Langkah Fazia terhenti saat itu juga, sementara detak jantungnya langsung berirama di dalam sana. Akhirnya dia mendengar suara itu lagi, suara lembut Mirza ketika menyerukan nama samarannya, Gaby. Apa pria itu ingin menyapanya? Mungkin dia merasa canggung melakukan hal itu di hadapan Citra?
Tubuh Fazia berbalik sehingga tatapan mereka kembali bertemu. Kerinduan tak terelakkan dari raut masing-masing, tapi lagi-lagi mereka hanya terdiam menatap satu sama lain. Banyak ungkapan yang tersirat dalam sorot mata Mirza, hanya saja dia tidak bisa menyerukannya karena beberapa alasan. Dering yang berasal dari ponsel Mirza berhasil mengganggu suasana, mengembalikan kesadaran mereka ke dunia nyata. Melihat nama si pemanggil di layar ponselnya, Mirza pergi tanpa mengatakan apa pun pada Fazia, meninggalkan gadis itu yang tetap berdiri di tempatnya dalam kebingungan. "Gimana? Udah lo cek ke lokasi belum?" "Udah gue jemput. Thanks buat infonya." "Jadi beneran yang tadi itu adek lo? Gue mau tegur dia tadi, tapi takut salah orang. Udah gitu gue lagi sama gebetan, takutnya salah paham. Makanya gue kirim foto dia aja biar lo cek sendiri, adek lo apa bukannya. Syukur, deh, kalo lo udah jemput." "Untung aja lo ngabarin. Kalo gak, gue gak tau tuh bocah bakal gimana nasibnya malam ini." "Jagain adek lo yang bener. Pergaulan sekarang ngeri-ngeri, Za, perlu pengawasan yang ketat." Di luar rumah, pandangan Fazia mengedar ke sekelilingnya. Tidak seperti matanya yang berbinar melihat kemegahan serta keindahan rumah Rajasa, hatinya justru tersadar akan perbedaan kasta antara dirinya dan Citra juga Mirza. Bukankah konyol jika dia mengharapkan laki-laki sesempurna Mirza? Pantas saja Mirza melupakannya dengan cepat, mungkin karena banyak wanita cantik dan berkelas yang menginginkan pria itu. Sikapnya sekarang jauh berbeda, mungkin dia jijik pernah menghabiskan waktu selama satu minggu bersama wanita rendah seperti dirinya. Demi Tuhan, Fazia sangat malu. "Bukannya masuk, malah ngelamun di situ!" Citra berteriak seenaknya seraya menghampiri. "Gue pulang aja kayaknya," cicit Fazia dengan nada lemas, ekspresinya pun terlihat kelelahan. "Jangan ngaco, deh. Lo gak lihat udah malem banget gini? Gak takut ketiduran di taksi, terus pas bangun lagi di semak-semak?" Citra jelas tak setuju, bergegas membawa temannya ke dalam rumah. "Nyokap lo udah tidur?" Fazia hanya basa-basi, padahal matanya sibuk menelisik seisi rumah. "Udah jam dua pagi, yakali masih melek." Citra berbisik, menyusuri tangga menuju lantai atas. "Kakak lo ada berapa, sih? Lo cuma nyeritain Kak Ravin aja." Fazia berusaha bernada santai. "Ada dua sama Kak Mirza. Dua-duanya cowok, dua-duanya nyebelin. Demen banget ngatur-ngatur gue!" Citra berubah kesal. "Dulu sih Kak Mirza gak begitu peduli, eh sekarang nyebelinnya lebih-lebih dari Kak Ravin," lanjutnya menggerutu sendiri. "Kak Ravin kakak pertama dan Kak Mirza kakak kedua, gitu?" Fazia ingin memastikan dugaan. "Heem." Citra mengangguk membenarkan. "Terus kenapa kakak lo bisa tau kalo kita lagi di club?" Fazia gatal ingin bertanya itu sejak tadi. "Nah, itu dia. Gue jadi curiga Kak Mirza nyewa mata-mata." Citra juga sama tidak mengertinya. "Kayaknya nggak, deh. Kurang kerjaan banget kalo sampe nyewa mata-mata." Fazia tak sungkan mengeyahkan pendapat Citra yang berlebihan. "Lo gak tau aja se-posesif apa kakak gue." Citra memanyunkan bibir, kesal berbeda pendapat. "Kalo dugaan lo bener, artinya dia care banget." Fazia tersenyum malu mengingat sikap Mirza. "Jangan bilang lo kesemsem sama kakak gue." Citra menatap curiga melihat senyum aneh itu. "Emang kenapa kalo gue kesemsem sama dia?" Fazia jadi penasaran seperti apa sahutan Citra. "Udah punya tunangan! Bentar lagi married!" Citra menjawab dengan ciri khasnya yang terkesan sombong. "Udah paling bener lo sama Kak Ken." Lagi, Fazia terperangah mengetahui kenyataan yang tidak siap dia ketahui. Belum puaskah gadis itu memberinya kejutan hari ini? Fazia sampai tak bisa berkata-kata lagi, bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika melihat betapa cantiknya kamar Citra yang menjadi impian kebanyakan wanita. Mirza sudah memiliki calon istri? Jujur Fazia tak menyangka, nyaris tak percaya. Hey, memangnya apa yang dia harapkan? Tidak ada hubungan apa pun yang terjalin, hanya sebatas teman ranjang! Sudah sepatutnya pria itu mendapatkan cinta baru dan melupakan masa lalu, bukan? Merasa tenggorokannya kering, ia pun celingukan. Sial, tidak ada air minum yang tersedia di kamar Citra. Mengambilnya sendiri? Dia bahkan tak tahu dapur ada di sebelah mana. Setelah berguling ke sana ke mari, rasa tak nyaman di tenggorokannya tak bisa dihalau dan malah makin menjadi. Tak tega membangunkan Citra, akhirnya dia memberanikan diri untuk mencari minum sendiri. Tepat ketika membuka pintu kamar, ternyata ada sebuah dispenser air di ujung koridor. "Ehem." Fazia tersedak minumnya sendiri, kaget bukan main. Jantungnya langsung berdegub hebat, tangannya bahkan gemetaran. Tak perlu menoleh sekalipun, dia sudah sangat tahu suara siapa yang ada di belakangnya. Entah sedang apa pria itu ada di sana, yang jelas Fazia belum siap bertatap wajah lagi.Di antara banyaknya pengunjung restoran yang terus berdatangan, Imran selaku manager di sana berjalan terburu-buru menuju keluar bangunan. Dahinya sedikit mengkerut ketika mendapati seorang pria yang sedang memasuki tempat itu. Sudah lama tidak bertemu, wajar dia merasa pangling."Mas Mirza?" Imran menyapa dengan sopan."Pak Imran."Mirza mengangguk satu kali. "Di mana adik saya?" tanyanya seraya celingukan."Saya belum lihat Citra. Kayaknya belum ke sini, Mas." Imran ikut mengedarkan pandangannya ke beberapa meja."Tadi dia bilang di sini." Mirza memberitahu."Oh ...." Imran tidak kaget, mungkin dia yang belum melihat Citra hari ini. "Fazia," panggilnya.Gadis yang dipanggil Imran sontak menghentikan langkah dan menoleh dengan cepat. Rautnya yang semula tenang, seketika terlihat tegang. Alasan apa lagi jika bukan karena keberadaan Mirza? Tak ingin membuat Imran bingung, dia berusaha menyembunyikan emosi dan bersikap setenang mungkin. "Iya, Pak?" Fazia mendekati tanpa mempedulikan Mir
"Saya harap kamu gak lupa sama permintaan saya semalam." Mirza berjalan melewati Fazia tanpa menolehnya."Kenapa gak nyuruh adik Anda sendiri yang jauhin saya?" Fazia tetap berdiri di tempatnya, tapi ucapannya itu berhasil membuat Mirza berbalik dan menatapnya tajam. "Saya gak punya alasan buat jauhin Citra, tapi Citra punya alasan buat jauhin saya.""Kamu nantang saya buat kasih tau yang sebenarnya ke Citra?" Mirza terkesan mengancam."Silakan." Fazia bersikap masa bodoh, padahal otaknya mendadak sibuk mencari kalimat balasan yang setimpal."Saya pastikan bukan cuma Citra yang tau soal pekerjaan kamu, tapi kampus kamu juga." Mirza lalu tersenyum sinis."Dan di saat harga diri saya sehancur itu, saya pastikan hubungan Anda dan tunangan Anda juga hancur." Fazia balik mengancam."Apa mau kamu?" Mirza tampak tak terima calon istrinya dilibatkan."Anggap kita gak saling kenal dan jangan ungkit masa lalu, apalagi sampai nyinggung harga diri saya." Fazia tidak sulit mencari jawaban."Sepulu
"Kayaknya di sini gak susah nyari pelanggan." Mirza berdiri tepat di belakang Fazia, bersedekap dada sambil memperhatikan pergerakan gadis itu. "Harganya masih sama?" tanyanya yang sungguh tak enak didengar. "Kamu tuli?" geram, dia mencekal lengan Fazia yang hendak pergi dengan membawa satu gelas air minum."Maaf?" Fazia pura-pura tak mengerti, padahal hatinya berdenyut nyeri."Jangan sandiwara di depan saya." Mirza menatap tajam seakan ingin membunuhnya saat ini juga."Saya bukan Gaby yang dulu. Jadi, tolong jangan bahas yang udah berlalu." Fazia tak ragu memohon."Sekarang jadi siapa? Zia?" Mirza tersenyum kecut. "Kamu sengaja ganti nama-" "Itu nama asli saya, Fazia. Sedangkan Gaby ... itu cuma nama sial." Fazia menyela ucapan, tahu apa yang Mirza pikirkan."Jauhi adik saya. Jangan sampai dia terbawa arus kotor kayak kamu." Mirza mengecam, menelisik tubuh Fazia dengan tatapan hina."Apa bedanya saya sama Anda? Bukannya kita sama-sama kotor, Pak?" Fazia balik menyinggung, tak terima
Langkah Fazia terhenti saat itu juga, sementara detak jantungnya langsung berirama di dalam sana. Akhirnya dia mendengar suara itu lagi, suara lembut Mirza ketika menyerukan nama samarannya, Gaby. Apa pria itu ingin menyapanya? Mungkin dia merasa canggung melakukan hal itu di hadapan Citra? Tubuh Fazia berbalik sehingga tatapan mereka kembali bertemu. Kerinduan tak terelakkan dari raut masing-masing, tapi lagi-lagi mereka hanya terdiam menatap satu sama lain. Banyak ungkapan yang tersirat dalam sorot mata Mirza, hanya saja dia tidak bisa menyerukannya karena beberapa alasan.Dering yang berasal dari ponsel Mirza berhasil mengganggu suasana, mengembalikan kesadaran mereka ke dunia nyata. Melihat nama si pemanggil di layar ponselnya, Mirza pergi tanpa mengatakan apa pun pada Fazia, meninggalkan gadis itu yang tetap berdiri di tempatnya dalam kebingungan. "Gimana? Udah lo cek ke lokasi belum?""Udah gue jemput. Thanks buat infonya.""Jadi beneran yang tadi itu adek lo? Gue mau tegur di
Kedatangan pria itu tak hanya membuat Fazia terkejut, tapi senyuman Citra pun perlahan meredup hingga akhirnya menghilang. Seolah menginterupsi yang lain, aktivitas serta obrolan di meja tersebut turut terhenti secara tiba-tiba. Semua mata tertuju padanya, memperhatikan setiap gerakannya. Tanpa kata, pria yang tidak lain adalah Mirza itu menarik lengan kanan Citra dengan kasar. Khawatir meninggalkan temannya di sana, tangan kiri Citra reflek menarik Fazia hingga terjadilah tarik-tarikan. Fazia yang kebingungan tak sempat bertanya, hanya mengikuti ke mana Citra akan membawanya. Berhasil keluar dari tempat club, Mirza lantas melepaskan cengkramannya. Citra mengaduh sakit, tapi tatapan Mirza malah menghunus tajam kedua netra Fazia. Tak perlu memaki sekalipun, sorot mata pria itu sudah mengandung banyak tuduhan atas apa yang dilakukan adik tercintanya malam ini. “Masuk ke mobil,” titah Mirza pada Citra.“Ayok, Zi.” Citra mengajak Fazia untuk ikut.“Gue naik taksi aja.” Fazia jelas meno
Tanpa adanya saudara, teman, atau sekadar kenalan, Fazia nekat pergi ke Jakarta dan memulai hidup barunya sebagai seorang mahasiswi. Kalina hanya memberi uang sebesar lima juta atas pekerjaannya selama tujuh hari tujuh malam, akan tetapi Mirza memberi tambahan sebesar dua puluh lima juta tanpa sepengetahuan Kalina. Uang sebesar itu Fazia gunakan untuk membeli barang-barang yang sudah lama dia mimpikan. Mulai dari ponsel, segala jenis pakaian, aksesoris, perawatan diri, peralatan kecantikan, dan masih banyak lagi. Ya, wanita itu tidak bisa mengontrol nafsu foya-foya hingga telat menyadari bahwa uangnya semakin menipis dari hari ke hari. Beruntung Fazia mendapatkan teman baru di kampusnya—Citra, gadis yang berasal dari keluarga kaya raya. Selain tidak memandang kasta, dia juga sangat baik dan selalu bersedia membantu. Gadis itulah yang memperkenalkan Fazia pada segala hal, terutama kehidupan modern yang tidak ia ketahui sama sekali. “Cie ... yang diajakin nge-date sama kating idam