Beranda / Romansa / Sebelum Aku Pergi / bab 4 Dalam Sunyi Yang Menyiksa

Share

bab 4 Dalam Sunyi Yang Menyiksa

Penulis: Mystorys_29
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-28 17:02:12

Sudah tiga hari sejak Aruna koma. Selama itu pula Glen tidak pulang ke apartemen maupun kantornya. Ia memilih tinggal di ruang tunggu rumah sakit, tidur di kursi, makan seadanya, dan menolak semua panggilan dari kolega maupun asistennya.

Yang ia butuhkan saat ini bukan rapat direksi atau laporan keuangan—melainkan kepastian bahwa Aruna akan membuka matanya.

Setiap pagi, Glen akan masuk ke ruang ICU begitu diizinkan. Ia duduk di sisi ranjang, berbicara pelan seolah Aruna bisa mendengarnya. Awalnya, ia hanya menatap diam, tapi perlahan kata-kata itu mulai mengalir.

“Aku benci diam kamu. Aku benci caramu tersenyum seperti tak terjadi apa-apa, bahkan saat aku memperlakukanmu buruk. Tapi yang paling aku benci... adalah kenyataan bahwa aku mulai takut kehilanganmu.”

Ia menggenggam tangan Aruna yang terasa dingin.

“Dulu, aku pikir kau hanya pion kakekku. Aku pikir kau ikut permainan ini demi harta. Tapi sekarang aku sadar, akulah yang bodoh.”

Hening.

Hanya suara detak mesin dan napas Aruna yang teratur pelan. Glen menggigit bibir bawahnya. Rasa sesak mengimpit dadanya. Ia tak pernah merasa selemah ini.

Ketika malam tiba, Glen berjalan ke balkon rumah sakit. Angin malam Paris menghembus rambutnya, membawa aroma bangunan tua dan nyala lampu kota.

Kepalanya dipenuhi kenangan—sejak surat wasiat dibacakan, wajah keras kakeknya, dan suara lembut Aruna saat mengucap janji nikah di altar kecil yang dingin. Glen bahkan tak pernah benar-benar menatap wajah Aruna saat itu.

"Aku terlalu pengecut untuk melihatmu sebagai manusia," bisiknya. "Aku hanya melihatmu sebagai beban. Sekarang... aku yang jadi beban."

Tak jauh dari balkon, seorang wanita paruh baya berdiri memperhatikannya. Matanya lembut, tapi sorotnya tajam. Ia adalah Bu Sylvia, mantan perawat pribadi kakek Glen dan orang yang sangat mengenal keluarga Armand.

“Apa kau masih ingat aku, Glen?”

Glen menoleh cepat. “Bu Sylvia?”

Perempuan itu tersenyum kecil. “Aruna seperti ibunya. Kuat, lembut, dan penuh luka.”

Glen mengernyit. “Ibu Aruna?”

“Dulu ibunya pembantu di rumah Armand. Perempuan baik yang tak pernah diperhitungkan. Tapi dia meninggal muda. Aruna dibesarkan dengan banyak penolakan. Tapi dia tidak pernah membenci hidup. Sama seperti sekarang. Dia tetap mencoba mendekatimu, meski kau terus menjauhinya.”

Glen terdiam. Suara itu menampar sisi terdalam hatinya.

“Kenapa kau memberitahuku semua ini?” tanyanya pelan.

“Karena aku ingin kau tahu—Aruna menikahimu bukan karena paksaan. Tapi karena dia ingin menjaga sesuatu yang sudah lama hilang dari keluarga Armand: hati.”

Hening.

“Jika kau benar-benar ingin menebus semuanya, jangan hanya duduk di sampingnya. Hidupmu harus berubah. Kau harus jadi alasan Aruna ingin bangun,” ucap Bu Sylvia sebelum berbalik meninggalkan Glen sendiri di balkon.

Kata-katanya menggema di kepala Glen sampai malam benar-benar larut.

---

Keesokan harinya, Glen kembali masuk ke ruang ICU. Kali ini, ia membawa seikat bunga lili putih. Bunga kesukaan ibunya. Ia meletakkannya di samping tempat tidur Aruna, lalu duduk sambil menarik napas panjang.

"Selamat pagi, Aruna..." ucapnya perlahan.

Ia mengeluarkan ponsel dan membuka rekaman suara. Lalu ia memutar sebuah lagu klasik lembut yang dulu sering diputar ibunya di rumah mereka yang lama. Lagu itu mengisi ruangan seperti pelukan hangat.

Glen memejamkan mata sejenak.

“Jika kau bisa dengar aku… bangunlah. Aku tahu aku bukan suami yang baik. Tapi mulai sekarang, aku akan belajar.”

Tak ada jawaban.

Tapi entah hanya halusinasinya atau tidak, jari Aruna yang digenggamnya seperti bergerak sedikit. Glen menahan napas. Ia menatap wajah pucat itu dalam-dalam.

“Aruna… kalau kau kembali, aku janji… aku akan belajar mencintaimu, bukan karena kakek, bukan karena warisan. Tapi karena kau pantas dicintai.”

Glen masih duduk di tepi ranjang, matanya nyaris tak berkedip menatap wajah Aruna. Wajah itu pucat, tenang, dan menyakitkan dalam diamnya. Kabel infus dan selang oksigen mengelilingi tubuh mungil itu, seolah menjadi batas antara hidup dan kematian.

"Kenapa kamu nggak marah, Aruna?" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. "Kenapa kamu nggak pernah membalas semua yang aku lakukan padamu?"

Glen memejamkan mata. Ia mencoba mengingat suara Aruna—suara lembut yang selalu menyambutnya dengan sopan, senyum kecil yang selalu mencoba menyentuh hatinya walau hatinya beku. Suara itu kini senyap. Tidak ada lagi panggilan "Glen..." dengan nada pelan. Tidak ada lagi ketukan pintu atau langkah ringan di apartemen mereka yang sunyi.

Ia mengusap wajah dengan kedua tangan, lalu menunduk dalam-dalam. Emosi yang selama ini ia pendam, mulai menumpuk di dada seperti gelombang laut yang siap menerjang karang.

"Seandainya waktu bisa diulang..." ucapnya parau, "aku ingin menjemputmu di hari pernikahan itu dengan senyum, bukan dengan kebencian. Aku ingin berkata, ‘Selamat datang di hidupku’, bukan mengusirmu dari sana.”

Suaranya bergetar. Matanya memerah.

Tiba-tiba, pintu ruang ICU terbuka pelan. Bu Sylvia masuk membawa termos kecil dan dua cangkir teh.

“Kau belum makan apapun hari ini,” katanya tenang.

Glen hanya mengangguk lemah.

“Ini teh jahe kesukaan ibumu. Aku pikir kau butuh sesuatu yang bisa menenangkan,” ujar Bu Sylvia sambil menuang teh ke cangkir kertas.

Glen menerima cangkir itu, menghirup aromanya. Hangat. Mengingatkannya akan pelukan masa kecil yang sudah lama tak ia rasakan.

“Dulu, ibumu pernah bilang padaku, ‘Kalau Glen mulai keras kepala, beri dia waktu dan teh jahe. Biasanya dia akan luluh setelahnya.’” Bu Sylvia tersenyum.

Glen menunduk, menggenggam cangkir itu erat. “Bu… menurut Ibu, Aruna akan bangun?”

“Orang seperti Aruna tidak akan menyerah semudah itu,” jawab Bu Sylvia. “Tapi dia butuh alasan. Bukan alasan untuk hidup... tapi alasan untuk kembali.”

Glen menatap Aruna lagi, kali ini lebih dalam. “Aku akan jadi alasannya,” gumamnya.

Dan untuk pertama kalinya, meski tak yakin apakah itu nyata atau hanya khayalan, Glen merasa jemari Aruna menggenggam balik tangannya. Lemah, tapi cukup untuk membuatnya menggigil.

Mungkin… itu awal dari sebuah kesempatan kedua.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 19 – Pelukan yang Menenangkan

    Matahari pagi menyapa jendela kamar mereka dengan cahaya hangat. Suara burung di kejauhan dan gemerisik angin dari sela-sela daun membuat suasana pagi itu terasa damai. Namun di dalam kamar sederhana yang kini berubah menjadi ruang penuh cinta dan tanggung jawab baru, Aruna duduk di pinggir tempat tidur dengan mata sembab dan tubuh yang terlihat kelelahan.Bayinya, yang baru saja tertidur setelah tangis panjang semalaman, meringkuk dalam selimut kecil di boks kayu di samping ranjang. Glen baru saja datang dari dapur dengan secangkir teh hangat dan sepotong roti bakar yang sudah mulai dingin.“Sayang... kamu udah makan belum?” Glen mendekat dengan hati-hati.Aruna hanya menggeleng pelan. Air matanya tak sengaja menetes lagi. “Aku... aku takut aku nggak cukup baik buat dia.”Glen meletakkan cangkir itu di meja kecil, lalu berjongkok di hadapan istrinya. Ia mengangkat wajah Aruna dengan lembut, menatap mata kelelahan itu dengan penuh cinta. “Aruna, kamu ibu yang hebat. Aku tahu ini nggak

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 18: Rumah Kita yang Baru

    Pagi itu matahari bersinar lembut, seolah ikut menyambut dua jiwa yang kini pulang dengan satu jiwa baru di pelukan mereka. Mobil hitam milik Glen berhenti perlahan di depan rumah. Glen turun terlebih dahulu, membuka pintu mobil untuk Aruna, yang duduk dengan hati-hati sambil memangku bayi kecil mereka yang tertidur pulas di dalam gendongan.“Pelan-pelan,” bisik Glen lembut, tangannya sigap menahan lengan Aruna.“Glen, aku bukan orang sakit. Aku baik-baik saja,” ucap Aruna sambil tersenyum, tapi tetap menggenggam erat lengannya. Di balik tawanya, tubuhnya masih lemah setelah proses persalinan yang begitu melelahkan.Glen tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan mencium puncak kepala Aruna sebelum meraih tas bayi dan pintu rumah. Ketika pintu terbuka, rumah itu terasa berbeda. Ada aroma manis dari bunga lily di meja, suara lembut musik instrumental yang sudah diputar Glen sejak semalam, dan kehangatan yang sulit dijelaskan—sebuah energi baru, energi kehidupan.“Selamat datang di rumahmu,

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 17 – Menjelang Detik Pertama

    Trimester ketiga datang seperti badai yang lembut—perlahan, tapi kuat. Perut Aruna kini sudah bulat sempurna, membuat setiap gerakan menjadi lambat dan hati-hati. Ia mulai sulit tidur, sering terbangun hanya karena gerakan kecil si bayi atau karena mimpi yang datang silih berganti. Sementara Glen mulai terbiasa tidur sambil memeluk bantal cadangan… karena Aruna kini tidur dengan lima bantal di sekeliling tubuhnya.Malam-malam mereka berubah. Dari sebelumnya diisi tawa dan percakapan santai, kini lebih sering sunyi namun hangat. Glen membaca buku tentang persiapan melahirkan, sementara Aruna mulai menulis surat-surat kecil untuk sang anak—yang akan ia simpan dalam kotak kenangan.Suatu malam, saat hujan turun pelan di luar, Aruna menyerahkan sebuah surat pada Glen.“Apa ini?” tanyanya.“Buka nanti… kalau aku sedang di ruang bersalin, dan kamu merasa takut. Itu surat untukmu.”Glen menatapnya, lalu menggenggam tangannya erat. “Kamu tahu aku juga menulis surat untukmu, kan? Untuk hari it

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 16 – Jejak Masa Lalu di Trimester Kedua

    Musim semi berganti menjadi awal musim panas. Langit Paris semakin cerah, dan di dalam rumah kecil mereka, Aruna mulai menjalani hari-hari dengan perut yang perlahan membesar. Trimester kedua tiba dengan banyak perubahan: bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Ia kini lebih sensitif, lebih mudah tersentuh oleh hal-hal kecil, dan kadang tanpa sebab, menangis begitu saja di pagi hari.Glen mulai memahami ritme baru itu. Ia bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan, mengecek daftar makanan sehat, dan selalu membawa camilan di saku jasnya—“jaga-jaga kalau kamu tiba-tiba ingin makan sesuatu yang nggak ada di rumah,” katanya suatu hari sambil menyodorkan potongan buah mangga.Aruna tertawa sambil memeluknya. “Kamu belajar dari mana semua ini?”“Dari YouTube dan… cinta.”Namun, di balik semua itu, ada kegelisahan yang mulai muncul dalam hati Aruna. Mimpi-mimpi buruk datang di malam hari—tentang ibunya yang memanggil-manggil dari kejauhan, tentang rumah kecil di Jakarta yang hancur o

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 15 – Detak Baru di Antara Kita

    Hari itu hujan turun dengan malu-malu di Paris. Tetesan kecil menghiasi jendela apartemen Glen dan Aruna, menciptakan pola-pola acak yang menenangkan. Di dalam, wangi roti panggang dan teh melati mengisi ruangan, berpadu dengan suara gemericik hujan yang jatuh di balkon. Aruna duduk di sofa dengan selimut menutupi kakinya, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, matanya tidak benar-benar membaca. Ia hanya menatap halaman itu kosong, pikirannya melayang. Sejak seminggu terakhir, tubuhnya terasa lebih mudah lelah. Pagi hari diisi dengan mual yang tak biasa. Awalnya ia pikir hanya karena kelelahan atau cuaca yang tak menentu. Tapi setelah lima hari berturut-turut terlambat datang bulan, rasa curiga mulai muncul. Dan pagi tadi, diam-diam, ia membeli test pack. Saat dua garis samar muncul, dunia di sekitarnya seolah berhenti berdetak untuk sejenak. Sore itu, Glen pulang lebih awal. Rambutnya sedikit basah karena lupa membawa payung, namun wajahnya berseri. “Aku bawa roti kayu mani

  • Sebelum Aku Pergi   Bab 14 – Rumah Kecil di Tengah Kota

    Musim semi mulai menyelimuti Paris dengan kelembutan yang tak biasa. Udara hangat membawa aroma bunga magnolia dari taman-taman kota yang perlahan mekar. Di salah satu sudut kota, di arrondissement ke-6 yang tenang namun tetap hidup, sebuah apartemen mungil dengan balkon kecil kini menjadi saksi bisu dari awal yang baru.Aruna menatap ruangan itu dengan mata berbinar—lantai kayu yang belum dipel, jendela yang terbuka lebar membiarkan sinar matahari masuk, dan Glen yang sibuk memasang rak buku di sudut ruang tamu. Buku-buku berserakan, tanaman dalam pot kecil berjejer belum tertata, tapi justru kekacauan kecil itu yang membuatnya merasa: ini rumah.“Glen, kamu yakin lemari itu bisa dipasang sendiri?” tanya Aruna sambil tertawa melihat ekspresi Glen yang setengah frustasi dengan obeng di tangan.“Aku CEO perusahaan startup sebelum ini, tentu saja aku…” krak!Rak itu hampir roboh. Aruna menutup mulutnya, tertawa keras. Glen menatapnya sejenak, lalu ikut tertawa sambil menjatuhkan diri ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status