Tok tok tok!
Baru saja beristirahat setelah menghabiskan malam dengan suamiku, aku mendengar pintu kamar kami diketuk.Perlahan kami membuka mata dan saling memandang.Alvian terlihat memberikan isyarat dengan tangan agar aku tidak bangun dari tempat tidur. Dia bahkan sempat meraup kembali bibirku."Mas..." lirihku tak tenang karena ketukan pintu semakin kencang.
Alvian sontak mendesah, “Ckk … siapa, ganggu aja,” keluhnya melepasku, lalu melangkah menuju pintu dan membukanya.“Ada apa Bik?!”
Mereka terlihat berbincang.
Namun, wajah Alvian mendadak panik saat Bibik menyebut nama istri pertamanya.
Suamiku itu berhambur keluar dari kamar diikuti oleh Bibik.
Seketika, aku menyadari apa yang terjadi dan menyesal tidak menjaga istri pertama suamiku itu dengan baik, dan malah menghabiskan malam dengan dengan Alvian.
Baru beberapa hari lalu, kami memang baru saja menikah atas permintaan Yeni.
Semenjak ia sakit kanker 5 tahun lalu, Alvian tidak pernah menyentuh wanita. Padahal, mereka butuh pewaris. Jadi, aku diminta untuk menikahi pria 42 tahun itu.
Meski awalnya menolak, tetapi Yeni terus bersikeras, hingga aku dan Alvian tak punya pilihan.
Aku pun berjalan tergesa menuju kamar mandi, merapikan penampilanku.
Begitu keluar, keadaan rumah sangat panik!
Alvian mondar-mandir sembari memegang ponsel. Sesekali, ia melirik ke arahku dan Bibik yang memandangi tubuh Yeni yang terbaring dengan selimut dalam diam. Kami berdiri di sisi tempat tidur sembari menunggu Alvian. Kaki hendak melangkah mendekat ke tempat Yeni terbaring tetapi dilarang oleh Alvian saat akan menyentuh Yeni.
“Riana, kamu jaga Yeni. Aku ke depan dulu!”
“Bagaimana keadaan Nyonya, Tuan?” tanyaku dengan cemas.
“Aku panggil dokter dulu untuk memastikannya. Jangan kemana-mana!” titah Alvian sembari menyugar rambutnya yang berantakan.
Aku melirik sembari menutup mulut, “Tuan, jangan lupa resletingnya ditutup rapat,” bisikku mengingatkan. Wajah Alvian merah menatap tajam ke arahku. Aku mengangguk memberinya isyarat supaya segera pergi.
Setetes air mata jatuh melihat tubuh yang terbujur di depanku. Selama 3 tahun aku merawatnya baru kali ini aku lalai. “Maafkan Riana, Nyonya,” ucapku lirih.
“Tadi malam Bibik menunggui Nyonya atas permintaan Tuan. Dan semalam Nyonya tertidur seperti biasa. Bibik tidak curiga namun anehnya ketika Nyonya dibangunkan tidak bergerak sama sekali.”
Aku menoleh mendengar cerita Bibik. “Jadi tadi malam bersama Bibik?” Bibik menjawab dengan anggukan.
Tidak lama kemudian dokter datang dengan tergesa dan memeriksa Yeni. Dengan harap cemas aku berdoa semoga ada keajaiban terhadap Yeni. Semua yang berada di dalam kamar tegang melihat dokter yang memeriksa nadi berulang kali. Kemudian berbalik melepas alat medisnya dan menatap Alvian.
“Katakan! Istriku tidak apa-apa, Dokter,” tanya Alvian dengan nada bergetar.
“Maaf, Tuan. Sekali lagi saya katakan jika istri Anda sudah tiada.”
Deg!
Jantungku rasanya jatuh ke perut saat mendengar berita duka.
Meski semua sudah mengira pada akhirnya dengan penyakit yang diderita oleh Yeni tetap saja berita ini membuat kami terpukul. Terutama aku yang sekarang menjadi istri sah dari seorang Alvian.
“Ti-dak ti-tidak mungkin Yeni meninggalkan aku, tadi masih aku lihat denyut nadinya. jangan bicara sembarangan, Dokter!” teriak Alvian menggoncang bahu dokter.
“Ini kenyataan, nadinya sudah tidak berdetak saat saya memeriksanya.”
“Yeni - Yen, kenapa kamu pergi, setelah aku turuti maumu?” luruh Alvian terduduk di samping jenazah Yeni. Aku tergugu melihat kecintaan suamiku kepada istrinya. Terbersit rasa perih saat melihatnya tidak mengiginkan Yeni pergi.
Aku lihat air mata jatuh dari mata Alvian. Laki-laki yang lebih pantas aku panggil Om tersebut ternyata sangat mencintai istrinya bahkan segera bersimpuh dan memeluk tubuh istri pertamanya. \
Tetesan air mata yang deras mengalir dari kami bertiga. Aku dan Bibik berpelukan tidak kuasa melihat tubuh Yeni yang pucat pasi itu tersenyum diam sudah menjadi mayat.
“Tuan, sabar yak. Nyonya sudah tenang di sana ikhlaskan karena tidak merasakan kesakitan lagi.”
“Dia wanita yang kuat bahkan menyuruhku menikah.” Alvian menatap Yeni yang pucat, “maafkan aku yang tidak bisa membuat kamu bahagia, Yeni,” jawabnya sembari meraub wajah Yeni dengan tangan kanannya.
“Tuan saya ikut berduka cita atas meninggalnya Nyonya,”ucap Bibik.
“Terima kasih, Bik.”
“Tuan Alvian, saya juga turut berduka cita. Semoga Almarhum mendapat tempat terbaik di SisiNya. Saya permisi dulu,” ucap dokter pamit.
“Terima kasih banyak Dokter, maafkan segala kesalahan istri saya.”
“Sama-sama Tuan, permisi.”
Aku memberanikan diri memeluk Alvian untuk menenangkannya. Sejak tadi kulihat dia sangat sedih dan tidak bergerak dari tempatnya. Kubisikkan kalimat untuk segera mengurus jenazah Yeni agar Almarhum segera dikubur. Alvian tersadar dan segera menghubungi orang-orang terdekatnya, termasuk Weni, mama mertua yang tidak menyetujui pernikahan kami.
“Tuan, sebaiknya kita adakan kirim doa untuk arwah Nyonya. Kita undang tetangga terdekat saja,” tawarku.
“Kamu atur saja dengan Bibik,” jawab Alvian tanpa menoleh kepadaku.
Semua kerabat berdatangan dan sebagian menginap selama kami berkabung selama 7 hari termasuk Weni, mama mertuaku.
Selama 7 hari, Weni tidak pernah bersikap baik ketika kami sedang berdua. Tetapi sebaliknya jika ada Alvian sikapnya seperti sangat manis bahkan memuji setiap tindakanku.
Hari ini terakhir acara kirim doa.
Entah mengapa, Weni mendekat dan berbisik, “Setelah ini aku mau bicara! Kutunggu di taman samping dan ingat, jangan coba ngadu kepada anakku, ngerti?!” ancamnya.
Aku hanya mengangguk dan melihat mertuaku itu pergi berlalu.Seketika, aku teringat ketika aku datang ke rumah ini tiga tahun yang lalu.Semua anggota keluarga menerimaku dengan baik. Mereka sudah menganggap aku salah satu bagian dari keluarnya. Bahkan, Bibik pun sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. “Riana, makan dulu,” ajak Bibik melihatku datang masih mengenakan seragam keperawatan. “Nanti saja, Bik. Aku mau melihat keadaan Nyonya dulu,” jawabku melangkah ke kamar Yeni. Sebagai perawat Yeni selama hampir 3 tahun, aku bekerja dengan giat. Aku memang butuh biaya untuk membayar hutang ayahku kapada rentenir yang dipakai berobat oleh ayahku. Nasibku sebagai anak sulung dan menganggung beban keluarga semenjak ayah di PHK dari tempatnya bekerja saat pendemi melanda. Tetapi, hari itu... Yeni memutuskan untuk menjadikan aku madunya. Meski Alvian awalnya menolak, tetapi ia tak kuasa menolak permintaan istri yang dicintainya. Sementara itu, aku pun takut mendengarkan permintaan ters
Pukul 9 malam, aku menyetujui untuk datang ke taman samping rumah meski telingaku masih panas dengan obrolan sebagian keluarga yang ada ruang tengah. Aku tidak perduli setelah ini aku pun bisa pergi dan minta bercerai dari suamiku, Alvian. Tugasku sebagai balas budi sudah selesai dan ingin menyehatkan telinga dengan menghilangkan tuduhan mereka yang tidak mendasar. “Sepi, kemana Nyonya Weni?”gumamku lirih. Tetapi aku dikejutkan oleh kedatangan beberapa orang keluarga Alvian diantaranya adalah Weni. “Punya nyali juga kamu rupanya,”ucap salah satu keluarga yang aku lupa namanya. “Saya ada janji dengan Nyonya Weni,”jawabku setelah menarik napas panjang agar bisa tenang. “Langsung saja, Ri. Saya membawaku ke sini untuk kesepakatan. Bukankah kamu menikah dengan Alvian karena berhasil menghasut Yeni. Sungguh licik kamu, demi harta yang Yeni miliki kamu bisa meyakinkannya supaya menjadikan kamu Nyonya di rumah ini, jangan mimpi!” “Maaf, Nyonya. Sejak awal saya menikah dengan Tuan Alvian
Menyeret koperku ke luar kamar, itulah jalan satu-satunya untuk pilihanku saat ini. Alvian sudah menalakku, meski aku belum memberikan penjelasan. Ada rasa lega ada juga sesal sudah mengenal keluarga Yeni. Andai saja aku tidak memilih untuk menjadi istri Alvian mungkin nasibku tidak seburuk ini. Kulihat sekali lagi sosok yang terbaring tak beraturan di sofa kamar dengan rasa sesal.Mengusap air mata agar tidak jatuh dan terlihat lemah. Kututup pintu kamar dan menuruni anak tangga sembari menyeret 2 koper besar. Aku memilih segera pergi tanpa menunggu Alvian bangun. Percuma jika aku memberikan penjelasan karena Alvian sudah memberikan talaknya kepadaku.“Nona mau kemana?” Suara Bibik menghentikan langkahku.“Aku harus pulang, Bik. Tuan Alvian sudah manalakku. Jaga baik-baik majikan Bibik.”Bibik melongo dengan menutup bibirnya yang tak bergincu. Dia mencoba menarik lenganku tetapi aku memaksa dengan halus supaya melepaskannya. Dengan berbagai alasan aku meyakinkan Bibik jika aku baik-b
Ayah menatap tajam keluar rumah. Aku mengikutinya dari belakang dengan penasaran. Nampak Weni dan beberapa laki-laki di belakangnya turun dan berjalan dengan angkuhnya menuju ke rumah. Senyum mengejek nampak dari wanita yang usianya lebih tua dari ibuku tersebut. “Apa kabar, Sandiaza?” Sapaan yang kurasa lebih tepatnya ejekan yang ditujukan kepada Ayahku. Aku mengernyit melihat interaksi kedua orang yang terlihat bermusuhan. Ayah tidak biasanya bersikap tidak sopan apalagi tahu jika Weni adalah ibu mertuaku, tepatnya mantan mertua. Para tamu duduk tanpa dipersilakan oleh pemilik rumah. Weni dengan angkuh melihat interior yang berada di sekitarnya. Sedangkan orang-orang yang mengikutinya turut mengawasi pergerakan kami, seolah ada kami seorang penjahat. “Berikan ponsel kamu!” perintahnya. Tentu aku terkejut, “Buat apa, Nyonya. Bukannya saya sudah keluar dari rumah itu. Apalagi yang Nyonya inginkan?” “Kamu baru dapat kiriman uang dari Alvian, kan. Kamu tidak layak menerima uang it
“Kak … Kak Riana, buka pintunya!” teriak adikku sangat keras. Dengan cepat kubuka pintu yang terbuat dari papan triplek tersebut. Kulihat wajah ketakutan dari adikku Faris yang berdiri sembari mengulurkan ponselnya. Dari tatapannya aku bisa pastikan sesuatu sudah terjadi dengan adikku. “Apa yang terjadi?” “Mertua Kakak sudah merampas ponselku dan memintaku mentranfer uang yang ada di rekening,” kata Faris dengan tubuh gemetar. “Apa? Gila, tuh orang. Trus gimana?” tanyaku penasaran. Sekarang aku yang kalut jika uang yang ada di rekening adikku habis bagaimana kami melanjutkan hidup nantinya. Mantan mertua kejam, tidak berperasaan sama sekali. Aku panik dan menyuruh adikku untuk minum terlebih dahulu. Kulihat wajahnya pucat dan gemetar. Kutenangkan diri Faris di ruang tamu sedangkan pikiranku sekarang blank tidak tahu hendak melakukan apa selanjutnya. Setelah tenang kemudian Faris bercerita jika bertemu dengan Weni saat keluar dari warung yang berada di ujung jalan. Waktu itu jala
Alvian terkejut melihat sikap ayahku. Tidak biasanya dia menerima sikap kasar dari kedua orangtuaku selama ini. Meskipun mereka tidak suka dengan pernikahanku yang tiba-tiba. Terlihat senyum mengejek dari Weni, dengan tangan bersedekap. Diarihnya putra semata wayang tersebut dan maju ke hadapan ayahku.“Orang miskin yang tidak tahu budi.” Weni menoleh kepada Alvian, “lihatlah, dia tidak menghormatimu. Sudah ditolong tidak tahu terima kasih. Sebaiknya segera kau ceriakan Riana, dan jangan berhubungan dengannya lagi! Ayo pulang, jangan sampai kita kena penyakit miskin dari mereka. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi mengenal keluargamu, Sandiaza,” teriak Weni dengan kasar menarik tangan Alvian.“Aku tidak sangka, kau khianati kepercayaan istriku, Riana. Jangan harap kamu bisa bebas berkeliaran setelah membuat kekacauan ini. Kupastikan hidup kamu tidak akan tenang, camkan itu, Riana!” ancam Alvian.Pria yang masih menatap tajam ke arahku itupun mengikuti langkah Weni. Sebelum memaksak
Segera kututup ponsel dan melirik ke arah dua orang berjarak agak jauh di belakang tempat dudukku. Rasa takut menjalar mengira jika orang-orang Weni atau Alvian membututi kepergianku. Kugeser tempat duduk memilih tempat yang lebih ramai. Dari cermin ponsel kulihat mereka celingukan mencari seseorang.Bunyi pengeras suara dari stasiun terdengar. Meminta para penumpang segera naik ke dalam kereta. Segera beranjak menuju arah kereta datang. Dengan menggunakan jaket berusaha menutupi wajahku. Baru melangkah terasa dua orang yang berkacamata hitam menarik bajuku.“Maaf, Nona. Kami utusan Tuan Alvian. Nona tidak bisa pergi dari kota ini begitu saja,” ancam salah satu pria berkacamata.“Kenapa, aku tidak ada urusan dengan Tuan kalian lagi,” dengusku kesal sembari meronta melepaskan cekalan tangan mereka.Aku memberi isyarat kepada petugas stasiun, mereka mendekat dengan lambaian tangan. Beruntung mereka mengerti dan segera mendekat ke arah kami. Dengan menarik tangan kedua orang suruhan Alvi
Aku menggeliat merasakan tubuhku remuk redam. Mata terbuka perlahan, masih teringat ketika berada dalam satu kamar dengan Dewi. Kuedarkan pandangan sekeliling tidak kutemui teman SMP ku itu di dalam kamar. “Mungkin dia sudah keluar kamar,” batinku. Setelah membersihkan diri aku bersiap untuk segera melanjutkan perjalanan menuju kantor perkebunan yang letaknya beberapa jam dari sini. Kulihat dari gogle mab tempat itu berada di perbukitan yang menarah ke utara. Aku menunggu Dewi hingga beberapa menit. Bodohnya aku semalam tidak minta nomer telponnya. Mondar-madir menunggu dengan perasaan tidak sabar akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada recepsionist. Aku terkejut mendapatkan pesan jika Dewi sudah pergi meninggalkan hotel duluan. Tetapi tagihan hotel sudah dibayar lunas, aku lega. Setidaknya dia tidak membohongi aku. Tapi yang membuatku heran mengapa menghilang tiba-tiba. Tidak ada pesan pula untukku. Bodo amat pikirku, mungkin dia tergesa-gesa dengan urusan keluarganya. Segera