Share

Part 5:

Author: X ChaLvin
last update Last Updated: 2025-05-31 13:00:07

Kedatangan pria itu tak hanya membuat Fazia terkejut, tapi senyuman Citra pun perlahan meredup hingga akhirnya menghilang. Seolah menginterupsi yang lain, aktivitas serta obrolan di meja tersebut turut terhenti secara tiba-tiba. Semua mata tertuju padanya, memperhatikan setiap gerakannya.

Tanpa kata, pria yang tidak lain adalah Mirza itu menarik lengan kanan Citra dengan kasar. Khawatir meninggalkan temannya di sana, tangan kiri Citra reflek menarik Fazia hingga terjadilah tarik-tarikan. Fazia yang kebingungan tak sempat bertanya, hanya mengikuti ke mana Citra akan membawanya.

Berhasil keluar dari tempat club, Mirza lantas melepaskan cengkramannya. Citra mengaduh sakit, tapi tatapan Mirza malah menghunus tajam kedua netra Fazia. Tak perlu memaki sekalipun, sorot mata pria itu sudah mengandung banyak tuduhan atas apa yang dilakukan adik tercintanya malam ini.

“Masuk ke mobil,” titah Mirza pada Citra.

“Ayok, Zi.” Citra mengajak Fazia untuk ikut.

“Gue naik taksi aja.” Fazia jelas menolak, mana berani ikut masuk ke dalam mobil 'mantannya'.

“Lo nginep di rumah gue, deh.” Citra terlihat bad mood perkara Mirza menjemputnya paksa.

“Nggak!” Fazia menggelengkan kepalanya.

“Udah malem banget, Zi.” Citra membujuk.

“Gak apa-apa.” Fazia bersikeras menolak.

“Kosan lo jauh banget tau. Gue khawatir—”

“Ngobrolnya bisa lanjut nanti?” Mirza menyela, sudah cukup pegal berdiri di samping mobilnya.

“Udah, deh, malam ini lo nginep di rumah gue.” Citra keras kepala, tak ingin mendengar alasan.

Bukan apa-apa, Citra memang memiliki tingkat kewaspadaan terhadap taksi di malam hari. Kakak iparnya pernah mengalami tragedi penculikan dan pemerkosaan ketika menunggu taksi datang, wajar saja dia khawatir jika Fazia pulang sendirian, belum lagi sekarang ini hari sudah sangat larut malam.

Kehabisan kata untuk menolak, akhirnya Fazia mengangguk pasrah meski perasaannya tak karuan. Pikirannya pun tak kalah sibuk menebak-nebak, apa hubungan antara Citra dan Mirza? Adik dan kakak, sepupu, keponakan, atau siapa? Citra hanya pernah menceritakan satu kakaknya, yaitu Ravindra.

Bukan hanya Fazia yang dilanda kebingungan, Citra juga bingung menyusun kata untuk beralasan. Dulu yang dia takuti adalah Ravindra, tetapi setelah kakak pertamanya menikah, Mirza menjadi kakak yang sangat posesif dan menyebalkan. Selain tidak terbantahkan, dia juga tak mudah memaafkan.

Di sisi lain, Mirza tak menyangka akan bertemu Fazia lagi. Tapi, bagaimana ceritanya gadis itu bisa menjadi teman adiknya? Mengingat 'pekerjaan' dia lima bulan yang lalu dan kejadian hari ini, berbagai prasangka terus berdatangan tanpa henti sehingga memenuhi pikirannya yang mendadak kacau.

“Kak ... jangan aduin aku ke Mama, apalagi ke Kak Ravin.” Citra memohon dengan takut-takut.

“Mau jadi apa kamu?” Mirza bertanya santai, tapi nadanya tetap saja terdengar mencekam.

“Aku cuma—”

“Minggu depan Kakak kirim kamu ke Singapore biar gak badung gini!” Mirza bersungut-sungut.

"Apa?!" Citra membulatkan bola matanya.

"Biar Kakak yang atur semua keperluan kamu." Mirza menambahkan dengan sungguh-sungguh.

"Aku udah nyaman di kampus sekarang, Kak." Citra harap kakaknya itu hanya menggertaknya.

"Pergaulan kamu rusak kalo di sini terus." Mirza sengaja mempertegas sindirannya untuk Fazia.

"Aku janji gak bakal ke tempat gitu lagi." Citra merengek seperti anak kecil. "Kak ... please .... "

"Siapa yang ngajak kamu ke tempat-tempat kayak gitu?" Mirza ingin mendengar namanya.

"Temen." Citra tampak bingung menjawab.

"Dia?" Mirza langsung menatap Fazia melalui spion, sedangkan gadis itu memalingkan wajah.

"Bu-bukan." Citra menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Salah satu orang yang ada di tempat tadi," jawabnya ragu, enggan menyebut Kenzo.

"Pacar kamu?" Mirza melirik penuh curiga.

"Bukan." Citra mengelak sesuai kenyataan.

"Lalu?" Mirza kembali mendesak jawaban.

"Cowok yang lagi deket sama temen aku." Citra menoleh Fazia yang juga sedang menatapnya tanpa ekspresi. "Tapi Zia gak ngajak aku ke tempat tadi, kok, aku sendiri yang ngotot mau ikut ke sana."

"Pake pakaian kayak gitu?" Mirza menyinggung setelan kurang bahan yang dikenakan adiknya.

"Yakali pake piyama ke club." Citra menggerutu pelan. Merasa tersudutkan, ia pun mengomel, "Kak, please, aku tuh udah gede! Kakak juga pasti pernah ke club-club gitu, 'kan?! Gak usah kolot, deh!"

"Cowok ke club gak bakal ada yang culik, beda sama cewek. Satu lagi, Kakak gak pernah masuk ke tempat kayak tadi! Buat apa? Cuma orang-orang gak bener yang masuk ke sana!" Mirza menyanggah, tak pernah sekalipun memasuki tempat seperti itu.

"Yang penting gak mabuk-mabukkan, apalagi main rangkul-rangkulan sama cowok!" Citra tak mau disalahkan sepenuhnya, tetap mencari alasan.

"Terus kamu anggap itu wajar?" Mirza semakin geram, ingin sekali mengurung adiknya di goa.

"Bandingin aja aku sama cewek seusia aku. Aku gak pernah dibolehin keluar malam, padahal cewek lain malah sampe gak pulang. Aku udah gede, Kak, aku bisa jaga diri. Jangan nganggep aku masih kecil terus." Citra memanyunkan bibirnya, cemberut.

Fazia yang sejak tadi diam, berusaha menutupi keterkejutannya. Mirza adalah kakak Citra? Rasanya ini mimpi. Bagaimana dunia bisa sesempit ini? Jika Tuhan memang ingin mempertemukannya kembali bersama Mirza, mengapa harus di tempat tak terpuji seperti tadi? Tidak siap dan sejujurnya dia malu.

Pertemanan dua gadis itu memang belum lama terjalin, wajar saja mereka belum terlalu mengenal satu sama lain. Fazia sendiri tidak pernah bertanya, siapa keluarga Citra ataupun sebaliknya. Jika dilihat dari gaya hidup gadis itu, Fazia sendiri tak mengerti mengapa Citra mau menjadi teman dekatnya.

Tak hanya mengesampingkan soal kasta, Citra juga sangat baik pada teman barunya. Selain sering mentraktir makanan mahal dan mewah yang tentu belum pernah Fazia cicipi, dia juga memperkenalkan banyak hal yang baru Fazia ketahui. Tapi, mengapa harus Mirza yang menjadi kakak dari temannya?

Mirza, hanya satu nama itu yang Fazia ketahui, tidak dengan nama kepanjangannya, yaitu Rajasa. Andai saja tahu sejak awal mengenal Citra, mungkin dia bisa menduga bahwa mereka adalah adik kakak. Fazia merutuki kebodohannya yang tidak sempat bertanya banyak hal pada Mirza maupun Citra.

Melihat Mirza yang sekarang, Fazia merasakan 'kehilangan' sosok pria yang sangat dia kagumi dan mungkin ... dia cintai. Tidak ada lagi tatapan hangat, tidak ada nada lembut, tidak ada senyuman manis yang biasa menghiasi wajah tampannya. Sekarang dia sangat asing, sikapnya juga sangat dingin.

"Zi, ayok masuk! Gue kebelet mau pipis!"

Citra berlari ke dalam rumah, disusul supir yang juga bergegas meninggalkan mobil. Fazia dan Mirza mematung di tempatnya masing-masing, melirik ke arah spion secara bersamaan sehingga pandangan mereka bertemu di sana. Lama saling tatap tanpa sepatah kata, Fazia memutuskan untuk keluar.

"By ...." Mirza turut meninggalkan mobil.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 50:

    Untuk sesaat, Fazia tertegun memandangi bangunan villa di hadapannya, teringat saat pertama kali dia datang ke sana. Tempat itu tak hanya menjadi saksi hancurnya kesucian seorang wanita, tapi tempat itu juga menjadi saksi berseminya cinta yang tercipta dalam waktu tujuh hari tujuh malam. Fazia tersenyum penuh arti. Dulu dia datang sebagai wanita bayaran, sekarang dia datang sebagai istri dari pemilik villa itu sendiri. Ya, mudah bagi takdir untuk membolak-balikan keadaan, menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang bahkan tak pernah Fazia bayangkan sebelumnya. Semua ruangan sudah dibersihkan oleh Ratri sebelum mereka datang, jadi mereka hanya perlu merapikan bahan-bahan makanan yang dibawa dari kota. Selesai merapikan semua bahan makan, Fazia membuat beberapa camilan untuk melengkapi sore hari di halaman belakang, tempat favoritnya. Mirza berlalu dari pandangan, lalu kembali dengan celana boxer tanpa atasan. Pria itu melewati Fazia begitu saja, berjalan menuju alat

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 49:

    Kamar kedua yang semula ditempati Mirza untuk beristirahat, kini menjadi ruangan kerja meski tidak ada meja komputer di dalamnya. Tak apa, yang penting dia bisa menyelesaikan pekerjaannya malam ini agar besok tak perlu ke kantor dan dia bisa membawa sang istri ke villa untuk berlibur sesuai rencananya. Mendengar percakapan Fazia bersama Citra melalui sambungan telepon, sekali lagi Mirza merasa tak percaya dengan statusnya, yaitu memiliki seorang istri. Sekarang tempat itu tak lagi sunyi seperti dulu, tak hanya ada dirinya yang biasanya membisu. Ah, dia tidak sabar ingin mendengar tangis dari anaknya.Tunggu ... Konsentrasi Mirza mulai terganggu karena sesuatu. Walaupun posisi dia di dalam kamar sedangkan Fazia berada di ruang TV, pintu kamar terbuka lebar, tentu saja obrolan istri dan adiknya dapat dia dengar, terlebih Fazia mengaktifkan pengeras suara. Tak mau diam saja, ia pun segera menghampiri. “Masa, sih, Kak Rio suka nanyain gue?” Fazia mengerutkan keningnya usai Citra bicara

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 48:

    Entah sudah berapa kali Citra menelpon, yang jelas Fazia sedang malas menjawabnya. Dia lebih asyik memasak seraya menyanyikan lagu-lagu romantis yang mengiringi keceriaan hatinya saat ini. Tak hanya sering tersenyum kecil, pikirannya pun sibuk berkhayal hal indah. Sikap manis nan romantis seorang Mirza pagi ini benar-benar membuat suasana hati Fazia teramat berbunga-bunga. Dulu dia sering kali membayangkan Mirza menjadi suaminya, tapi ternyata bayangan itu tidak ada apa-apanya. Kehangatan Mirza sekarang melebihi sebatas teman ranjang yang pernah terjadi dulu. Melihat beberapa menu makan yang sudah matang di atas meja, Fazia jadi memikirkan sesuatu. Sepertinya tidak masalah jika dia membawa makanan itu ke kantor dan makan siang bersama suaminya di sana, karena sejujurnya dia penasaran isi kantor itu seperti apa dan siapa saja penghuninya. FaziaKak, kalo aku ke sana bawa makan siang, gimana?11:03MirzaNanti kamu repot, By. 11:05FaziaGak apa-apa. Aku gak repot, kok. 11:06Mirza

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 47:

    Makan malam sudah tertata rapi di atas meja, berbagai hidangan kesukaan Mirza pun ada di sana. Penampilan Fazia sangat menantang walaupun potongan lingerie yang dipakainya tidak terlalu terbuka, setidaknya Mirza akan merasa heran sekaligus terkagum-kagum karena dia tak pernah berpakaian seperti itu. Detik demi detik terus Fazia lalui dengan rasa ketidaksabaran, sampai tak terasa sudah berjam-jam lamanya dia menanti kepulangan sang suami yang tak kunjung datang. Sempat ingin menanyakan keberadaannya, tapi Fazia menahan diri untuk tidak melakukan itu agar Mirza mengira dirinya tidak peduli. Entah sudah berapa kali Fazia menguap, menahan rasa kantuk yang semakin kuat. Ia berbaring di sofa, menonton siaran TV tanpa minat. Sampai tiba-tiba, pintu utama yang tak jauh dari sana terbuka. Niatnya tadi untuk menyambut hilang, sebaliknya dia malah memejamkan mata seolah ketiduran di sana.Awalnya Mirza terlihat biasa saja, menutup pintu dan menguncinya seperti biasa. Namun, pria itu mematung k

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 46:

    Pagi yang cerah, secerah senyuman Fazia ketika memandangi wajah Mirza yang masih terlelap di sampingnya. Pelukan hangat pria itu berhasil mengantarkannya ke alam mimpi, bahkan sampai dia terbangun kembali. Mirza sudah menjadi suaminya? Dia bertanya-tanya dalam hati, jujur saja masih tak menyangka. Tunggu! Mirza benar-benar tidak melakukan apa pun selain memeluknya selama dua malam tidur bersama, bahkan memberikan kecupan atau sekadar ucapan ‘Good night’ saja tidak. Apa dia tidak berhasrat? Walaupun Fazia pernah memberi batasan, dia bisa saja membujuk dan menaklukkan egonya, bukan?Entah apa alasannya, Fazia kesal bukan main, ingin sekali meremas-remas wajah Mirza jika saja dia tidak bisa menahan diri. Tangannya hanya bisa meremas angin di hadapan wajah pria itu, sedangkan si pemilik wajah tampan tetap terlelap dalam tidurnya. Merasa konyol, Fazia bangkit untuk menyiapkan sarapan. “By, aku berangkat, ya.” Mirza memakai jam tangannya sembari berjalan ke dapur. Fazia yang baru saja me

  • Sebatas Teman Ranjang   Part 45:

    Pukul enam pagi, alarm pada tubuh Fazia membangunkan si pemiliknya. Hal pertama yang dia lakukan adalah memeriksa suhu tubuh Mirza. Syukurlah, pria itu tidak demam lagi. Fazia lalu pergi ke dapur untuk membuat bubur dan mencampurkan beberapa sayuran ke dalamnya agar kaya gizi dan vitamin.Namun, lagi-lagi selera makan Mirza sedang terganggu. Berulang kali dia menolak disuapi, berulang kali pula Fazia membujuknya seperti kepada anak kecil. Fazia sampai memohon agar Mirza membuka mulutnya, tapi kali ini Mirza benar-benar merasa mual hanya dengan mencium bau makanan di kamarnya. “Paksain makan, Kak. Abis ini minum obat.” Fazia mulai bosan memohon. “Gak mau, By.” Mirza malah berpindah posisi, menempatkan kepalanya di paha Fazia, memeluk pinggangnya di posisi seperti itu. “Terus gimana Kakak mau sembuhnya kalo makan aja gak mau, sedangkan minum obat itu harus makan dulu?!” Fazia rasa bisa gila merawat suaminya yang sulit diatur. “Biarin aja gini.” Mirza terkesan tak peduli. “Kakak mau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status