“Ren, bisa kita bicara sebentar?” Haris membelai bahu Renata pelan.
Setelah selesai memasukkan buku-bukunya kembali ke dalam tas, Renata mengangguk. Mereka berjalan keluar kelas.
Sudah sepuluh menit sejak bel pulang berbunyi dan suasana sekolah semakin sepi. Mereka terus berjalan dalam diam melewati beberapa kelas, hingga akhirnya Haris berhenti di taman belakang sekolah.
Disana ternyata sudah ada yang menunggu mereka, Siska, sahabat Renata. Ia berdiri gelisah, beberapa kali memainkan kakinya tak tenang.
“Siska?” Panggil Renata heran.
Siska mendongak, matanya menyiratkan kesedihan. Renata semakin tak mengerti apa yang terjadi disini.
Haris menatap Renata beberapa saat. Ada yang salah, pikir Renata.
Ia benar-benar mengenal Haris, ia sudah menjalin hubungan selama satu setengah tahun dan pandangan itu seperti ketika Haris telah melakukan kesalahan.
Beberapa menit mereka semua terdiam. Sampai akhirnya Renata berhasil memproses semua kejadian aneh belakangan ini. Haris dan Siska memang terasa seperti menjaga jarak dengannya. Ia pikir semua itu biasa saja. Karena kesibukan Haris sebagai dokter remaja yang mulai mengadakan persiapan untuk mengikuti lomba, Renata mengerti. Tetapi Siska, rasanya sudah lama sekali sejak ia datang ke rumah Siska, dan beberapa minggu ini gadis itu selalu menolak ketika ia ingin datang ke rumahnya.
Belum lagi isu yang ia dengar dari teman-temannya yang tanpa sengaja bertemu Haris dan Siska di mall. Saat itu mereka bilang hanya bertemu kebetulan.
Renata semakin ragu. Pikirannya mulai kalut.
“Tunggu, jangan bilang kalau kalian..” Renata belum siap menyelesaikan kalimatnya.
“Ya,” mata Haris meredup saat mengatakannya, ia tahu ini pasti akan menyakiti Renata. Tetapi inilah kenyataanya. Ia punya hubungan yang lebih dengan Siska.
Siska menangis, ia merasa jahat. Namun ia benar-benar tidak sanggup lagi menutupi semua ini.
Renata diam, tangannya bergetar hebat. Ia merasa suhu udara di sekitarnya tiba-tiba menurun drastis, membuatnya menggigil kedinginan. Ia tidak bisa menangis. Lagipula ia tidak tahu apa yang pantas ditangisi dari keadaan seperti ini.
“Aku minta maaf,” kata Haris lemah.
“Beri aku waktu untuk bersikap seolah ini semua biasa saja.” Renata berbalik dan pergi. Seluruh perasaannya terasa beku.
-
Bunyi alarm akhirnya berhasil membangunkan Renata dari mimpi buruk yang sama.
Sudah sebulan sejak peristiwa itu berlalu, tetapi kenangan pahit itu entah mengapa tetap saja bertahan dalam pikirannya, walaupun ia sudah mencoba menerima segala kenyataan yang terjadi diantara mereka.
Mimpi buruk yang sama selalu mengganggu tidurnya setiap malam. Apa yang salah dengan dirinya?
Renata segera bersiap pergi ke sekolah setelah melihat jarum jam yang semakin mepet dengan waktu bel masuk sekolahnya.
Setelah tiba di sekolah, masalah lain yang harus ia hadapi adalah bully dari kakak kelasnya, Desty dan teman-temannya. Sulit bagi Renata menahan diri agar tidak lepas kontrol dan menjambak kakak kelasnya yang menyebalkan itu.
“Liat deh, kaos kakinya tinggi sebelah tuh!” Teriak salah satu gadis di depan kelas, yang kemudian diikuti suara cekikikan dari teman-temannya.
Renata terus berjalan dan mengabaikan mereka.
“Liat deh cara jalannya, kayak bebek! Pantesan diduain Haris” Sekali lagi teman-teman Desty tertawa dengan suara yang sangat menyebalkan.
Sejak pertama kali ia menjejakkan kaki di SMA Harapan, rasanya Desty membuatnya kehilangan harapan menemukan kehidupan SMA yang menyenangkan. Bahkan hingga setahun lebih, Desty masih saja menjadikannya objek hinaan dan sindiran.
Setibanya di kelas, Renata berdecak saat melihat teman duduknya sudah begitu serius membaca buku setebal itu bahkan sebelum bel masuk berbunyi. “Buku baru lagi?”
Dena hanya mengangguk.
“Buku kemarin sudah selesai?” Renata mencoba mengalihkan pandangan dari teman-temannya yang diam-diam melirik ke arahnya saat Siska dan Haris memasuki kelas.
“Iya,” jawabnya singkat. “Abaikan penilaian yang tidak terlalu penting.” Kata Dena tiba-tiba dengan matanya masih fokus pada buku yang sedang ia baca.
“Apa?” Tanya Renata bingung.
“Itu yang tertulis disini,” katanya sambil menunjuk beberapa kalimat dalam bukunya.
“Oh,” Renata mengangguk, kemudian mengambil buku catatan dari dalam tasnya. Pelajaran sebentar lagi di mulai.
-
Renata menghempaskan tasnya di atas tempat tidur dengan kesal, disusul dengan tubuhnya.
Ia mengeluarkan kertas dari dalam saku seragamnya, setelah membukanya untuk kesekian kalinya, nilai 6 dengan warna merah selalu membuatnya jengkel. Nilainya turun drastis selama seminggu ini. Padahal ia sedang menyusun nilai untuk meraih beasiswa.
Mimpi buruk ini harus berakhir, agar konsentrasinya pulih.
Setelah berganti pakaian Renata segera mengambil makan siangnya dan mulai mencari informasi tentang cara mengatur mimpi melalui internet. Ia yakin ada penjelasan logis, entah harus meditasi atau hal-hal psikologis lainnya.
Sebuah kata asing segera memancing rasa ingin tahunya.
Oneironaut.
Dua orang perawat sibuk memindahkan seorang pasien ke dalam ruang ICU. Dokter dan perawat lainnya dengan sigap menyiapkan alat pemicu detak jantung.“Detak jantungnya melemah, Dok!” kata seorang perawat.Sementara yang kini matanya terpejam tidak mendengar suara apa-apa.Kesadarannya hilang seutuhnya.***Renata merasakan badannya terasa lemas, perlahan ada suara yang konstan terdengar. Lalu diikuti suara orang-orang berbisik pelan.Matanya berat sekali untuk dibuka, tapi ia begitu ingin melihat pemilik banyak suara yang ia kenal.“Ren,” panggil Tian khawatir.Renata akhirnya berhasil membuka matanya pelan. Dibalik alat bantu pernafasan bibirnya tersenyum.“Syukurlah kamu sudah sadar.” Kata Dena lega.Sementara Ibunya hanya bisa menangis sambil mengucapkan syukur berulang kali dan Ayahnya menghela napas lega.Kondisi Renata stabil, namun sejak perawat melaporkan kalau ada tanda pergerakan dari jari tangannya. Seluruh keluarganya dan Dena langsung berkumpul di kamar Renata dengan harap
Renata menggenggam beberapa kerikil dalam tangan mungilnya, kemudian melempar satu per satu ke danau. Kerikil itu memantul beberapa kali di atas air sampai akhirnya tenggelam."Hei, kamu terlihat sangat kesepian!" Ucap Bian kecil dengan nada mengejek.Renata mendelik, "Kamu juga!""Kamu betah di sini?""Nggak, tempat ini aneh! Tapi aku malas di rumah, sepi banget.""Iya sih aneh, tapi di sini tenang.""Di rumah kamu berisik?""Iya, banyak yang berantem!"-Sepasang suami istri berdiri di samping tubuh anaknya yang kini sudah begitu dewasa. Mereka menatap pasrah, entah keputusan untuk ikhlas apakah keputusan yang tepat.Sementara pun jika anak mereka terbangun, ada kemungkinan psikologisnya tidak ikut bertumbuh seperti fisiknya.Bian dan Renata mengelilingi area rumah sakit menghabiskan waktu agar tidak terlalu bosan menatapi tu
"Aku nggak akan mau balik, kita disini aja ya main!" "Kakak kamu galak! Aku nggak mau dimarahin lagi!"Suara perempuan terdengar dari kejauhan."Aku mau pulang, aku takut sama kakak kamu.""Jangan tinggalin aku Ren!" "Nanti kan kita bisa main lagi." "Nggak akan bisa, aku mau pergi aja dari sini." * Renata bisa merasakan tubuhnya, tapi ia tidak memiliki tenaga untuk membuka mata. Ia bisa mendengar suara orang tuanya, ia juga bisa mendengar suara mesin dengan nada beraturan. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu dibuka, seseorang melangkah semakin dekat dengannya. "Kondisinya stabil, kita masih harus melakukan pengecekan, semoga semuanya baik-baik saja ya Pak, Bu." Lalu terdengar langkah kaki menjauh, diiringi helaan nafas dari Ayahnya. Bagaimana caranya aku bangun? Renata berpikir begitu lama, sampai ia sendiri bosan. Ia tidak tau sudah berapa lama waktu berlalu, yang ia sadari adalah ia lelah dan mengantuk.Ada banyak suara di kepala Renata. Semuanya terdengar beris
Renata merapatkan jaketnya, sejak pagi hujan turun deras. Meski sudah reda sejak ia pulang sekolah tadi siang, namun hingga sore langit masih mendung dan udara terasa dingin.Ia menghentikan motornya di depan rumah Desty.Renata ragu beberapa saat sebelum menekan bel rumah Desty. Ia melihat garasi rumah yang sebelumnya kosong, saat ini sudah terparkir dua mobil disana."Renata?" Suara Desty terdengar memanggilnya.Renata mendongak ke asal suara, ternyata Desty memanggilnya dari balkon lantai dua rumahnya."Tunggu sebentar." Desty bergegas turun.Meski masih terasa sepi, namun setidaknya tidak seseram sebelumnya saat ia menyelinap ke rumah Desty tanpa raga."Minum Ren," Desty menawarkan dengan ramah.Renata diam beberapa saat, ia berusaha memahami situasi yang saat ini terjadi. Apa yang terjadi? Mengapa Desty tiba-tiba berubah ramah padanya?"Aku rasa, kamu sudah mendengar kabar dari Dena tentang Bian?"Renata mengangguk canggung."Aku nggak bisa menyalahkan kamu, kalaupun kamu lupa te
Bel sekolah berbunyi.Hari ketiga sejak Renata resmi sebagai anak kelas tiga. Semangatnya masih terasa, ia begitu riang karena Desty sudah lulus. Ia bebas. Meskipun ia masih belum bertemu Dena selama dua hari sebelumnya usai libur panjang.-"Kamu yakin berangkat tengah malam gini sendirian? Mau aku temenin nggak?" Tanya Miko cemas."Aman. Aku udah biasa juga, kamu jaga Bian aja dulu disini. Nanti kapan-kapan aku main kesini lagi.""Kapan-kapan itu kapan?" Tanya Miko jahil.Dena mendelik sambil mendirikan kopernya, usai membereskan seluruh pakaiannya."Udah ah, aku mau berangkat sekarang ke bandara, ditemenin nggak nih?""Siap bu bos, siap." Miko menarik koper Dena menuju mobil."Sempat kan ya?" Tanya Dena khawatir."Lagian kenapa nggak izin aja sih. Maksa banget mau sekolah.""Aku udah izin dua hariiii," pekik Dena gemas.Miko mengangkat tangannya menyerah sebelum perdebatan terjadi."Aku bol
Dena merapikan pakaiannya dari koper ke lemari pakaian yang tersedia di kamar tamu. Ia akan menghabiskan sisa libur sekolahnya di Singapura bersama keluarga Miko.Suara ketukan menghentikannya, "Dena," suara Miko terdengar dari luar kamarnya."Kenapa?" Tanya Dena."Aku boleh minta tolong nggak?""Jangan yang aneh-aneh!" Dena mendelik.Miko meringis, "enggak.""Minta tolong apa?"Miko menatap Dena ragu, "kamu bisa bujuk Desty biar keluar kamar nggak?"Beberapa menit berlalu, Dena berdiri di depan pintu kamar Desty. Baru saja tangannya terangkat ingin mengetuk kamar kakak kelasnya itu."Masuk!"Suara Desty terdengar dari kamarnya.Dena memberanikan diri masuk ke kamar Desty, "kak.""Ngapain berdiri di depan kamarku?" Tanya Desty datar."Gimana kabar Kak Desty?"Desty menghembuskan napas berat, "itu aja? Kamu cuman mau nanya itu?""Sebenarnya aku mau tau cerita Bian," Dena menurunka