Arnold berjalan keluar kamar tanpa mempedulikan Emily yang memohon kepadanya.
Dibukanya pintu kamar, Sarah langsung menghambur ke dalam pelukannya dengan tangis yang semakin kencang. "Ada apa, Honey? Berhenti menangis." Arnold mengusap pundak dan rambut Sarah dengan lembut. "A-aku mimpi buruk, aku takut sekali, Honey," jawabnya terbata. "Sudah, tidak apa-apa, ada aku di sini. Aku akan menemanimu tidur." Arnold melepaskan pelukannya, mengusap kedua pipi Sarah, lalu mengecup keningnya. Setelah menutup pintu kamar Emily, Arnold menggandeng Sarah dan membawanya kembali ke kamarnya. Jangan ditanya bagaimana perasaan Emily saat melihat perhatian Arnold kepada Sarah. Sakit, sakit sekali. Namun, Emily cukup tahu diri. Dia hanyalah istri kedua yang tidak diharapkan oleh Arnold. Setelah kepergian Arnold, Emily membenamkan dirinya di bawah selimut karena takut. Guntur dan petir yang bersahut-sahutan semakin menambah suasana horor di kamarnya yang gelap. Emily tidak bisa langsung tertidur. Dia bahkan menutup telinganya agar tidak lagi mendengar suara petir yang menggelegar. Sementara itu, di kamar sebelah, Sarah tidur nyenyak di pelukan Arnold. Rencananya berhasil lagi untuk mendapatkan perhatian Arnold dan menjauhkan suaminya tersebut dari Emily. Keesokan harinya, seperti biasa, Arnold pergi bekerja diantar oleh Sarah dan Emily hingga ke depan mobilnya. Namun, hanya Sarah yang mendapatkan kecupan selamat tinggal. Berbeda dengan Emily, Arnold bahkan tidak memandangnya. Setelah Arnold pergi, Emily kembali ke kamarnya. Nyonya Ruby sudah pulang ke rumahnya pagi-pagi sekali. Dia bahkan tidak sempat sarapan. Saat menaiki anak tangga, samar-samar Emily mendengar Sarah menyebutnya perempuan penggoda. Namun, Emily menulikan telinganya. Kadang, Emily merasa lelah berdebat dengan Sarah. Mendiamkannya saat mulut tajam itu menghinanya terasa lebih menyenangkan bagi Emily. Biasanya, Sarah akan mengamuk sendiri jika Emily mengabaikannya. Karena tidak ada kegiatan, Emily merasa bosan dan memutuskan menghubungi sahabatnya, Sera. "Halo, Emily. Apa kabar? Sombong sekali kau setelah menjadi Nyonya Arnold!" Sera langsung menyindir Emily yang sudah sebulan lebih tidak menghubunginya. "Maafkan aku, Sera, aku—" "Aku hanya bercanda!" potong Sera sambil tertawa. "Syukurlah. Aku pikir kau marah. Oh ya, Sera, apa kau sibuk? Maukah kau menemaniku berbelanja?" "Tentu saja, aku sangat merindukanmu. Ayo kita pergi!" "Tapi, bisakah kau menjemputku?" "Tentu, kirimkan alamatmu. Aku meluncur sekarang!" "Oke, aku akan mengirimkannya. Terima kasih, Sera." Setelah menutup teleponnya, Emily segera bersiap. Sejak menikah, Emily tidak pernah pergi keluar kecuali bersama mama mertuanya. Itu pun sangat jarang. Setelah Sera tiba, Emily turun dengan tergesa. Namun, di tangga, dia berpapasan dengan Sarah. "Kau mau ke mana?" tanya Sarah dengan nada ingin tahu. "Aku ingin membelanjakan uang suamiku. Kenapa?" jawab Emily berani. Sarah menggeram kesal. Dia sangat tidak rela melihat Emily menikmati uang hasil kerja keras Arnold. "Jangan terlalu boros! Arnold bekerja keras siang dan malam untuk mencari uang, dan kau malah seenaknya berbelanja!" Emily berlalu begitu saja tanpa memedulikan Sarah. Setahu Emily, Sarah hampir setiap hari berbelanja, sedangkan dirinya belum pernah sekalipun. Dicueki oleh Emily membuat Sarah semakin meradang. Dia memutar otaknya untuk mencari cara mengerjai Emily dan langsung mendapat ide. Setelah Emily pergi, Sarah mengikuti mobil yang membawa madunya itu. Selain tidak ingin kalah karena Emily akan berbelanja, dia juga berharap bisa mempermalukan Emily. Sesampainya di pusat perbelanjaan, Emily dan Sera berkeliling hampir ke semua toko yang mereka lewati, hanya sekadar melihat-lihat. Sebenarnya, tujuan Emily adalah membeli pakaian tidur yang nyaman. Apalagi, Emily sedang hamil. Gaun tidur transparan yang selama ini dikenakan sering membuatnya masuk angin. Saat keluar dari toko baju tidur, Emily dan Sera berpapasan dengan James, teman mereka semasa kuliah sekaligus laki-laki yang sudah lama mengagumi Emily. "Emily, Sera!" James terlihat sangat senang. Setelah lulus kuliah, dia sibuk membangun usaha ayahnya agar sukses dan bisa melamar Emily. "James, apa kabar?" Emily mengulurkan tangan. James menyambutnya ragu saat melihat cincin di jari manis Emily. "Kau sudah menikah?" tanyanya ragu. "Hmm, iya. Aku sudah menikah sebulan yang lalu." Harapan James pupus seketika. "Selamat, Emily. Aku turut berbahagia!" James memasang wajah ceria untuk menutupi kesedihannya. Salahnya yang tidak pernah menyatakan perasaannya kepada Emily. "James, kau terlambat. Padahal, Emily menunggumu," canda Sera, membuat Emily mencubit lengannya. James tertawa kering, membuat Emily merasa tidak enak. "Apa kalian mau makan siang bersama?" tawar James. "Tentu saja mau!" sahut Sera bersemangat. Lama tidak bertemu, banyak yang ingin diceritakannya. Ketiganya berjalan menuju restoran tidak jauh dari toko tadi. Sementara itu, dari sudut lain, Sarah yang terus mengawasi Emily tersenyum licik. Dia segera menghubungi Arnold untuk mengadukan Emily. "Ayo angkat!" Sarah tidak sabar menunggu Arnold mengangkat teleponnya. "Ya, Honey!" suara bariton Arnold terdengar. "Honey, kau harus tahu kelakuan istri keduamu!" "Apa maksudmu?" tanya Arnold bingung. "Tadi aku melihat Emily bertemu pria lain di mal. Sekarang mereka makan bersama di restoran!" "Apa? Kau yakin itu Emily?" "Tunggu. Aku akan mengirim fotonya!" Sarah mengambil foto Emily dan James tanpa menyorot Sera. Setelah mengirimnya, Sarah tersenyum puas. Arnold yang menerima foto itu langsung gelisah. Dia menelepon Sarah kembali. "Di mana mereka sekarang?" "Restoran cepat saji Blue Sky Mall," jawab Sarah cepat. Arnold menutup telepon dan melaju menuju mal itu dengan wajah marah. Di sisi lain, Sarah menahan senyumnya. "Rasakan itu, jalang!""Aku tidak mempunyai kesan apa pun, Robert," desah Arnold pelan, menatap kosong ke arah lantai kayu yang mengilap di bawah kakinya."Saya mengerti, Tuan. Dan pastinya itu sangat berat," jawab Robert dengan nada empati yang tulus.Arnold menyerahkan kembali ponsel milik Robert, lalu menekan pelipisnya. Kepalanya mulai berdenyut hebat, terlebih saat ia memaksa otaknya untuk menggali memori yang hilang entah ke mana. Seperti menggenggam pasir, semakin erat ia mencoba menggenggamnya, semakin cepat semuanya menghilang."Oh iya, kemana orang tuaku? Aku belum bertemu dengan mereka," tanyanya tiba-tiba, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa frustasi.Pertanyaan itu menyisakan kekosongan lain di hatinya. Sejak sadar dan pulang ke rumah, tidak ada satu pun wajah orang tua yang muncul di hadapannya. Aneh, pikirnya. Seharusnya mereka adalah orang pertama yang datang menjenguk."Nyonya Ruby ke New York, sedangkan Tuan William ada di rumah. Beliau sakit," jawab Robert hati-hati."Ruby dan Willia
Sesampainya di rumah, Arnold langsung disambut oleh suasana yang lebih tenang dari biasanya. Langkah kakinya terhenti saat melihat sosok pria berdiri di depan pintu masuk, mengenakan jas rapi, wajahnya menyiratkan kelegaan luar biasa. Ternyata Robert sudah menunggunya. Arnold mengerutkan dahi sejenak. Wajah itu tampak familiar, tapi tak membangkitkan emosi atau ingatan apa pun. Meski begitu, dia memutuskan untuk berpura-pura bersikap seperti biasa. Tidak ingin memperlihatkan kebingungannya. "Tuan," sapa Robert dengan suara parau, lalu tanpa ragu langsung memeluk Arnold erat. Pelukan itu begitu emosional. Robert bahkan tak peduli dengan tatapan para penjaga rumah yang menyaksikan adegan itu. Matanya mulai basah, dan suaranya bergetar menahan rasa haru. Arnold membalas seadanya, menepuk pelan pundak Robert—sebuah gestur sopan yang lebih bersifat basa-basi. Sama seperti pada Emily, ia tidak merasakan kedekatan apa pun terhadap Robert. Tak ada kenangan yang membekas. Hanya kehampaan
Emily mendengus pelan, menahan gejolak amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. "Wanita tidak tahu malu," ujarnya tajam, menatap Giselle penuh kebencian. "Kalau ibu mertuaku tahu apa yang kau lakukan, dia pasti akan sangat marah!" Giselle mendengus sinis. Matanya menyipit, ekspresi congkak muncul di wajahnya yang mulai kehilangan kendali. "Kau perebut kebahagiaanku dan Arnold. Dasar wanita sinting tidak tahu ma—" "DIAM!" Suara Arnold menggelegar memecah ketegangan yang membeku di udara. Tubuhnya tegak berdiri dari kursi, ekspresi wajahnya berubah drastis, tak lagi tenang seperti sebelumnya. Matanya yang tadinya menyimpan keraguan, kini dipenuhi amarah membara. "Berani sekali kau menghina istriku!" ucapnya lantang, suaranya seperti petir yang menghantam bumi. Sorot matanya tajam menusuk, membuat Giselle refleks mundur setengah langkah. Emily menunduk, terkejut, namun ada seberkas kehangatan di matanya. Kata 'istriku' itu menggema di dadanya, menguatkan luka yang sebelumnya m
Hening sejenak. Arnold menatap putrinya dengan dalam. Tapi pada akhirnya, dengan berat hati, dia menggeleng. “Belum,” ucapnya pelan. “Hanya… nama Cassie. Itu muncul begitu saja di kepalaku.” Emily mencoba tersenyum, menahan air mata. Bagi perempuan yang hampir kehilangan segalanya, bahkan setitik memori yang muncul dari suaminya adalah hadiah tak ternilai. Arnold mencium kening bayi mungil itu lembut, menahan emosi yang menyeruak. Saat bibirnya menyentuh kulit hangat putrinya, ia merasakan sesuatu—entah apa—yang begitu dalam menyentuh hatinya. “Kapan kalian boleh pulang?” tanyanya, masih menatap Cassie seolah enggan berpisah. “Besok Nyonya boleh pulang, Tuan,” jawab Sally yang berdiri tak jauh dari ranjang. Emily sendiri tampak belum tahu mengenai kepulangan itu. “Bagus,” kata Arnold dengan mantap. “Besok aku akan menjemput kalian.” Kalimat sederhana itu membawa kehangatan yang membungkus seluruh ruangan. Untuk pertama kalinya sejak ia kehilangan ingatannya, Arnold terse
"Iya benar, Tuan. Apa Tuan ingin bertemu dengannya?" tawar Sally penuh harap. Matanya menatap Arnold dengan antusias yang disembunyikan rapi dalam nada sopan. Ia bisa melihat ada gelombang emosi dalam diri majikannya itu—gelisah, penasaran, dan... mungkin sedikit rindu? Arnold menatap Sally sejenak. Pandangannya tampak jauh, seperti tengah bertarung dengan sesuatu di dalam hatinya. "Aku..." Kalimat itu menggantung. Hening. Bahkan detak jarum jam pun terasa lebih keras dibanding suaranya yang tertahan. Ia menunduk sebentar, menelan kekosongan yang memenuhi benaknya. "Bagaimana, Tuan?" tanya Sally lagi dengan hati-hati, tidak ingin menekan, tapi juga tak kuasa menyembunyikan harapannya. 'Mau, mau, mau…' mohon Sally dalam hati, nyaris menggigit bibirnya agar tidak bersuara. Akhirnya, Arnold menghela napas berat. "Baiklah, bawa aku ke rumah sakit. Aku hanya ingin memastikan bahwa bayi itu milikku atau bukan." Sally hampir melonjak dari tempatnya. Tapi ia hanya mengusap dad
"Nyonya, beristirahatlah. Besok pagi saya akan pulang ke rumah. Saya akan mencoba berbicara dengan Tuan Arnold. Semoga wanita ular itu tidak ada di dekat Tuan."Dengan lembut, Sally menyelimuti tubuh Emily yang terbaring lemah. Ia memastikan selimut menutup hingga ke bahu majikannya, menjaga kehangatan tubuh yang tampak begitu rapuh itu.Sebelum duduk, Sally menyempatkan diri menengok si kecil di dalam box bayi. Bayi perempuan itu tampak tenang, sesekali menggeliat kecil sambil mengisap jempolnya dalam tidur. Sally tersenyum kecil sebelum akhirnya duduk di sofa yang terletak di antara tempat tidur Emily dan box itu. Ia ingin tetap siaga, menjaga kedua sosok berharga itu."Terima kasih, Sally. Saat ini aku hanya bisa berharap padamu. Sungguh aku menyesal karena menurut saja waktu ibu mertuaku menyuruhku pulang," ucap Emily pelan, matanya mulai terasa berat.Dia memejamkan mata, namun pikirannya tidak bisa langsung tenang. Seandainya saja kemarin dia bersikeras tetap di rumah sakit, mun