“Tidak bisa, Tuan. Bukti yang kita punya tidak kuat dan kami hanya bisa menyelidiki sampai di sana. Selebihnya, untuk mengungkap kasus ini, kita harus menunggu Tuan William sadarkan diri atau mendapat pengakuan langsung dari tersangkanya.” “Dia tidak akan mengaku, Robert!” Suara Arnold merendah namun penuh tekanan. Matanya berkilat, bibirnya mengatup. Sebuah ide melintas cepat di benaknya—cara untuk mengungkap kebenaran yang selama ini mengambang. “Nanti malam datanglah ke rumahku. Ada yang ingin aku sampaikan.” “Baik, Tuan.” Arnold menutup teleponnya. Nafasnya ditarik panjang sebelum kembali masuk ke ruang perawatan. Saat itu, ia bersisian dengan Sisca yang baru saja keluar. Tatapan mereka bertemu sesaat. “Sampai berjumpa di pengadilan, Tuan,” bisik Sisca lirih. Senyum khas devil terukir di wajahnya—sombong, penuh kemenangan. “Tentu, aku tidak sabar,” balas Arnold datar, menutup pintu di belakangnya tanpa menoleh lagi. “Sombong sekali,” dengus Sisca, melirik tajam ke arah pint
Nyonya Ruby melepaskan pelukannya. Wajahnya berubah tegang, rahangnya mengeras. Dia kaget bukan main mendengar perkataan Siska yang datang begitu tiba-tiba, menusuk harga dirinya sebagai seorang mertua."Kau menuntut menantuku?" tanyanya geram, sorot matanya tajam menelusuk wajah Siska.Siska tak bergeming. Suaranya dingin namun terdengar penuh kepastian. "Saya hanya ingin memberi pelajaran kepada orang yang semena-menanya. Maafkan saya, tapi saya sudah memberi kesempatan. Menantu Anda saja yang terlalu sombong."Di sudut ruangan, Emily meremas ujung risnya erat-erat. Nafasnya ditahan, dadanya sesak. Dia tidak akan terjebak lagi oleh lidah licin Siska. Tidak untuk kedua kalinya. Matanya lurus menatap lantai, mencoba menenangkan emosi yang mendidih dalam dadanya."Kenapa kau diam, Emily? Yang aku katakan tadi pagi bener, kan?" Siska tersenyum lebar, seolah baru saja memenangkan sebuah pertandingan. Kini, wajah aslinya mulai terlihat. Topeng ramah yang biasa dipakainya sudah mengelupas.
Emily mendengus pelan. Tiketnya sudah melayang karena dirobek Arnold. Ia lalu berjalan keluar dari antrean. Melihat Emily pergi dengan wajah masam, Arnold tersenyum samar. Ia segera bangkit dan mengejarnya. "Kau mau meninggalkanku, hah? Bukankah kau sudah berjanji akan berada di sisiku sampai mati? Mana janjimu, Cantik?" ucap Arnold sembari merengkuh pinggang Emily dan mengecup pipinya. Emily yang masih kesal berusaha melepaskan pelukan Arnold, namun pria itu justru semakin mengeratkannya. "Tampaknya aku harus memasungmu di rumah agar kau tidak kabur-kaburan lagi!" tambahnya sarkastik. Emily tidak menjawab. Ia terus melangkah menuju pintu keluar. Langkahnya semakin cepat karena merasa risih ditatap banyak pasang mata. "Arnold, berhenti menciumku di tempat umum seperti ini. Aku malu!" ucapnya sembari mendorong wajah Arnold menjauh. "Ini sebagai hukuman karena kau berani meninggalkanku!" "Aku tidak meninggalkanmu. Kaulah yang membuatku pergi!" Langkahnya terhenti. Matanya berk
Arnold kembali ke ruangannya setelah gagal membujuk Sisca. Sisca bersikeras ingin membawa kasus ini ke pihak berwajib, dan Arnold pun tidak tinggal diam. Ia percaya sepenuhnya pada istrinya, hanya saja sejak awal Arnold berharap semuanya bisa diselesaikan secara baik-baik tanpa keributan. "Aku memohon demi istriku. Apa dia pikir aku lebih percaya orang yang baru kukenal daripada istriku sendiri yang telah menemaniku bertahun-tahun?" gumam Arnold sepanjang lorong menuju ruangannya. Saat memasuki ruang kantor, mata Arnold terpaku pada kunci mobil dan black card yang tergeletak di atas meja. Ia langsung berlari untuk memastikan bahwa yang dilihatnya benar-benar milik Emily. "Jangan bilang kau mau pergi meninggalkanku!" Arnold meremas black card itu hingga patah menjadi dua. Tanpa pikir panjang, ia bergegas keluar sambil menghubungi Robert. “Iya, Tuan!” “Cari keberadaan Emily. Dia kabur. Cek namanya di semua maskapai, pastikan tidak ada yang terlewat!” Arnold langsung memutus pa
Sisca keluar dari ruangan Presdir dengan senyum kemenangan di bibirnya. "Beruntung sekali hari ini aku membawa bekal. Sesuatu yang tidak aku rencanakan justru memuluskan jalanku untuk membuat Emily salah paham. Aku tidak sabar ingin menceritakan kejadian pagi ini kepada Sarah. Dia pasti akan memujiku dan memberiku banyak uang!" Sementara itu, di ruangannya, Arnold yang menyadari perubahan ekspresi wajah Emily segera memeluknya. "Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. Aku tidak akan lama, oke?" Emily menjawab dengan anggukan. Meski hatinya terasa sesak, ia berusaha menahannya. "Aku tidak akan lama. Aku akan minta Sisca mengantarkan minuman untukmu. Ingat, jangan ke mana-mana!" tegas Arnold sambil berlalu meninggalkan Emily. Emily tetap duduk di tempatnya sambil menatap kosong ke arah sofa tempat Arnold tadi duduk menikmati sarapan dari Sisca. "Dulu kau tidak mau makan sembarangan, tapi kini dengan mudahnya kau memakan bekal buatan asistenmu. Arnold, ada apa denganmu?" gumamnya pel
Emily duduk bersimpuh di antara dua nisan orang tuanya setelah menaburkan bunga. “Papa, Mama, Emily rindu…” Tanpa bisa ditahan, butiran air mata mengalir deras di kedua pipinya. Pandangannya mulai kabur. “Sebentar lagi Emily akan menjadi seorang ibu. Ternyata tidak mudah mengandung seorang bayi, Ma. Sekarang Emily bisa merasakan betapa beratnya Mama dulu saat mengandung Emily.” Emily mencurahkan isi hatinya. Tak ada teman yang bisa diajak bicara seperti kedua orang tuanya—yang mencintainya tanpa syarat. “Mama, terima kasih untuk cinta dan kasih sayangnya. Papa, terima kasih telah menjadi ayah yang berjuang tanpa lelah membesarkan Emily.” Ia bangkit perlahan dari duduknya. Kepalanya sedikit pusing karena terlalu lama menangis. “Papa, Mama… Emily pamit dulu. Mungkin Emily akan sering ke sini. Dan… maafkan Emily karena telah mencintai laki-laki yang salah.” Dengan berat hati, Emily melangkah meninggalkan makam orang tuanya. Perasaannya sedikit lega setelah mencurahkan isi hatinya
Arnold menghela napas pelan. Dia sebenarnya paling tidak suka ditekan. "Bukan tidak mau, tapi aku hanya menjaga apa yang sudah Papa William atur di Maurer. Mungkin aku bisa saja mengganti semua karyawannya, tapi harus dengan alasan yang jelas. Tidak mungkin, kan, aku memecat Sisca hanya karena istriku cemburu." Arnold mencubit pelan pipi Emily yang tampak chubby. Sejak hamil, Emily memang menjadi lebih sensitif. Emily mengangguk. Ia kecewa, namun cukup tahu diri untuk tidak ikut campur lebih dalam ke dunia kerja Arnold. "Nanti aku akan mengenalkan Sisca, biar kamu tidak berpikiran kalau aku bermain di belakangmu." Diusapnya pipi Emily. Arnold bahkan tidak pernah terpikir untuk menduakan istrinya, saking cintanya pada Emily. Emily melanjutkan makannya dengan perasaan dongkol. Yang membuat Emily semakin kesal, Arnold mulai meninggalkan kebiasaan saat makan bersama. Biasanya, Arnold tidak akan pergi sebelum makanan di piring Emily habis. Namun kali ini, dia pergi tanpa menunggu Emi
"Sukses?" tanya Sarah tanpa basa-basi. "Sepertinya begitu. Semua yang kau katakan tentang Arnold benar adanya. Dia gampang sekali dibodohi." "Aku bersamanya cukup lama sebelum wanita licik itu merebutnya dariku. Jadi, sudah pasti aku tahu semua tentang dirinya. Hal sekecil apa pun aku tahu, Sisca. Jadi, kau hanya perlu mengikuti arahanku!" jawabnya sambil tertawa puas. "Tapi awalnya aku sungguh kesal. Dia membentakku, Sarah. Dia sangat menyebalkan, padahal ayahnya tidak pernah bersikap kasar padaku." "Dia memang arogan, tapi hanya di awal. Dengan mempertahankan sikap polosmu itu, aku yakin dia akan tunduk padamu. Dan pastikan kau tidak gagal. Dengan bersikap polos seperti itulah Emily merebut Arnold dariku, dan sekarang dia harus merasakan bagaimana rasanya suami yang dicintainya direbut oleh orang lain—dengan cara licik seperti yang dia lakukan dulu!" "Tenang saja, Sarah. Kau cukup duduk manis dan mempercayakan semuanya kepadaku. Ngomong-ngomong, Arnold sangat tampan. Kau y
"Kapan suamiku pulang?" tanya Emily kepada sopirnya. "Saya kurang tahu, Nyonya. Tapi saat saya berangkat menjemput Nyonya tadi, Tuan belum datang." Emily mengangguk. Ia pun turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. "Sayang, maafkan aku!" Kedatangan Emily langsung disambut oleh Arnold di depan pintu. Ia masih mengenakan jasnya; rupanya, ia juga baru saja pulang. Emily tidak menjawab. Ia berlalu meninggalkan Arnold karena terlalu kesal. Namun, baru beberapa langkah menjauh, Arnold memeluknya dari belakang. "Tunggu sebentar, aku bisa menjelaskannya," bisiknya lirih. Emily masih diam. Ia terlanjur kecewa dan enggan menjawab. "Saat aku hendak menyusulmu ke klinik, Sisca pingsan. Hanya ada aku dan dia di dalam lift. Kami pulang agak telat karena menyelesaikan beberapa laporan proyek. Aku terpaksa membawanya ke rumah sakit, dan sialnya, baterai ponselku habis. Aku lupa mengecasnya." 'Sisca? Aku tidak mengenalnya,' batin Emily. Ingin sekali bertanya, namun ia menahannya.