Suara mesin monitor detak jantung terus berdetak dengan irama tenang. Suara itu menjadi satu-satunya penanda bahwa kehidupan masih menggantung di tubuh Aruna.
Glen masih duduk di kursi yang sama, tubuhnya sedikit condong ke depan, tangan kanan menggenggam jemari Aruna. Ia belum bergeser sedikit pun sejak semalam. Tatapannya terpaku pada wajah istrinya, seakan menanti keajaiban turun tepat di hadapannya. Pagi baru menyusup masuk melalui tirai putih, menyinari ruang ICU yang dingin dan steril. Dokter masuk beberapa saat kemudian, memeriksa kondisi Aruna dengan teliti. Glen berdiri dan memperhatikan setiap gerak-gerik sang dokter dengan cemas. “Bagaimana, Dok?” tanyanya, suaranya serak karena semalaman tak tidur. Dokter menatap Glen, lalu tersenyum kecil. “Ini bukan diagnosis final, tapi… sepertinya tubuhnya mulai merespons. Tadi malam, tekanan darahnya naik stabil, dan ada gerakan ringan pada kelopak matanya. Kita pantau terus hari ini. Bisa jadi... ia akan sadar dalam beberapa hari ke depan.” Glen mengangguk pelan. Harapan yang sempat terkubur perlahan muncul kembali di matanya. Saat dokter pergi, Glen kembali duduk. Ia mengelus lembut punggung tangan Aruna. Kali ini, ia tak bicara. Ia hanya menatapnya, dengan tatapan yang berbeda. Bukan lagi penuh amarah, melainkan kesedihan, penyesalan, dan... cinta yang masih asing baginya, namun terasa nyata. Beberapa jam kemudian, saat ia memejamkan mata sejenak, tiba-tiba ia merasakan sesuatu. Gerakan. Sangat ringan. Tapi nyata. Glen membuka mata dengan cepat. Jemari Aruna... menggenggam tangannya. Tidak sekuat semalam—atau mungkin tadi malam hanya khayalan? Tapi kini jelas. Jemarinya menekan lemah. “Aruna?” Glen membungkuk, mendekatkan wajahnya. “Aruna, kamu bisa dengar aku?” Kelopak mata Aruna bergerak. Pelan, sangat pelan. Dan untuk sesaat yang terasa seperti keabadian, kedua matanya terbuka perlahan. Samar, buram, seperti kabut yang perlahan menghilang. Ia menatap Glen. Pandangannya kosong, tapi jernih. Seolah mencoba mengenali siapa yang duduk di hadapannya. “G… Glen?” suara itu nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Glen terdiam kaku. “Ya… aku di sini. Aku di sini, Aruna.” Glen menggenggam tangannya lebih erat, dadanya bergetar. Aruna berkedip pelan, lalu air mata mengalir dari sudut matanya. “Kenapa… kamu di sini?” Pertanyaan sederhana yang menohok ke dasar hati Glen. Karena itu berarti, dalam benak Aruna, kehadirannya adalah sesuatu yang tak masuk akal. Glen menarik napas dalam. “Karena aku salah. Karena aku ingin kamu hidup. Karena aku… butuh kamu.” Aruna memejamkan mata, dan satu tetes air mata mengalir lagi. Di balik luka dan trauma, mungkin... masih ada ruang untuk bertahan. Aruna menatap langit-langit putih itu lama, matanya berkedip pelan seperti masih mencoba memastikan bahwa ini bukan mimpi. Suara mesin yang berbunyi teratur, bau obat-obatan yang menyengat, serta rasa sakit di sekujur tubuhnya menjadi pertanda nyata bahwa ia masih hidup. Namun, ada perasaan aneh di dadanya. Bukan hanya karena rasa sakit secara fisik, tapi karena pria yang kini menggenggam tangannya adalah pria yang dulu membuatnya ingin mengakhiri hidup. “Kenapa kamu menangis?” gumam Glen, menyentuh pipinya dengan ibu jari yang gemetar. Aruna tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, menghindari tatapan Glen. Saat itu, Glen sadar—keajaiban telah datang, tapi luka yang ia tinggalkan jauh lebih dalam dari yang ia duga. Glen berdiri perlahan, menata napas. “Kau tidak harus bicara. Tidak harus menjawab. Aku hanya ingin kau tahu… mulai sekarang, aku akan di sini. Kalau kau mengizinkan.” Kata-katanya tak disambut. Hanya keheningan yang menjadi balasan. Tapi Glen tidak pergi. Ia duduk kembali dan menyalakan ponselnya. Ia membuka galeri, lalu memperlihatkan sebuah foto kepada Aruna—foto saat Aruna duduk sendiri di balkon, diambil diam-diam dari kejauhan. “Aku sering pulang tengah malam… diam-diam hanya untuk memastikan kau masih di sana. Masih hidup. Tapi aku pengecut. Aku tak pernah masuk.” Aruna melirik sekilas ke arah layar, lalu menutup matanya. Air mata jatuh satu per satu. Kali ini bukan karena ingin mati… tapi karena bingung harus bagaimana saat hidup menawarkan babak kedua yang tak pernah ia bayangkan. Glen menyadari itu. Ia tahu permintaan maaf saja tak cukup. Ia telah menggores luka terlalu dalam, dan kini harus siap menghadapi penolakan tanpa mengeluh. Beberapa jam kemudian, seorang perawat datang membawa bubur dan segelas air putih. Aruna belum bisa makan sendiri, jadi perawat bersiap menyuapinya. Tapi Glen menahan tangan sang perawat dengan lembut. “Biar aku.” Perawat mengangguk pelan dan mundur. Glen mengambil sendok kecil, meniup bubur yang masih hangat, lalu menyodorkannya ke bibir Aruna. “Coba sedikit saja. Untukku,” ucapnya lembut. Aruna membuka mata, menatap sendok itu, lalu menatap wajah Glen yang kini berbeda—tidak lagi setajam dulu. Ia ragu, tapi akhirnya membuka mulut, menerima suapan kecil itu. Glen tersenyum. “Terima kasih,” bisiknya. Setelah makan selesai, Aruna kembali terlelap. Glen tetap duduk di sisi ranjang, tidak ingin kehilangan satu detik pun dari keberadaan perempuan itu. Ia mengeluarkan buku kecil dari tasnya—buku puisi yang ditemukan oleh asisten rumah saat membereskan apartemen. “Dari semua bait yang kau tulis, ini yang paling menyakitkan,” gumam Glen sambil membuka halaman dengan puisi berjudul "Aku Tidak Ingin Mati, Tapi Aku Lelah Hidup Sendiri.” Ia membacanya pelan, suaranya serak oleh emosi. Aku tidak ingin mati karena aku ingin kau menahanku. Tapi setiap langkahku menjauh, tak ada yang mencengkeram tanganku. Maka, aku berpikir, mungkin memang tak ada yang butuh aku. Maka, biarlah aku pergi… meski aku ingin tinggal. Glen menutup buku itu, lalu mengecup punggung tangan Aruna. “Aku tidak akan membiarkanmu merasa sendiri lagi,” ucapnya lirih. “Kalau kau mengizinkan, biar aku belajar mencintaimu... dari awal. Dengan cara yang benar.” Di luar jendela ICU, langit Paris kembali biru. Dan untuk pertama kalinya, hati Glen merasakan sesuatu yang selama ini tak pernah ia beri ruang: penyesalan… dan cinta yang terlambat tumbuh.Matahari pagi menyapa jendela kamar mereka dengan cahaya hangat. Suara burung di kejauhan dan gemerisik angin dari sela-sela daun membuat suasana pagi itu terasa damai. Namun di dalam kamar sederhana yang kini berubah menjadi ruang penuh cinta dan tanggung jawab baru, Aruna duduk di pinggir tempat tidur dengan mata sembab dan tubuh yang terlihat kelelahan.Bayinya, yang baru saja tertidur setelah tangis panjang semalaman, meringkuk dalam selimut kecil di boks kayu di samping ranjang. Glen baru saja datang dari dapur dengan secangkir teh hangat dan sepotong roti bakar yang sudah mulai dingin.“Sayang... kamu udah makan belum?” Glen mendekat dengan hati-hati.Aruna hanya menggeleng pelan. Air matanya tak sengaja menetes lagi. “Aku... aku takut aku nggak cukup baik buat dia.”Glen meletakkan cangkir itu di meja kecil, lalu berjongkok di hadapan istrinya. Ia mengangkat wajah Aruna dengan lembut, menatap mata kelelahan itu dengan penuh cinta. “Aruna, kamu ibu yang hebat. Aku tahu ini nggak
Pagi itu matahari bersinar lembut, seolah ikut menyambut dua jiwa yang kini pulang dengan satu jiwa baru di pelukan mereka. Mobil hitam milik Glen berhenti perlahan di depan rumah. Glen turun terlebih dahulu, membuka pintu mobil untuk Aruna, yang duduk dengan hati-hati sambil memangku bayi kecil mereka yang tertidur pulas di dalam gendongan.“Pelan-pelan,” bisik Glen lembut, tangannya sigap menahan lengan Aruna.“Glen, aku bukan orang sakit. Aku baik-baik saja,” ucap Aruna sambil tersenyum, tapi tetap menggenggam erat lengannya. Di balik tawanya, tubuhnya masih lemah setelah proses persalinan yang begitu melelahkan.Glen tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan mencium puncak kepala Aruna sebelum meraih tas bayi dan pintu rumah. Ketika pintu terbuka, rumah itu terasa berbeda. Ada aroma manis dari bunga lily di meja, suara lembut musik instrumental yang sudah diputar Glen sejak semalam, dan kehangatan yang sulit dijelaskan—sebuah energi baru, energi kehidupan.“Selamat datang di rumahmu,
Trimester ketiga datang seperti badai yang lembut—perlahan, tapi kuat. Perut Aruna kini sudah bulat sempurna, membuat setiap gerakan menjadi lambat dan hati-hati. Ia mulai sulit tidur, sering terbangun hanya karena gerakan kecil si bayi atau karena mimpi yang datang silih berganti. Sementara Glen mulai terbiasa tidur sambil memeluk bantal cadangan… karena Aruna kini tidur dengan lima bantal di sekeliling tubuhnya.Malam-malam mereka berubah. Dari sebelumnya diisi tawa dan percakapan santai, kini lebih sering sunyi namun hangat. Glen membaca buku tentang persiapan melahirkan, sementara Aruna mulai menulis surat-surat kecil untuk sang anak—yang akan ia simpan dalam kotak kenangan.Suatu malam, saat hujan turun pelan di luar, Aruna menyerahkan sebuah surat pada Glen.“Apa ini?” tanyanya.“Buka nanti… kalau aku sedang di ruang bersalin, dan kamu merasa takut. Itu surat untukmu.”Glen menatapnya, lalu menggenggam tangannya erat. “Kamu tahu aku juga menulis surat untukmu, kan? Untuk hari it
Musim semi berganti menjadi awal musim panas. Langit Paris semakin cerah, dan di dalam rumah kecil mereka, Aruna mulai menjalani hari-hari dengan perut yang perlahan membesar. Trimester kedua tiba dengan banyak perubahan: bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Ia kini lebih sensitif, lebih mudah tersentuh oleh hal-hal kecil, dan kadang tanpa sebab, menangis begitu saja di pagi hari.Glen mulai memahami ritme baru itu. Ia bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan, mengecek daftar makanan sehat, dan selalu membawa camilan di saku jasnya—“jaga-jaga kalau kamu tiba-tiba ingin makan sesuatu yang nggak ada di rumah,” katanya suatu hari sambil menyodorkan potongan buah mangga.Aruna tertawa sambil memeluknya. “Kamu belajar dari mana semua ini?”“Dari YouTube dan… cinta.”Namun, di balik semua itu, ada kegelisahan yang mulai muncul dalam hati Aruna. Mimpi-mimpi buruk datang di malam hari—tentang ibunya yang memanggil-manggil dari kejauhan, tentang rumah kecil di Jakarta yang hancur o
Hari itu hujan turun dengan malu-malu di Paris. Tetesan kecil menghiasi jendela apartemen Glen dan Aruna, menciptakan pola-pola acak yang menenangkan. Di dalam, wangi roti panggang dan teh melati mengisi ruangan, berpadu dengan suara gemericik hujan yang jatuh di balkon. Aruna duduk di sofa dengan selimut menutupi kakinya, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, matanya tidak benar-benar membaca. Ia hanya menatap halaman itu kosong, pikirannya melayang. Sejak seminggu terakhir, tubuhnya terasa lebih mudah lelah. Pagi hari diisi dengan mual yang tak biasa. Awalnya ia pikir hanya karena kelelahan atau cuaca yang tak menentu. Tapi setelah lima hari berturut-turut terlambat datang bulan, rasa curiga mulai muncul. Dan pagi tadi, diam-diam, ia membeli test pack. Saat dua garis samar muncul, dunia di sekitarnya seolah berhenti berdetak untuk sejenak. Sore itu, Glen pulang lebih awal. Rambutnya sedikit basah karena lupa membawa payung, namun wajahnya berseri. “Aku bawa roti kayu mani
Musim semi mulai menyelimuti Paris dengan kelembutan yang tak biasa. Udara hangat membawa aroma bunga magnolia dari taman-taman kota yang perlahan mekar. Di salah satu sudut kota, di arrondissement ke-6 yang tenang namun tetap hidup, sebuah apartemen mungil dengan balkon kecil kini menjadi saksi bisu dari awal yang baru.Aruna menatap ruangan itu dengan mata berbinar—lantai kayu yang belum dipel, jendela yang terbuka lebar membiarkan sinar matahari masuk, dan Glen yang sibuk memasang rak buku di sudut ruang tamu. Buku-buku berserakan, tanaman dalam pot kecil berjejer belum tertata, tapi justru kekacauan kecil itu yang membuatnya merasa: ini rumah.“Glen, kamu yakin lemari itu bisa dipasang sendiri?” tanya Aruna sambil tertawa melihat ekspresi Glen yang setengah frustasi dengan obeng di tangan.“Aku CEO perusahaan startup sebelum ini, tentu saja aku…” krak!Rak itu hampir roboh. Aruna menutup mulutnya, tertawa keras. Glen menatapnya sejenak, lalu ikut tertawa sambil menjatuhkan diri ke