Emily berdiri sambil meremas ujung dress-nya. Ia tidak berani menjawab dan hanya tertunduk diam. Emily tidak merusaknya, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya kepada semua orang.
"Apa kau tidak punya telinga, Emily? Mama bertanya padamu, tetapi kau malah diam!" Ucapan Sarah membuat Emily mengangkat dagunya. "Ma... maafkan Emily!" ucapnya dengan mata sayu. Apa lagi yang bisa ia lakukan selain meminta maaf? Menjelaskan pun tidak ada gunanya karena Emily sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada perhiasannya. Melihat mata sendu menantunya, Nyonya Ruby mendadak merasa menyesal. Ia segera merangkul Emily. "Tidak perlu meminta maaf, Sayang. Mama tidak peduli dengan perhiasannya, sungguh! Mama hanya peduli padamu dan juga janin yang kau kandung. Lain kali lebih hati-hati, jangan ceroboh lagi, ya?" Emily mengangguk. "Iya, Ma. Terima kasih," ucapnya tulus. Nyonya Ruby tersenyum dan mengelus perut Emily. "Perhiasan bisa dibeli lagi, tapi kandungan ini tidak. Jadi, jagalah dengan baik, ya." Emily berusaha memasang senyum saat mendengar kalimat itu. Ketika mendengar keributan, Arnold yang baru pulang langsung menuju kamar Emily. Ia hendak bertanya apa yang terjadi, tetapi mengurungkan niatnya saat melihat Nyonya Ruby sudah memasang wajah sumringah. "Arnold! Kamu sudah mendengarnya, bukan? Emily mengandung anakmu. Jadi, mulai sekarang kamu harus lebih sering menemaninya karena ini sangat berpengaruh pada tumbuh kembang janin dalam kandungannya. Dan mulai malam ini, Mama minta kamu tidur bersama Emily!" titahnya, tidak memberi ruang untuk bantahan. Mendengar permintaan ibu mertuanya, yang tentunya akan membuat Arnold semakin dekat dengan Emily, Sarah merasa tidak terima. "Tapi, Ma—" "Kau tidak usah ikut campur, Sarah. Ini persoalan antara ayah dan anak. Kesehatan dan tumbuh kembang seorang janin sangat dipengaruhi oleh interaksi positif dari ayah dan ibunya! Kau tidak akan mengerti karena kau tidak bisa mengandung!" Perkataan Nyonya Ruby bak petir yang menyambar di siang bolong. Sarah mengeratkan genggamannya pada lengan Arnold. Hatinya hancur seketika. "Ma, Sarah juga tidak menginginkan hal ini terjadi. Sudahlah, jangan menyudutkannya." "Mama hanya bicara fakta!" balas Nyonya Ruby. Arnold menghela napas panjang. "Baiklah, Mama. Arnold akan menemani Emily tidur nanti malam. Tapi, Mama, jangan marahi Sarah lagi, ya. Arnold mau ganti baju dulu." Arnold menarik Sarah ke kamarnya, sekaligus ingin menenangkannya. Sesampainya di kamar, Sarah langsung membenamkan wajahnya di bantal. Ia menangis sesenggukan, membuat Arnold merasa bersalah. "Honey, berhentilah menangis. Bukankah kita sudah sepakat? Hanya sampai bayi itu terlahir ke dunia, tidak akan lama," bujuk Arnold, mencoba meyakinkan Sarah. "Aku memang tidak bisa hamil. Aku pantas mendapatkan hinaan dari ibumu!" ucapnya masih terisak. Arnold menarik tangannya dan membenamkannya ke dalam pelukannya. Ia mencium puncak kepala Sarah. "Kau sempurna di mataku. Tidak akan ada yang bisa menggantikanmu di hatiku, termasuk wanita murahan itu!" Arnold semakin kesal kepada Emily. Gara-gara Emily, istri kesayangannya mendapat hinaan dari ibunya. Sementara itu, di balik pundak Arnold, Sarah tersenyum licik. Ia berhasil membuat Arnold merasa bersalah dan semakin membenci Emily. Walaupun tujuannya untuk membuat ibu mertuanya membenci Emily gagal, ia berhasil membuat Arnold semakin membenci madunya. Sarah melepas pelukan Arnold dan mengusap rahang tegas suaminya. "Gantilah pakaianmu. Sebentar lagi kita akan makan malam. Nanti ibumu mencarimu kalau kau terlambat datang," ucapnya sembari tersenyum. Arnold tersenyum bahagia melihat Sarah sudah berhenti menangis. "Terima kasih, Sayang. Kau sangat pengertian. Aku sangat mencintaimu!" Arnold menarik jemari Sarah yang membelai rahangnya dan mengecupnya bergantian. *** Nyonya Ruby dan Emily sudah duduk manis di meja makan. Mereka menunggu Sarah dan Arnold datang. Tak lama, keduanya turun dari lantai atas sambil bergandengan. Sarah menggandeng mesra lengan Arnold. Sesekali Arnold menatap Sarah dan tersenyum lembut padanya. Emily menunduk saat Sarah dan Arnold duduk di seberangnya. Beruntung sekali Sarah. Seandainya saja Arnold bisa bersikap seperti itu padaku, batinnya. Emily meringis, membayangkan Arnold yang selalu memarahinya. Terlebih saat Arnold memergoki mereka bertengkar, Emily pasti akan mendapat ceramah panjang lebar dari suaminya. Tapi, akhir-akhir ini, Arnold bersikap lebih lembut di tempat tidur. "Ayo, Sayang, makan yang banyak!" Nyonya Ruby mengambilkan berbagai macam lauk dan sayur untuk Emily. "Ini bagus untuk janinmu," ucapnya sambil tersenyum. Emily merasa tidak enak karena Nyonya Ruby sangat memperhatikannya. Terlebih, ia bisa melihat Sarah menatapnya dengan tidak suka. Mau bagaimana lagi? Bukan dia yang meminta diperhatikan. Setelah selesai makan malam, Nyonya Ruby langsung memerintahkan Arnold untuk menemani Emily istirahat. "Bawa Emily ke kamarnya, Arnold. Istrimu itu harus cukup istirahat agar tidak kelelahan." Sarah menahan napas saat mendengar Nyonya Ruby menyebut Emily sebagai istri Arnold. Sementara itu, Arnold dengan berat hati membawa Emily ke kamar atas. Melihat Sarah tidak bergeming dari posisinya, Arnold membalikkan badan dan mengulurkan tangannya. "Ayo, aku antarkan kamu ke kamar." "Pergilah. Tidak apa-apa, aku bisa sendiri," jawab Sarah dengan senyum palsu yang terukir di bibirnya. Arnold pun kembali melanjutkan langkahnya. "Gandeng istrimu, Arnold! Bahaya kalau sampai jatuh," kata Nyonya Ruby tanpa melepas pandangannya dari Arnold dan Emily yang sedang menaiki anak tangga. Setelah mereka berdua tidak terlihat lagi, Nyonya Ruby masuk ke kamarnya di lantai bawah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Sarah. Malam itu, saking bahagianya, Nyonya Ruby memutuskan untuk menginap. Di kamarnya, ia terus tersenyum, bahkan sudah memikirkan nama untuk cucunya. Di lantai atas, suasananya begitu berbeda. Tidak ada senyum, baik di wajah Emily maupun Arnold. Emily mencuci muka dan mengganti pakaian sebelum tidur. Sementara itu, Arnold langsung berbaring di tempat tidur. Ia sibuk memikirkan perasaan Sarah. Seandainya tidak ada ibunya di rumah ini, Arnold sudah pasti akan pergi ke kamar sebelah. Emily yang sudah selesai berganti pakaian keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidur transparannya. Hanya itu yang ada di dalam lemari, sehingga mau tidak mau ia harus memakainya. Dilihatnya Arnold sudah di tempat tidur. Emily sangat mengagumi wajah tampan itu. Terlebih saat diam seperti ini, terlihat tenang dan menggetarkan jiwa. Emily lantas masuk ke dalam selimut yang sama. Ia memejamkan mata, dan senyum itu akhirnya terbit. Tidur bersama di bawah selimut yang sama membuatnya merasa seperti suami istri sungguhan, bukan hanya ibu pengganti yang ditiduri demi cepat hamil. Perasaan tenang saat berada di samping Arnold membuat Emily cepat terlelap. Namun, suara petir dan kilat yang menyambar di luar membuat Emily ketakutan dan merapatkan tubuhnya ke pelukan suaminya. Arnold, yang juga belum tidur, mendorong tubuh Emily menjauh darinya. "Tidak usah berpura-pura ketakutan. Aktingmu sungguh jelek, Nona. Kau sengaja, kan, ingin menggodaku? Asal kau tahu, aku tidak akan pernah tergoda, walaupun kau tidak berpakaian sekalipun!" cibir Arnold sambil membalikkan badan, membelakangi Emily. Emily hanya bisa menghela napas pasrah. Ia tidak bermaksud menggoda suaminya. Ia benar-benar takut. Baru saja ingin memejamkan matanya kembali, terdengar suara tangisan perempuan dari luar pintu kamar. Arnold bergegas bangun. Emily yang ketakutan menahan tangan Arnold, tetapi Arnold melepasnya begitu saja. "Tolong, jangan tinggalkan aku..."Emily lebih banyak diam setelah tahu dirinya kembali hamil. Pikirannya bercampur aduk, tubuhnya pun terasa lebih cepat lelah dari biasanya. Yang membuat hatinya makin sedih, Cassie menolak minum ASI langsung darinya. Setiap kali didekatkan, Cassie hanya merengek, lalu menepis lembut seolah enggan.Demi kebaikan Cassie dan juga Emily, Nyonya Ruby akhirnya memberikan saran."Lebih baik Cassie diberi susu formula saja, Em. Dengan begitu lebih mudah juga untuk babysitter nanti membantu merawat Cassie. Apalagi trimester pertama kehamilanmu pasti berat."Nada suara Nyonya Ruby lembut, penuh pertimbangan.Emily hanya mengangguk lemah. Ia tahu mertuanya benar, meski tetap saja ada perasaan bersalah dalam hatinya karena tak bisa lagi memberi ASI langsung."Ma, Emily mau istirahat dulu," ucap Emily lirih setelah selesai makan malam. Tubuhnya sudah benar-benar lelah."Istirahatlah, Nak. Cassie biar Mama yang jaga malam ini," jawab Nyonya Ruby dengan penuh kasih.Malam itu, Nyonya Ruby memutuskan
"itu, ini maksudnya buat Cassie. Kan Cassie masih makan darimu, masih minum ASI-mu, jadi secara tidak langsung vitamin itu juga masuk ke dalam tubuh Cassie."Nada suara Nyonya Ruby lembut, penuh perhatian seperti biasa.Emily menganggukkan kepalanya pelan. Ia tahu betul, wanita paruh baya itu memang selalu begitu. Sejak dulu, sejak kehamilan pertamanya yang berakhir dengan kehilangan, Nyonya Ruby tidak pernah berhenti memperhatikannya. Hampir setiap bulan membawakan vitamin, suplemen, bahkan makanan bergizi, seolah ingin memastikan menantunya tidak kekurangan apa pun."lihat, cucuku kehausan. Beri ASI dulu," ucap Nyonya Ruby sambil menyodorkan Cassie kecil yang merengek.Emily segera menyambut bayinya. Dengan hati-hati ia menyusui Cassie. Tangisan mungil itu perlahan mereda, berganti dengan suara isapan kecil yang tenang. Emily tersenyum samar, perasaan lelahnya sedikit terobati setiap kali melihat wajah polos putrinya.Setelah Cassie tertidur dengan kenyang, Nyonya Ruby kembali menga
Arnold keluar dari kamar dengan langkah terburu, perasaannya campur aduk, di sisi lain ia takut, tapi sisi lainnya Arnold juga bahagia. Ia segera mengambil ponsel dari meja ruang tamu, menekan nomor ibunya, lalu menempelkan ponsel ke telinga.“Mama, Emily… dia hamil lagi,” ucap Arnold pelan, nadanya terdengar hati-hati. Selain ingin memberi kabar, ia juga bermaksud bertanya bagaimana cara merawat istri yang sedang hamil dalam kondisi masih menyusui.Namun, belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, panggilan tiba-tiba terputus begitu saja. Arnold menatap layar ponsel dengan dahi berkerut.“Mama ini suka seenaknya,” desahnya pelan, menghela napas panjang.Ia pun kembali melangkah ke kamarnya. Saat masuk, pandangannya menyapu sofa kosong—Emily tidak ada di sana. Hatinya langsung berdesir cemas. Arnold bergegas menuju kamar mandi, mengetuk pintu dengan sedikit panik.Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Emily keluar dengan wajah pucat pasi, matanya sayu seakan menahan rasa lelah luar biasa.
Emily mengangguk pelan, bibirnya mengulas senyum tipis. "Ayo kita makan sekarang," ajaknya lembut sambil menggenggam tangan Arnold dan menariknya keluar dari kamar. Mereka berjalan beriringan menuju ruang makan yang tampak hangat oleh cahaya lampu gantung berwarna kekuningan. Sesampainya di meja makan, Emily hendak menarik kursi untuk dirinya sendiri, namun Arnold segera bergegas mendahuluinya. Ia dengan cekatan menarik kursi itu dan menuntun Emily untuk duduk. Tidak hanya itu, ia juga mengambilkan sendok dan garpu, lalu menyendokkan makanan ke piring istrinya. Gerakan sederhana itu membuat Emily terdiam sejenak, matanya berkedip tak percaya. "Aku masih bisa mengambil sendiri, sayang," ujarnya dengan nada tersipu, pipinya bersemu merah karena sikap manis Arnold yang jarang ia lihat sebelumnya. Arnold tersenyum hangat, menatapnya penuh perhatian. "Tidak apa-apa. Sesekali aku melayanimu. Lagi pula kau baru keluar dari rumah sakit," katanya tulus. Ia lalu duduk di kursinya sete
"Hamil? Tidak, aku belum siap. Kasihan Cassie." Emily mengusap wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangan. Hatinya terasa sesak, antara bahagia sekaligus takut. Ia masih sering merasa kewalahan hanya dengan satu bayi kecil di rumah. Arnold tidak lagi bertanya. Ia memahami betul kegelisahan istrinya. Satu anak saja sudah membuat Emily begadang hampir setiap malam, apalagi jika benar ada satu lagi yang akan lahir. Bukannya mereka tidak mampu mencari bantuan atau menyewa babysitter, tetapi Emily selalu bersikeras ingin merawat Cassie dengan tangannya sendiri. Dia memang tidak bisa percaya pada orang lain. Hanya Sally—sahabatnya yang baik dan penyayang—yang bisa diberinya kepercayaan untuk sesekali menjaga Cassie. Selain itu, Emily menutup rapat pintu hatinya pada kemungkinan menitipkan buah hati mereka pada orang lain. "Tapi kalau ternyata hamil lagi, apakah kamu akan menggugurkannya?" suara Arnold lirih, seakan ragu mengucapkannya. Emily menoleh cepat, sorot matanya tegas. "Tentu
"Sayang," panggil Emily dengan suara lemah.Arnold menggeliat perlahan, matanya masih berat tertutup kantuk. Ia bangkit dari posisi tertunduk di samping tempat tidur dan duduk menyandar ke kursi. "Sayang, haus," lirih Emily lagi.Arnold segera berdiri. Dengan langkah pelan ia mengambil air dari teko di meja kecil. Segelas air putih ia tuangkan, lalu mendekat dan membantu Emily meminumnya perlahan. Emily meminum habis segelas itu dalam beberapa tegukan.Setelah meletakkan gelas kembali ke meja, Arnold langsung memeluk istrinya erat-erat. Ada rasa syukur dalam pelukannya, karena kini ia bisa merasakan kehangatan tubuh Emily yang kembali sadarkan diri."Apa yang kau rasakan? Apa kau masih sakit?" tanyanya pelan, sambil mengusap punggung Emily dengan lembut.Emily menggeleng, "Sudah tidak lagi. Apa tadi malam aku pingsan?""Iya, kau pingsan hingga membuatku takut setengah mati."Mata Emily membesar. "Di mana Cassie? Apa dia di rumah? Sayang cepat hubungi Sally. Aku ingin melihat putriku."