Share

9. Sebuah Keputusan

**

"Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"

Soraya menunjuk muka putra semata wayangnya yang saat itu masih terpaku di ambang pintu. Belum sempat masuk apalagi mendudukkan diri di atas sofa, ia sudah disambut oleh hawa-hawa kemarahan dari ibunya.

"Jadi ini yang bikin Kiran sampai minta berpisah sama kamu, ha? Ibu nggak nyangka, Kar! Bisa-bisanya!"

Karan menyipitkan mata. Atensinya melayang dan jatuh kepada Kiran yang seketika gemetar karena situasi tidak kondusif itu.

"Apa aja yang udah diceritain perempuan itu sama Ibu?" Ia berucap dengan nada suara sedingin es kutub.

"Apa maksudmu?"

"Apa aja yang udah dia aduin? Dia udah kasih pengaruh buruk ke Ayah sama Ibu dengan sandiwaranya? Berlagak seakan dirinya yang paling teraniaya?"

Demi Tuhan! Kiran sampai terhenyak kaget mendengar tuduhan tak berdasar yang barusan dialamatkan kepadanya. Ia menggeleng kuat-kuat.

"Mas, aku nggak–"

"Apa? Nggak apa? Masih mau mengelak? Hal buruk apa aja yang udah kamu ceritain sama Ibu tentang Nevia? Dasar tukang cari muka!"

Air mata yang belum juga surut itu kini terpaksa harus jatuh lagi. Kiran sebenarnya bukan perempuan cengeng yang gampang menangis. Namun sungguh, sejak kemarin Karan terus saja menghantam pertahanannya dengan kata-kata dan perlakuan yang nyaris tidak bisa ia toleransi.

"Mas, aku sama sekali nggak cerita apapun sama Ibu."

"Bullshit! "

"Karan!" Soraya menegur keras. Semakin ke sini semakin tidak menyangka bahwa putranya yang selalu manis dan lembut itu bisa bersikap sekasar itu. "Karan, apa sih yang mengganggu pikiranmu? Ibu nggak percaya kamu bisa berkata sekasar itu sama Kiran! Asal kamu tau, Kiran itu justru berusaha nutupin semuanya! Dia hanya bilang kalian nggak saling cocok lagi. Dia sama sekali nggak menyinggung tentang perempuan lain!"

Sebenarnya, Karan terkejut juga saat mendengar kata-kata ibunya. Sedikitnya tidak percaya bahwa Kiran masih berusaha menutupi perbuatannya. Namun, reaksi penuh tanya dari Soraya ketika baru melihat Nevia tadi, sepertinya menjadi bukti valid bahwa Kiran memang tidak menceritakan apapun. Nah, terlanjur. Karan sudah meneriakkan tuduhan-tuduhan jahat kepada Kiran, dan rasa gengsi membuatnya tidak akan menarik kata-katanya kembali.

"Jawab pertanyaan Ibu, jadi ini alasanmu? Ini yang membuat rumah tanggamu rusak?" Sekali lagi, Soraya menunjuk murka muka putranya. Wajah wanita itu tampak merah padam.

"Ibu ...." Kiran mencoba menenangkan. "Ibu, aku nggak apa-apa. Nggak perlu semarah itu sama Mas Karan. Kita udah sepakat masalah ini–"

"Kesepakatan macam apa, Ki?" sela Soraya dengan suara keras. "Ibu sama sekali nggak liat ada kesepakatan di antara kalian. Yang bisa Ibu liat, dia mengusirmu dengan terang-terangan!"

Kiran terdiam mendengar itu. Sebenarnya memang benar, kan? Memang seperti itu yang terjadi. Meski tanpa kata-kata verbal, namun Karan telah mengusirnya pergi.

"Ibu, kasih kesempatan buat Karan bicara." Akhirnya, Herman menengahi dengan bijaksana. Meski tak bisa dipungkiri juga, raut wajahnya terlihat menegang. "Kita dengar apa alasannya melakukan ini. Jadi, apa pembelaanmu, Karan?"

Lelaki tampan itu membuang napas dengan kesal. Sementara Nevia yang berada di sampingnya sama sekali tak mengeluarkan suara.

"Sebelumnya kenalkan dulu, Ayah, Ibu. Ini adalah Nevia. Karan udah lama punya hubungan sama dia. Udah sejak tahun terakhir kuliah."

"Kenapa nggak pernah ngomong masalah ini, ha?" Soraya histeris lagi. "Kenapa kamu setuju menikah sama Kiran kalau gitu? Ibu sungguh nggak ngerti apa maumu, Kar!"

Dia mau tetap menjalin hubungan dengan pacarnya, tapi juga tidak mau menceraikan aku, Bu. Lihat betapa egoisnya putramu.

"Karena Ayah sama Ibu selalu ribut sendiri masalah perjodohan ini. Apa Ibu pernah tanya, apakah aku setuju atau enggak menikah sama dia? Enggak, kan? Semuanya terserah kalian. Aku yang jalani, tapi kalian nggak pernah mau tau sama perasaanku."

"Karan, Ya Tuhan!" Soraya menangis tergugu. Benar-benar tidak mengira putranya bisa bersikap sejauh ini. Kiran mendekatinya dengan iba. Merangkul pundak sang ibu mertua dengan rasa terluka yang sama. "Karan, seenggaknya keadaannya nggak akan seperti ini kalau kamu ngomong dulu. Kamu nggak mikir kah gimana perasaan Kiran?"

"Ibu, aku nggak apa-apa."

"Kamu keterlaluan!"

Kiran yang awalnya tidak apa-apa, jadi turut tergugu sebab menyaksikan ibu mertuanya yang berurai air mata. Bisa Kiran rasakan betapa kecewanya Soraya. Namun lihatlah, sang putra tampaknya akan tetap berada di atas pendiriannya sendiri.

"Ibu, Karan minta maaf. Karan bener-bener minta maaf." Akhirnya, setelah beberapa saat waktu hanya terisi dengan isak tangis, Karan mampu mengucapkan kata maaf.

"Maaf sekali lagi. Tapi kalau harus tetap bersama Kiran dan meninggalkan Nevia, Karan nggak bisa, Bu. Nggak akan pernah bisa."

Sudah sangat jelas, kan? Kiran bukanlah apa-apa. Perempuan itu menghela napas panjang, mencoba berbesar hati. Sementara masih menepuk-nepuk pelan bahu Soraya.

"Ibu, aku nggak apa-apa, kok. Yang sudah ya sudah biarlah, Bu. Mungkin jalan terbaiknya memang seperti ini. Mungkin perempuan yang terbaik buat Mas Karan memang Nevia. Kita doakan aja supaya mereka berdua selalu berbahagia."

Itu bukan omong kosong. Bukan hanya manis-manis di mulut semata. Kiran mengucapkannya dari hati yang terdalam. Meski ia pikir segenap perasaannya remuk redam, tapi ia tulus berharap kebahagiaan selalu untuk hidup suaminya, yang sebentar lagi akan menjadi mantan.

"Baiklah kalau begitu maumu, Kar." Soraya kemudian berkata setelah menghela napas panjang. Ia menegakkan tubuh, menjatuhkan tatapan tajam lurus kepada putranya. "Baiklah kalau memang itu maumu, Ibu nggak akan menghalangi lagi. Silakan kamu lakukan apapun yang kamu inginkan."

Terdengar seperti berita buruk. Kiran sungguh berharap Soraya tidak mengucapkan kata-kata yang–

"Tapi satu hal, Karan. Satu hal yang harus kamu ingat baik-baik. Setelah ini, silakan kamu urus sendiri semua masalahmu. Kamu urus sendiri hidup kamu. Ibu nggak akan pernah lagi ikut campur apapun. Kamu bukan lagi putra Ibu."

Tersentak, terkesiap tentu saja. Karan serta merta memandang lurus sang ibunda dengan sorot mata paling terluka di dunia.

"Ibu, jangan ngomong begitu, Ibu." Kiran mencoba negosiasi meski nampaknya sia-sia saja. "Ibu masih emosi, jadi mungkin nggak bisa mikir jernih. Gimana kalo kita masuk aja ke kamar dulu. Ibu tenangin diri dulu."

"Ibu egois!"

Tuhan! Saat Kiran berusaha meredam emosi sang Ibu, mengapa Karan justru sengaja menyiram bensin ke dalam bara api?

"Karan! Jangan bentak Ibu begitu!" Herman menyahut, turut tersulut emosi pula.

"Karan cinta sama Nevia dan hanya bisa bahagia sama dia, Bu. Apakah itu kesalahan yang sangat-sangat besar sampai Ibu bisa berkata seperti tadi? Apa Karan sama sekali nggak boleh memilih jalan hidup sendiri?"

Kiran menggelengkan kepala keras-keras, berharap Karan berhenti mengoceh. Pun berusaha menuntun Soraya untuk masuk ke kamar saja.

"Boleh." Untuk kali terakhir, Soraya menunjuk putranya. "Ibu udah bilang silakan. Silakan lakukan apapun yang kamu mau. Dan silakan pergi dari rumah ini sekarang juga. Bawa serta pacarmu!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status