Aku hanya mengangguk dan melihat mertuaku itu pergi berlalu.
Seketika, aku teringat ketika aku datang ke rumah ini tiga tahun yang lalu.
Semua anggota keluarga menerimaku dengan baik. Mereka sudah menganggap aku salah satu bagian dari keluarnya. Bahkan, Bibik pun sudah aku anggap seperti ibuku sendiri.
“Riana, makan dulu,” ajak Bibik melihatku datang masih mengenakan seragam keperawatan.
“Nanti saja, Bik. Aku mau melihat keadaan Nyonya dulu,” jawabku melangkah ke kamar Yeni.
Sebagai perawat Yeni selama hampir 3 tahun, aku bekerja dengan giat.
Aku memang butuh biaya untuk membayar hutang ayahku kapada rentenir yang dipakai berobat oleh ayahku. Nasibku sebagai anak sulung dan menganggung beban keluarga semenjak ayah di PHK dari tempatnya bekerja saat pendemi melanda.
Tetapi, hari itu... Yeni memutuskan untuk menjadikan aku madunya.
Meski Alvian awalnya menolak, tetapi ia tak kuasa menolak permintaan istri yang dicintainya.
Sementara itu, aku pun takut mendengarkan permintaan tersebut. Saat itu aku memang belum punya kekasih, tapi tidak ingin menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Apalagi usiaku dengan Alvian sangat jauh. Dia lebih pantas menjadi ayah atau omku.
“Ma-maaf, ta-tapi saya tidak setuju dengan pernikahan ini. Kenapa Nyonya tidak tanya saya dulu, saya sedang marah Nyonya,” protesku takut-takut.
“Riana, tolong … tolong penuhi permintaanku terakhir kali. Hidupku tinggal menghitung hari. Aku tidak ingin suamiku yang baik ini mendapatkan wanita yang tidak aku kenal. Sudah cukup aku tidak bisa memberikannya kebahagiaan dengan memberinya anak,” kata Yeni memohon.
“Tapi Nyonya, saya … saya tidak mencintai Tuan. Demikian juga sebaliknya,” jawabku bergeming keluar dari kamar dengan perasaan campur aduk.
Hingga tiba di dapur hatiku masih bergemuruh.
Bibik yang mengetahui kondisiku menghampiri dan bertanya apa yang sedang terjadi.
Aku pun menceritakan permintaan dari Yeni.
Bibik menghela napas berat dan memandangku. “Ri, kamu ingin menjadi orang yang menyesal seumur hidup. Ini permintaan orang yang sudah diambang kematian. Bibik pikir, tidak ada yang jelek dari Tuan Alvian. Bahkan sangat sempurna untuk seorang suami meski usianya jauh di atas kamu. Beliau sangat setia dan tidak pernah berbuat buruk selama ini.”
“Apa Bibik juga membela mereka? Aku bukan barang yang tidak punya hati”
Kembali Bibik mengusap rambutku.
Dengan lembut Bibik bercerita selama mengikuti keluarga Alvian semenjak mereka menikah.
Tidak pernah melihat ada pertengkaran meski Yeni mengalami sakit selama bertahun-tahun tetapi Alvian tetap setia dan tidak pernah mendengar perempuan lain selain istrinya.
Bibik pernah mendengar curhatan Yeni dengan kondisinya yang semakin buruk meski sudah menjalani berbagai pengobatan.
Dia sangat mencintai suaminya semenjak di bangku SMA. Tidak ingin jika dia meninggal Alvian tidak mendapatkan pendamping untuk melanjutkan hidupnya. Yeni sangat tahu sifat Alvian yang setia hanya dengan 1 wanita.
“Kamu pertimbangkan dulu, kasihan Nyonya. Bibik harap kamu bisa terima sebagai bentuk balas budi. Jika suatu hari nanti kalian tidak cocok bisa pisah.”
“Astaga, Riana hanya menikah sekali Bik. Tidak mau berkali-kali,” ucapku kesal.
“Kalau begitu pertimbangkan saja. Tidak ada yang jelek dengan Tuan Alvian. Malah kamu mestinya bersyukur sudah dipilih menjadi pendampingnya,” sahut Bibik.
“Kalau kamu keberatan tidak usah,” kata Alvian tegas.
Kami terkejut mendengar suara Alvian yang tiba-tiba muncul di dapur.
Rasa malu dan campur aduk saat itu di dalam hatiku mengingat kebaikan mereka selama ini yang sudah menganggapku seperti keluarga.
Kulirik Alvian yang selama ini terkesan dingin selama aku menjadi perawat istrinya.
Dia jarang memerintahku apalagi berbincang jika tidak atas permintaan istrinya.
Dia menyakinkan aku jika hanya menuruti kehendak istri yang sangat dicintai. Jika setelah menikah aku tidak cocok maka dia akan melepasku dengan senang hati. Akhirnya aku menurut, dan terjadilah pernikahan kami yang dihadiri oleh keluarga saja karena kondisi Yeni semakin buruk.
Semua keluarga Alvian menyetujui tetapi tidak dengan Weni, mamanya Alvian.
Dia menganggapku sebagai orang yang sudah merebut perhatian Yeni. Selama ini nasihat Weni yang didengar tetapi semenjak hadirnya aku di dalam keluarga nasihat Weni sering diabaikan oleh Yeni.
Aku sendiri tidak tahu, mengapa Yeni sering mengabaikan Weni. Dan selama menjadi perawatnya tidak pernah menanyakan akan hal itu kepada Yeni karena kuanggap sebagai privasi.
***
Dan disinilah aku, bersama Weni.
Namun, belum sempat mertuaku itu berkata, kami terkejut melihat kedatangan Alvian yang tiba-tiba.
Dalam diam, aku menyibukkan diri dengan membersihkan piring kotor yang ada di meja makan.
“Ada apa, Ma?”
“Hmm … ti-dak , tidak ada apa-apa, iya kan, Ri?” ucap Mama dengan menginjak kakiku membuatku terjingkat.
“Iya, tidak ada apa-apa, Tuan. Tadi Nyonya Besar sedang mengenang memori Nyonya Yeni,” kataku bohong.
Alvian menatap tajam ke arah kami bergantian, kemudian menatapku. “Jangan panggil aku Tuan, ingat itu!” ucapnya kemudian bebalik dan pergi dari hadapan kami.
Aku terkejut mendengarnya. Kesambet apa Alvian sampai tidak mau aku panggil Tuan?
Sementara itu, Weni kemudian menarik napas dan menarik tanganku. "Mama mau bicara dengan menantu mama."
Kupaksakan senyum mendengar itu."Jangan sampai Alvian tahu!" ancamnya begitu tiba di tempat yang sepi.
Ia lalu menyuruhku untuk menemuinya di taman.
Ada tatapan sinis dan mengejek di matanya yang membuatku mengepalkan tangan menahan emosi.
Meski aku ingin melawan, tetapi aku menghormatinya sebagai orang tua. Jadi, aku pun memilih mengangguk.
Hanya saja ... setelah kepergian Weni dari hadapanku, samar aku mendengar obrolan dari balik dinding yang membuat telingaku panas.
Beberapa pelayan tampak membicarakanku dengan antusias.
“Riana adalah pelakor. Dia mengasut Yeni supaya menikahkannya dengan Alvian. Sungguh licik wanita itu.”
Pukul 9 malam, aku menyetujui untuk datang ke taman samping rumah meski telingaku masih panas dengan obrolan sebagian keluarga yang ada ruang tengah. Aku tidak perduli setelah ini aku pun bisa pergi dan minta bercerai dari suamiku, Alvian. Tugasku sebagai balas budi sudah selesai dan ingin menyehatkan telinga dengan menghilangkan tuduhan mereka yang tidak mendasar. “Sepi, kemana Nyonya Weni?”gumamku lirih. Tetapi aku dikejutkan oleh kedatangan beberapa orang keluarga Alvian diantaranya adalah Weni. “Punya nyali juga kamu rupanya,”ucap salah satu keluarga yang aku lupa namanya. “Saya ada janji dengan Nyonya Weni,”jawabku setelah menarik napas panjang agar bisa tenang. “Langsung saja, Ri. Saya membawaku ke sini untuk kesepakatan. Bukankah kamu menikah dengan Alvian karena berhasil menghasut Yeni. Sungguh licik kamu, demi harta yang Yeni miliki kamu bisa meyakinkannya supaya menjadikan kamu Nyonya di rumah ini, jangan mimpi!” “Maaf, Nyonya. Sejak awal saya menikah dengan Tuan Alvian
Menyeret koperku ke luar kamar, itulah jalan satu-satunya untuk pilihanku saat ini. Alvian sudah menalakku, meski aku belum memberikan penjelasan. Ada rasa lega ada juga sesal sudah mengenal keluarga Yeni. Andai saja aku tidak memilih untuk menjadi istri Alvian mungkin nasibku tidak seburuk ini. Kulihat sekali lagi sosok yang terbaring tak beraturan di sofa kamar dengan rasa sesal.Mengusap air mata agar tidak jatuh dan terlihat lemah. Kututup pintu kamar dan menuruni anak tangga sembari menyeret 2 koper besar. Aku memilih segera pergi tanpa menunggu Alvian bangun. Percuma jika aku memberikan penjelasan karena Alvian sudah memberikan talaknya kepadaku.“Nona mau kemana?” Suara Bibik menghentikan langkahku.“Aku harus pulang, Bik. Tuan Alvian sudah manalakku. Jaga baik-baik majikan Bibik.”Bibik melongo dengan menutup bibirnya yang tak bergincu. Dia mencoba menarik lenganku tetapi aku memaksa dengan halus supaya melepaskannya. Dengan berbagai alasan aku meyakinkan Bibik jika aku baik-b
Ayah menatap tajam keluar rumah. Aku mengikutinya dari belakang dengan penasaran. Nampak Weni dan beberapa laki-laki di belakangnya turun dan berjalan dengan angkuhnya menuju ke rumah. Senyum mengejek nampak dari wanita yang usianya lebih tua dari ibuku tersebut. “Apa kabar, Sandiaza?” Sapaan yang kurasa lebih tepatnya ejekan yang ditujukan kepada Ayahku. Aku mengernyit melihat interaksi kedua orang yang terlihat bermusuhan. Ayah tidak biasanya bersikap tidak sopan apalagi tahu jika Weni adalah ibu mertuaku, tepatnya mantan mertua. Para tamu duduk tanpa dipersilakan oleh pemilik rumah. Weni dengan angkuh melihat interior yang berada di sekitarnya. Sedangkan orang-orang yang mengikutinya turut mengawasi pergerakan kami, seolah ada kami seorang penjahat. “Berikan ponsel kamu!” perintahnya. Tentu aku terkejut, “Buat apa, Nyonya. Bukannya saya sudah keluar dari rumah itu. Apalagi yang Nyonya inginkan?” “Kamu baru dapat kiriman uang dari Alvian, kan. Kamu tidak layak menerima uang it
“Kak … Kak Riana, buka pintunya!” teriak adikku sangat keras. Dengan cepat kubuka pintu yang terbuat dari papan triplek tersebut. Kulihat wajah ketakutan dari adikku Faris yang berdiri sembari mengulurkan ponselnya. Dari tatapannya aku bisa pastikan sesuatu sudah terjadi dengan adikku. “Apa yang terjadi?” “Mertua Kakak sudah merampas ponselku dan memintaku mentranfer uang yang ada di rekening,” kata Faris dengan tubuh gemetar. “Apa? Gila, tuh orang. Trus gimana?” tanyaku penasaran. Sekarang aku yang kalut jika uang yang ada di rekening adikku habis bagaimana kami melanjutkan hidup nantinya. Mantan mertua kejam, tidak berperasaan sama sekali. Aku panik dan menyuruh adikku untuk minum terlebih dahulu. Kulihat wajahnya pucat dan gemetar. Kutenangkan diri Faris di ruang tamu sedangkan pikiranku sekarang blank tidak tahu hendak melakukan apa selanjutnya. Setelah tenang kemudian Faris bercerita jika bertemu dengan Weni saat keluar dari warung yang berada di ujung jalan. Waktu itu jala
Alvian terkejut melihat sikap ayahku. Tidak biasanya dia menerima sikap kasar dari kedua orangtuaku selama ini. Meskipun mereka tidak suka dengan pernikahanku yang tiba-tiba. Terlihat senyum mengejek dari Weni, dengan tangan bersedekap. Diarihnya putra semata wayang tersebut dan maju ke hadapan ayahku.“Orang miskin yang tidak tahu budi.” Weni menoleh kepada Alvian, “lihatlah, dia tidak menghormatimu. Sudah ditolong tidak tahu terima kasih. Sebaiknya segera kau ceriakan Riana, dan jangan berhubungan dengannya lagi! Ayo pulang, jangan sampai kita kena penyakit miskin dari mereka. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi mengenal keluargamu, Sandiaza,” teriak Weni dengan kasar menarik tangan Alvian.“Aku tidak sangka, kau khianati kepercayaan istriku, Riana. Jangan harap kamu bisa bebas berkeliaran setelah membuat kekacauan ini. Kupastikan hidup kamu tidak akan tenang, camkan itu, Riana!” ancam Alvian.Pria yang masih menatap tajam ke arahku itupun mengikuti langkah Weni. Sebelum memaksak
Segera kututup ponsel dan melirik ke arah dua orang berjarak agak jauh di belakang tempat dudukku. Rasa takut menjalar mengira jika orang-orang Weni atau Alvian membututi kepergianku. Kugeser tempat duduk memilih tempat yang lebih ramai. Dari cermin ponsel kulihat mereka celingukan mencari seseorang.Bunyi pengeras suara dari stasiun terdengar. Meminta para penumpang segera naik ke dalam kereta. Segera beranjak menuju arah kereta datang. Dengan menggunakan jaket berusaha menutupi wajahku. Baru melangkah terasa dua orang yang berkacamata hitam menarik bajuku.“Maaf, Nona. Kami utusan Tuan Alvian. Nona tidak bisa pergi dari kota ini begitu saja,” ancam salah satu pria berkacamata.“Kenapa, aku tidak ada urusan dengan Tuan kalian lagi,” dengusku kesal sembari meronta melepaskan cekalan tangan mereka.Aku memberi isyarat kepada petugas stasiun, mereka mendekat dengan lambaian tangan. Beruntung mereka mengerti dan segera mendekat ke arah kami. Dengan menarik tangan kedua orang suruhan Alvi
Aku menggeliat merasakan tubuhku remuk redam. Mata terbuka perlahan, masih teringat ketika berada dalam satu kamar dengan Dewi. Kuedarkan pandangan sekeliling tidak kutemui teman SMP ku itu di dalam kamar. “Mungkin dia sudah keluar kamar,” batinku. Setelah membersihkan diri aku bersiap untuk segera melanjutkan perjalanan menuju kantor perkebunan yang letaknya beberapa jam dari sini. Kulihat dari gogle mab tempat itu berada di perbukitan yang menarah ke utara. Aku menunggu Dewi hingga beberapa menit. Bodohnya aku semalam tidak minta nomer telponnya. Mondar-madir menunggu dengan perasaan tidak sabar akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada recepsionist. Aku terkejut mendapatkan pesan jika Dewi sudah pergi meninggalkan hotel duluan. Tetapi tagihan hotel sudah dibayar lunas, aku lega. Setidaknya dia tidak membohongi aku. Tapi yang membuatku heran mengapa menghilang tiba-tiba. Tidak ada pesan pula untukku. Bodo amat pikirku, mungkin dia tergesa-gesa dengan urusan keluarganya. Segera
Aku mulai gelisah ketika ia mengetahui bahwa diriku sedang hamil. Garis dua di tes peck membuatku sempat syok dan tidak dapat berpikir jernih. Terlebih lagi, sudah resmi diceraikan oleh Alvian. Hatiku dipenuhi dengan perasaan campur aduk, tidak tahu harus menghadapi kedepannya bagaimana. “Apa aku harus menghubungi Ibu. Takut beliau malah sakit. Tapi … ah … sudahlah. Sementara aku bisa menyembunyikan kehadiran anak ini terlebih dahulu. Nanti dipikirkan sambil jalan. Aku harus kerja ekstra sekarang, demi keluarga dan juga … anak dalam kandunganku,” batinku mencoba menenangkan diri. Tiba di kantor perkebunan Sari memberondong pertanyaan yang semakin membuatku bertambah pusing. Seandainya dia bukan sahabat yang sudah menolongku pasti aku sudah pergi dari hadapannya. Rupanya Sari tidak melihat kekalutan yang sekarang menderaku. Telinga kupasang handsed supaya tidak mendengar lagi ocehan Sari yang tidak ada hentinya. Sahabatku itu hanya menggeleng kepala melihat sikapku yang tidak menanga