Share

Bab 4. Pernikahan Siri

last update Huling Na-update: 2025-01-01 21:04:33

Hari itu, langit mendung seakan ikut merasakan beban yang dirasakan oleh semua pihak yang terlibat. Sebuah masjid kecil yang sederhana, terletak di sebuah kampung di pinggiran kota, menjadi saksi dari pernikahan yang penuh dengan ketegangan dan air mata. Clara sengaja memilih lokasi ini, jauh dari sorotan media, keramaian kota, bahkan dari keluarga mereka sendiri.

Clara tiba lebih dulu dengan mengenakan pakaian rapi. Namun, sederhana, berbeda dari penampilan glamornya yang biasa. Di belakangnya, Bagas dan Maya mengikuti dengan langkah berat. Bagas tampak tidak bersemangat, sementara Maya menundukkan kepala sepanjang perjalanan ke dalam masjid, hatinya dipenuhi kegelisahan.

Di dalam masjid, hanya ada seorang penghulu, dua saksi dari kampung setempat yang tidak mengenal mereka, dan suasana hening yang terasa mencekam. Clara memastikan semuanya berjalan sesuai rencananya. Ia berbicara kepada penghulu dengan nada tenang. Namun, tegas, menjelaskan bahwa ini adalah pernikahan siri atas persetujuan semua pihak.

Ketika prosesi dimulai, penghulu meminta kedua mempelai untuk duduk. Bagas, yang biasanya terlihat tegas dan percaya diri, kali ini tampak gugup dan enggan. Ia sesekali melirik Clara, berharap wanita itu berubah pikiran. Namun, Clara hanya balas menatapnya dengan ekspresi dingin, seolah memberi peringatan bahwa ini adalah jalan yang harus mereka tempuh.

Maya, di sisi lain, duduk dengan kepala tertunduk. Ketika penghulu bertanya apakah ia bersedia menikah dengan Bagas, Maya menjawab dengan suara pelan. Namun, jelas, "Saya bersedia." Jawaban itu seperti pedang yang menusuk hati Bagas.

Penghulu kemudian melanjutkan prosesi ijab kabul. Suara Bagas terdengar berat dan penuh keraguan saat mengucapkan akad. Namun, ia menyelesaikannya tanpa cela. Dengan itu, Maya resmi menjadi istri kedua Bagas dalam ikatan pernikahan siri.

Clara yang berdiri di belakang mereka tersenyum tipis, puas melihat rencananya berjalan mulus. Ia melangkah mendekati Maya dan berkata dengan nada datar, "Selamat, Maya. Mulai sekarang, kau adalah bagian dari keluarga ini. Jangan lupa peranmu."

Maya hanya mengangguk lemah, sementara Bagas menahan perasaan kecewa yang semakin menguat di hatinya. Dalam hati, ia merasa seperti kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.

Setelah prosesi selesai, Clara dengan sigap membawa mereka keluar dari masjid, memastikan tidak ada warga sekitar yang sempat bertanya-tanya. Mereka langsung kembali ke mobil, meninggalkan kampung itu dalam diam.

Sepanjang perjalanan pulang, suasana di dalam mobil begitu sunyi. Clara sibuk dengan ponselnya, Bagas memandang keluar jendela dengan ekspresi dingin, sementara Maya memeluk tangannya sendiri, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.

Sesampainya di rumah, Clara langsung turun dari mobil dengan langkah cepat. Tanpa menunggu Bagas dan Maya, ia masuk ke dalam rumah, mengatur semuanya dengan kendali penuh seperti biasa. Maya mengikuti di belakang, ragu-ragu, sementara Bagas tampak masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Clara berhenti di depan sebuah kamar yang terletak di sudut rumah, bukan kamar utama, melainkan kamar tamu yang sederhana. Ia menunjuk ke arah pintu dengan sikap tegas. "Ini adalah kamar pengantin kalian," katanya dengan nada tanpa emosi. "Tapi ingat, ini hanya untuk malam ini. Besok pagi, semuanya kembali seperti semula. Maya akan kembali menjadi pembantu di rumah ini, dan pernikahan ini nggak akan mengubah apapun."

Maya menundukkan kepala, menggigit bibirnya untuk menahan air mata. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan demi menyelamatkan ayahnya, tetapi mendengar ucapan Clara seperti itu tetap saja menyakitkan.

"Sebelum aku pergi," Clara memulai dengan nada datar, "aku ingin mengingatkan sesuatu. Aku sudah mengirimkan semua uang yang kau butuhkan untuk pengobatan ayahmu, Maya. Ayahmu akan mendapatkan perawatan terbaik sampai sembuh."

Maya mengangguk pelan, matanya masih merah dan berkaca-kaca. "Terima kasih, Nyonya..." ucapnya lirih, meskipun hatinya terasa berat menerima kenyataan di balik bantuan itu.

Namun, Clara belum selesai. Ia memandang Maya tajam, seolah ingin memastikan setiap kata-katanya tertanam dalam benak wanita itu. "Dan untuk sisanya, aku akan memberikannya setelah kalian berdua bercerai—setelah anak yang kuinginkan lahir."

Kata-kata itu seperti pisau tajam yang menghujam hati Maya dan Bagas. Maya menunduk lebih dalam, sementara Bagas mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ia tidak percaya Clara bisa berbicara seperti itu, tanpa sedikit pun rasa empati.

"Clara, cukup!" Bagas akhirnya bersuara, suaranya rendah namun penuh amarah. "Kau nggak bisa memperlakukan ini seperti transaksi bisnis."

Clara menoleh dengan ekspresi dingin, menatap suaminya tanpa rasa takut. "Ini bukan bisnis, Mas. Ini adalah cara untuk mendapatkan apa yang aku inginkan tanpa mengorbankan karir dan tubuhku. Dan kau, lebih baik terima kenyataan ini daripada terus berdebat."

Ia menghela napas pendek sebelum melanjutkan, "Ingat, Mas. Semua yang kau miliki sekarang, semua yang kita bangun bersama, ada karena aku. Jadi jangan pernah berpikir untuk melawan."

Setelah berkata demikian, Clara berbalik dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban. Langkahnya penuh percaya diri, meninggalkan keheningan yang memekakkan di antara Maya dan Bagas.

Maya menatap lantai dengan air mata yang mulai mengalir, merasa seperti pion dalam permainan yang tidak pernah ia pilih untuk mainkan. Sementara itu, Bagas berdiri di tempatnya, memandang pintu yang baru saja ditutup Clara. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya sampai kapan ia bisa bertahan dengan situasi yang begitu menghancurkan ini.

Setelah kepergian Clara, keheningan menyelimuti kamar itu. Maya masih berdiri di dekat pintu, terlihat ragu-ragu untuk melangkah lebih jauh. Ia melirik sekilas ke arah ranjang sederhana yang berada di tengah ruangan.

"Tuan Bagas," Maya memecah keheningan dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. "Saya akan tidur di lantai saja. Saya tahu posisi saya."

Bagas, yang masih berdiri dengan tatapan kosong, akhirnya mengalihkan pandangannya ke Maya. Ia menghela napas berat, mencoba menenangkan kekacauan di dalam dirinya.

"Enggak, Maya," jawabnya tegas, namun suaranya tetap lembut. "Kau nggak akan tidur di lantai. Kau adalah istriku sekarang, meskipun aku tahu ini bukan pilihanmu."

Maya terkejut mendengar ucapan Bagas. Ia menggeleng cepat, matanya kembali berkaca-kaca. "Tapi, Tuan—"

"Berhenti memanggilku 'Tuan'," potong Bagas dengan nada yang sedikit lebih keras. "Setidaknya untuk malam ini, panggil aku Mas. Kau sudah cukup menderita karena keputusan yang bukan milikmu."

Maya hanya bisa diam, merasa semakin tertekan dengan situasi ini.

Saat suasana malam yang sunyi di kamar itu terasa semakin berat, Bagas berdiri dari tempat tidurnya dan melangkah mendekat ke arah Maya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia meraih tangan Maya yang terulur ke samping, menggenggamnya dengan lembut. Namun, kuat. Bagas menatap Maya dengan intens, matanya penuh kebingungan dan dorongan yang sulit ia kendalikan.

Maya terkejut dengan tindakan Bagas yang begitu mendalam, bahkan terasa mengancam. Jantungnya berdegup kencang, dan tanpa bisa menahan dirinya, ia mencoba menarik tangannya kembali, menjauhkan diri dari Bagas. "Mas, jangan ...." kata Maya dengan suara gemetar, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya panik.

Namun, Bagas tidak melepaskan cengkeramannya. Ia mendekatkan wajahnya ke leher Maya dan, tanpa peringatan, mencium kulitnya dengan lembut. Maya merasa tubuhnya kaku, seolah seluruh energi di dalam dirinya lenyap begitu saja. Ia tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi, tidak tahu harus bersikap bagaimana di hadapan suaminya, yang sekarang menjadi orang yang terasa asing bagi dirinya.

"Mas, tolong ...," Maya berusaha berbalik dan menatap Bagas dengan wajah yang penuh ketakutan. "Aku ... nggak bisa."

Bagas, meskipun masih memegang tangannya, berhenti sejenak. Wajahnya tampak bingung, ada perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya. "Maya," katanya, suaranya lebih lembut, namun tetap mengandung keraguan dan kebingungan. "Aku nggak mau memaksamu. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kita harus melakukannya.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 17. video Bagas

    “Sekarang cepat katakan, darimana kalian pergi?” tanya Clara dengan mata yang terliat menyelidiki. “Aku baru saja mengantar Maya ke rumah sakit, dan kamu tahu Dokter bilang apa?” Bagas menghentikan ucapannya. “Dokter bilang kalau Maya saat ini sedang mengandung, itu berarti sebentar lagi kita akan memiliki anak, Sayang.” Bagas dengan wajah bahagia segera meraih tangan Clara. Kebahagiaan yang di rasakan Bagas justru berbanding terbalik dengan Clara, wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan. Melainkan lebih pada kebencian. Clara langsung menarik kedua tangannya dengan kasar. “Kita,” ucapnya dengan senyum sinis. “Kamu yang menginginkan anak itu, bukan aku.” Jawaban Clara langsung membuat Bagas terdiam, ia tidak menyangka jika Clara yang awalnya ia pikir akan bahagia dengan kehamilan Maya justru menolak berita bahagia tersebut. “Sayang, aku tahu kalau selama ini aku yang menginginkan anak itu, tapi bukankah setelah anak itu lahir aku akan bercerai dengan Maya dan secara tidak langsung

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 16. Kebersamaan

    “Jam segini makanan belum juga siap?” ucap Clara saat sudah berdiri di meja makan. Clara melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kanannya. Terlihat jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi. Namun, meja makan masih terlihat begitu rapi tanpa ada makanan yang tersaji. Clara memegang salah satu kursi sambil tangan yang lain menyentuh pinggangnya. Tatapannya terlihat penuh dengan emosi yang sudah siap ia lampiaskan kepada Maya, asisten rumah tangga sekaligus madunya. “Dimana wanita itu, kenapa sampai jam segini masih belum ada sarapan untukku.” Clara segera berjalan ke arah paviliun. Dengan perlahan Clara membuka pintu kamar Maya yang tidak terkunci, terlihat Maya masih terlelap dalam tidurnya. Clara yang sudah tidak dapat menahan emosinya segera berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di pojok paviliun. Dengan segera ia mengambil seember air dan membawanya ke kamar Maya. Dengar gerakan cepat Clara langsung menyiramkan air ke arah Maya yang masih tertidur pulas. “Dasar pembant

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 15.

    “Clara, mau kemana kamu pagi-pagi begini?” tanya Aminah saat melihat Clara akan meninggalkan rumah. “Ibu? Hari ini ada jadwal syuting yang cukup pagi, jadi aku harus ke lokasi lebih awal dari biasanya.” Clara walaupun terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan Aminah. Namun, ia masih berusaha untuk menjawab pertanyaan mertuanya itu dengan lembut. “Syuting!” ucap Aminah dengan nada sedikit lebih keras. “Clara … Ibu tahu kamu adalah seorang artis terkenal, tapi kamu nggak bisa melupakan tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang istri untuk Bagas.”“Maksud ibu apa?” tanya Clara sambil menyilangkan tangannya di dada. Aminah dengan tatapan otoriter mulai mendekati Clara yang berdiri tidak jauh darinya. Tatapan Aminah begitu tajam menatap Clara, menantu yang selama ini selalu ia banggkan. “Asal kamu tahu, Clara. Tugas utama seorang istri adalah melahirkan seorang anak dan melayani suaminya di rumah.” 

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 14. Malam Panas

    Maya yang tertidur pulas di ranjang kecilnya langsung terbangun dengan nafas terengah saat mendengar pintu kamarnya dibuka dengan keras. Matanya yang masih setengah mengantuk menatap ke arah pintu, dan ia terkejut melihat Bagas berdiri di sana dengan ekspresi wajah tegang."Tuan... ada apa?" tanya Maya gugup sambil mencoba bangkit dari tempat tidur.Bagas berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya dengan sedikit keras. Ia menatap Maya tajam, membuat wanita itu semakin merasa kecil dihadapannya.Maya terkejut saat tangan Bagas dengan cepat meraih tangannya dan menariknya hingga tubuhnya terjatuh dalam pelukan pria itu. Napasnya memburu, matanya melebar menatap kosong ke arah bahu Bagas yang kini memeluknya erat. Ia terlalu bingung untuk berkata apa-apa."Tuan... apa yang Anda lakukan?" tanya Maya dengan suara gemetar, mencoba menjauh, namun pelukan Bagas justru semakin erat.Bagas menghel

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 13. Keputusan

    Saat makan malam berlangsung, suasana di meja makan terasa sedikit canggung. Clara duduk di sebelah Bagas, dengan ekspresi tenang namun penuh kewaspadaan. Aminah duduk di seberang mereka, memperhatikan kedua anak itu dengan tatapan lembut tapi penuh rasa ingin tahu.Bagas berusaha menjaga suasana tetap ringan. Ia menyendokkan makanan ke piringnya sambil tersenyum kecil. "Ibu, bagaimana masakan Maya hari ini? Tadi dia bilang mencoba resep baru."Aminah menatap piringnya sejenak sebelum mengangguk. "Masakan Maya selalu enak. Tapi, Bagas, aku merasa ada sesuatu yang berbeda di rumah ini akhir-akhir ini."Clara yang tengah menyuap makanan tiba-tiba berhenti. Ia meletakkan sendoknya dengan perlahan, lalu menatap Aminah dengan senyum tipis. "Oh, Ibu, apa maksudnya? Maksud Ibu suasananya berbeda seperti apa?" tanyanya dengan nada lembut, meskipun sorot matanya penuh arti.Aminah tersenyum kecil. "Entahlah, mungkin

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 12. Terbongkar

    Clara membuka pintu rumah dengan keras dan langsung masuk ke dalam, suaranya menggema di seluruh ruangan.“Mas! Mas Bagas, di mana kamu?!” serunya dengan nada tinggi, membuat suasana rumah yang semula tenang berubah tegang.Di belakang Clara, Maya berjalan dengan kepala tertunduk. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia berusaha menahan isakanya agar tidak terdengar. Tangannya gemetar, memegang sudut jilbabnya, mencoba menenangkan diri.Clara menoleh sekilas ke arah Maya, wajahnya penuh dengan emosi. “Jangan hanya diam di situ, Maya! Kau ikut ke sini.”Clara mendengus kesal, lalu kembali berteriak, “Mas Bagas! Keluar sekarang juga!”Dari arah tangga, langkah kaki terdengar mendekat. Bagas muncul dengan wajah kebingungan, melihat Clara berdiri dengan tatapan penuh amarah, sementara Maya di belakangnya terlihat menangis.“Ada apa ini, Sayang?” tanya Bagas dengan nada datar,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status