Berita buruk, mimpinya semalam ternyata benar-benar hampir terjadi. Tadi sore kakaknya menelepon Renata untuk memberitahu firasat adiknya itu ternyata benar.
Rendy, teman satu kos Tian yang kemarin mengajaknya pergi jalan-jalan menikmati suasana malam di Bogor ternyata saat ini sedang berada di rumah sakit, kondisinya cukup parah. Setelah motornya mengalami kecelakaan dengan mobil yang melaju dari arah berlawanan kemarin malam.
Renata bergidik ngeri.
-
Percobaan ketiga dimulai, Renata memejamkan matanya, tubuhnya mencapai relaksasi maksimal, dengan bantuan musik instrumen.
Ia semakin mengantuk tetapi telinganya masih fokus. Pikirannya masih aktif, tetapi tubuhnya mulai lemas. Renata tidak bisa merasakan tubuhnya bergerak, dan kemudian cahaya terang memenuhi pandangannya. Perlahan-lahan semuanya jelas.
Satu-persatu objek mulai bermunculan. Lemari kusam berada di depannya. Tempat tidur yang sedang ia tempati, pintu keluar di samping lemari. Ia menengok pada dinding sebelah kirinya, angin segar menyeruak dari jendela dengan gaya kuno yang sedang terbuka itu.
Rumah kayu ini belum pernah ia lihat seumur hidupnya. Renata berjalan keluar, menjelajahi setiap bagian rumah.
Seluruh bagian rumah ini begitu kuno. Seperti miniatur rumah-rumah yang ia lihat di museum. Rumah besar ini terlihat sederhana, tapi menarik dan membuat Renata merasa nyaman tinggal di dalamnya.
Selesai berkeliling di dalam rumah, Renata pergi keluar dan menatap sekitarnya. Ia berada di desa. Tempat yang tepat untuk menghindarkannya dari mimpi buruk seperti hari-hari biasanya.
Renata tidak ingin macam-macam, ia hanya ingin tidur tanpa harus melihat bayang-bayang menyebalkan Desty maupun Siska-Haris dalam mimpinya malam ini.
Lama ia terdiam dalam mimpinya, Renata merasa bosan. Ia ingin bangun tetapi tidak tahu bagaimana caranya.
Ia coba berlari. Pikirnya, mungkin jika kelelahan dalam mimpi ini, ia akan bangun dengan sendirinya.
Renata mulai gelisah, bagaimana cara menghentikan mimpi ini.
Gadis itu memaksa kedua tangannya terangkat, dan tangan kanannya segera menepuk tangan kirinya. Berhasil. Ia terjaga dari tidurnya, kemudian berusaha kembali tidur, kali ini dengan nyenyak.
-
Renata berjalan riang memasuki kelasnya, kali ini ada sedikit semangat dalam dirinya.
Seperti biasa Dena sibuk dengan buku tebal lainnya. Dari sampul yang sempat diintipnya, sepertinya kali ini ia sedang membaca buku mengenai detektif. Entahlah, Renata tidak ingin terlalu ambil pusing, yang jelas hari ini dia senang karena tadi malam mimpinya begitu tenang.
Malam kembali tiba, Renata ingin mencoba sekali lagi mengatur mimpinya agar sedikit lebih menyenangkan.
Ia mengulang beberapa langkah yang diperlukan untuk mengendalikan mimpinya. Berhasil.
Ia berada di rumah yang sama seperti kemarin. Tanpa pikir panjang, Renata segera keluar rumah dan berjalan ke sekeliling desa.
Beberapa warga sibuk dengan kegiatan masing-masing, kebanyakan yang ia lihat adalah ibu-ibu dengan berbagai aktivitas. Ada yang sedang bepergian dengan tas belanjaan yang terbuat dari anyaman, ada yang sedang menyapu di teras rumah, dan ada yang hanya berkumpul untuk sekedar mengobrol di pagi hari.
Suasana pagi benar-benar sejuk di desa ini. Renata bisa merasakan angin segar menggelitik wajahnya.
Beberapa anak berlarian di sekitarnya tertawa riang sambil bermain.
Renata terus berjalan hingga bunyi keramaian mulai tenggelam dibelakangnya. Ia mengikuti jalan setapak yang menuntunnya pada sebuah dermaga.
Ia duduk di pinggir dermaga sambil merendam kakinya, menikmati riak gelombang kecil di sekitarnya.
Angin laut menerpa wajahnya, membuat rambutnya berkibar lembut. Tiba-tiba ketenangan tersebut mebuat wajahnya muram.
Ada perasaan sesak yang mengganjal perasaannya, selama ini ia tidak ingin menangis. Ia merasa tidak ada gunanya menangisi segala yang terjadi padanya. Tapi kali ini berbeda. Ia ingin melepaskan rasa sesak itu.
Sekali lagi perasaan sedih itu menguak, dalam isak tangisnya yang pelan. Air matanya perlahan jatuh. Tetapi masih dalam kontrol, ia tahu aturan penting saat mengatur mimpi adalah tidak membawa sesuatu yang begitu emosional ke dunia ini.
Ia menghela napas, mencoba menormalkan pernapasannya. Satu tangan tiba-tiba terjulur di sampingnya, memberikan sebuah saputangan.
Renata tidak mengatur seseorang akan datang di saat wajahnya sedang jelek-jeleknya seperti ini. Ia menengok ingin menatap pemilik wajah yang telah memberinya sapu tangan itu.
Renata memperhatikan laki-laki itu dari atas sampai bawah. Ia manis dan tidak begitu asing.“Kamu siapa?” Tanya Renata bingung.Penampilan laki-laki itu begitu sederhana, ia hanya memakai kaos polos, celana pendek, serta sandal jepit di kakinya.Bukannya menjawab pertanyaannya, laki-laki itu malah duduk di sampingnya, kemudian tersenyum sambil memandang laut biru yang terbentang luas di depan mereka.“Udah puas nangisnya?” Tanyanya."Ya. Kamu siapa?” Ulangnya.“Entahlah, aku juga nggak tahu,” jawabnya kini memandan Renata teduh.Renata memandang laki-laki itu lama sebelum ia kembali
“Renata?”“Ya,” jawab Renata sambil tersenyum.“Sudah lama disini?” Tanya laki-laki itu dengan pakaian yang sama seperti kemarin.“Lumayan,” balas Renata mengalihkan pandangannya pada lautan lepas.Malam ini Renata kembali mengatur mimpinya agar bisa bertemu laki-laki itu. Masih di tempat yang sama. Dermaga yang pernah ia lihat di tayangan televisi, entah di negara bagian mana, yang jelas ia suka sekali tempat ini.“Bagaimana keadaanmu hari ini?”“Sedikit lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Aku terlalu penasaran denganmu, jadi aku lupa meladeni celaan Desty dan sikap menyebalkan romeo-juliet di kelasku.&rdqu
“Pandu?” Bisik Renata. Laki-laki itu sedang dalam posisi tiarap seperti dirinya, mereka sama-sama bersembunyi di kolong tempat tidur. Langkah kaki terdengar semakin jauh, Renata kini bisa dengan bebas berbicara walaupun masih dengan suara pelan. “Kamu darimana?” Renata bersungut kesal. Bisa-bisanya laki-laki itu meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. “Maaf,” kata Pandu menyesal. “Tapi Renata, semuanya baik-baik saja, kamu bisa melakukan apapun disini. Termasuk melawan para Jepang itu.” Kata Pandu yakin. Renata mengangkat kedua alisnya, masih kurang yakin terhadap kemampuannya. “Coba lihat kursi di sebelah sana,” tunjuk Pandu pada sebuah kursi kayu yang bersandar pada din
Pagi minggu yang cerah gagal menarik perhatian Renata dari layar laptopnya. Gadis itu berencana menghabiskan hari ini dengan mencari lebih banyak tentang kemampuan Oneronaut yang sedang ia pelajari.Sudah dua jam berlalu, Renata sengaja mandi lebih pagi seperti hari-hari biasa ia berangkat sekolah. Padahal khusus hari minggu, gadis itu selalu menetapkan jadwal mandi paginya menjadi diatas jam sebelas.Suara ketukan pintu menghentikan pencarian yang dilakukannya.“Dek?” Panggil Tian dari luar kamar Renata.Renata bergegas membuka pintu kamarnya sedikit, “ya, kak?”“Lagi ngapain?” Tanya Tian penasaran sambil menengok ke dalam kamar adiknya.&ldquo
Pandu duduk di kursi taman, melipat kakinya. Matanya terpejam menikmati terpaan sinar matahari pagi dan angin yang begitu sejuk.“Apa yang terjadi?” Tanya Pandu tiba-tiba.Renata mengerjap kaget setelah menatap Pandu cukup lama, “apa?”Pandu memajukan tubuhnya untuk mengamati wajah Renata dengan jarak dekat, “kamu sedang sedih Renata, terlihat jelas,” gadis itu menarik tubuhnya sedikit ke belakang karena merasa jengah.Renata diam, ia masih harus mempertimbangkan cerita Haris-Siska. Ia tidak ingin Pandu berpikir bahwa ia masih menyukai Haris, ya walupun masih, sedikit.“Ceritakan saja padaku.”Renata akhirnya bercerita mengenai segal
“Hormat gerak!” Teriak salah seorang teman Renata di tengah lapangan. Seluruh siswa-siswi SMA Harapan serentak mengangkat tangan, hormat kepada bendera yang sedang di gerek para petugas. Baru setengah tiang, kepala Renata kembali berdenyut. Sejak tadi pagi, kepalanya memang terasa pusing sekali. “Mau ku antar ke UKS?” Dena mulai khawatir. “Nggak, makasih Den. Aku bisa sendiri.” Tolak Renata halus. “Oke, tapi hati-hati ya.” Sebenarnya dia juga ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja di UKS. “Renata?” Seseorang yang sebenarnya sedang ingin dihindarinya malah m
Renata menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur. Sejenak memikirkan kembali obrolannya dengan Dena. Anehnya, semakin dilarang, rasanya semakin ia ingin bertemu dengan sosok Pandu itu sekali lagi. Ia menggeleng, berusaha mengalihkan pikirannya. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya, mandi, kemudian belajar mempersiapkan ulangannya besok. Sudah pukul sembilan, matanya kini benar-benar terasa berat. Renata yakin kelelahan bisa membuatnya tidur lebih nyenyak. Namun perkiraannya salah, ia justru sadar dalam tidurnya. Kini ia berjalan di lorong gelap. Renata merasa janggal, karena sejauh apa pun ia berlari, semuanya gelap.
“Ren, kamu yakin?” tanya Dena khawatir. Renata memandang Dena ragu, kemudian mengangguk. "Aku akan mencobanya sekali lagi, nanti. Setelah aku mengerti cara kerja proyeksi astral yang kamu ceritakan itu." - Sudah seminggu Renata berhenti berani bermain-main dengan proses tidurnya.Kini ia sedang disibukkan dengan persiapan menjelang ujian tengah semester yang sebentar lagi akan dihadapinya. Sesekali tubuh “lain”nya itu memang terpisah saat Renata tertidur. Tapi ia malah menggunakan tubuhnya untuk belajar. Membaca beberapa materi yang masih belum ia mengerti. “Besok-besok jika aku terbangun dalam keadaan seperti ini lagi, lebih baik