Setelah memutuskan menikah dicatatan sipil, Arjuna dan Anjani hidup bersama dalam satu atap untuk mengenal satu sama lain. Tepatnya, di sebuah apartemen pemberiannya. Malam itu, Arjuna menghampiri Anjani yang tengah menonton tv di sofa ruang tamu. Ia menyodorkan secarik kertas berisi perjanjian lanjutan. “Hmmm—”Anjani menoleh. Ia menengadahkan wajah sambil memandang Arjuna yang masih berdiri. “Ini perjanjian lanjutan after we got married.” Dengan balutan piyama navy, Arjuna beranjak duduk disebelah gadis itu yang mana secara hukum sah sebagai istrinya. “Setidaknya ada lima pasal yang perlu kita bahas.” Anjani memandang serius. Ia meraih secarik kertas yang sedari tadi terabaikan olehnya.“Pertama, meski secara hukum pernikahan ini sah, kita akan tidur di kamar yang berbeda. Aku akan tidur di kamar utama dan kau di kamar tamu.” Arjuna mengambil jeda. “Kedua, dilarang mencampuri privasi masing-masing. Ketiga, setiap akhir pekan kita berusaha untuk makan malam bersama Nenek. Keempa
Pagi itu Arjuna menemui Nyonya Nirwasita di kediamannya. Jam sibuk kerja kini sudah tak dihiraukan olehnya sejak terlibat dengan Anjani. Si pekerja keras yang ambisius itu kini menjadi si pria yang hanya memikirkan cara agar menguasai semua tahta kerajaan keluarganya, Barathaland Group. “Ada apa denganmu, Sayang? Kau terlihat tidak bersemangat?” Nyonya Nirwasita menghampiri cucunya yang tengah bersandar di sofa. Wajahnya terlihat kusut dan keningnya mengkerut. Sejak bertengkar dengan Anjani kemarin, ia memutuskan untuk pergi. “Nek, apa kau marah jika aku jujur padamu?”Alis Nyonya Nirwasita menyatu. Tatapan matanya, menghunus Arjuna dengan tajam. “Tentang apa?” Arjuna menoleh. Ia memandang neneknya dengan wajah ragu. Sejujurnya, tentang pernikahan sipil itu, ia mengambil langkah yang terlalu jauh. “Aku dan Anjani—” Arjuna menggantungkan ucapannya. Bingung harus memulai darimana, Arjuna tak mampu melanjutkan ucapannya.“Ada apa dengan kalian?” Wajah cemas tergambar dari raut sang ne
Senja berganti malam. Arjuna terdiam di kursi kekuasaan ditengah gelap gulitanya ruangan. Hanya ada sinar rembulan yang menembus dari kaca ruangan tersebut. Berkali-kali ia menghela nafas sambil memikirkan apa yang terjadi. Ia berpikir, dulu hidupnya tentram dan damai. Namun, saat ini kehidupannya berubah 360 derajat. Keterlibatan Anjani dalam perebutan tahta berbuah malapetaka. Bukan ia tak tahu konsekuensinya dan bukan pula ia ingin menyalahkan keadaan, namun ia hanya tak memikirkan lebih jauh tentang rencananya. Arjuna merasa bodoh. Tak lama, derap langkah kaki membuyarkan lamunannya. Arjuna mendongak. Ia melihat sosok gadis menggelengkan kepala sambil mengejeknya. “Kau baik-baik saja, Tuan?” tanya gadis itu, tertawa tipis. Ia menatap tajam lalu membuang wajahnya. “Jika saja kau lebih tanggap, mungkin semua tak akan seheboh ini,” cicit Arjuna yang masih kesal. Lagi-lagi kesalahan dilimpahkan pada Naomi, Sekretaris perusahaannya. Setahu Arjuna, Naomi pribadi yang bisa menger
“Jadi apa rencana kalian selanjutnya?”Nyonya Nirwasita bergantian memandang Anjani dan Arjuna yang tengah menikmati makan malam. Mereka saling membisu di tengah meja itu. Arjuna melirik Anjani yang masih terus mengunyah. Meski sudah berbaikan, pria itu merasa Anjani masih bersikap dingin terhadapnya. “Arjuna, Anjani, kalian mendengarkan, Nenek?” Sekali lagi, Nyonya Nirwasita memastikan dan disaat itu pula keduanya menoleh.“Ya, Nek?” Lantas mereka saling memandang, tak disangka mereka bisa sekompak itu. Nenek pun terkekeh hingga membuat keduanya tersipu malu. “Tentang kabar berita itu ... bukankah lebih baik jika kita adakan pesta pernikahan?”Seketika Anjani tersedak. Mukanya memerah karena menahan makanan yang hampir menyumbat saluran nafasnya. Ia pun terbatuk. Arjuna yang duduk bersebelahan segera memberikan air minum, menuntun gadis itu lalu mengusap punggungnya. “Kau baik-baik saja?” tanya Arjuna dan Anjani hanya mengangguk. “Rasanya terlalu terburu-buru, Nek.” Arjuna menge
Malam itu, gemerlap bintang berkelip diatas langit, seolah bersorak atas kebahagiaan di sana, bulan yang terlihat bulat sempurna pun kontan menyinari pelaminan. Kini para tamu undangan silih berganti berdatangan, memasuki area lahan berukuran satu hektar tersebut. Di sekelilingnya telah terdapat beberapa media yang akan meliput. Pesta pernikahan yang diadakan di kediaman Nyonya Nirwasita, bersifat semi intimate, di mana hanya dihadiri beberapa rekan bisnis, keluarga inti, dan beberapa awak media. Lahan taman yang lebih terlihat seperti lapangan golf tersebut telah didekorasi dengan konsep rustic romantic. Pelataran beige sepanjang tiga meter membentang jalan dihiasi standing flower menuju pelaminan. Barisan kursi dan meja panjang telah tertata rapih di sisi kanan kiri pelataran tersebut. Beberapa orang yang sudah hadir telah memenuhi kursi tamu yang telah disesuaikan. Mereka siap menyambut kedatangan mempelai malam itu. Sambutan tepuk tangan menggema diiringi musik romantis yang berp
Suasana pagi tercipta begitu hangat, Nyonya Nirwasita tak henti-hentinya mengulas senyum. Kebahagiaannya kini terpenuhi, seorang cucu menantu yang menyayanginya sepenuh hati. Kala itu, matahari menyinari ruang makan yang berada di dekat kolam, pintu kaca yang terbuka membiarkan angin alam memberikan kesejukan di antara mereka. Anjani masih bergeming sambil menghabiskan sarapannya, sedangkan Arjuna sesekali melirik gadis tersebut. Ada yang berbeda dari gadisnya, wajah itu terlihat pucat dan sembab. “Kau baik-baik saja, Anjani?” Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Arjuna, Nyonya Nirwasita menelan keheningan. Wanita itu memandang Anjani intens, menatap mata yang tak berani memandangnya. “Kau sakit?” Sejak tadi Anjani masih belum menjawab pertanyaan sang nenek, pikirannya entah ke mana. Sesungguhnya ia merasa sangat malu, perasaannya berkecamuk atas kebohongan-kebohongan yang telah dilakukan. Hatinya tak mampu mengelabui wanita yang terlampau baik terhadapnya, serta tak mampu membohon
Sepekan berlalu, rapat umum pemegang saham luar biasa segera berlangsung. Desas-desus terdengar bersahutan ketika “orang baru” muncul pada rapat kali. Gadis dengan long coat blazer biru dan accordion skirt navy, membuat seluruh mata memandang ke arahnya. Rambut yang sedikit digulung ke atas dengan poni tipis berserakan membuatnya tampak manis. Tak sedikit wanita yang hadir di sana iri dengan kecantikannya. “Baik ... Bapak, Ibu, kita mulai acara rapat hari ini.” Naomi memecah desas-desus itu. Seluruh peserta rapat kini menoleh ke arahnya yang tengah duduk di bangku pertama sayap kanan Arjuna. Meja persegi yang membentang sepanjang tiga meter terlihat padat meski ada dua atau tiga kursi yang kosong. “Mata acara RUPSLB hari ini yakni membahas dua hal diantaranya pertama pengangkatan dan pemberhentian Direktur Keuangan dan Manajemen Resiko—”Belum genap Naomi menyelesaikan ucapannya, seketika ruangan menjadi bising. Para pemegang saham bersahutan, mereka tidak percaya bahwa pimpinan ra
Anjani berjalan di antara rerimbun pohon di pusat kota Jakarta Selatan. Sesekali ia merasa angin menyapu wajahnya dengan lembut. Sejak mendapati suaminya berpelukan dengan gadis lain, tak ada yang bisa ia perbuat, mengingat ada kesepakatan yang telah disetujui. 'Tapi tunggu? Seharusnya Arjuna tidak melupakan pasal keempat, tentang orang ketiga 'kan?' Entahlah, pikiran Anjani kini jadi kacau. Ia terus melangkah dengan menyampirkan long coat biru di lengan, lantas berjalan sambil mencoba menghilangkan kegalauanya. Anjani tiba di tribun taman tersebut, lantas duduk. Tiba-tiba nada pesan mengejutkan. Ia meraih ponsel dari saku coat-nya, melihat pesan yang datang dari sang sahabat. Naomi pasti khawatir tentang persaaannya saat ini. Are u ok? Seulas senyum tipis nampak di wajah Anjani, ia sungguh beruntung memiliki sahabat yang mengerti perasaannya. Anjani gegas mengetik. I don’t think so. But I’m trying to be okay. Pesan itu hampir saja dikirim, namun, ponselnya tiba-tiba mati. Ia