiran mendekatinya dengan iba. Merangkul pundak sang ibu mertua dengan rasa terluka yang sama. "Karan, seenggaknya keadaannya nggak akan seperti ini kalau kamu ngomong dulu. Kamu nggak mikir kah gimana perasaan Kiran?""Ibu, aku nggak apa-apa.""Kamu keterlaluan!"Kiran yang awalnya tidak apa-apa, jadi turut tergugu sebab menyaksikan ibu mertuanya yang berurai air mata. Bisa Kiran rasakan betapa kecewanya Soraya. Namun lihatlah, sang putra tampaknya akan tetap berada di atas pendiriannya sendiri."Ibu, Karan minta maaf. Karan bener-bener minta maaf." Akhirnya, setelah beberapa saat waktu hanya terisi dengan isak tangis, Karan mampu mengucapkan kata maaf."Maaf sekali lagi. Tapi kalau harus tetap bersama Kiran dan meninggalkan Nevia, Karan nggak bisa, Bu. Nggak akan pernah bisa."Sudah sangat jelas, kan? Kiran bukanlah apa-apa. Perempuan itu menghela napas panjang, mencoba berbesar hati. Sementara masih menepuk-nepuk pelan bahu Soraya."Ibu, aku nggak apa-apa, kok. Yang sudah ya sudah biarlah, Bu. Mungkin jalan terbaiknya memang seperti ini. Mungkin perempuan yang terbaik buat Mas Karan memang Nevia. Kita doakan aja supaya mereka berdua selalu berbahagia."Itu bukan omong kosong. Bukan hanya manis-manis di mulut semata. Kiran mengucapkannya dari hati yang terdalam. Meski ia pikir segenap perasaannya remuk redam, tapi ia tulus berharap kebahagiaan selalu untuk hidup suaminya, yang sebentar lagi akan menjadi mantan."Baiklah kalau begitu maumu, Kar." Soraya kemudian berkata setelah menghela napas panjang. Ia menegakkan tubuh, menjatuhkan tatapan tajam lurus kepada putranya. "Baiklah kalau memang itu maumu, Ibu nggak akan menghalangi lagi. Silakan kamu lakukan apapun yang kamu inginkan."Terdengar seperti berita buruk. Kiran sungguh berharap Soraya tidak mengucapkan kata-kata yang–"Tapi satu hal, Karan. Satu hal yang harus kamu ingat baik-baik. Setelah ini, silakan kamu urus sendiri semua masalahmu. Kamu urus sendiri hidup kamu. Ibu nggak akan pernah lagi ikut campur apapun. Kamu bukan lagi putra Ibu."Tersentak, terkesiap tentu saja. Karan serta merta memandang lurus sang ibunda dengan sorot mata paling terluka di dunia."Ibu, jangan ngomong begitu, Ibu." Kiran mencoba negosiasi meski nampaknya sia-sia saja. "Ibu masih emosi, jadi mungkin nggak bisa mikir jernih. Gimana kalo kita masuk aja ke kamar dulu. Ibu tenangin diri dulu.""Ibu egois!"Tuhan! Saat Kiran berusaha meredam emosi sang Ibu, mengapa Karan justru sengaja menyiram bensin ke dalam bara api?"Karan! Jangan bentak Ibu begitu!" Herman menyahut, turut tersulut emosi pula."Karan cinta sama Nevia dan hanya bisa bahagia sama dia, Bu. Apakah itu kesalahan yang sangat-sangat besar sampai Ibu bisa berkata seperti tadi? Apa Karan sama sekali nggak boleh memilih jalan hidup sendiri?"Kiran menggelengkan kepala keras-keras, berharap Karan berhenti mengoceh. Pun berusaha menuntun Soraya untuk masuk ke kamar saja."Boleh." Untuk kali terakhir, Soraya menunjuk putranya. "Ibu udah bilang silakan. Silakan lakukan apapun yang kamu mau. Dan silakan pergi dari rumah ini sekarang juga. Bawa serta pacarmu!"*****"Silakan kamu bawa pergi pacarmu!"Karan merasa emosi menggelegak naik hingga mencapai puncak kepalanya saat mendengar ibunya berkata demikian. Soraya benar-benar lebih berat kepada Kiran. Kiran yang notabene bukanlah siapa-siapanya, daripada kepada dirinya yang adalah putra kandung satu-satunya."Karan yakin, Ibu akan menyesali hari ini." Lelaki rupawan itu berkata pelan dengan tajam sebelum menggandeng kekasihnya untuk menjauh dari ruang tamu."Nggak akan.""Karan nggak akan lagi menemui ibu untuk alasan apapun.""Ibu, Ibu nggak ingin ini terjadi, kan?" Sementara itu Kiran masih mencoba membujuk. Siapa tahu saja Soraya berubah pikiran dan mau menarik kembali kata-katanya. "Mas Karan tenang aja. Ini cuma emosi sesaat. Nanti kalau Ibu udah tenang, Mas Karan balik aja ke sini. Kita omongin lagi semuanya baik-baik.""Kiran, berhenti belain dia!" timpal Soraya, masih dengan emosi. "Dia udah jelas-jelas jahat sama kamu, kenapa kamu masih terus belain dia begitu?"Kiran hanya menggeleng
**"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya."Mbaknya kenal sama korban?""Keluarganya, ya?""Oh, syukurlah ada yang kenal.""Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu."Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat
**"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang."Selamat pagi, Ibu."Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki
**"Kamu siapa?"Kiran terkesiap. Kain lap yang sedang ia pegang menggelincir dan jatuh dari tangan ke atas lantai. Kedua matanya terbelalak dengan mulut terbuka."M-Mas, jangan bercanda.""Kamu si-siapa ... ugh!" Karan tiba-tiba menampakkan ekspresi kesakitan dengan tangan menekan sebelah kepala. Membuat panik perempuan di depannya."Mas Karan!""Sa-sakit ....""Sebentar, tunggu sebentar. Tenang di sini ya, Mas. Bentar lagi perawatnya dateng. Mana yang sakit? Ini?"Kiran memijit-mijit dengan lembut pelipis Karan yang sedang lelaki itu tekan kuat-kuat. Menggenggam tangan besarnya yang gemetaran agar tetap tenang. Sampai kemudian dua orang perawat yang datang, terbelalak terkejut."Kenapa lama banget?" Kiran bertanya dengan nada agak keras. Bukan maksudnya bersikap tidak sopan. Hanya refleks sebab ia sedang panik bukan main. "Suami saya udah sadar tapi dia kesakitan gini. Tolong, Sus!""Saya panggil dokter, Bu." Salah seorang perawat melesat berlari keluar, sementara yang seorang lagi
**"Maaf aku baru datang sekarang. Aku sama sekali nggak denger berita apapun tentang ini. Aku baru pulang dari luar kota."Kiran mundur selangkah. Iris gelapnya bergetar saat melihat entitas cantik itu mengayun langkah dengan tergesa untuk mendekati suaminya."Ya Tuhan, Karan! Gimana bisa, sih? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu–" kata-kata Nevia lindap sebelum berakhir karena ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh Karan, lelaki itu justru mundur menjauh dan melayangkan tatapan penuh tanya."Karan? Kenapa? Kamu nggak mau aku pegang?" Nevia memastikan melangkah ke depan sekali lagi, dan lelaki di hadapannya pun mundur sekali lagi pula."Karan ini aku!""Kamu siapa?"Seperti halnya Kiran saat pertama kali mengetahui hal ini, Nevia pun tampak begitu heran dan terpukul. Kedua netra cantiknya terbelalak lebar."Karan! Ini nggak lucu!""Kamu siapa?""Aku kekasihmu! Kita udah lima tahun pacaran! Jangan bikin kesabaranku habis,Kar!""Suruh dia pergi, kepalaku pusing." Karan mundur ke arah d
**"Jadi, kenapa kamu bilang ini kamarku dan kamarmu ada di tempat lain? Bukankah seharusnya kita cuma punya satu?"Kiran terkesiap. Tidak mengira laki-laki yang sedang menatapnya dengan sorot mata polos itu akan bertanya demikian."Kiran? Kok diem? Apa aku salah tanya?" Karan berkata dengan nada khawatir kali ini. Kedua alisnya menukik turun, membuat wajahnya jadi kekanakan."Aah ... sebenernya kita emang ... punya kamar sendiri-sendiri, Mas.""Kok begitu? Katamu kita ini suami istri? Kamu bohongin aku, kah?""Nggak, nggak. Ini agak ...." Bagaimana menjelaskannya? Kiran menilai kondisi suaminya saat ini belum memungkinkan untuk menerima informasi yang agak mengejutkan. Cerita pernikahan mereka, misalnya. "Jangan mikir yang aneh-aneh, Mas. Karena kita masih berdua di rumah ini, maka aku sering pakai kamar itu buat kerja atau rebahan aja biar nggak ganggu istirahat kamu.""Bener begitu?"Kiran mengangguk dengan senyum merekah. Ia kembali melangkah mendekat dan menyusul Karan duduk di t
**Seperti inikah suasana malam pertama?Kiran menepuk pipinya sendiri, mengusir pemikiran konyol yang secara tiba-tiba menghinggapi benaknya. Bisa-bisanya ia terpikir malam pertama saat suaminya sedang dalam keadaan sakit begini."Kamu capek banget, kah?" Karan bertanya dengan wajah bersungguh-sungguh. "Ini karena aku, kan? Kamu kurang istirahat karena ngerawat aku di rumah sakit berhari-hari."Itu benar. Kiran bisa merasakan kepalanya sering pusing sebab tekanan darahnya menurun. Rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tidur. Namun, perempuan itu tetap tersenyum kepada sang suami."Enggak, Mas. Nggak apa-apa. Itu udah kewajibanku ngerawat kamu. Biar kamu cepet sehat lagi.""Maaf aku banyak merepotkan ya, Ki. Aku beruntung kamu yang ada di sampingku saat keadaannya seperti ini."Oh, Ya Tuhan. Benarkah Karan Raditya Gathfan bisa berucap seperti itu? Kiran lagi-lagi tak bisa menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Sini, Ki. Lebih dekat, sini. Kenapa kamu kesannya yang jaga jarak ba
**Kiran memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Barangkali ia memang salah, karena dari awal kekasih Karan adalah Nevia, bukan dirinya. Namun, untuk saat ini, ia benar-benar tidak ingin mengizinkan perempuan itu untuk menemui suaminya lagi. Kiran belum lupa bagaimana Karan kesakitan saat terakhir kali Nevia menemuinya."Kiran? Kamu kok di sini?"Perempuan itu terhenyak saat sebuah suara terdengar memecah keheningan. Ia menoleh ke arah tangga, di mana sang suami sudah berdiri di sana dengan alis menukik turun."Kamu bilang nggak akan pindah kamar, kan? Kamu bilang akan temenin aku?""Aku cuma bikin minuman hangat, Mas. Nggak ke mana-mana, kok." Kiran tersenyum, ia menunjuk cangkir cokelat panas yang berada di tangannya."Tengah malam begini?""Sebenarnya, aku memang lagi nggak bisa tidur.""Apa karena aku? Apa aku mendengkur atau sesuatu?"Kiran terpaksa tertawa kecil. Ini sungguh hal baru. Menghadapi Karan yang biasanya sedingin es kutub, kini menjadi cerewet dan polos."Bukan. Seb