Pandu duduk di kursi taman, melipat kakinya. Matanya terpejam menikmati terpaan sinar matahari pagi dan angin yang begitu sejuk.
“Apa yang terjadi?” Tanya Pandu tiba-tiba.
Renata mengerjap kaget setelah menatap Pandu cukup lama, “apa?”
Pandu memajukan tubuhnya untuk mengamati wajah Renata dengan jarak dekat, “kamu sedang sedih Renata, terlihat jelas,” gadis itu menarik tubuhnya sedikit ke belakang karena merasa jengah.
Renata diam, ia masih harus mempertimbangkan cerita Haris-Siska. Ia tidak ingin Pandu berpikir bahwa ia masih menyukai Haris, ya walupun masih, sedikit.
“Ceritakan saja padaku.”
Renata akhirnya bercerita mengenai segal
“Hormat gerak!” Teriak salah seorang teman Renata di tengah lapangan. Seluruh siswa-siswi SMA Harapan serentak mengangkat tangan, hormat kepada bendera yang sedang di gerek para petugas. Baru setengah tiang, kepala Renata kembali berdenyut. Sejak tadi pagi, kepalanya memang terasa pusing sekali. “Mau ku antar ke UKS?” Dena mulai khawatir. “Nggak, makasih Den. Aku bisa sendiri.” Tolak Renata halus. “Oke, tapi hati-hati ya.” Sebenarnya dia juga ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja di UKS. “Renata?” Seseorang yang sebenarnya sedang ingin dihindarinya malah m
Renata menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur. Sejenak memikirkan kembali obrolannya dengan Dena. Anehnya, semakin dilarang, rasanya semakin ia ingin bertemu dengan sosok Pandu itu sekali lagi. Ia menggeleng, berusaha mengalihkan pikirannya. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya, mandi, kemudian belajar mempersiapkan ulangannya besok. Sudah pukul sembilan, matanya kini benar-benar terasa berat. Renata yakin kelelahan bisa membuatnya tidur lebih nyenyak. Namun perkiraannya salah, ia justru sadar dalam tidurnya. Kini ia berjalan di lorong gelap. Renata merasa janggal, karena sejauh apa pun ia berlari, semuanya gelap.
“Ren, kamu yakin?” tanya Dena khawatir. Renata memandang Dena ragu, kemudian mengangguk. "Aku akan mencobanya sekali lagi, nanti. Setelah aku mengerti cara kerja proyeksi astral yang kamu ceritakan itu." - Sudah seminggu Renata berhenti berani bermain-main dengan proses tidurnya.Kini ia sedang disibukkan dengan persiapan menjelang ujian tengah semester yang sebentar lagi akan dihadapinya. Sesekali tubuh “lain”nya itu memang terpisah saat Renata tertidur. Tapi ia malah menggunakan tubuhnya untuk belajar. Membaca beberapa materi yang masih belum ia mengerti. “Besok-besok jika aku terbangun dalam keadaan seperti ini lagi, lebih baik
Sepanjang sore itu dihabiskan Renata dengan melamun, tentang apa saja. Ia membebaskan pikirannya kemanapun sesukanya. Ia sedang tidak dalam kondisi perasaan yang baik untuk melakukan apapun. Semua dimatanya salah. Bunyi berisik yang ditimbulkan angin sore juga salah, termasuk senja yang tak begitu tampak karena awan gelap sedang menyelimuti langit sore ini.Perasaannya benar-benar buruk setelah bertemu orang itu. Renata ingin menghapus setiap memori yang berisi tentang ia dan Haris.Renata gusar, ia tak tenang. Ia kesal dan marah. Tapi ia hanya terdiam, bahkan untuk melampiaskan berbagai perasaan itu ia tak tahu bagaimana caranya.Seandainya sekali saja ia bisa kembali mengalami lucid dream. Sekali saja, hanya untuk berteriak sekencang-kencangnya. Ia hanya perlu melakukan itu.
Renata menurunkan buku yang sejak tadi menutup wajahnya. Ia melirik ke sekeliling perpustakaan, sepi."Tadi malam aku melakukannya lagi. Tapi, aku bertemu Pandu." Kata Renata berbisik.Dena melirik sekilas kemudian kembali sibuk dengan bukunya, "kau yakin? Mungkin itu cuman mimpi."“Beneran, sumpah!”Dena mendesah ragu.Renata mengacak-acak rambutnya gusar. “Tadi malam aku tidak bisa mengatur apapun. Kalau itu hanya bagian dari lucid dream, seharusnya aku bisa mengatur banyak hal kan? Dan sebelum pertemuan dengan Pandu itu, aku juga ke rumah Haris. Semuanya jelas sekali."Dena menoleh, "baiklah. Baik. Kita pastikan dulu, itu mimpi atau bukan."
Semua kejadian belakangan ini mengganggu Renata dan mengacaukan emosinya. Ia bahkan mendorong Desty karena menjegal kakinya hingga terjatuh. Renata bahkan menghabiskan waktu istirahatnya dengan menangis di dalam toilet setelah Haris dan Siska Dena membelai lembut punggung Renata, berusaha menenangkan. “Mungkin aku cuman perlu tidur. Sorry Den." “It's okay. Kurang tidur memang bikin orang sensitif.” Kata Dena maklum. Renata menyuci mukanya kemudian berjalan keluar bersama Dena yang menggandeng tangannya. - Sepanjang siang Renata tidur hingga malam tiba ia masih tertidur. Ibunya sempat membangunkannya namun hanya ditanggapi sebentar, kemudian ia kembali tertidur.
Desty ternyata bisa melakukan hal yang sama seperti dirinya. Sekilas gadis itu bahkan sempat menatapnya, sebelum akhirnya tubuh Renata ditarik paksa masuk ke dalam raganya.Namun ada sesuatu yang mengusik pikiran Renata, karena tepat sebelum raganya benar-benar menyatu ia melihat sekelebat bayangan Pandu di kamarnya.“Pandu?” Panggil Renata saat benar-benar terjaga.Renata mengucek matanya berulangkali memastikan pandangannya. Tetapi tidak ada Pandu disana, hanya dinding kosong.Sebulan berlalu begitu saja, tanpa perjalanan astral ataupun lucid dream. Semua terasa normal, hingga ia menyadari Desty yang sudah tidak lagi mengolok-oloknya. Bahkan saat berpapasan dengannya, Desty menghindari menatap Renata secara langsung.
“Jadi gimana nih?” Renata menggerakan mulutnya tanpa suara ke arah Dena. “Bentar,” jawab Dena juga tanpa suara. Mereka hanya mengandalkan mimik wajah masing-masing agar tidak ditegur petugas perpustakaan. Rak-rak buku tinggi menghalangi mereka dari pandangan Siska dan Haris yang sedang sibuk memilih buku-buku sebagai referensi tugas yang akan mereka kerjakan siang ini. Suasana perpusatkaan sepulang sekolah memang sepi, sehingga akan terlihat 'bukan kebetulan' jika Dena dan Renata bertemu dengan mereka disini. “Terus sekarang apa?” kata Renata menggunakan mimiknya yang otomatis membuat matanya melotot. Dena mengambil ponsel dari dalam saku bajunya sambil sesekali menengok ke