Tanpa menyadari yang sedang terjadi, James, Emily dan Sarah tengah kebingungan.
Karena bertepatan dengan jam makan siang, meja Restoran hampir semuanya terisi.Mereka pun terpaksa duduk di tengah tengah ruangan karena hanya meja itu yang tersisa.
James langsung memanggil waiter dan meminta buku menu. Tepat seperti dugaan James, Emily memesan ayam goreng bagian sayap, tampaknya kesukaan Emily masihlah sama. "Kau tidak banyak berubah Emily, hanya saja kau semakin cantik!" ucap James begitu waiter meninggalkan meja mereka. Pipi Emily tampak merona mendengar pujian James, tapi dia tidak lantas terbang. James memang selalu memujinya sejak dulu. "Jangan merayu Emily, James, nanti suaminya marah. Rayu aku saja, aku masih jomblo!" timpal Sera sambil cekikikan. "Aku tidak merayunya, aku hanya memuji, apa tidak boleh?" Sera mengangguk anggukkan kepalanya. "Merayu dan memuji bedanya sangat tipis! Nah, sekarang cepat puji aku! Apakah kecantikanku kalah dengan Emily?" Mereka bertiga lantas tertawa bersama, ada ada saja yang dibicarakan Sera hingga mengundang gelak tawa Emily dan James. Sementara itu di meja yang tidak jauh dari meja Emily dan teman temannya, Sarah menatap dengan tatapan sinis. "Tertawalah sepuasmu Emily, sebentar lagi kau akan ku buat menangis sampai air matamu kering!" Sarah merogoh tasnya karena handphone nya bergetar, dibukanya aplikasi pesan. "Arnold!" Setelah selesai membaca pesan yang dikirimkan suaminya, Sarah segera berdiri dari kursinya dan berlalu keluar dari Restoran. "Pertunjukkan akan segera dimulai!" gumamnya sembari tersenyum licik. Di tengah perbincangan hangat ketiganya, Sera pamit ke belakang karena merasa sakit perut. Tinggallah Emily dan James, mereka lantas kembali berbincang layaknya sahabat karena James sendiri sangat pandai menutupi kekecewaannya sehingga Emily tidak merasa canggung. Melihat Emily tersenyum, sudah cukup bagi James. Makanan tiba, tapi Sera tidak kunjung datang. "Apa yang dilakukannya?" tanya Emily sambil menengok ke arah belakang. Perutnya sudah keroncongan minta diisi. Semenjak hamil memang nafsu makan Emily meningkat. "Makanlah kalau kau lapar Emily, sebentar lagi Sera juga pasti datang!" Emily kembali menengok ke arah belakang, tapi Sera tidak terlihat. "Aku duluan ya!" James mengangguk sambil tersenyum. Saat Emily hendak menyuapkan makanan ke mulutnya, tangannya ditarik seseorang hingga sendoknya jatuh begitu saja hingga membuat makanannya berhamburan. Emily membelalakan matanya saat melihat siapa yang menarik tangannya. James segera berdiri dan menarik Emily dengan lembut. Tatapan James terarah pada pria yang mencengkeram tangan Emily, memberikan peringatan. "Lepaskan tangannya, dia kesakitan!" titah James. Arnold tersenyum samar dan memeluk pinggang Emily dengan posesif. "Dia kesakitan atau tidak, bukan urusanmu. Emily adalah istriku jadi menjauhlah darinya!" "I-istri?" Tangan James perlahan melepas lengan Emily. Pria yang ada di hadapannya ini suami Emily? "Ya, istriku, Nyonya Arnold William!" tegas Arnold sambil merapatkan tubuh Emily ke tubuhnya. Seketika nyali James menciut, siapa yang tidak mengenal Arnold William, CEO Maurer Corp. Kalau di bandingkan dengannya, James tidak ada apa-apanya, ibarat langit dan bumi. Dan lagi Arnold terkenal kejam, siapa saja yang membuat masalah dengannya, maka siap siap saja usahanya bangkrut tak bersisa. Perdebatan antara Emily dan Arnold tidak bisa dielakkan. Arnold tampak sangat marah karena merasa Emily sudah bermain api. "Apa yang kau lakukan disini berdua dengannya? Kau berselingkuh?" tanya Arnold dengan tatapan mematikan. "Tidak, aku tidak berselingkuh, dia temanku!" jelas Emily. "Kau yakin hanya berteman dengannya? Pantaskah seorang perempuan yang sudah bersuami makan berduaan dengan laki-laki lain?" "Arnold, aku mohon, ini tidak seperti yang kau pikirkan, kami tidak hanya berdua, aku bersama temanku Sera!" Emily merasa perlu menjelaskan karena Arnold sudah salah paham. Mata Emily bolak-balik menatap toilet, berharap Sera cepat kembali dan meluruskan kesalahpahaman ini. Bukannya menerima penjelasan Emily, Arnold masih saja menyudutkannya. "Ingat kau adalah istriku Emily! Seharusnya kau menjaga dirimu, kau sengaja ingin membuatku malu, hah?" Emily menggeleng pelan, apa yang dikatakannya benar benar tidak didengar oleh Arnold. "Maafkan aku, aku tidak pernah bermaksud begitu, sungguh!" Karena saat ini sedang jam makan siang, pengunjung Restoran tengah ramai ramainya. Keributan yang terjadi di meja Emily sontak membuat para pelanggan menghentikan aktivitas makan siang mereka dan menatap ke arah meja Emily dengan tatapan penasaran. "Arnold, bisakah kau berhenti menuduhku. Ada banyak orang disini, aku malu!" pinta Emily sambil berbisik dan berusaha melepaskan pelukan Arnold. Bukannya melepaskan Emily, Arnold malah menariknya dan membawanya pergi dari sana. James tidak bisa berbuat apa apa, selain takut dengan Arnold, status Emily adalah istrinya. James tahu, dia tidak bisa ikut campur. Hanya saja James merasa bersalah karena sudah mengajak Emily dan Sera makan bersama. Andai saja tadi dia langsung kembali, maka kejadian seperti ini tidak akan terjadi. "Maafkan aku, Emily!" desahnya lirih sambil menatap kepergian Emily dan suaminya. Setelah Emily dan Arnold menghilang baru Sera datang. "Astaga, kenapa ini? Mana Emily?” Apa yang terjadi tanyanya melihat meja yang berantakan. James menunduk dalam, dia masih merasa sangat bersalah. "Emily dibawa pergi oleh suaminya, tampaknya suaminya salah paham karena melihatku dan Emily hanya makan berdua.” Sera menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Sera merasa bersalah karena terlalu lama berada di dalam kamar mandi, perutnya benar benar sakit dan Sera dua kali bolak balik masuk ke dalam toilet. "Kasian Emily, semoga suaminya tidak memarahinya!" Sera mendudukkan dirinya di kursi dengan tatapan sayu. "Apa kita sebaiknya ke rumahnya dan menjelaskan semuanya, James?" tanya Sera kemudian. Dia takut Emily kenapa-napa. "Aku tidak yakin suaminya mau mendengarkan kita, Sera." Melihat tatapan Arnold tadi, James bisa melihat bahwa Arnold sangatlah dominan. Emily yang notabene istrinya saja tidak didengarnya. Apalagi mereka berdua yang bukan siapa-siapanya. Yang ada malah Arnold akan semakin marah kalau mereka datang ke rumahnya. Sera menarik nafasnya dalam. "Aku akan menghubunginya nanti, semoga saja suaminya hanya marah sesaat." Sementara itu di sepanjang jalan menuju basement parkir, Arnold menarik tangan Emily dengan kasar. Tangan Emily bahkan terasa kebas karena Arnold mencengkramnya kuat hingga menghambat aliran darahnya. Emily hanya bisa diam mendapat perlakuan kasar Arnold, bagaimanapun Emily memang terlihat bersalah, jadi wajar Arnold marah padanya. Sesampainya di samping mobil mewahnya, Arnold membuka pintu kabin penumpang dan mendorong masuk Emily hingga tersungkur di kursi. Dibantingnya daun pintu dengan kencang sehingga menimbulkan bunyi yang teramat memekakkan telinga. Emily membetulkan posisinya dan duduk sambil memegangi ujung dressnya. Emily menarik nafasnya cepat, dadanya naik turun karena tadi sepanjang jalan menuju mobil Emily tidak bisa bernafas dengan baik. Baru kali ini Emily melihat Arnold semarah ini, dulu saat dia bertengkar dengan Sarah, Arnold tidak sekasar seperti barusan. Arnold memutari mobil dan masuk ke dalam kabin kemudi, dia lantas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi meninggalkan Blue Sky Mall dengan wajah merah padam.Emily lebih banyak diam setelah tahu dirinya kembali hamil. Pikirannya bercampur aduk, tubuhnya pun terasa lebih cepat lelah dari biasanya. Yang membuat hatinya makin sedih, Cassie menolak minum ASI langsung darinya. Setiap kali didekatkan, Cassie hanya merengek, lalu menepis lembut seolah enggan.Demi kebaikan Cassie dan juga Emily, Nyonya Ruby akhirnya memberikan saran."Lebih baik Cassie diberi susu formula saja, Em. Dengan begitu lebih mudah juga untuk babysitter nanti membantu merawat Cassie. Apalagi trimester pertama kehamilanmu pasti berat."Nada suara Nyonya Ruby lembut, penuh pertimbangan.Emily hanya mengangguk lemah. Ia tahu mertuanya benar, meski tetap saja ada perasaan bersalah dalam hatinya karena tak bisa lagi memberi ASI langsung."Ma, Emily mau istirahat dulu," ucap Emily lirih setelah selesai makan malam. Tubuhnya sudah benar-benar lelah."Istirahatlah, Nak. Cassie biar Mama yang jaga malam ini," jawab Nyonya Ruby dengan penuh kasih.Malam itu, Nyonya Ruby memutuskan
"itu, ini maksudnya buat Cassie. Kan Cassie masih makan darimu, masih minum ASI-mu, jadi secara tidak langsung vitamin itu juga masuk ke dalam tubuh Cassie."Nada suara Nyonya Ruby lembut, penuh perhatian seperti biasa.Emily menganggukkan kepalanya pelan. Ia tahu betul, wanita paruh baya itu memang selalu begitu. Sejak dulu, sejak kehamilan pertamanya yang berakhir dengan kehilangan, Nyonya Ruby tidak pernah berhenti memperhatikannya. Hampir setiap bulan membawakan vitamin, suplemen, bahkan makanan bergizi, seolah ingin memastikan menantunya tidak kekurangan apa pun."lihat, cucuku kehausan. Beri ASI dulu," ucap Nyonya Ruby sambil menyodorkan Cassie kecil yang merengek.Emily segera menyambut bayinya. Dengan hati-hati ia menyusui Cassie. Tangisan mungil itu perlahan mereda, berganti dengan suara isapan kecil yang tenang. Emily tersenyum samar, perasaan lelahnya sedikit terobati setiap kali melihat wajah polos putrinya.Setelah Cassie tertidur dengan kenyang, Nyonya Ruby kembali menga
Arnold keluar dari kamar dengan langkah terburu, perasaannya campur aduk, di sisi lain ia takut, tapi sisi lainnya Arnold juga bahagia. Ia segera mengambil ponsel dari meja ruang tamu, menekan nomor ibunya, lalu menempelkan ponsel ke telinga.“Mama, Emily… dia hamil lagi,” ucap Arnold pelan, nadanya terdengar hati-hati. Selain ingin memberi kabar, ia juga bermaksud bertanya bagaimana cara merawat istri yang sedang hamil dalam kondisi masih menyusui.Namun, belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, panggilan tiba-tiba terputus begitu saja. Arnold menatap layar ponsel dengan dahi berkerut.“Mama ini suka seenaknya,” desahnya pelan, menghela napas panjang.Ia pun kembali melangkah ke kamarnya. Saat masuk, pandangannya menyapu sofa kosong—Emily tidak ada di sana. Hatinya langsung berdesir cemas. Arnold bergegas menuju kamar mandi, mengetuk pintu dengan sedikit panik.Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Emily keluar dengan wajah pucat pasi, matanya sayu seakan menahan rasa lelah luar biasa.
Emily mengangguk pelan, bibirnya mengulas senyum tipis. "Ayo kita makan sekarang," ajaknya lembut sambil menggenggam tangan Arnold dan menariknya keluar dari kamar. Mereka berjalan beriringan menuju ruang makan yang tampak hangat oleh cahaya lampu gantung berwarna kekuningan. Sesampainya di meja makan, Emily hendak menarik kursi untuk dirinya sendiri, namun Arnold segera bergegas mendahuluinya. Ia dengan cekatan menarik kursi itu dan menuntun Emily untuk duduk. Tidak hanya itu, ia juga mengambilkan sendok dan garpu, lalu menyendokkan makanan ke piring istrinya. Gerakan sederhana itu membuat Emily terdiam sejenak, matanya berkedip tak percaya. "Aku masih bisa mengambil sendiri, sayang," ujarnya dengan nada tersipu, pipinya bersemu merah karena sikap manis Arnold yang jarang ia lihat sebelumnya. Arnold tersenyum hangat, menatapnya penuh perhatian. "Tidak apa-apa. Sesekali aku melayanimu. Lagi pula kau baru keluar dari rumah sakit," katanya tulus. Ia lalu duduk di kursinya sete
"Hamil? Tidak, aku belum siap. Kasihan Cassie." Emily mengusap wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangan. Hatinya terasa sesak, antara bahagia sekaligus takut. Ia masih sering merasa kewalahan hanya dengan satu bayi kecil di rumah. Arnold tidak lagi bertanya. Ia memahami betul kegelisahan istrinya. Satu anak saja sudah membuat Emily begadang hampir setiap malam, apalagi jika benar ada satu lagi yang akan lahir. Bukannya mereka tidak mampu mencari bantuan atau menyewa babysitter, tetapi Emily selalu bersikeras ingin merawat Cassie dengan tangannya sendiri. Dia memang tidak bisa percaya pada orang lain. Hanya Sally—sahabatnya yang baik dan penyayang—yang bisa diberinya kepercayaan untuk sesekali menjaga Cassie. Selain itu, Emily menutup rapat pintu hatinya pada kemungkinan menitipkan buah hati mereka pada orang lain. "Tapi kalau ternyata hamil lagi, apakah kamu akan menggugurkannya?" suara Arnold lirih, seakan ragu mengucapkannya. Emily menoleh cepat, sorot matanya tegas. "Tentu
"Sayang," panggil Emily dengan suara lemah.Arnold menggeliat perlahan, matanya masih berat tertutup kantuk. Ia bangkit dari posisi tertunduk di samping tempat tidur dan duduk menyandar ke kursi. "Sayang, haus," lirih Emily lagi.Arnold segera berdiri. Dengan langkah pelan ia mengambil air dari teko di meja kecil. Segelas air putih ia tuangkan, lalu mendekat dan membantu Emily meminumnya perlahan. Emily meminum habis segelas itu dalam beberapa tegukan.Setelah meletakkan gelas kembali ke meja, Arnold langsung memeluk istrinya erat-erat. Ada rasa syukur dalam pelukannya, karena kini ia bisa merasakan kehangatan tubuh Emily yang kembali sadarkan diri."Apa yang kau rasakan? Apa kau masih sakit?" tanyanya pelan, sambil mengusap punggung Emily dengan lembut.Emily menggeleng, "Sudah tidak lagi. Apa tadi malam aku pingsan?""Iya, kau pingsan hingga membuatku takut setengah mati."Mata Emily membesar. "Di mana Cassie? Apa dia di rumah? Sayang cepat hubungi Sally. Aku ingin melihat putriku."