-
Kemampuan mengatur mimpi atau yang sering disebut sebagai Lucid Dream termasuk kedalam cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang mimpi (Oneriologi).
Menjadi seorang oneironaut (pengendali mimpi) bukan sebuah hal yang mustahil. Banyak orang beranggapan bahwa orneironaut memiliki kemampuan sejak lahir, tetapi penelitian telah membuktikan dan beberapa orang telah berhasil melakukannya dengan latihan.
Kunci dari lucid dream adalah konsentrasi dalam menjaga kesadaran saat tidur, sehingga mimpi dapat kita kendalikan sesuai alur yang kita kehendaki.
Namun hanya sedikit orang yang berhasil saat mencobanya pertama kali, karena prosesnya sedikit menakutkan. Apalagi ketika sudah berada pada tahap sleep paralysis, yaitu keadaan dimana kita tidak bisa menggerakkan anggota tubuh.
-
Renata mengerjapkan matanya berulangkali, meski sulit dipercaya, tetapi lucid dream sudah berhasil menarik perhatiannya kali ini.
Dering ponsel mengalihkan perhatiannya.
“Ya?” Renata segera menjawab telepon kakaknya.
“Ketus banget, lagi pms yaaa” goda Tian dengan suara berat.
“Apaan sih?” Renata berdecak kesal.
“Nggak, mau nanyain kabarmu aja, dek. Barusan liat gadis tengil di kampus, makanya tiba-tiba keingat kamu.” Tian terkekeh.
“Naksir?"
Tian tertawa, “lagi ngapain dek?” ia lebih memilih mengalihkan topik.
Renata memasang earphone di telinganya, “Nyuci piring, kakak ngapain?”
“Lagi istirahat nih, bentar lagi kakak ada jam kuliah. Ya udah, kamu baik-baik di rumah ya. Jangan ngerjain yang aneh-aneh. Bye,” sambungan telepon terputus.
Renata tertawa getir.
Semakin banyak ia membaca, dorongan untuk mencobanya semakin kuat. Walaupun ada sedikit ketakutan saat membayangkan dirinya jika tidak bisa bangun lagi saat melakukannya.
Tetapi malam itu tekad Renata sudah bulat, setelah menyelesaikan PR ia mengambil secarik kertas yang berisi catatan beberapa langkah untuk melakukan lucid dream.
Percobaan pertama, Renata membuat tubuhnya relaks. Seluruh otot tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki ia lemaskan. Kemudian Renata menutup matanya, mencoba tenang, tetap fokus pada suara-suara yang ada di sekitarnya.
Kepalanya seperti berputar, ia merasa pusing.
Bunyi benda terjatuh dari loteng membuatnya terkejut. Gagal. Belum sempat Renata berada pada tahap sleep paralysis, ia sudah terbangun lebih dulu dan mendengar suara berisik kucing mengeong di luar rumahnya.
Merasa kesal, Renata menutup telinganya dengan bantal dan tertidur.
“Heh, jongkok gadis manja!” Desty mendorong bahunya kasar.
“Ambil tuh emping, jatuh! Gigit begitu aja susah banget!” Teriaknya lagi.
Ia memungut empingnya dan menggigitnya lagi. Kemudian melanjutkan jalan jongkoknya keliling lapangan SMA Harapan.
Kabut putih memenuhi pandangannya.
Renata berjalan di pinggir lapangan, “kamu ingat, gadis manja anak sepuluh yang kemaren? Ternyata anak pemilik toko buku di depan sekolah loh! Pantesan aja nilainya tinggi terus, udah banyak pegang kunci jawaban tuh!”
Kabut putih sekali lagi membuatnya berpindah ke dalam kantin.
“Ups,” pekik Desty dengan nada yang dibuat-buat, saat menyemprot saus sambal pada baju seragamnya.
Kabut putih kini membuatnya berpindah ke taman belakang sekolah
Renata membuka matanya, mimpi-mimpi buruk itu lagi.
Jam di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul tiga. Ini yang membuatnya sulit tidur dan akhirnya kurang konsentrasi saat di sekolah.
Renata semakin kesal, sekali lagi ia mencoba tidur.
-
Percobaan kedua, Renata memejamkan matanya setelah memastikan semua keadaan aman.
Ia merasa tubuhnya semakin ringan, sampai akhirnya dengungan memenuhi telinganya. Renata berusaha menggerakkan jarinya, tidak bisa. Mungkin ini yang disebut sleep paralysis.
Tetapi kemudian ada bayangan hitam. Ia belum pernah membaca tentang bayangan itu sebelumnya, tubuhnya tegang. Ia ketakutan, ia mengira sosok bayangan itu adalah malaikat pencabut nyawa, jin, roh, setan, atau semacamnya.
Sekali lagi, percobaan Renata gagal. Ia terbangun, kemudian tertidur dengan nyenyak sampai akhirnya serangan mimpi buruk sekali lagi mengganggunya malam ini, dan kali ini mengenai kakaknya.
Ia bermimpi kakaknya kecelakaan. Renata terbangun dan langsung mengambil ponselnya.
Nada dering beberapa saat. Suara Tian terdengar sedang di pinggir jalan.
“Kakak dimana?” Tanyanya gugup.
“Di depan kos, lagi makan bakso. Kenapa dek? Kamu belum tidur? Udah jam dua belas lho ini."
“Makan bakso kok tengah malam, nggak takut yang jualan setan?” Candanya sambil menghembuskan napas lega.
“Biasanya kan pembelinya yang jadi hantu, dek, bukan yang jualan. Yang belakangnya bolong itu kan?” Tian tertawa.
“Yaudah, kalo udah selesai langsung masuk kos. Terus tidur ya, kak?” Pinta Renata sedikit khawatir.
“Iya dek, tidur sana.”
“Iya."
Ia mengirim pesan singkat pada kakaknya.
- Kak, beneran lho ya. Jgn kmn2, hbs mkn lgsg tidur! Firasat lg gak enak nih
- Iya dek, barusan kk diajak temen keluar, tp kk tolak. Ini kk udh mau tidur. G.night my lil sis
Renata tersenyum sebelum memejamkan matanya dan kembali tidur.
Berita buruk, mimpinya semalam ternyata benar-benar hampir terjadi. Tadi sore kakaknya menelepon Renata untuk memberitahu firasat adiknya itu ternyata benar. Rendy, teman satu kos Tian yang kemarin mengajaknya pergi jalan-jalan menikmati suasana malam di Bogor ternyata saat ini sedang berada di rumah sakit, kondisinya cukup parah. Setelah motornya mengalami kecelakaan dengan mobil yang melaju dari arah berlawanan kemarin malam. Renata bergidik ngeri. - Percobaan ketiga dimulai, Renata memejamkan matanya, tubuhnya mencapai relaksasi maksimal, dengan bantuan musik instrumen. Ia semakin mengantuk tetapi telinganya masih fokus. Pikirannya masih aktif, tetapi tubuhnya mulai lemas. Renata tidak bisa merasakan tubuhnya bergerak, dan kemudian cahaya terang memenuhi pandangannya. Perlahan-lahan semuanya jelas. Satu-persatu objek mulai bermunculan. Lemari kusam berada di depannya. Tempat tidur yang sedang ia tempati, pintu keluar di samping lema
Renata memperhatikan laki-laki itu dari atas sampai bawah. Ia manis dan tidak begitu asing.“Kamu siapa?” Tanya Renata bingung.Penampilan laki-laki itu begitu sederhana, ia hanya memakai kaos polos, celana pendek, serta sandal jepit di kakinya.Bukannya menjawab pertanyaannya, laki-laki itu malah duduk di sampingnya, kemudian tersenyum sambil memandang laut biru yang terbentang luas di depan mereka.“Udah puas nangisnya?” Tanyanya."Ya. Kamu siapa?” Ulangnya.“Entahlah, aku juga nggak tahu,” jawabnya kini memandan Renata teduh.Renata memandang laki-laki itu lama sebelum ia kembali
“Renata?”“Ya,” jawab Renata sambil tersenyum.“Sudah lama disini?” Tanya laki-laki itu dengan pakaian yang sama seperti kemarin.“Lumayan,” balas Renata mengalihkan pandangannya pada lautan lepas.Malam ini Renata kembali mengatur mimpinya agar bisa bertemu laki-laki itu. Masih di tempat yang sama. Dermaga yang pernah ia lihat di tayangan televisi, entah di negara bagian mana, yang jelas ia suka sekali tempat ini.“Bagaimana keadaanmu hari ini?”“Sedikit lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Aku terlalu penasaran denganmu, jadi aku lupa meladeni celaan Desty dan sikap menyebalkan romeo-juliet di kelasku.&rdqu
“Pandu?” Bisik Renata. Laki-laki itu sedang dalam posisi tiarap seperti dirinya, mereka sama-sama bersembunyi di kolong tempat tidur. Langkah kaki terdengar semakin jauh, Renata kini bisa dengan bebas berbicara walaupun masih dengan suara pelan. “Kamu darimana?” Renata bersungut kesal. Bisa-bisanya laki-laki itu meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. “Maaf,” kata Pandu menyesal. “Tapi Renata, semuanya baik-baik saja, kamu bisa melakukan apapun disini. Termasuk melawan para Jepang itu.” Kata Pandu yakin. Renata mengangkat kedua alisnya, masih kurang yakin terhadap kemampuannya. “Coba lihat kursi di sebelah sana,” tunjuk Pandu pada sebuah kursi kayu yang bersandar pada din
Pagi minggu yang cerah gagal menarik perhatian Renata dari layar laptopnya. Gadis itu berencana menghabiskan hari ini dengan mencari lebih banyak tentang kemampuan Oneronaut yang sedang ia pelajari.Sudah dua jam berlalu, Renata sengaja mandi lebih pagi seperti hari-hari biasa ia berangkat sekolah. Padahal khusus hari minggu, gadis itu selalu menetapkan jadwal mandi paginya menjadi diatas jam sebelas.Suara ketukan pintu menghentikan pencarian yang dilakukannya.“Dek?” Panggil Tian dari luar kamar Renata.Renata bergegas membuka pintu kamarnya sedikit, “ya, kak?”“Lagi ngapain?” Tanya Tian penasaran sambil menengok ke dalam kamar adiknya.&ldquo
Pandu duduk di kursi taman, melipat kakinya. Matanya terpejam menikmati terpaan sinar matahari pagi dan angin yang begitu sejuk.“Apa yang terjadi?” Tanya Pandu tiba-tiba.Renata mengerjap kaget setelah menatap Pandu cukup lama, “apa?”Pandu memajukan tubuhnya untuk mengamati wajah Renata dengan jarak dekat, “kamu sedang sedih Renata, terlihat jelas,” gadis itu menarik tubuhnya sedikit ke belakang karena merasa jengah.Renata diam, ia masih harus mempertimbangkan cerita Haris-Siska. Ia tidak ingin Pandu berpikir bahwa ia masih menyukai Haris, ya walupun masih, sedikit.“Ceritakan saja padaku.”Renata akhirnya bercerita mengenai segal
“Hormat gerak!” Teriak salah seorang teman Renata di tengah lapangan. Seluruh siswa-siswi SMA Harapan serentak mengangkat tangan, hormat kepada bendera yang sedang di gerek para petugas. Baru setengah tiang, kepala Renata kembali berdenyut. Sejak tadi pagi, kepalanya memang terasa pusing sekali. “Mau ku antar ke UKS?” Dena mulai khawatir. “Nggak, makasih Den. Aku bisa sendiri.” Tolak Renata halus. “Oke, tapi hati-hati ya.” Sebenarnya dia juga ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja di UKS. “Renata?” Seseorang yang sebenarnya sedang ingin dihindarinya malah m
Renata menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur. Sejenak memikirkan kembali obrolannya dengan Dena. Anehnya, semakin dilarang, rasanya semakin ia ingin bertemu dengan sosok Pandu itu sekali lagi. Ia menggeleng, berusaha mengalihkan pikirannya. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya, mandi, kemudian belajar mempersiapkan ulangannya besok. Sudah pukul sembilan, matanya kini benar-benar terasa berat. Renata yakin kelelahan bisa membuatnya tidur lebih nyenyak. Namun perkiraannya salah, ia justru sadar dalam tidurnya. Kini ia berjalan di lorong gelap. Renata merasa janggal, karena sejauh apa pun ia berlari, semuanya gelap.