***
"Alula bangun, Alula. Udah jam tujuh, jam delapan kita harus berangkat.""Apaan sih."Merasa terganggu ketika Arka terus membangunkannya, Aludra yang kini tidur sambil memeluk guling, lantas menenggelamkan wajahnya agar tangan Arka tak terus menyentuh karena rasanya dingin sekali."Bangun Lula, nanti kita ketinggalan pesawat," ucap Arka—berusaha sesabar mungkin menghadapi istrinya itu."Biarin, pesawat banyak. Pesen lagi kalau ketinggalan," ucap Aludra—masih dengan kedua mata yang terpejam. "Kalau enggak ada uang, minta ke Papa aku. Uangnya banyak."Arka menghembuskan napas kasar. Dia pikir Alula adalah perempuan giat yang selalu bangun pagi, karena menurut informasi dari sang mama, Alula adalah perempuan rajin yang terbilang cukup multitalent.Ah, mungkin pagi ini karena Alula masih lelah, pikirnya."La, kalau enggak mau bangun. Aku tinggal checkout ya, nanti kamu pulang sendiri," ucap Arka yang akhirnya mampu membuat Aludra membuka matanya.Membelikkan badan, Alula menatap Arka yang kini berdiri memakai kaos putih polos dengan bagian bawah handuk senada, karena memang Arka baru selesai mandi."Nyebelin," celetuk Aludra. "Enggak sabaran.""Kok nyebelin?" tanya Arka. Semalam kan aku udah bilang sama kamu, kalau pagi ini kita ke Korea."Kamu tahu enggak aku mager?" tanya Aludra."Mager?""Males gerak," jawab Aludra. "Aku pengen tidur seharian aja rasanya. Capek.""Nanti di pesawat kan bisa tidur lagi," ucap Arka."Di pesawat enggak enak," jawab Aludra lagi."Jadi mau gimana sekarang?" tanya Arka. "Kalau kamu enggak mau berangkat, its okay. Aku enggak akan maksa. Kita langsung pulang ke Bandung aja.""Ngapain?""Kok ngapain?" tanya Arka. "Kamu istri aku, sekarang. Jadi kamu ikut aku ke Bandung.""Hah?!"Beringsut, Aludra langsung duduk bersila. Dia pikir setelah menikah, Arkalah yang akan pindah ke Jakarta dan dirinya tetap akan tinggal di rumahnya. Namun, ternyata perkiraan Aludra salah. Dialah yang akan pindah ke Bandung.Oh No. Selama dua puluh lima tahun Aludra hidup, dia tak pernah meninggalkan rumahnya karena dia tak bisa jauh dari para pelayan. Bukan dari Aurora—mamanya, Aludra lebih takut berpisah dari para pelayan rumah yang selama ini selalu setia melayani semua keinginannya.Menyiapkan air panas untuk mandi, membawakan makan siang ke kamar, melipat baju juga menyetrika, membereskan sprei dan kamar yang berantakan lalu banyak hal lainnya.Jika Aludra tinggal bersama Arka tanpa para pelayan, siapa yang akan melakukannya? Aludra? Oh shit, tidak mungkin! Selama hidup, Aludra memegang gagang pel saja bisa dihitung dengan jari."Kenapa?" tanya Arka. "Enggak mau?""Kenapa enggak kamu aja yang pindah ke sini?" tanya Aludra."Aku kerja di Bandung," jawab Arka. "Masa tinggal di Jakarta.""Di sana ada mall enggak? Makanan enak enggak? Terus ada gojek enggak?" tanya Aludra yang membuat Arka menghela napas."Alula, rumah aku enggak di hutan," ucap Arka. "Jadi semuanya ada.""LDR aja gimana?" tanya Aludra—mulai memberikan penawaran. "Kamu di Bandung aku di Jakarta. Setiap weekend kamu pulang ke sini.""Coba sebutkan alasan kamu enggak mau tinggal di Bandung?" tanya Arka."Enggak ada teman yang kenal," jawab Aludra spontan, meskipun pada kenyataannya, selama ini dia bahkan tak punya banyak teman karena kepribadiannya yang introvert dan malas bergaul dengan dunia luar. "Aku enggak punya teman nanti di sana.""Ada kakak ipar aku," jawab Arka. "Aku udah beli rumah buat kita di Dago, dan rumahnya deket sama rumah kakak aku karena satu komplek. Kakak ipar aku baik, kamu bisa main ke rumah dia pas aku kerja."Aludra terdiam—sementara otaknya terus berputar mencari alasan agar dirinya tak perlu pergi dari rumah orang tuanya."Aku ... aku ....""Aku udah cukup baik sama kamu," ucap Arka yang akhirnya beranjak. "Mulai sekarang ayo kita mulai rumah tangga ini. Aku suami dan kamu istri, aku kepala rumah tangga dan kamu ibu rumah tangga, jadi kamu harus nurut sama aku.""Ta-tapi kan-""Mau ke Korea apa langsung ke Bandung?" tanya Arka tanpa basa-basi."Arka." Aludra memandang Arka—berharap laki-laki itu akan berbaik hati membiarkannya tetap di Jakarta."Satu lagi," ucap Arka. "Usia aku dua tahun lebih tua dari kamu, dan kamu istri aku. Mulai sekarang biasakan panggil aku pake embel-embel jangan nama langsung."Untuk beberapa hal, Arka mungkin akan bersikap baik pada Aludra dengan tak memaksakan kehendaknya sampai nanti Aludra benar-benar siap, tapi semua itu bukan berarti membuat Arka menjadi lembek.Dia akan bersikap baik pada istrinya. Tentu saja, meskipun, pernikahan mereka berawal dari sebuah perjodohan, Arka akan memperlakukan Aludra sebagaimana mestinya seorang suami memperlakukan istrinya.Namun, dia juga tetap akan melakukan tugasnya menjadi seorang suami sekaligus pemimpin keluarga yang tak boleh lemah dan harus punya pendirian teguh dalam mendidik istrinya—seperti yang diajarkan kedua orang tuanya selama ini."Pake embel-embel apa?" tanya Aludra. "Bapak? Aa? Akang? Atau apa? Aku enggak tau panggilan yang cocok buat kamu itu apa.""Terserah," jawab Arka. "Kamu pikir-pikir aja, panggilan apa yang mau kamu pake buat aku.""Hm." Aludra bergumam, sementara Arka bergegas menuju koper untuk mengeluarkan celana jeans yang akan dia pakai hari ini, hingga panggilan dari Aludra membuatnya menoleh."Arka.""Apa?""Dipanggil Mas, mau enggak?" tanya Aludra. "Mama aku kadang manggil gitu ke Papa."Arka tersenyum tipis. "Sure," jawabnya. "Kamu boleh panggil aku dengan panggilan itu.""Oke," jawab Aludra. Setelahnya dia langsung memasang tampang semanis mungkin. "Jadi Mas Arka ... kita tinggal di Jakarta, kan?""Enggak," jawab Arka yang langsung memudarkan senyuman di wajah tampannya. "Kamu ikut ke Bandung. Kita tinggal di sana.""Tapi kan-""Sekarang mau ke Bandung apa ke Korea?" tanya Arka—mengulang pertanyaan yang sempat dia ucapkan. "Tinggal pilih.""Mas Arka," ucap Aludra. "Aku mau di Jakarta aja, boleh ya?""No," kata Arka. "Kamu tahu arti kata no, kan? Artinya enggak, dan sekali enggal tetap enggak.""Aku bilang ke papa," ucap Aludra."Silahkan," ucap Arka. "Toh Papa kamu juga pasti akan minta kamu ikut aku. Istri itu harus ikut suami ke manapun dia pergi.""Termasuk ke wc?" tanya Aludra."Ya enggak gitu juga," ucap Arka. "Pokoknya kamu harus nurut sama aku. Kamu nurut, aku baik. Kamu enggak nurut ....""Kamu jahat?""Enggak juga," kata Arka. "Aku bukan laki-laki yang jahat sama perempuan.""Terus kalau aku enggak nurut, kamu mau apa?""Mau tau?""Iya."Tersenyum tipis, Arka berjalan menghampiri Aludra yang masih duduk di kasur lalu mencondongkan tubuhnya dan mendekatkan wajah dia pada Aludra."Kalau enggak nurut, kamu aku hukum," ucap Arka."Hu-hukum apa?" tanya Aludra yang tiba-tiba saja gugup karena ditatap Arka dengan jarak yang begitu dekat."Maunya hukum apa?" tanya Arka. "Hukum kasih mama aku cucu, mau?""Cu-cucu, ma-maksud kamu?" tanya Aludra. Sedikit ngelag, beberapa detik kemudian Aludra paham dengan apa yang diucapkan Arka dan tentu saja dia langsung mendorong pria itu untuk menjauh. "Jangan macam-macam, kamu! Udah janji lho semalam, kalau enggak akan maksa.""Ya udah makanya nurut," ucap Arka. "Bandung apa Korea?"Mendesah, Aludra akhirnya menjawab, "Korea!" ujarnya. "Ayo kita ke Korea sekarang juga!"***"Hati-hati ya kalian di sana.""Bulan madu yang nyaman.""Jangan lupa pulang bawa kabar baik.""Kalau udah sampai kabarin."Mendesah pelan, Aludra memandangi keluarganya dan keluarga Arka yang kini berdiri di depan hotel untuk mengantar kepergiannya dan Arka untuk berbulan madu ke Korea Selatan selama seminggu.Pukul sembilan pagi, Aludra dan Arka bergegas pergi ke Bandara karena pesawat yang mereka tumpangi akan take of pukul setengah sepuluh pagi.Berlibur di bulan juli, keduanya akan menikmati musim panas di negeri ginseng yang terkenal dengan hallyu wavenya.Sekali lagi, sebenarnya Aludra sangat malas berlibur. Dia yang terbiasa tiduran sepanjang hari rasanya berat untuk pergi jauh—terlebih lagi luar negeri. Namun, gara-gara Alula, mau tak mau Aludra harus mengusir jauh rasa malasnya itu."Kalau ngantuk kamu boleh tidur dulu."Aludra yang sejak berangkat terus menyandarkan tubuhnya di jok sambil memandangi jalanan kini menoleh pada Arka yang duduk persis di sampingnya."Kalau
***"Ini kamu enggak ada niatan bantu aku bawa koper gitu?"Aludra yang melenggangkan kakinya lebih dulu setelah turun dari taksi, lantas menoleh ketika pertanyaan itu dilontarkan Arka yang kerepotan membawa dua koper sekaligus.Menempuh perjalanan tujuh jam lebih, pukul lima sore keduanya sampai di Seoul. Menggunkanan taksi, Arka membawa Aludra menuju hotel yang sudah disiapkan Dewa untuk mereka selama berada di negeri ginseng tersebut.Bukan hotel biasa, tentu saja hotel yang disiapkan Dewa adalah hotel berbintang yang memiliki fasilitas luar biasa juga pelayanan yang sangat baik."Berat," jawab Aludra enteng. "Lagipula kamu kan laki-laki, terus kamu suami. Jadi kamu aja yang bawa ya."Tak menjawab, Arka hanya menatap Aludra lalu menghembuskan napas kasar. Setelah itu, dia memilih berjalan melalui gadis itu untuk menuju meja resepsionis dengan segera.Menunjukan bukti pemesanan hotel, Arka terbebas dari dua koper berat yang sejak tadi dia bawa karena koper tersebut langsung dibawa p
“Ih, enggak aktif!”Menatap kesal layar ponselnya, Aludra yang sejak tadi tidur dengan polisi telungkup lantas bergerutu ketika ternyata nomor Alula sudah tak bisa dihubungi. Padahal, dia ingin sekali menelepon kakaknya itu untuk menanyakan bagaimana kabar dia di London dan tentu saja Aludra juga ingin menuntut permintaan terima kasih dari sang kakak untuk semua jasanya yang sudah legowo menggantikan posisi sang kakak menjadi istri Arka—pria yang saat ini dia cap sebagai pria menyebalkan.Ya, bagi Aludra, Arka itu menyebalkan. Meskipun baik, tetap saja menyebalkan. Arka tampan, tapi tetap saja dia menyebalkan. Pokoknya Arka itu menyebalkan.“Ini gimana mau tanya-tanya kalau nomor Kak Lula aja enggak aktif.”Beringsut, Aludra mengubah posisinya menjadi duduk. Mengedarkan pandangan, dia menatap jam dinding yang ada di kamar hotel. Pukul delapan malam, dan Arka belum kembali dari luar setelah setengah jam yang lalu berpamitan untuk mancari makan.Sebenarnya Arka mengajak Aludra keluar un
***"Lu, itu kamu seriusan enggak apa-apa?"Berdiri dengan wajah khawatir, Arka sama sekali tak beranjak dari depan pintu kamar mandi—menunggu Aludra yang kini menghabiskan waktunya di dalam sana.Makanan pedas memang sangat manjur untuk Aludra. Hanya makan satu buah corndog dengan saus pedas, Aludra harus menerima resikonya.Sakit perut. Hanya berselang setengah jam setelah menyantap corndog tersebut, Aludra langsung merasakan sakit di perutnya dan tentu saja setelah itu, dia diare karena memang begitulah yang sering terjadi jika Aludra nekad menyantap makanan pedas.Ah, Alula. Dia harus tahu kalau demi dirinya, Aludra rela mengalami hal seperti ini."Sakit perut," jawab Aludra dari dalam kamar mandi."Mau ke dokter?" tanya Arka. "Kalau mau yuk, aku antar.""Enggak mau, mager," ucap Aludra. Sesakit apapun dirinya, kata mager tetap yang utama diucapkan Aludra karena memang selain mager, dia tak terlalu suka tiga hal. Rumah sakit, dokter, dan obat-obatan tentunya."Aku takut kamu kenap
***"Hati-hati.""Iya."Setelah sehari kemarin hanya berdiam diri di hotel karena Aludra yang masih lemas setelah sakit perut yang mendera. Hari ini, hari kedua di Seoul, Arka mengajak gadis itu untuk keluar.Tak pergi jauh, pagi ini—sekitar jam sembilan waktu setempat, Arka membawa Aludra ke Namsan tower—menara ikonic di kota Seoul yang cukup terkenal di kalangan turis lokal maupun mancanegara."Kenapa kita turun di sini?" tanya Aludra. "Harusnya kan di halte yang deket tempat sewa cable car.""Emang siapa yang bilang kalau kita mau naik calbe car?" tanya Arka, yang membuat Aludra menautkan kedua alisnya."Lah, kan emang naik itu," jawab Aludra yakin. Bukan sekali dua kali berkunjung ke Namsan tower, rasanya Aludra cukup hafal bagaimana caranya naik ke puncak dan setiap berlibur bersama kedua orang tuanya juga Alula, dia selalu menggunakan cable car. "Aku kalau sama Papa ke sini, suka naik itu, dan kalau naik bis, kita turun di halte yang tadi. Aku lupa ingetin.""Itu kalau kamu jala
***"Minum."Menoleh, Arka memandang Aludra yang baru saja kembali sambil membawa dua botol air mineral di tangannya.Masih dengan napas yang terengah-engah, Arka mengambil botol minum bertutup hijau dari Aludra lalu meneguknya hingga habis setengah. Lelah? Tentu saja.Menaikki satu-persatu undakkan tangga sambil menggendong Aludra nyatanya bukan sesuatu yang mudah. Terlebih lagi, jarak yang dia tempuh dari bawah menuju atas juga tidaklah dekat."Capek ya?" tanya Aludra setelah dirinya duduk di samping Arka.Saat ini keduanya sedang duduk di sebuah bangku panjang yang menghadap langsung ke pagar pembatas dengan hiasan ribuan gembok di sana.Gembok cinta. Begitulah panggilan orang-orang pada tempat di mana Arka dan Aludra berada sekarang. Di sana, ribuan gembok dari berbagai warna juga bentuk menggantung. Bertuliskan nama seseorang dan pasangan, mereka semua meyakini dengan menggantung gembok di sana, hubungan yang dijalani akan langgeung."Mas Arka aku tanya, kamu capek?" tanya Aludra
***"Alula bangun, Alula."Aludra yang sejak sore tadi tertidur, lekas membuka mata ketika Arka membangunkannya. Dia yang tidur dengan posisi telungkup lantas menyipitkan mata—memandang Arka yang kini terlihat rapi dengan kemeja garis-garis berwarna biru."Apa?" tanya Aludra dengan suara yang parau."Bangun, kita pergi," ajak Arka."Ke mana? Males ah, capek. Kaki aku pegel.""Aku mau nemuin temen aku," ungkap Arka. "Kebetulan dia tinggal di sini sama istrinya.""Terus ngapain kamu bangunin aku?" tanya Aludra. "Ya karena kamu harus ikut," ucap Arka. "Meskipun temen aku enggak datang, dia tahu aku udah nikah dan dia pengen ketemu sama kamu.""Temen kamu cowok?""Ya iyalah, kan tadi aku udah bilang dia punya istri. Masa cewek?""Oh." Menjawab singkat, yang dilakukan Aludra justru tak bangun. Masih mengantuk, dia menutup kembali matanya dan tentu saja semua itu membuat Arka berdecak."Alula.""Apa sih? Berisik banget.""Bangun, cantik. Mandi. Abis itu kita pergi," ajak Arka untuk yang ke
***"Minum.""Thanks."Mengambil segelas teh manis yang disajikan sang sahabat, Arka meneguk teh manis tersebut lalu menyimpannya kembali di meja.Sudah hampir setengah jam Arka di apartemen Dika—sahabatnya. Mengobrol dan sedikit bernostalgia, entah kenapa perasaan Arka tiba-tiba saja tak enak. Dia teringat Aludra.Sedang apa dia? Apakah masih tidur atau sedang apa? Ah, Arka jadi ingin pulang."Dik," panggil Arka."Ya ka?""Aku kayanya mau pulang sekarang," ungkap Arka yang tak bisa lebih lama lagi meninggalkan Aludra, karena kini perasaannya semakin tak enak."Lah, cepet banget Ka?" tanya Dika. "Belum juga satu jam.""Aku enggak bisa ninggalin istri aku lama-lama, takut ada apa-apa," ungkap Arka."Dasar pengantin baru, maunya nempel terus ya.""Begitulah," jawab Arka. Mengambil ponsel yang semula dia simpan di atas meja, Arka beranjak dari sofa lalu berpamitan pada sahabatnya itu.Keluar dari apartemen, Arka bergegas menuju lantai bawah. Tak akan menggunakan bus, Arka memilih taksi u