Share

The Beginning

Seminggu berlalu..

Jakarta Selatan, Indonesia. 

Sore itu langit tak lagi bercahaya. Awan gelap—mulai menyelimuti seluruh penjuru kota. Sang gemuruh saling bersahutan hingga memberi sensasi menakutkan. Hujan memang belum turun, namun aroma tanah mulai menelisik ke rongga hidung seseorang. Anjani terus berdiri diatas tanah kosong. Memandang lurus papan nama yang berdiri diatas tiang, “Barathaland Group,” gumamnya. 

Sesaat matanya terpejam. Ia tak mampu mempercayai bahwa tanah itu milik keluarga Arjuna. Tanah yang dulunya pernah berdiri sebuah bangunan dengan segala kenangan indah di dalamnya. 

“Aku bahkan tidak punya tempat untuk mengingat kenangan bersama mereka,” gumamnya, lirih.

Langit seolah tak mendukung, semilir angin kencang disertai rintik hujan membasahi. Anjani bergeming. Ia tak berniat melangkah pergi. Tubuhnya masih meminta untuk tetap tinggal dan mengenang masa-masa indah bersama kedua orang tuanya.

“Kau—Anjani Samitha?” 

Tiba-tiba suara berat mengejutkannya. Seketika gadis itu menoleh. Ia menatap serius kedua pria disana. Tubuhnya tidak terlalu besar, namun cukup terlihat menakutkan. Anjani bergidik ngeri. 

“Hmm—kalian siapa?” Anjani balik bertanya dengan suara bergetar. 

“Kami dari Krediby ingin menagih hutang keluargamu,” ujar salah seseorang dari mereka. 

“Huh? Apa? A-aku tidak merasa ada hutang dengan kalian.”

“Kau bisa jelaskan nanti,” ujar salah seorang dari mereka. 

Anjani melangkah mundur saat salah satu dari mereka ingin menariknya. 

Tubuhnya mulai bergetar. Ia mencoba menghindar dengan mencoba melewati mereka. Namun, seseorang menahan lengannya. 

“Sebelum kami bertindak keras, mari ikut dengan kami!” seru pria itu. 

Anjani tak memiliki pilihan lain, meski tubuhnya bergetar hebat, meski rasa takut menyelimuti, namun ia tak menunjukkannya dengan sangat jelas. Ia pun berjalan di depan keduanya lalu masuk ke sebuah mobil Alphard Vellfire hitam.

***

Detik jam berlalu tanpa sepatah kata pun terucap. Seorang pria paruh baya kini memandanginya dari atas kepala hingga ujung kaki, membuat Anjani merasa tidak nyaman. Suasana sangat tidak mendukung. Ia cemas bercampur takut. Dilihatnya secarik kertas di atas meja bertuliskan surat pernyataan mendiang ayahnya. Anjani beberapa kali menarik nafas mencoba setenang mungkin. Rasanya jantung gadis itu hampir berhenti berdetak. Matanya memerah. Kegugupannya ia tutupi dengan meremas jemari cantiknya.  

“Bima Sadjiwa, itu nama mendiang ayahmu, ‘kan?” tanya pria paruh baya tersebut. 

Anjani hanya memandang dengan wajah pucat. 

“Apa yang harus kulakukan—” gumamnya dalam hati.

Genggaman tangan gadis itu semakin erat. Jantungnya semakin berdebar lebih kencang.

“Kau tidak perlu khawatir, Nona. Aku tidak akan menyakitimu. Hanya jika kau bisa melunasi hutang-hutang tersebut.”

“Aku masih tidak mengerti.” Anjani menggelengkan kepalanya. “Dan aku tidak yakin bahwa ayahku akan meminjam uang kepada lintah darat sepertimu,” timpalnya dengan sangat berani. Tak disangka kalimat itu berhasil lolos dari bibirnya yang bergetar.

“Ini adalah tanda tangan kontrak yang disetujui oleh mendiang ayahmu. Sisa hutang beserta bunga masih ada empat ratus lima puluh juta,” tegas pria itu. 

“Bagaimana bisa aku yakin itu asli atau palsu?”

Anjani hampir saja beranjak dari duduk jika saja sebuah ancaman tidak terlontar dari mulut pria itu. “Kau boleh saja pergi! Namun, kemanapun kau pergi, kau akan selalu dalam pengawasan kami, Nona manis,” 

Deg. Jantungnya berhenti sepersekian detik. Mencoba menetralkan ketakutannya yang telah memuncak. Ia sungguh tak tahu, mendiang kedua orang tuanya meninggalkan sebuah hutang yang cukup besar. Sejak kapan? Bagaimana bisa? Alasan yang belum bisa ia terima. 

“Lalu aku harus apa?” Anjani menyerah. 

“Aku akan memberimu waktu tiga puluh hari untuk melunasi semuanya.”

“...” 

Tak ada jawaban dari gadis itu. Ia tertunduk lemas. 

“Jika tidak, kau bisa bekerja untukku, sweety.” Pria paruh baya itu melemparkan senyum sembari menatap tubuh Anjani dengan genit. 

***

Pagi itu, di sela-sela meeting seseorang tengah sibuk memandangi ponselnya. Seperti ada hal yang dicemaskan, wajahnya terlihat tidak tenang dan sesekali ia membenarkan posisi duduknya. Ditengah perdebatan, gadis itu sama sekali bergeming. 

“Baiklah, rapat kita tunda dulu. Kalian boleh melanjutkan pekerjaan,” ujar Arjuna mengakhiri rapatnya. 

Diliriknya sang sahabat yang tengah cemas. “Kau ada masalah, Naomi?” 

Orang itu langsung menoleh. Wajahnya terlihat bingung. Matanya memandangi ke seluruh penjuru ruangan dan ia baru sadar bahwa rapat telah berakhir. 

“Eung?” 

“Aku tanya, kau ada masalah?” tanya Arjuna memastikan.

“Ah, itu—” 

Naomi mendekati Arjuna yang tengah duduk di kursi pimpinan rapat. Ia pun berdiri disisinya, menceritakan segala kecemasannya. Sejak dua hari lalu, Anjani tak memberikan kabar padanya. Bahkan sejak gadis itu menginjakkan kaki kembali ke Indonesia. Naomi merasa ada yang tak beres. Hatinya mengatakan sesuatu pasti terjadi padanya. Namun, betapa bodoh hingga ia tak tahu dimana tempat tinggal Anjani saat ini.

“Aku bingung. Panggilan tak dijawab dan gadis itu belum memberitahuku tinggal dimana saat ini. Sedangkan aku tahu bahwa dia tak punya siapapun disini.”

Wajah Naomi terlihat putus asa. Arjuna mengernyitkan dahi. Berusaha menerka apa yang terjadi. 

“Apa kau tahu saat ini dia dimana?”

Arjuna sontak menoleh. 

“Bukankah kalian terikat kon—”

“Hssst!” 

Arjuna berdesis. Pria itu berisyarat bahwa tak boleh ada yang tahu tentang hal tersebut. Ia pun melirik Kris.

“Tolong Arjuna. Aku punya firasat yang tidak enak tentang gadis itu.” Naomi memohon. Sedangkan Arjuna masih bersikap dingin.

“I’ll try my best.”

***

Ting! 

Suara pintu lift terbuka. Arjuna melangkah dengan mantap. Wajahnya tampak serius menyusuri lorong apartemen siang itu. Langkah kaki seolah mengisi kesunyian. Sesekali pria itu melihat jam tangannya. Ia menyesali mengapa harus terlibat hal yang membuatnya sibuk selain pekerjaan. 

Tiba di unit A808, Arjuna pun menekan bel yang terletak di sisi kiri pintu. Sekali, dua kali, hingga kesekian kali tak ada jawaban. Ia lantas merogoh ponsel yang tersimpan dibalik saku jasnya, menekan nama ‘Anjani’ hingga muncul nada tunggu, namun hal serupa terulang, tak ada jawaban. Sekali lagi ia mencoba menghubunginya, ditengah kesunyian ia mendengar samar-samar, bahkan hampir tak terdengar, bahwa ada suara ponsel yang berdering. Ia pun mengernyitkan dahi. 

“There is something wrong!” gumamnya. 

Tak pikir panjang, Arjuna menekan pin kamar itu. 

808080 bep! 

Suara pintu terbuka. 

“Tsk! Bahkan dia tidak mengubah pin unit ini.” 

Langkah kakinya tergesa. Arjuna menemukan sosok gadis tertidur sambil meringkuk di sofa. Ia mendekatinya. 

“Anjani,” ujarnya pelan, namun sang empunya nama tak menjawab. Pria itu pun berlutut di sisi sofa, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.

“Hei, kau bisa mendengarku?” tanya pria itu sekali lagi, Arjuna tampak ragu menyentuh gadis itu. Jemarinya terasa kaku. Akhirnya, Arjuna berusaha membangunkannya dengan mengoyakkan tubuh Anjani pelan, seketika gadis itu terkejut. Ia gegas terduduk dan bangun dari tidurnya, wajahnya dipenuhi ketakutan. 

“Tenang—ini aku, Arjuna.” 

Melihat gadis itu sangat ketakutan, Arjuna mendongakkan wajah Anjani. 

“Ya Tuhan, tubuhnya panas sekali,” batin Arjuna. 

“K-k-kau?” 

Anjani menghamburkan tubuhnya, memeluk Arjuna yang masih berlutut di hadapannya, erat, seolah tak ingin lepas. Sedangkan pria itu terlihat sangat kebingungan.

“Tolong aku!” pinta gadis itu, lirih. 

Terdengar suara getar bercampur isak tangis mengiringi. Dan Arjuna, satu-satunya yang masih tak mengerti dengan situasi ini. 

“Tenanglah, aku akan membantumu.” Ia membiarkan Anjani menangis dalam dekapannya.

30 menit berlalu..

Arjuna melirik gadis itu dari pantry yang terlihat langsung ke sofa ruang tamu. Sesekali ia memandangi gadis yang masih meringkuk dengan berbalut selimut. Ia mengaduk teh dengan pelan sambil menerka apa yang sedang gadis itu pikirkan. Setelahnya ia pun mendekat, memberikan secangkir teh hangat untuk gadis tersebut.

“Thank you,” ujar Anjani. 

Arjuna duduk disisi gadis itu, menatap mata sembab dan wajah kacaunya. Ini tak seperti gadis yang ia lihat pertama kali. 

“Apa yang bisa aku bantu?” tanya Arjuna, to the point. 

Anjani menoleh. 

Memandang pria yang kini duduk tepat di sisinya. Anjani sungguh malu memandang wajah Arjuna. Tak lama, ia pun terisak, kembali teringat ancaman lintah darat itu. Ia terjebak dan tak tak tahu menahu soal hutang mendiang ayahnya, namun ia harus menanggung semua itu. Anjani merasa ini semua tak adil baginya. 

“Tolong bantu aku—” ujarnya menggantungkan ucapan.

“Apa?”

“A-aku tak tahu sejak kapan ini terjadi, tapi, orang tuaku meninggalkan hutang yang sangat besar,” lanjutnya dengan suara parau.

Mengingat pekerjaan Anjani sebelumnya. Gadis itu tak mungkin bisa melunasi hutang tersebut. “Mereka menagih padaku, sedangkan aku tak tahu apa-apa.” Dengan susah payah Anjani mencoba mengungkapkan kenyataan yang terjadi padanya. Sedangkan Arjuna, ia hanya bergeming, memandang kosong wajah gadis itu. 

“Jika dalam tiga puluh hari aku tak bisa lunasi hutang tersebut, aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan padaku.”

Kini jemarinya bergetar. Air mata mengalir tanpa diperintahkan. Malu. Ia merasa harga dirinya runtuh. Entah apa yang dipikirkan Arjuna saat ini, Anjani tak lagi peduli, sekalipun harus di cap sebagai gadis matre

Tak banyak bertanya, Arjuna pun langsung menyetujuinya. Ia hanya mampu memandang gadis itu dengan iba. 

“Setelah ini, Kris akan mengantarmu ke rumah sakit.” Arjuna beranjak dari duduknya dan berlalu.

“Maafkan aku, Naomi. Aku butuh bantuannya. Aku tak bisa membatalkan kontrak ini,” gumam Anjani melihat kepergian Arjuna.

***

Комментарии (1)
goodnovel comment avatar
Rubby
Kenapa gak doi aja sih yg anter ke rumah sakit wakaka
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status