Pintu kamar diketuk pelan, membuat Arnold terpaksa melepaskan pelukan hangatnya pada Emily. Ia beranjak dari tempat tidur, berjalan dengan langkah ringan namun penasaran, lalu membuka pintu.“Ada apa, Sanny?” tanyanya spontan.“Sally, Tuan,” koreksi perempuan di hadapannya, tersenyum maklum.Arnold mengerjap sebentar lalu menghela napas. “Maaf, aku lupa. Ada apa?” tanyanya lagi, suaranya terdengar sedikit canggung.“Ada tamu untuk Tuan. Katanya dari EAB, namanya kalau tidak salah Daisy,” jelas Sally sopan.Arnold terdiam sejenak. Nama itu tidak membangkitkan memori apa pun di kepalanya. Bahkan nama-nama keluarganya sendiri saja masih terasa asing di ujung ingatannya. Daripada memaksa mengingat, Arnold memilih untuk langsung menemui tamu tersebut.Ia menuruni anak tangga perlahan, dan setibanya di ruang tamu, matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang duduk dengan elegan di sofa. Wanita itu mengenakan blouse putih rapi dipadukan dengan rok mini span hitam yang ketat, membuat pen
Emily terdiam mendengar pertanyaan itu. Napasnya tercekat, dan jemarinya yang masih memegang pakaian kecil Cassie tiba-tiba berhenti bergerak. Dalam hatinya, pertanyaan Arnold terasa seperti guratan tajam. “Lalu apa kau rela aku menikah lagi?” Suara Arnold terdengar begitu serius, seakan bukan sekadar bercanda. “Arnold...” Emily menatap suaminya, mencari tanda-tanda bahwa kalimat itu hanya gurauan. Namun, tatapan mata Arnold tak main-main, menunggu jawaban darinya. “Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau ingin mengujiku?” Arnold mengangkat satu sudut bibirnya, senyum samar yang sulit dibaca. “Aku hanya ingin tahu... bagaimana kalau ternyata aku bukan pria yang pantas untukmu? Bagaimana kalau... aku bukan lagi Arnold yang dulu?” Emily menelan ludah, hatinya berdesir. Kata-kata itu menohok perasaannya, namun di sisi lain ia sadar bahwa Arnold masih berjuang dengan ingatan yang belum kembali sepenuhnya. Perlahan, ia meletakkan pakaian Cassie ke atas rak, lalu menatap suaminya lekat-leka
Sinar matahari menyusup lembut melalui celah horden, memantulkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh ruangan. Emily menggeliat pelan di atas kasur, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih menempel. Begitu matanya terbuka, kesadarannya langsung terarah pada satu hal—Cassie. Jantungnya berdetak lebih cepat, ia segera menoleh dan mendapati pemandangan yang membuatnya terdiam haru.Arnold, suaminya, tertidur di kursi dengan posisi sedikit membungkuk, kedua tangannya memegangi sisi box bayi, seolah memastikan Cassie aman sepanjang malam. Entah jam berapa Arnold akhirnya menyerah pada rasa kantuk, yang jelas dari lingkar gelap di bawah matanya, dia menjaga Cassie semalaman. Emily tahu, setiap kali Cassie haus atau rewel, Arnoldlah yang bangun terlebih dahulu, lalu membangunkannya hanya saat benar-benar dibutuhkan.Arnold adalah sosok ayah yang siaga, penuh perhatian, dan itu membuat Emily tak kuasa menahan haru. Air mata kebahagiaan jatuh begitu saja dari sudut matanya. Hatinya berdesir
Tangis Cassie yang nyaring memecah keheningan malam, menginterupsi momen romantis yang tengah menghangat di antara Emily dan Arnold. Emily berusaha bangkit dari sofa, namun tubuhnya tampak lelah dan sedikit kesulitan karena waktu sudah larut. Arnold segera menahan tangannya dengan sigap dan lembut.“Biar aku saja,” ucapnya pelan, namun penuh perhatian.Tanpa menunggu lagi, Arnold melangkah menuju box bayi yang berada di sudut kamar. Ia membungkuk dan mengangkat Cassie dengan penuh hati-hati, seolah tengah menyentuh sesuatu yang rapuh dan berharga. Tatapannya langsung melembut saat melihat putrinya menggeliat dan terus menangis sambil mengisap jempol kecilnya."Anak kita haus," gumamnya lirih, mata cokelatnya tak bisa lepas dari sosok mungil itu.Cassie bergerak gelisah di pelukannya. Emily sudah bersiap dengan posisi duduk yang nyaman di ujung sofa. Ketika Arnold menyerahkan putrinya, Emily menyambut dengan hangat, menggendong Cassie erat dalam dekapannya.Dengan cepat, Cassie mulai
"Ya, aku rasa kita perlu berada di tempat pertama kita menjalani kebersamaan kalau ingin aku cepat kembali mendapatkan ingatanku."Suara Arnold terdengar mantap, namun lembut, mengalir bersama harapan yang mulai tumbuh di dadanya.Dengan langkah perlahan dan mantap, Arnold menghampiri Emily yang sedang duduk di sisi tempat tidur. Ia duduk di sampingnya, lalu mengangkat tangan dan mengusap pipi Emily dengan penuh kelembutan. Matanya menatap dalam, seolah ingin membaca isi hati wanita yang kini menjadi poros hidupnya."Apa kau keberatan?" bisiknya, sambil melingkarkan lengannya ke pinggang Emily dan menyandarkan dagunya di pundaknya.Emily tak langsung menjawab. Ia menghela napas, menatap kosong ke arah lantai, lalu berkata pelan, "Kalau aku keberatan, apa kau akan mengubah rencanamu? Apa menurutmu kita memang perlu ke sana?"Pertanyaan itu membuat Arnold terdiam. Ia memang yakin, rumah lama mereka menyimpan banyak memori yang bisa membantu proses pemulihannya. Tapi ia lupa, bahwa rumah
Nyonya Ruby langsung memeluk putra kesayangannya dan mencium pipinya berkali-kali, seperti ingin memastikan bahwa ini semua bukan mimpi. Wajahnya yang tadi lelah kini bersinar terang, penuh kelegaan dan cinta yang tumpah ruah."Arnold, anakku…" ucapnya lirih, jemarinya gemetar saat mengusap lembut kedua pipi Arnold. "Maafkan Mama, Nak. Mama dijebak oleh Giselle. Dia bilang kedua orang tuanya sakit keras dan ingin bertemu dengan Mama. Itulah kenapa Mama pergi ke New York."Suara Nyonya Ruby bergetar, matanya kembali digenangi air mata. Jelas terlihat penyesalan mendalam dari wanita itu. Ia menggigit bibirnya menahan emosi. Giselle sudah mengatur semuanya dengan licin dan kejam demi memuluskan rencananya. Tapi untunglah, Arnold—putra kesayangannya—tidak bisa dikendalikan olehnya.Arnold hanya menatap ibunya dengan lembut. Ia mengangguk kecil, mencoba memahami walau pikirannya belum sepenuhnya pulih."Apa kau ingat Mama, Sayang?" tanya Nyonya Ruby, suaranya setipis bisikan harapan.Arnol