Share

6). Pemimpin Keluarga

***

"Alula bangun, Alula. Udah jam tujuh, jam delapan kita harus berangkat."

"Apaan sih."

Merasa terganggu ketika Arka terus membangunkannya, Aludra yang kini tidur sambil memeluk guling, lantas menenggelamkan wajahnya agar tangan Arka tak terus menyentuh karena rasanya dingin sekali.

"Bangun Lula, nanti kita ketinggalan pesawat," ucap Arka—berusaha sesabar mungkin menghadapi istrinya itu.

"Biarin, pesawat banyak. Pesen lagi kalau ketinggalan," ucap Aludra—masih dengan kedua mata yang terpejam. "Kalau enggak ada uang, minta ke Papa aku. Uangnya banyak."

Arka menghembuskan napas kasar. Dia pikir Alula adalah perempuan giat yang selalu bangun pagi, karena menurut informasi dari sang mama, Alula adalah perempuan rajin yang terbilang cukup multitalent.

Ah, mungkin pagi ini karena Alula masih lelah, pikirnya.

"La, kalau enggak mau bangun. Aku tinggal checkout ya, nanti kamu pulang sendiri," ucap Arka yang akhirnya mampu membuat Aludra membuka matanya.

Membelikkan badan, Alula menatap Arka yang kini berdiri memakai kaos putih polos dengan bagian bawah handuk senada, karena memang Arka baru selesai mandi.

"Nyebelin," celetuk Aludra. "Enggak sabaran."

"Kok nyebelin?" tanya Arka. Semalam kan aku udah bilang sama kamu, kalau pagi ini kita ke Korea.

"Kamu tahu enggak aku mager?" tanya Aludra.

"Mager?"

"Males gerak," jawab Aludra. "Aku pengen tidur seharian aja rasanya. Capek."

"Nanti di pesawat kan bisa tidur lagi," ucap Arka.

"Di pesawat enggak enak," jawab Aludra lagi.

"Jadi mau gimana sekarang?" tanya Arka. "Kalau kamu enggak mau berangkat, its okay. Aku enggak akan maksa. Kita langsung pulang ke Bandung aja."

"Ngapain?"

"Kok ngapain?" tanya Arka. "Kamu istri aku, sekarang. Jadi kamu ikut aku ke Bandung."

"Hah?!"

Beringsut, Aludra langsung duduk bersila. Dia pikir setelah menikah, Arkalah yang akan pindah ke Jakarta dan dirinya tetap akan tinggal di rumahnya. Namun, ternyata perkiraan Aludra salah. Dialah yang akan pindah ke Bandung.

Oh No. Selama dua puluh lima tahun Aludra hidup, dia tak pernah meninggalkan rumahnya karena dia tak bisa jauh dari para pelayan. Bukan dari Aurora—mamanya, Aludra lebih takut berpisah dari para pelayan rumah yang selama ini selalu setia melayani semua keinginannya.

Menyiapkan air panas untuk mandi, membawakan makan siang ke kamar, melipat baju juga menyetrika, membereskan sprei dan kamar yang berantakan lalu banyak hal lainnya.

Jika Aludra tinggal bersama Arka tanpa para pelayan, siapa yang akan melakukannya? Aludra? Oh shit, tidak mungkin! Selama hidup, Aludra memegang gagang pel saja bisa dihitung dengan jari.

"Kenapa?" tanya Arka. "Enggak mau?"

"Kenapa enggak kamu aja yang pindah ke sini?" tanya Aludra.

"Aku kerja di Bandung," jawab Arka. "Masa tinggal di Jakarta."

"Di sana ada mall enggak? Makanan enak enggak? Terus ada gojek enggak?" tanya Aludra yang membuat Arka menghela napas.

"Alula, rumah aku enggak di hutan," ucap Arka. "Jadi semuanya ada."

"LDR aja gimana?" tanya Aludra—mulai memberikan penawaran. "Kamu di Bandung aku di Jakarta. Setiap weekend kamu pulang ke sini."

"Coba sebutkan alasan kamu enggak mau tinggal di Bandung?" tanya Arka.

"Enggak ada teman yang kenal," jawab Aludra spontan, meskipun pada kenyataannya, selama ini dia bahkan tak punya banyak teman karena kepribadiannya yang introvert dan malas bergaul dengan dunia luar. "Aku enggak punya teman nanti di sana."

"Ada kakak ipar aku," jawab Arka. "Aku udah beli rumah buat kita di Dago, dan rumahnya deket sama rumah kakak aku karena satu komplek. Kakak ipar aku baik, kamu bisa main ke rumah dia pas aku kerja."

Aludra terdiam—sementara otaknya terus berputar mencari alasan agar dirinya tak perlu pergi dari rumah orang tuanya.

"Aku ... aku ...."

"Aku udah cukup baik sama kamu," ucap Arka yang akhirnya beranjak. "Mulai sekarang ayo kita mulai rumah tangga ini. Aku suami dan kamu istri, aku kepala rumah tangga dan kamu ibu rumah tangga, jadi kamu harus nurut sama aku."

"Ta-tapi kan-"

"Mau ke Korea apa langsung ke Bandung?" tanya Arka tanpa basa-basi.

"Arka." Aludra memandang Arka—berharap laki-laki itu akan berbaik hati membiarkannya tetap di Jakarta.

"Satu lagi," ucap Arka. "Usia aku dua tahun lebih tua dari kamu, dan kamu istri aku. Mulai sekarang biasakan panggil aku pake embel-embel jangan nama langsung."

Untuk beberapa hal, Arka mungkin akan bersikap baik pada Aludra dengan tak memaksakan kehendaknya sampai nanti Aludra benar-benar siap, tapi semua itu bukan berarti membuat Arka menjadi lembek.

Dia akan bersikap baik pada istrinya. Tentu saja, meskipun, pernikahan mereka berawal dari sebuah perjodohan, Arka akan memperlakukan Aludra sebagaimana mestinya seorang suami memperlakukan istrinya.

Namun, dia juga tetap akan melakukan tugasnya menjadi seorang suami sekaligus pemimpin keluarga yang tak boleh lemah dan harus punya pendirian teguh dalam mendidik istrinya—seperti yang diajarkan kedua orang tuanya selama ini.

"Pake embel-embel apa?" tanya Aludra. "Bapak? Aa? Akang? Atau apa? Aku enggak tau panggilan yang cocok buat kamu itu apa."

"Terserah," jawab Arka. "Kamu pikir-pikir aja, panggilan apa yang mau kamu pake buat aku."

"Hm." Aludra bergumam, sementara Arka bergegas menuju koper untuk mengeluarkan celana jeans yang akan dia pakai hari ini, hingga panggilan dari Aludra membuatnya menoleh.

"Arka."

"Apa?"

"Dipanggil Mas, mau enggak?" tanya Aludra. "Mama aku kadang manggil gitu ke Papa."

Arka tersenyum tipis. "Sure," jawabnya. "Kamu boleh panggil aku dengan panggilan itu."

"Oke," jawab Aludra. Setelahnya dia langsung memasang tampang semanis mungkin. "Jadi Mas Arka ... kita tinggal di Jakarta, kan?"

"Enggak," jawab Arka yang langsung memudarkan senyuman di wajah tampannya. "Kamu ikut ke Bandung. Kita tinggal di sana."

"Tapi kan-"

"Sekarang mau ke Bandung apa ke Korea?" tanya Arka—mengulang pertanyaan yang sempat dia ucapkan. "Tinggal pilih."

"Mas Arka," ucap Aludra. "Aku mau di Jakarta aja, boleh ya?"

"No," kata Arka. "Kamu tahu arti kata no, kan? Artinya enggak, dan sekali enggal tetap enggak."

"Aku bilang ke papa," ucap Aludra.

"Silahkan," ucap Arka. "Toh Papa kamu juga pasti akan minta kamu ikut aku. Istri itu harus ikut suami ke manapun dia pergi."

"Termasuk ke wc?" tanya Aludra.

"Ya enggak gitu juga," ucap Arka. "Pokoknya kamu harus nurut sama aku. Kamu nurut, aku baik. Kamu enggak nurut ...."

"Kamu jahat?"

"Enggak juga," kata Arka. "Aku bukan laki-laki yang jahat sama perempuan."

"Terus kalau aku enggak nurut, kamu mau apa?"

"Mau tau?"

"Iya."

Tersenyum tipis, Arka berjalan menghampiri Aludra yang masih duduk di kasur lalu mencondongkan tubuhnya dan mendekatkan wajah dia pada Aludra.

"Kalau enggak nurut, kamu aku hukum," ucap Arka.

"Hu-hukum apa?" tanya Aludra yang tiba-tiba saja gugup karena ditatap Arka dengan jarak yang begitu dekat.

"Maunya hukum apa?" tanya Arka. "Hukum kasih mama aku cucu, mau?"

"Cu-cucu, ma-maksud kamu?" tanya Aludra. Sedikit ngelag, beberapa detik kemudian Aludra paham dengan apa yang diucapkan Arka dan tentu saja dia langsung mendorong pria itu untuk menjauh. "Jangan macam-macam, kamu! Udah janji lho semalam, kalau enggak akan maksa."

"Ya udah makanya nurut," ucap Arka. "Bandung apa Korea?"

Mendesah, Aludra akhirnya menjawab, "Korea!" ujarnya. "Ayo kita ke Korea sekarang juga!"

Mga Comments (8)
goodnovel comment avatar
Hamid Ahmad
kenapa arka GK peka pdhl banyak kali kejanggalan mugkin bisa di bongkar
goodnovel comment avatar
Nengsih
emang bisa gitu arka tahan sampe 2 thn..emang aludra ga kegoda dengan ketampanan arka
goodnovel comment avatar
Chacha Unyil
duh ini kalau mereka saling jatuh cinta gimana ya
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status