Kedatangan pria itu tak hanya membuat Fazia terkejut, tapi senyuman Citra pun perlahan meredup hingga akhirnya menghilang. Seolah menginterupsi yang lain, aktivitas serta obrolan di meja tersebut turut terhenti secara tiba-tiba. Semua mata tertuju padanya, memperhatikan setiap gerakannya.
Tanpa kata, pria yang tidak lain adalah Mirza itu menarik lengan kanan Citra dengan kasar. Khawatir meninggalkan temannya di sana, tangan kiri Citra reflek menarik Fazia hingga terjadilah tarik-tarikan. Fazia yang kebingungan tak sempat bertanya, hanya mengikuti ke mana Citra akan membawanya. Berhasil keluar dari tempat club, Mirza lantas melepaskan cengkramannya. Citra mengaduh sakit, tapi tatapan Mirza malah menghunus tajam kedua netra Fazia. Tak perlu memaki sekalipun, sorot mata pria itu sudah mengandung banyak tuduhan atas apa yang dilakukan adik tercintanya malam ini. “Masuk ke mobil,” titah Mirza pada Citra. “Ayok, Zi.” Citra mengajak Fazia untuk ikut. “Gue naik taksi aja.” Fazia jelas menolak, mana berani ikut masuk ke dalam mobil 'mantannya'. “Lo nginep di rumah gue, deh.” Citra terlihat bad mood perkara Mirza menjemputnya paksa. “Nggak!” Fazia menggelengkan kepalanya. “Udah malem banget, Zi.” Citra membujuk. “Gak apa-apa.” Fazia bersikeras menolak. “Kosan lo jauh banget tau. Gue khawatir—” “Ngobrolnya bisa lanjut nanti?” Mirza menyela, sudah cukup pegal berdiri di samping mobilnya. “Udah, deh, malam ini lo nginep di rumah gue.” Citra keras kepala, tak ingin mendengar alasan. Bukan apa-apa, Citra memang memiliki tingkat kewaspadaan terhadap taksi di malam hari. Kakak iparnya pernah mengalami tragedi penculikan dan pemerkosaan ketika menunggu taksi datang, wajar saja dia khawatir jika Fazia pulang sendirian, belum lagi sekarang ini hari sudah sangat larut malam. Kehabisan kata untuk menolak, akhirnya Fazia mengangguk pasrah meski perasaannya tak karuan. Pikirannya pun tak kalah sibuk menebak-nebak, apa hubungan antara Citra dan Mirza? Adik dan kakak, sepupu, keponakan, atau siapa? Citra hanya pernah menceritakan satu kakaknya, yaitu Ravindra. Bukan hanya Fazia yang dilanda kebingungan, Citra juga bingung menyusun kata untuk beralasan. Dulu yang dia takuti adalah Ravindra, tetapi setelah kakak pertamanya menikah, Mirza menjadi kakak yang sangat posesif dan menyebalkan. Selain tidak terbantahkan, dia juga tak mudah memaafkan. Di sisi lain, Mirza tak menyangka akan bertemu Fazia lagi. Tapi, bagaimana ceritanya gadis itu bisa menjadi teman adiknya? Mengingat 'pekerjaan' dia lima bulan yang lalu dan kejadian hari ini, berbagai prasangka terus berdatangan tanpa henti sehingga memenuhi pikirannya yang mendadak kacau. “Kak ... jangan aduin aku ke Mama, apalagi ke Kak Ravin.” Citra memohon dengan takut-takut. “Mau jadi apa kamu?” Mirza bertanya santai, tapi nadanya tetap saja terdengar mencekam. “Aku cuma—” “Minggu depan Kakak kirim kamu ke Singapore biar gak badung gini!” Mirza bersungut-sungut. "Apa?!" Citra membulatkan bola matanya. "Biar Kakak yang atur semua keperluan kamu." Mirza menambahkan dengan sungguh-sungguh. "Aku udah nyaman di kampus sekarang, Kak." Citra harap kakaknya itu hanya menggertaknya. "Pergaulan kamu rusak kalo di sini terus." Mirza sengaja mempertegas sindirannya untuk Fazia. "Aku janji gak bakal ke tempat gitu lagi." Citra merengek seperti anak kecil. "Kak ... please .... " "Siapa yang ngajak kamu ke tempat-tempat kayak gitu?" Mirza ingin mendengar namanya. "Temen." Citra tampak bingung menjawab. "Dia?" Mirza langsung menatap Fazia melalui spion, sedangkan gadis itu memalingkan wajah. "Bu-bukan." Citra menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Salah satu orang yang ada di tempat tadi," jawabnya ragu, enggan menyebut Kenzo. "Pacar kamu?" Mirza melirik penuh curiga. "Bukan." Citra mengelak sesuai kenyataan. "Lalu?" Mirza kembali mendesak jawaban. "Cowok yang lagi deket sama temen aku." Citra menoleh Fazia yang juga sedang menatapnya tanpa ekspresi. "Tapi Zia gak ngajak aku ke tempat tadi, kok, aku sendiri yang ngotot mau ikut ke sana." "Pake pakaian kayak gitu?" Mirza menyinggung setelan kurang bahan yang dikenakan adiknya. "Yakali pake piyama ke club." Citra menggerutu pelan. Merasa tersudutkan, ia pun mengomel, "Kak, please, aku tuh udah gede! Kakak juga pasti pernah ke club-club gitu, 'kan?! Gak usah kolot, deh!" "Cowok ke club gak bakal ada yang culik, beda sama cewek. Satu lagi, Kakak gak pernah masuk ke tempat kayak tadi! Buat apa? Cuma orang-orang gak bener yang masuk ke sana!" Mirza menyanggah, tak pernah sekalipun memasuki tempat seperti itu. "Yang penting gak mabuk-mabukkan, apalagi main rangkul-rangkulan sama cowok!" Citra tak mau disalahkan sepenuhnya, tetap mencari alasan. "Terus kamu anggap itu wajar?" Mirza semakin geram, ingin sekali mengurung adiknya di goa. "Bandingin aja aku sama cewek seusia aku. Aku gak pernah dibolehin keluar malam, padahal cewek lain malah sampe gak pulang. Aku udah gede, Kak, aku bisa jaga diri. Jangan nganggep aku masih kecil terus." Citra memanyunkan bibirnya, cemberut. Fazia yang sejak tadi diam, berusaha menutupi keterkejutannya. Mirza adalah kakak Citra? Rasanya ini mimpi. Bagaimana dunia bisa sesempit ini? Jika Tuhan memang ingin mempertemukannya kembali bersama Mirza, mengapa harus di tempat tak terpuji seperti tadi? Tidak siap dan sejujurnya dia malu. Pertemanan dua gadis itu memang belum lama terjalin, wajar saja mereka belum terlalu mengenal satu sama lain. Fazia sendiri tidak pernah bertanya, siapa keluarga Citra ataupun sebaliknya. Jika dilihat dari gaya hidup gadis itu, Fazia sendiri tak mengerti mengapa Citra mau menjadi teman dekatnya. Tak hanya mengesampingkan soal kasta, Citra juga sangat baik pada teman barunya. Selain sering mentraktir makanan mahal dan mewah yang tentu belum pernah Fazia cicipi, dia juga memperkenalkan banyak hal yang baru Fazia ketahui. Tapi, mengapa harus Mirza yang menjadi kakak dari temannya? Mirza, hanya satu nama itu yang Fazia ketahui, tidak dengan nama kepanjangannya, yaitu Rajasa. Andai saja tahu sejak awal mengenal Citra, mungkin dia bisa menduga bahwa mereka adalah adik kakak. Fazia merutuki kebodohannya yang tidak sempat bertanya banyak hal pada Mirza maupun Citra. Melihat Mirza yang sekarang, Fazia merasakan 'kehilangan' sosok pria yang sangat dia kagumi dan mungkin ... dia cintai. Tidak ada lagi tatapan hangat, tidak ada nada lembut, tidak ada senyuman manis yang biasa menghiasi wajah tampannya. Sekarang dia sangat asing, sikapnya juga sangat dingin. "Zi, ayok masuk! Gue kebelet mau pipis!" Citra berlari ke dalam rumah, disusul supir yang juga bergegas meninggalkan mobil. Fazia dan Mirza mematung di tempatnya masing-masing, melirik ke arah spion secara bersamaan sehingga pandangan mereka bertemu di sana. Lama saling tatap tanpa sepatah kata, Fazia memutuskan untuk keluar. "By ...." Mirza turut meninggalkan mobil.Di antara banyaknya pengunjung restoran yang terus berdatangan, Imran selaku manager di sana berjalan terburu-buru menuju keluar bangunan. Dahinya sedikit mengkerut ketika mendapati seorang pria yang sedang memasuki tempat itu. Sudah lama tidak bertemu, wajar dia merasa pangling."Mas Mirza?" Imran menyapa dengan sopan."Pak Imran."Mirza mengangguk satu kali. "Di mana adik saya?" tanyanya seraya celingukan."Saya belum lihat Citra. Kayaknya belum ke sini, Mas." Imran ikut mengedarkan pandangannya ke beberapa meja."Tadi dia bilang di sini." Mirza memberitahu."Oh ...." Imran tidak kaget, mungkin dia yang belum melihat Citra hari ini. "Fazia," panggilnya.Gadis yang dipanggil Imran sontak menghentikan langkah dan menoleh dengan cepat. Rautnya yang semula tenang, seketika terlihat tegang. Alasan apa lagi jika bukan karena keberadaan Mirza? Tak ingin membuat Imran bingung, dia berusaha menyembunyikan emosi dan bersikap setenang mungkin. "Iya, Pak?" Fazia mendekati tanpa mempedulikan Mir
"Saya harap kamu gak lupa sama permintaan saya semalam." Mirza berjalan melewati Fazia tanpa menolehnya."Kenapa gak nyuruh adik Anda sendiri yang jauhin saya?" Fazia tetap berdiri di tempatnya, tapi ucapannya itu berhasil membuat Mirza berbalik dan menatapnya tajam. "Saya gak punya alasan buat jauhin Citra, tapi Citra punya alasan buat jauhin saya.""Kamu nantang saya buat kasih tau yang sebenarnya ke Citra?" Mirza terkesan mengancam."Silakan." Fazia bersikap masa bodoh, padahal otaknya mendadak sibuk mencari kalimat balasan yang setimpal."Saya pastikan bukan cuma Citra yang tau soal pekerjaan kamu, tapi kampus kamu juga." Mirza lalu tersenyum sinis."Dan di saat harga diri saya sehancur itu, saya pastikan hubungan Anda dan tunangan Anda juga hancur." Fazia balik mengancam."Apa mau kamu?" Mirza tampak tak terima calon istrinya dilibatkan."Anggap kita gak saling kenal dan jangan ungkit masa lalu, apalagi sampai nyinggung harga diri saya." Fazia tidak sulit mencari jawaban."Sepulu
"Kayaknya di sini gak susah nyari pelanggan." Mirza berdiri tepat di belakang Fazia, bersedekap dada sambil memperhatikan pergerakan gadis itu. "Harganya masih sama?" tanyanya yang sungguh tak enak didengar. "Kamu tuli?" geram, dia mencekal lengan Fazia yang hendak pergi dengan membawa satu gelas air minum."Maaf?" Fazia pura-pura tak mengerti, padahal hatinya berdenyut nyeri."Jangan sandiwara di depan saya." Mirza menatap tajam seakan ingin membunuhnya saat ini juga."Saya bukan Gaby yang dulu. Jadi, tolong jangan bahas yang udah berlalu." Fazia tak ragu memohon."Sekarang jadi siapa? Zia?" Mirza tersenyum kecut. "Kamu sengaja ganti nama-" "Itu nama asli saya, Fazia. Sedangkan Gaby ... itu cuma nama sial." Fazia menyela ucapan, tahu apa yang Mirza pikirkan."Jauhi adik saya. Jangan sampai dia terbawa arus kotor kayak kamu." Mirza mengecam, menelisik tubuh Fazia dengan tatapan hina."Apa bedanya saya sama Anda? Bukannya kita sama-sama kotor, Pak?" Fazia balik menyinggung, tak terima
Langkah Fazia terhenti saat itu juga, sementara detak jantungnya langsung berirama di dalam sana. Akhirnya dia mendengar suara itu lagi, suara lembut Mirza ketika menyerukan nama samarannya, Gaby. Apa pria itu ingin menyapanya? Mungkin dia merasa canggung melakukan hal itu di hadapan Citra? Tubuh Fazia berbalik sehingga tatapan mereka kembali bertemu. Kerinduan tak terelakkan dari raut masing-masing, tapi lagi-lagi mereka hanya terdiam menatap satu sama lain. Banyak ungkapan yang tersirat dalam sorot mata Mirza, hanya saja dia tidak bisa menyerukannya karena beberapa alasan.Dering yang berasal dari ponsel Mirza berhasil mengganggu suasana, mengembalikan kesadaran mereka ke dunia nyata. Melihat nama si pemanggil di layar ponselnya, Mirza pergi tanpa mengatakan apa pun pada Fazia, meninggalkan gadis itu yang tetap berdiri di tempatnya dalam kebingungan. "Gimana? Udah lo cek ke lokasi belum?""Udah gue jemput. Thanks buat infonya.""Jadi beneran yang tadi itu adek lo? Gue mau tegur di
Kedatangan pria itu tak hanya membuat Fazia terkejut, tapi senyuman Citra pun perlahan meredup hingga akhirnya menghilang. Seolah menginterupsi yang lain, aktivitas serta obrolan di meja tersebut turut terhenti secara tiba-tiba. Semua mata tertuju padanya, memperhatikan setiap gerakannya. Tanpa kata, pria yang tidak lain adalah Mirza itu menarik lengan kanan Citra dengan kasar. Khawatir meninggalkan temannya di sana, tangan kiri Citra reflek menarik Fazia hingga terjadilah tarik-tarikan. Fazia yang kebingungan tak sempat bertanya, hanya mengikuti ke mana Citra akan membawanya. Berhasil keluar dari tempat club, Mirza lantas melepaskan cengkramannya. Citra mengaduh sakit, tapi tatapan Mirza malah menghunus tajam kedua netra Fazia. Tak perlu memaki sekalipun, sorot mata pria itu sudah mengandung banyak tuduhan atas apa yang dilakukan adik tercintanya malam ini. “Masuk ke mobil,” titah Mirza pada Citra.“Ayok, Zi.” Citra mengajak Fazia untuk ikut.“Gue naik taksi aja.” Fazia jelas meno
Tanpa adanya saudara, teman, atau sekadar kenalan, Fazia nekat pergi ke Jakarta dan memulai hidup barunya sebagai seorang mahasiswi. Kalina hanya memberi uang sebesar lima juta atas pekerjaannya selama tujuh hari tujuh malam, akan tetapi Mirza memberi tambahan sebesar dua puluh lima juta tanpa sepengetahuan Kalina. Uang sebesar itu Fazia gunakan untuk membeli barang-barang yang sudah lama dia mimpikan. Mulai dari ponsel, segala jenis pakaian, aksesoris, perawatan diri, peralatan kecantikan, dan masih banyak lagi. Ya, wanita itu tidak bisa mengontrol nafsu foya-foya hingga telat menyadari bahwa uangnya semakin menipis dari hari ke hari. Beruntung Fazia mendapatkan teman baru di kampusnya—Citra, gadis yang berasal dari keluarga kaya raya. Selain tidak memandang kasta, dia juga sangat baik dan selalu bersedia membantu. Gadis itulah yang memperkenalkan Fazia pada segala hal, terutama kehidupan modern yang tidak ia ketahui sama sekali. “Cie ... yang diajakin nge-date sama kating idam