'Sekarang cepat kau ke rumah sakit, kalau tidak Mama akan mencoretmu dari daftar ahli waris!' Nyonya Ruby menutup teleponnya dengan kesal. Bisa bisanya Arnold tidak tahu istrinya berada di rumah sakit.Jantung Arnold bagai dihantam batu besar. Dia menggeram kesal dan melempar handphonenya ke sembarang arah.Kaget dengan suara ribut ribut suaminya, Sarah terbangun. Dilihatnya wajah Arnold merah padam. "Ada apa, Sayang?" tanyanya sambil mengusap rahang Arnold yang tampak mengencang."Wanita sialan itu ada di rumah sakit dan ibu memarahiku. Dia pasti mengadukan apa yang aku lakukan padanya!" desahnya sambil menuruni tempat tidur. Arnold bergegas mengganti pakaiannya dan pergi ke rumah sakit detik itu juga.Sepanjang jalan Arnold tidak henti mengumpat Emily. Dia sangat kesal karena dipikirnya Emily mengadukannya kepada ibunya."Dasar wanita licik, dia yang bersalah, dia juga yang mengadu. Awas saja nanti!" geramnya kesal sambil memukul setir kemudinya.Sesampainya di rumah sakit, Arnold b
Tiga bulan berlalu, perut Emily sudah mulai membesar dan waktunya untuk pemeriksaan.Emily bangun pagi pagi sekali, dia sangat tidak sabar menantikan hari ini, dimana ia bisa melihat langsung bayinya melalui monitor."Mama ingin sekali melihatmu, Nak!" ucapnya sembari mengelus perutnya yang sedikit menonjol.Kemarin Emily sudah mendaftarkan dirinya untuk melakukan pemeriksaan pagi ini. Jadi dia tidak perlu menunggu lama nantinya di sana.Setelah selesai bersiap, Emily turun ke bawah dan menuju meja makan untuk sarapan. Sudah ada Sarah dan Arnold duduk di sana. Mereka tengah berbincang sambil tersenyum. Arnold bahkan terlihat berkali kali mengecup kening Sarah. Pemandangan pagi yang cukup mengiris hati Emily, namun Emily sudah biasa berpura pura biasa saja.Saat melihat Emily datang, mereka berdua langsung diam. Meski demikian, mata elang Arnold menatapnya tanpa berkedip. Emily sangat cantik pagi ini, aura kehamilannya membuat wajahnya semakin bersinar.Emily tetap mengulas senyum mani
Kecelakaan itu tak terelakkan. Suara benturan keras menggema di jalan raya, menarik perhatian banyak orang. Mobil yang dikemudikan Emily berputar beberapa kali di tengah aspal setelah dihantam dari belakang dengan kecepatan tinggi. Ban mobil mencicit, seakan menjerit di antara kaca yang pecah dan suara logam yang melengkung. Tubuh Emily tersentak ke depan, dadanya menghantam setir sebelum airbag mengembang dengan kasar. Napasnya memburu, rasa sakit segera menjalar dari tulang rusuk hingga perutnya. Sekilas, ia bisa melihat dunia di sekitarnya berputar dalam kekacauan. Sementara itu, mobil Sarah tak kalah naas. Kendaraannya terpelanting keluar dari jalan raya, menghantam tiang lampu sebelum berhenti di bahu jalan dalam kondisi mengenaskan. Bagian depan mobilnya ringsek, hampir tak berbentuk. Sarah yang berada di dalamnya langsung tak sadarkan diri. Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang mencekam, sebelum jeritan saksi mata mulai terdengar. "Kecelakaan! Panggil ambulans!"
Setelah melalui masa konservasi selama kurang lebih satu jam di ruang operasi, Sarah akhirnya sadarkan diri. Perlahan, matanya terbuka, beradaptasi dengan cahaya lampu ruangan yang menyilaukan. Tubuhnya masih lemah, tapi kehadiran Arnold di sampingnya membuatnya merasa lebih baik. Ruangan rawat inap yang dipilihkan Arnold untuk Sarah adalah yang terbaik dan termahal di rumah sakit itu. Semua fasilitas mewah disediakan demi kenyamanan sang istri. Sebaliknya, untuk Emily, Arnold hanya memilih ruangan dengan fasilitas standar di bawah kelas Sarah. Sepanjang hari, Arnold menemani Sarah tanpa sedikit pun niat menjenguk Emily. Baginya, hanya Sarah yang pantas mendapat perhatiannya saat ini. Sarah, yang masih terbaring lemah, mengulurkan tangan ke arah suaminya. Jemari pucatnya yang terpasang infus disentuh lembut oleh Arnold. "Bagaimana keadaanmu, Honey?" tanya Arnold, suaranya lembut dan penuh perhatian. Sarah tersenyum tipis. "Sangat baik, karena ada dirimu di sini," jawabnya lir
Setelah meninggalkan ruangan Emily, Arnold melangkah dengan cepat menuju kamar rawat inap Sarah. Pikirannya penuh, tetapi wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi. Langkah-langkahnya menggema di sepanjang lorong rumah sakit, mencerminkan kekacauan yang berkecamuk dalam hatinya. Saat ia membuka pintu kamar, Sarah sudah menunggunya. Wanita itu duduk bersandar di tempat tidurnya, tubuhnya tampak lemah, tetapi matanya berbinar dengan kecemasan yang tampak begitu nyata. Begitu melihat Arnold masuk, Sarah langsung bertanya, "Bagaimana keadaan Emily?" Suaranya terdengar lembut, seolah benar-benar mengkhawatirkan wanita yang selama ini menjadi duri dalam kehidupannya. "Apa dia dan janinnya baik-baik saja?" Mendengar pertanyaan itu, Arnold terdiam sejenak. Kata janin menusuk dadanya seperti belati. Anak itu… harapannya… sudah tidak ada. Rahangnya mengatup erat. Tangan yang berada di sisinya mengepal, menahan emosi yang membuncah. Namun, saat ia kembali menatap Sarah, ekspresinya kembali d
Sarah menyadari itu. Maka, dengan gerakan lembut, ia menangkup wajah Arnold, membelai rahangnya dengan penuh kasih. "Aku akan menjelaskannya di rumah, Honey. Aku masih trauma setiap kali mengingatnya. Kalimat itu berhasil membuat Arnold melembut. Melihat sorot sedih di mata Sarah, ia mengangguk kecil. Seperti biasa, ia kembali mendekap istrinya, membiarkan rasa penasarannya menguap begitu saja. *** Di sisi lain, Nyonya Ruby baru saja mendapat telepon dari Arnold tentang kecelakaan yang menimpa kedua menantunya. Tanpa menunda waktu, ia segera bergegas menuju rumah sakit. Arnold memang tidak memberitahunya tentang kondisi janin Emily. Begitu sampai di depan pintu kamar rawat inap Emily, Nyonya Ruby langsung mendorong pintu dan melangkah cepat menuju ranjang tempat Emily terbaring. "Di mana Arnold?" tanyanya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, berharap menemukan putranya di sana. Namun, hanya ada Emily. "Arnold baru saja ke
Arnold menggeleng, meski pikirannya seolah terbagi dua. Namun, akhirnya ia melangkah kembali, membimbing Sarah menuju kamar mereka. Arnold duduk di samping Sarah, siap mendengarkan apa pun yang ingin diceritakan istrinya. Sarah menarik napas dalam, lalu menatap Arnold dengan mata berkaca-kaca. "Aku hanya ingin menceritakan kejadian tempo hari kepadamu," ucapnya lirih. "Tapi aku mohon, kau jangan membenci Emily setelah tahu apa yang terjadi..." Arnold menegang. "Katakanlah." Sarah menunduk. Dengan suara gemetar, ia mulai bercerita. "Emily menabrak mobilku di persimpangan jalan. Aku tidak menyangka dia melakukan itu padaku, Arnold..." Mata Arnold membelalak. "Apa? Jadi Emily sengaja menabrak mu?" Sarah mengangguk dengan air mata mengalir di pipinya. "Ya... Dia bahkan mengancam akan membunuhku sebelumnya..." Arnold mengepalkan tangannya, amarah menyelimutinya. "Wanita iblis itu harus mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang sudah diperbuatnya kepadamu dan calo
Sore itu, langit mulai beranjak jingga, memancarkan warna yang seharusnya menenangkan, tetapi bagi Emily, sore itu adalah awal dari luka yang tidak akan pernah sembuh. Dia tengah beristirahat di kamarnya, membiarkan pikirannya mengembara setelah hari yang melelahkan. Namun, ketenangannya terusik ketika layar ponselnya menyala, menampilkan sebuah pesan. Itu dari Arnold. Atau lebih tepatnya, dari ponsel Arnold. Pesan itu hanya berisi satu kalimat singkat, tetapi cukup untuk membuat Emily segera bangkit dari tempat tidurnya. "Emily, datanglah ke ruang kerja sebentar." Emily tersenyum kecil. Mungkin Arnold ingin membicarakan sesuatu yang penting. Tanpa berpikir panjang, dia segera turun dari tempat tidurnya, merapikan sedikit rambutnya, lalu melangkah ke luar kamar. Dengan langkah ringan, dia berjalan menuruni tangga dan menuju ruang kerja Arnold. Pintu ruangan itu sudah terbuka. Emily tidak merasa perlu mengetuk. Dengan penuh percaya diri, dia melangkah masuk. Namun, begitu dia
Arnold menoleh sejenak ke arah Emily yang tampak sibuk dengan laptopnya.Maaf, Emily belum bisa kumiliki sepenuhnya. Bagaimana bisa dia meninggalkannya begitu saja? Tapi melihat Emily yang tampak acuh padanya, Arnold kembali berpikir untuk menjauh sementara waktu, seperti permintaan Emily barusan.“Suruh dia tunggu, aku akan segera ke kantor!”Ia menutup teleponnya, lalu menghampiri Emily.“Sayang, aku pergi dulu. Aku akan kembali saat jam makan siang. Kamu sarapan dulu, nanti sakit.”Arnold mengecup puncak kepala Emily dan mengusap pipinya sebelum beranjak pergi.Setelah kepergian Arnold, Emily menutup laptopnya dan menatap langit-langit. Dia tidak rela Arnold pergi menemui Yolanda. Namun, dia juga tidak bisa melarangnya.“Kenapa perasaanku tidak enak? Yolanda sepertinya menyukai Arnold…”Emily bangkit dari duduknya dan bergegas keluar, berharap Arnold belum pergi.Saat Emily keluar dari pintu belakang, mobil yang dikendarai Arnold tampak mundur perlahan.Arnold, yang melihat Emily b
"Untuk apa meminta maaf?" tanya Emily datar. Ia memejamkan mata, bahkan tidak sudi membalas pelukan suaminya."Aku salah. Aku minta maaf karena memberikan kacamata Sarah kepadamu.""Sudah berapa lama kau bercerai dengannya?" tanya Emily lagi.Arnold mengerutkan kening, tampak bingung dengan pertanyaan itu."Jawab!" desak Emily tak sabar."Kurang lebih setahun."Arnold hanya mengira-ngira. Ia tidak ingat persis—atau lebih tepatnya, tidak ingin mengingatnya."Kau masih mencintainya?"Arnold cepat-cepat menggeleng. "Aku hanya mencintaimu, sungguh!""Lalu kenapa kau masih menyimpan barang-barangnya, kalau sudah tidak mencintainya?!"Emily mendorong tubuh Arnold hingga pelukannya terlepas, lalu kembali menuju mobil."Sayang, tunggu!"Arnold mengejar Emily yang sudah membuka pintu mobil. Emily segera masuk dan membanting pintu. Terpaksa, Arnold ikut masuk karena Emily benar-benar dalam suasana hati buruk."Kau mau kita pulang ke rumah?""Mm," jawabnya singkat.Arnold melajukan mobil, mening
Yolanda bergidik ngeri saat membayangkan kejadian terakhir ketika ia tanpa sengaja memakan seafood. Seluruh tubuhnya gatal dan muncul ruam kemerahan; ia bahkan kesulitan bernapas waktu itu.Yolanda menggeleng lalu berpamitan pergi ke kamar kecil."Sayang, malam ini menginap di rumah Mama lagi, ya. Kerabat Papa dan Mama akan pulang besok, jadi masih ada satu malam lagi untuk kita berkumpul di rumah," ucap Nyonya Ruby.Emily mengangguk, meskipun sebenarnya ia merasa tidak nyaman bersama Tante Mandy dan Yolanda. Namun, karena mereka tidak sering datang ke London, Emily berusaha bersabar.Lima belas menit berlalu. Tiga orang pelayan datang membawa troli berisi makanan dan dengan sigap menyusunnya di atas meja.“Kemana Yolanda? Kenapa dia belum juga datang?” tanya Nyonya Ruby, menoleh ke arah toilet.Tak lama kemudian, Yolanda muncul dengan langkah gontai.“Yolanda, kau kenapa? Apa kau sakit?” tanya Nyonya Ruby cemas.“Perut Yola sakit, Tante. Bolehkah Yola pulang duluan?” rengeknya dengan
Tidak ingin berdebat, Emily memilih untuk mengabaikan perkataan Yolanda dan tetap bersikap baik padanya.“Terima kasih sudah mengingatkanku, Adik Ipar,” ucap Emily sambil mengulas senyum manis, lalu menutup pintu kamarnya.Yolanda hendak membuka kembali pintu kamar, namun Emily sudah keburu menguncinya.“Kau!” geram Yolanda, lalu menendang pintu hingga membuatnya memekik kesakitan.“Aww... wanita sialan. Awas saja kau!”Dengan emosi yang tertahan, Yolanda kembali ke kamarnya sambil terpincang-pincang karena jempol kakinya bengkak.“Berani sekali dia mengabaikanku! Awas kau, Emily!” geramnya sembari membanting pintu kamar.Sementara itu, di kamarnya, Emily bergegas membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket, aroma percintaan semalam bahkan masih tercium samar.Emily mengendus pundaknya, wangi maskulin dari parfum Arnold masih menempel di kulitnya. Sesaat ia memejamkan mata sambil menghirup aromanya. Benaknya kembali dipenuhi slide demi slide adegan panas mereka semalam. Sentuhan Arnold
Arnold menoleh ke belakang. Dilihatnya Yolanda berdiri di depan pintu dengan pakaian tidur super tipis, hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. "Lampu kamarmu mati?" tanyanya sambil menatap lurus ke arah wajah Yolanda. Arnold menghindari melihat ke bawah karena, bagaimanapun juga, dia laki-laki normal. Yolanda mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan menghubungi kepala pelayan untuk mengganti bohlamnya. Masuklah ke kamar dan ganti pakaianmu!" Arnold berbalik dan meninggalkan Yolanda begitu saja, membuat wanita itu gusar setengah mati. Dia sudah berpenampilan semenarik mungkin, namun Arnold malah mengabaikannya. "Aku rasa tubuhku jauh lebih bagus dari Emily. Kau bergegas pergi karena tidak tahan melihat tubuhku yang indah ini, bukan?" gumamnya pelan sambil menatap punggung lebar Arnold yang semakin menjauh. Yolanda tersenyum miring. Awal yang bagus, batinnya. Ia pun masuk kembali ke kamarnya, sedangkan Arnold mempercepat langkah. Ia tidak ingin berlama-lama di luar, takut istrinya ke
Semua mata menoleh ke arah asal suara. Arnold berdiri dengan wajah memerah, kedua tangannya terkepal sempurna di sisi tubuhnya. “Arnold!” Wajah Mandy mendadak pucat, begitu pula Yolanda. Ia langsung mencubit pinggang mamanya saking takutnya. “Jangan asal bicara kalau tidak tahu apa-apa!” Suara Arnold terdengar berat dan serak, rahangnya mengeras. “Coba katakan sekali lagi, Tante bilang apa?” tanyanya pelan namun penuh penekanan. Arnold berjalan menuju tempat Emily berada. Tatapannya tajam, siap mencabik siapa pun yang berani mengatai istrinya. “Kamu salah paham, Arnold. Tante tidak bermaksud seperti itu!” Suara Mandy bergetar. Walaupun masih muda dan hanya keponakan, Arnold sangat disegani oleh om dan tantenya. “Arnold tidak tuli, Tante!” Emily menggeleng pelan. Ia tidak ingin pesta kejutan ulang tahun Arnold diwarnai perdebatan antara tante dan keponakan—terlebih penyebabnya adalah dirinya. “Tante bisa jelaskan!” “Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku harap Tante mau memint
"Berlebihan bagaimana, bukankah ini sangat cantik?"Nyonya Ruby menarik pergelangan tangan Emily dan membawanya menuju tempat tidur king size milik Arnold.Di atas tempat tidur dihiasi dengan kelopak mawar merah berbentuk hati. Di samping kanan kirinya terdapat lampu hias berbentuk lilin yang membentuk huruf A dan E. Lilin aromatherapy di atas nakas."Dan yang paling penting ini."Nyonya Ruby membuka lemari pakaian Arnold dan mengambil sesuatu dari sana."Tada! Karena baju pesta mu berwarna merah, maka pakaian tidurnya yang warna hitam saja. Hmm, perfect!" ucapnya sembari menyerahkan baju dinas yang kemarin dibelikannya untuk Emily."Ah, kenapa Mama yang tidak sabar ingin segera malam. Kamu istirahat saja dulu, nanti kalau MUA nya datang , Mama akan memanggilmu!"Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily yang mematung sambil memegangi lingerie yang hanya terdiri dari 2 piece terpisah, sangat tipis dan Emily tidak yakin ini bisa menutupi asetnya dengan benar.Terdengar helaan nafas berat.
Mama tidak tahu Arnold suka warna apa, anak itu tidak pernah menolak saat Mama membelikannya dasi maupun kemeja, semua warna dipakainya.""Hmm, itu– Arnold suka warna merah dan hitam, Ma." Emily tahu saat Arnold memujinya ketika menggunakan pakaian dengan dua warna itu."Nice. Dua warna itu memang warna favorit, elegan dan menantang! Bungkus semuanya!" titahnya kepada Pramuniaga. Bukan hanya merah dan hitam tapi ada juga yang berwarna Navy dan Hijau botol dan warna lainnya."Ma, ini terlalu banyak!" tolak Emily halus. "Kau harus memakainya setiap malam agar suamimu tidak melirik wanita lain. Kau tahu, suami yang terpuaskan di rumah, tidak akan melirik wanita lain saat berada di luar."Emily tersenyum mendengar perkataan Nyonya Ruby. Mungkin ada benarnya tapi kembali lagi kepada orangnya. Kalau aslinya tidak setia, mau sepuas apa pun di rumah, pasti akan merasa kurang terus.Setelah membeli 'kado' untuk Arnold, Emily dan Nyonya Ruby makan siang bersama. Mereka menikmati santap siang d
Wanita yang ingin merebut gaun Emily tadi akhirnya melepaskan gaunnya dan menghampiri Nyonya Ruby. "Tante!" sapanya dengan wajah sumringah. Sudah lama mereka tidak bertemu, terakhir saat Arnold menikah dengan Sarah. Setelah itu Yolanda tidak pernah lagi ke London. "Yolanda, kau bersama siapa? Mana ibumu, Nak?" Yolanda langsung memeluk Nyonya Ruby dan mengecup pipi kanan dan kirinya, mereka terlihat sangat akrab. "Mama ke toilet, Tante sendirian? Dimana Kak Arnold?" tanyanya sambil menengok ke belakang Nyonya Ruby. Tidak ada siapa siapa. "Tante tidak sendirian, Tante bersama menantu Tante!" ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke arah Emily. Ekor mata Yolanda mengikuti kemana arah tangan itu terulur, dia sedikit shock saat menyadari wanita yang disebut tantenya menantu adalah wanita yang sama yang berebut gaun dengannya barusan. "Menantu? Istri Nicho?" tanyanya memastikan. Arnold baru bercerai, belum setahun lebih tepatnya, jadi tidak mungkin sudah menikah lagi, pikir Yolanda.