Maya terdiam, tubuhnya terasa kaku saat Bagas mendekatkan wajahnya, perlahan-lahan mencium bibirnya. Ada perasaan campur aduk yang muncul dalam dirinya—takut, bingung, dan terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia inginkan. Namun, seiring dengan detakan jantungnya yang semakin keras, Maya mencoba untuk menahan perasaan itu, berusaha menghindari apa yang terjadi.
"Tuan, tolong...," kata Maya lirih, mencoba menarik mundur dirinya, tetapi Bagas, yang masih terlarut dalam dorongan emosinya, tidak segera melepaskannya. Maya pun membiarkan semua itu terjadi. Mulai menutup kedua mata dan menikmati setiap sentuhan dari suaminya. Malam itu, mungkin akan jadi malam yang selalu diingat oleh Maya. Malam di mana Bagas–Majikan sekaligus suaminya merenggut paksa keperawanannya. *** “Maya! Maya!” Clara berteriak dengan keras. Membuat suaranya menggema di seluruh ruangan tersebut. Maya terbangun dengan terkejut ketika mendengar suara Clara memanggil namanya dari luar kamar. Jantungnya berdebar kencang, dan ia melihat sekelilingnya, merasa canggung dan kebingungan. Ia menatap Bagas yang masih terbaring di sampingnya, matanya terlihat kosong dan tidak fokus. Maya bisa merasakan ketegangan di antara mereka sejak kejadian semalam, dan hari itu tampaknya tidak akan lebih baik. Dengan cepat, Maya bangkit dari tempat tidur dan merapikan diri, berusaha menenangkan dirinya sebelum keluar dari kamar. Namun, sebelum ia bisa sepenuhnya siap, suara Clara yang terdengar semakin jelas kembali memanggilnya. "Maya! Ayo cepat, jangan berlama-lama!" Clara berteriak dengan nada yang tegas dari meja makan. Maya merasa semakin gelisah. Dengan cepat, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar, mencoba untuk menutupi kecemasannya di hadapan Clara. Ia tahu bahwa Clara tidak akan mentolerir keterlambatan sedikit pun. Clara menatap Maya dengan tajam, memperhatikan penampilannya yang tampak sedikit berantakan. Rambut Maya yang semalam masih tergerai rapi kini terlihat kusut, dan matanya tampak sedikit bengkak, seolah tidak mendapatkan tidur yang cukup. Clara mengernyitkan dahi, ia yakin semalam Maya dan Bagas sudah melakukan malam pertama sebagai sepasang pengantin baru. "Kenapa sarapan untukku belum siap?" tanya Clara, suaranya datar namun jelas mengandung nada kecewa. Ia menyandarkan sikunya di meja makan, menatap Maya tanpa mengalihkan pandangannya. Maya terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia segera menundukkan kepala, merasa cemas. "Maaf, Nyonya, saya baru saja bangun... saya akan segera menyiapkannya," jawab Maya terburu-buru, berusaha menutupi kegelisahannya. Clara menatap Maya dengan tatapan tajam, matanya yang dingin dan penuh perhitungan. Suasana di ruang makan yang sebelumnya tenang kini berubah tegang, seiring dengan suara Clara yang berubah menjadi tajam dan penuh amarah. "Maya," Clara berkata dengan nada yang keras, suaranya menggema di seluruh ruangan, "walaupun posisi mu sekarang sudah menjadi istri Bagas, itu nggak mengubah apapun. Kamu tetaplah pembantu di rumah ini. Ingat itu." Maya terdiam, tubuhnya terasa kaku. Setiap kata Clara menghantamnya dengan keras, dan ia merasa seolah diletakkan kembali ke tempat yang sama, posisi rendah yang tidak pernah bisa ia lepaskan. Clara memandangnya dengan penuh penekanan, memastikan bahwa Maya mendengar setiap kata yang diucapkannya. "Jangan pernah lupa," lanjut Clara, "bagaimana semua ini terjadi. Kamu di sini karena aku yang mengizinkan, dan kamu hanya mendapatkan sedikit dari apa yang Mas Bagas miliki karena itu adalah kesepakatan yang sudah kita buat. Jadi, jangan merasa berhak lebih." Maya menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir saja muncul. Ia merasa seperti terjebak dalam permainan yang tidak pernah ia pilih. Di satu sisi, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti kehendak Clara, namun di sisi lain, hati kecilnya meronta menolak perlakuan ini. Bagaimana pun, ia adalah manusia dengan perasaan dan kehendaknya sendiri, meskipun posisi dan keadaan menekannya untuk tetap tunduk. Clara melanjutkan dengan nada yang lebih datar namun penuh tekanan, "Lakukan tugasmu dengan baik, dan jangan coba-coba melupakan siapa yang memberimu semua ini." Maya hanya bisa mengangguk pelan, berusaha menahan perasaan yang menggelora di dadanya. Ia tahu bahwa setiap tindakan atau perkataannya akan selalu berada di bawah pengawasan Clara. Sambil menahan amarah yang tumbuh dalam dirinya, Maya bergegas menuju dapur, berusaha menenangkan diri meskipun hati dan pikirannya terasa semakin kacau.“Sekarang cepat katakan, darimana kalian pergi?” tanya Clara dengan mata yang terliat menyelidiki. “Aku baru saja mengantar Maya ke rumah sakit, dan kamu tahu Dokter bilang apa?” Bagas menghentikan ucapannya. “Dokter bilang kalau Maya saat ini sedang mengandung, itu berarti sebentar lagi kita akan memiliki anak, Sayang.” Bagas dengan wajah bahagia segera meraih tangan Clara. Kebahagiaan yang di rasakan Bagas justru berbanding terbalik dengan Clara, wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan. Melainkan lebih pada kebencian. Clara langsung menarik kedua tangannya dengan kasar. “Kita,” ucapnya dengan senyum sinis. “Kamu yang menginginkan anak itu, bukan aku.” Jawaban Clara langsung membuat Bagas terdiam, ia tidak menyangka jika Clara yang awalnya ia pikir akan bahagia dengan kehamilan Maya justru menolak berita bahagia tersebut. “Sayang, aku tahu kalau selama ini aku yang menginginkan anak itu, tapi bukankah setelah anak itu lahir aku akan bercerai dengan Maya dan secara tidak langsung
“Jam segini makanan belum juga siap?” ucap Clara saat sudah berdiri di meja makan. Clara melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kanannya. Terlihat jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi. Namun, meja makan masih terlihat begitu rapi tanpa ada makanan yang tersaji. Clara memegang salah satu kursi sambil tangan yang lain menyentuh pinggangnya. Tatapannya terlihat penuh dengan emosi yang sudah siap ia lampiaskan kepada Maya, asisten rumah tangga sekaligus madunya. “Dimana wanita itu, kenapa sampai jam segini masih belum ada sarapan untukku.” Clara segera berjalan ke arah paviliun. Dengan perlahan Clara membuka pintu kamar Maya yang tidak terkunci, terlihat Maya masih terlelap dalam tidurnya. Clara yang sudah tidak dapat menahan emosinya segera berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di pojok paviliun. Dengan segera ia mengambil seember air dan membawanya ke kamar Maya. Dengar gerakan cepat Clara langsung menyiramkan air ke arah Maya yang masih tertidur pulas. “Dasar pembant
“Clara, mau kemana kamu pagi-pagi begini?” tanya Aminah saat melihat Clara akan meninggalkan rumah. “Ibu? Hari ini ada jadwal syuting yang cukup pagi, jadi aku harus ke lokasi lebih awal dari biasanya.” Clara walaupun terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan Aminah. Namun, ia masih berusaha untuk menjawab pertanyaan mertuanya itu dengan lembut. “Syuting!” ucap Aminah dengan nada sedikit lebih keras. “Clara … Ibu tahu kamu adalah seorang artis terkenal, tapi kamu nggak bisa melupakan tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang istri untuk Bagas.”“Maksud ibu apa?” tanya Clara sambil menyilangkan tangannya di dada. Aminah dengan tatapan otoriter mulai mendekati Clara yang berdiri tidak jauh darinya. Tatapan Aminah begitu tajam menatap Clara, menantu yang selama ini selalu ia banggkan. “Asal kamu tahu, Clara. Tugas utama seorang istri adalah melahirkan seorang anak dan melayani suaminya di rumah.”
Maya yang tertidur pulas di ranjang kecilnya langsung terbangun dengan nafas terengah saat mendengar pintu kamarnya dibuka dengan keras. Matanya yang masih setengah mengantuk menatap ke arah pintu, dan ia terkejut melihat Bagas berdiri di sana dengan ekspresi wajah tegang."Tuan... ada apa?" tanya Maya gugup sambil mencoba bangkit dari tempat tidur.Bagas berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya dengan sedikit keras. Ia menatap Maya tajam, membuat wanita itu semakin merasa kecil dihadapannya.Maya terkejut saat tangan Bagas dengan cepat meraih tangannya dan menariknya hingga tubuhnya terjatuh dalam pelukan pria itu. Napasnya memburu, matanya melebar menatap kosong ke arah bahu Bagas yang kini memeluknya erat. Ia terlalu bingung untuk berkata apa-apa."Tuan... apa yang Anda lakukan?" tanya Maya dengan suara gemetar, mencoba menjauh, namun pelukan Bagas justru semakin erat.Bagas menghel
Saat makan malam berlangsung, suasana di meja makan terasa sedikit canggung. Clara duduk di sebelah Bagas, dengan ekspresi tenang namun penuh kewaspadaan. Aminah duduk di seberang mereka, memperhatikan kedua anak itu dengan tatapan lembut tapi penuh rasa ingin tahu.Bagas berusaha menjaga suasana tetap ringan. Ia menyendokkan makanan ke piringnya sambil tersenyum kecil. "Ibu, bagaimana masakan Maya hari ini? Tadi dia bilang mencoba resep baru."Aminah menatap piringnya sejenak sebelum mengangguk. "Masakan Maya selalu enak. Tapi, Bagas, aku merasa ada sesuatu yang berbeda di rumah ini akhir-akhir ini."Clara yang tengah menyuap makanan tiba-tiba berhenti. Ia meletakkan sendoknya dengan perlahan, lalu menatap Aminah dengan senyum tipis. "Oh, Ibu, apa maksudnya? Maksud Ibu suasananya berbeda seperti apa?" tanyanya dengan nada lembut, meskipun sorot matanya penuh arti.Aminah tersenyum kecil. "Entahlah, mungkin
Clara membuka pintu rumah dengan keras dan langsung masuk ke dalam, suaranya menggema di seluruh ruangan.“Mas! Mas Bagas, di mana kamu?!” serunya dengan nada tinggi, membuat suasana rumah yang semula tenang berubah tegang.Di belakang Clara, Maya berjalan dengan kepala tertunduk. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia berusaha menahan isakanya agar tidak terdengar. Tangannya gemetar, memegang sudut jilbabnya, mencoba menenangkan diri.Clara menoleh sekilas ke arah Maya, wajahnya penuh dengan emosi. “Jangan hanya diam di situ, Maya! Kau ikut ke sini.”Clara mendengus kesal, lalu kembali berteriak, “Mas Bagas! Keluar sekarang juga!”Dari arah tangga, langkah kaki terdengar mendekat. Bagas muncul dengan wajah kebingungan, melihat Clara berdiri dengan tatapan penuh amarah, sementara Maya di belakangnya terlihat menangis.“Ada apa ini, Sayang?” tanya Bagas dengan nada datar,