Hari-hari di rumah sakit berubah menjadi rutinitas yang tak pernah Glen bayangkan sebelumnya. Ia—CEO muda yang biasanya hanya peduli pada laporan bisnis dan rapat penting—kini terbiasa datang pagi-pagi ke ruang rawat Aruna, menggantikan selimutnya, menyuapi sarapan, bahkan mengajak Aruna berbicara meski sering kali tidak mendapat balasan.
Aruna masih banyak diam. Luka di tubuhnya mulai membaik, tapi luka di dalam hatinya tidak semudah itu disembuhkan. Suatu pagi, Glen datang membawa setangkai bunga matahari. “Kata perawat, kau suka bunga ini,” katanya sambil meletakkannya di vas kecil di sisi tempat tidur. “Katanya, bunga matahari selalu menghadap ke cahaya. Aku harap... kau pun akan kembali mencari cahaya, meskipun aku pernah jadi gelapnya.” Aruna melirik bunga itu, lalu berkata pelan, “Aku suka bunga matahari... karena dia setia pada arah yang sama. Bahkan saat mendung pun, dia tetap menghadap ke matahari, meski tak bisa melihatnya.” Glen terdiam. Ucapan Aruna seperti teguran halus yang menyentuh hatinya. Hari itu, Aruna mulai sedikit membuka ruang bicara. Tentang buku yang sedang ingin ia baca, tentang hujan malam tadi, dan tentang betapa rumah sakit memiliki bau yang sama di mana pun di dunia ini. “Mau kubawakan bukumu dari apartemen?” tawar Glen. Aruna mengangguk pelan. Beberapa hari kemudian, dokter menyampaikan kabar baik: kondisi Aruna cukup stabil untuk dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ia bahkan sudah bisa berdiri dengan bantuan alat bantu jalan, meski masih lemah. Namun satu hal yang belum berubah: Aruna belum memaafkan Glen. Setiap kali Glen ingin bicara tentang masa lalu, Aruna akan menghindar. “Aku belum siap,” ucapnya suatu malam saat Glen mengajaknya bicara di balkon rumah sakit. “Aku masih mencoba berdamai dengan diriku sendiri... sebelum aku bisa berdamai denganmu.” Glen tak memaksa. Ia hanya menunduk, lalu menjawab, “Aku akan menunggumu, berapa pun lama waktunya.” Saat Glen hendak pamit malam itu, Aruna tiba-tiba berkata, “Glen…” Pria itu menoleh. “Terima kasih... karena tidak pergi.” Glen menahan napas. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti pintu kecil yang mulai terbuka. Ia tahu, masih ada jalan panjang di depan mereka. Tapi kali ini, Aruna tak berjalan sendirian. Dan Glen, untuk pertama kalinya, tahu bahwa ia bukan hanya suami karena wasiat, tapi seseorang yang perlahan ingin benar-benar pantas berada di samping Aruna. Bukan untuk menebus, tapi untuk mencintai. Beberapa minggu berlalu, dan meski Aruna belum sepenuhnya pulih, semangat hidupnya mulai kembali terlihat. Ia sudah bisa berjalan perlahan tanpa bantuan, duduk di taman rumah sakit sambil membaca buku, dan bahkan mulai menulis puisi lagi di jurnal kecilnya. Glen selalu menemaninya setiap sore, duduk di bangku taman yang sama, diam mendengarkan suara dedaunan bergoyang dan sesekali suara burung. Kadang mereka bicara, kadang tidak. Tapi keheningan di antara mereka kini tak lagi terasa seperti tembok, melainkan seperti jembatan yang perlahan dibangun kembali. “Kalau aku sembuh,” kata Aruna suatu sore, “aku ingin pergi ke laut. Tempat yang luas... tempat yang tidak menghakimi.” Glen menoleh padanya. “Kita akan ke sana. Tempat apa pun yang kamu mau.” Aruna tersenyum kecil. “Bahkan jika aku ingin pergi jauh dari kamu?” Glen terdiam sejenak. Lalu menjawab jujur, “Jika itu membuatmu bahagia, aku akan mengantarmu sampai ke pintu terakhir.” Air mata Aruna hampir jatuh, tapi ia menahannya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan bahwa Glen yang ada di sampingnya bukan lagi pria yang membencinya seperti dulu. Bukan pria yang menganggapnya beban atau simbol kekalahan. Kini, Glen lebih seperti seseorang yang perlahan mengerti apa itu kehilangan—dan mencoba belajar untuk tidak mengulanginya. “Glen,” ucap Aruna pelan, “apa kamu pernah menyesal... karena menikahiku?” Glen menghela napas. “Aku menyesal... karena butuh waktu lama untuk sadar bahwa kamu adalah seseorang yang luar biasa. Dan aku terlalu buta untuk melihatnya.” Kata-kata itu mengendap lama di hati Aruna. Di malam-malam berikutnya, Glen mulai menceritakan tentang masa kecilnya, tentang rasa kesepiannya setelah ibunya meninggal, dan betapa ayahnya selalu keras. Ia bercerita tentang tekanan yang ia rasakan untuk menjadi ‘sempurna’, untuk menjaga nama keluarga, dan betapa ia takut kehilangan kendali ketika kakeknya memaksanya menikah. “Aku pikir kamu adalah simbol dari semua yang tidak bisa aku kendalikan. Tapi aku salah. Kamu bukan paksaan. Kamu adalah harapan yang tak pernah aku pahami.” Aruna hanya mendengarkan. Ada rasa sakit di sana, tapi juga kejujuran yang selama ini tak pernah ia dapat dari Glen. “Aku ingin mencoba, Aruna,” lanjut Glen. “Jika kamu masih memberiku kesempatan. Aku ingin belajar mencintai bukan karena warisan, bukan karena kewajiban, tapi karena kamu memang pantas dicintai.” Aruna menunduk, menatap jemarinya yang gemetar. “Aku ingin percaya, Glen. Tapi lukaku terlalu dalam. Bahkan aku masih bermimpi tentang saat aku jatuh… tentang kamu yang membiarkanku pergi.” Glen menggenggam tangannya dengan lembut. “Kalau begitu, izinkan aku sembuhkan satu luka… satu demi satu. Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku akan tetap di sini, sampai kamu benar-benar percaya.” Malam itu, saat Glen pamit pulang, Aruna memanggilnya sebelum pintu tertutup. “Besok... bisakah kamu bawakan bunga matahari lagi?” Glen menoleh, dan senyumnya perlahan merekah. “Tentu. Setangkai, atau satu ladang?” Aruna tersenyum lebih hangat daripada sebelumnya. “Satu tangkai dulu. Ladangnya nanti.” Itulah malam di mana luka mereka perlahan mulai dijahit. Bukan dengan janji manis, bukan dengan romansa instan, tapi dengan kehadiran yang nyata dan ketulusan yang baru tumbuh. Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka yang kelabu, ada harapan kecil yang tumbuh di antara dua hati yang dulu saling menjauh. Aruna belum pulih sepenuhnya. Glen belum sepenuhnya dimaafkan. Namun perjalanan mereka akhirnya dimulai—bukan sebagai dua orang asing yang dipaksa bersatu, melainkan sebagai dua jiwa yang sama-sama belajar, bahwa cinta sejati sering kali tumbuh dari reruntuhan luka yang tak disangka.Matahari pagi menyapa jendela kamar mereka dengan cahaya hangat. Suara burung di kejauhan dan gemerisik angin dari sela-sela daun membuat suasana pagi itu terasa damai. Namun di dalam kamar sederhana yang kini berubah menjadi ruang penuh cinta dan tanggung jawab baru, Aruna duduk di pinggir tempat tidur dengan mata sembab dan tubuh yang terlihat kelelahan.Bayinya, yang baru saja tertidur setelah tangis panjang semalaman, meringkuk dalam selimut kecil di boks kayu di samping ranjang. Glen baru saja datang dari dapur dengan secangkir teh hangat dan sepotong roti bakar yang sudah mulai dingin.“Sayang... kamu udah makan belum?” Glen mendekat dengan hati-hati.Aruna hanya menggeleng pelan. Air matanya tak sengaja menetes lagi. “Aku... aku takut aku nggak cukup baik buat dia.”Glen meletakkan cangkir itu di meja kecil, lalu berjongkok di hadapan istrinya. Ia mengangkat wajah Aruna dengan lembut, menatap mata kelelahan itu dengan penuh cinta. “Aruna, kamu ibu yang hebat. Aku tahu ini nggak
Pagi itu matahari bersinar lembut, seolah ikut menyambut dua jiwa yang kini pulang dengan satu jiwa baru di pelukan mereka. Mobil hitam milik Glen berhenti perlahan di depan rumah. Glen turun terlebih dahulu, membuka pintu mobil untuk Aruna, yang duduk dengan hati-hati sambil memangku bayi kecil mereka yang tertidur pulas di dalam gendongan.“Pelan-pelan,” bisik Glen lembut, tangannya sigap menahan lengan Aruna.“Glen, aku bukan orang sakit. Aku baik-baik saja,” ucap Aruna sambil tersenyum, tapi tetap menggenggam erat lengannya. Di balik tawanya, tubuhnya masih lemah setelah proses persalinan yang begitu melelahkan.Glen tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan mencium puncak kepala Aruna sebelum meraih tas bayi dan pintu rumah. Ketika pintu terbuka, rumah itu terasa berbeda. Ada aroma manis dari bunga lily di meja, suara lembut musik instrumental yang sudah diputar Glen sejak semalam, dan kehangatan yang sulit dijelaskan—sebuah energi baru, energi kehidupan.“Selamat datang di rumahmu,
Trimester ketiga datang seperti badai yang lembut—perlahan, tapi kuat. Perut Aruna kini sudah bulat sempurna, membuat setiap gerakan menjadi lambat dan hati-hati. Ia mulai sulit tidur, sering terbangun hanya karena gerakan kecil si bayi atau karena mimpi yang datang silih berganti. Sementara Glen mulai terbiasa tidur sambil memeluk bantal cadangan… karena Aruna kini tidur dengan lima bantal di sekeliling tubuhnya.Malam-malam mereka berubah. Dari sebelumnya diisi tawa dan percakapan santai, kini lebih sering sunyi namun hangat. Glen membaca buku tentang persiapan melahirkan, sementara Aruna mulai menulis surat-surat kecil untuk sang anak—yang akan ia simpan dalam kotak kenangan.Suatu malam, saat hujan turun pelan di luar, Aruna menyerahkan sebuah surat pada Glen.“Apa ini?” tanyanya.“Buka nanti… kalau aku sedang di ruang bersalin, dan kamu merasa takut. Itu surat untukmu.”Glen menatapnya, lalu menggenggam tangannya erat. “Kamu tahu aku juga menulis surat untukmu, kan? Untuk hari it
Musim semi berganti menjadi awal musim panas. Langit Paris semakin cerah, dan di dalam rumah kecil mereka, Aruna mulai menjalani hari-hari dengan perut yang perlahan membesar. Trimester kedua tiba dengan banyak perubahan: bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Ia kini lebih sensitif, lebih mudah tersentuh oleh hal-hal kecil, dan kadang tanpa sebab, menangis begitu saja di pagi hari.Glen mulai memahami ritme baru itu. Ia bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan, mengecek daftar makanan sehat, dan selalu membawa camilan di saku jasnya—“jaga-jaga kalau kamu tiba-tiba ingin makan sesuatu yang nggak ada di rumah,” katanya suatu hari sambil menyodorkan potongan buah mangga.Aruna tertawa sambil memeluknya. “Kamu belajar dari mana semua ini?”“Dari YouTube dan… cinta.”Namun, di balik semua itu, ada kegelisahan yang mulai muncul dalam hati Aruna. Mimpi-mimpi buruk datang di malam hari—tentang ibunya yang memanggil-manggil dari kejauhan, tentang rumah kecil di Jakarta yang hancur o
Hari itu hujan turun dengan malu-malu di Paris. Tetesan kecil menghiasi jendela apartemen Glen dan Aruna, menciptakan pola-pola acak yang menenangkan. Di dalam, wangi roti panggang dan teh melati mengisi ruangan, berpadu dengan suara gemericik hujan yang jatuh di balkon. Aruna duduk di sofa dengan selimut menutupi kakinya, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, matanya tidak benar-benar membaca. Ia hanya menatap halaman itu kosong, pikirannya melayang. Sejak seminggu terakhir, tubuhnya terasa lebih mudah lelah. Pagi hari diisi dengan mual yang tak biasa. Awalnya ia pikir hanya karena kelelahan atau cuaca yang tak menentu. Tapi setelah lima hari berturut-turut terlambat datang bulan, rasa curiga mulai muncul. Dan pagi tadi, diam-diam, ia membeli test pack. Saat dua garis samar muncul, dunia di sekitarnya seolah berhenti berdetak untuk sejenak. Sore itu, Glen pulang lebih awal. Rambutnya sedikit basah karena lupa membawa payung, namun wajahnya berseri. “Aku bawa roti kayu mani
Musim semi mulai menyelimuti Paris dengan kelembutan yang tak biasa. Udara hangat membawa aroma bunga magnolia dari taman-taman kota yang perlahan mekar. Di salah satu sudut kota, di arrondissement ke-6 yang tenang namun tetap hidup, sebuah apartemen mungil dengan balkon kecil kini menjadi saksi bisu dari awal yang baru.Aruna menatap ruangan itu dengan mata berbinar—lantai kayu yang belum dipel, jendela yang terbuka lebar membiarkan sinar matahari masuk, dan Glen yang sibuk memasang rak buku di sudut ruang tamu. Buku-buku berserakan, tanaman dalam pot kecil berjejer belum tertata, tapi justru kekacauan kecil itu yang membuatnya merasa: ini rumah.“Glen, kamu yakin lemari itu bisa dipasang sendiri?” tanya Aruna sambil tertawa melihat ekspresi Glen yang setengah frustasi dengan obeng di tangan.“Aku CEO perusahaan startup sebelum ini, tentu saja aku…” krak!Rak itu hampir roboh. Aruna menutup mulutnya, tertawa keras. Glen menatapnya sejenak, lalu ikut tertawa sambil menjatuhkan diri ke