"Oiy, bangun Lu!" Notif pesan masuk pagi-pagi sekali pada layar ponsel milikku.
Sayu-sayu aku menatap dan membalas pesan dari Della.
"Bentar ... belum selesai packing, nanti gue samperin Lu, sambil minta izin," balasku sembari bergegas untuk cuci muka.
Kulihat jam yang tertempel di dinding menunjukkan 05:15, masih terlalu pagi pikirku saat itu.
"Etdah, semangat banget nih anak," gumamku setelah sekejap membayangkan semangatnya Della.
Tidak berselang lama, semua sudah siap. Dari barang bawaan, sampai kewajiban kepada Tuhan yang sudah dilaksanakan. Dalam hal demikian, aku selalu mempunyai prinsip yang tidak bisa terbantahkan.
Bagaimana pantas aku menginginkan akan segala keinginan yang aku harap menjadi kenyataan, sedang kewajibanku kepada Tuhan saja masih aku lalaikan?
Setidaknya, sedikit banyak selogan itu mampu menjadi cambuk semangat dalam melangkah. Lebih mantap dalam memijakkan langkah diatas tanah. 06:15 lekas aku menuju rumah Della, meski dalam waktu sampai kesitu, Della tidak berhenti menghubungiku, dari Video Call, Telvon, sampai beberapa notif pesan yang terus saja dia kirimkan.Sesampai didepan rumah Della, kulihat dia telah menunggu diteras halaman. Dengan jaket biru tebal Eiger yang dikenakkan, juga barang bawaan yang dia ikut sertakan.
Belum saja aku turun dari sepeda motorku, dia sudah ngomel tidak karuan."Elllahh, gimana sih, jam segini baru dateng!" ujar Della sembari menghampiriku dengan banyaknya barang bawaan.
"Ya ... ma ... af," ujarku mengalah, buat apa kita memberi berbagai alasan, jika hal demikian malah menambah runyam keadaan.
Karena setahuku, dari guruku yang pernah mengajar, pernah mengatakan.
"Mengalah bukan berarti kalah. Bisa saja hal demikian malah menunjukkan kemenangan.""Del, ya ... bentar, gua mau minta izin sama Bokap Nyokap Lu!" ujarku.
"Udah gak usah, Ad. Gua udah minta izin sama Nyokap Bokap gue," ujar Della sibuk menaikkan barang bawaan diatas motor yang besarnya tidak seberapa.
"Etdah ... ini lama lho Del, nggak cuma 2 atau 3 hari, malah bisa lebih," ucapku kepada Della yang masih sibuk menaikkan barang bawaan.
"Ya sana masuk rumah kalau emang ada orang. Cuma ada pembantu doang, toh Nyokap sama Bokap udah berangkat kerja, malah katanya ada tugas keluar kota," terang Della.
"Lha Lu udah minta izin beneran'kan?" tanyaku kepada Della.
"Udah Maaa ... sss Fuuuu ... aaadd," Della menjawab dengan nada kesal.
Aku hanya diam, dan mengiyakan saja apa yang telah Della katakan.
"Del, maaf-maaf ya, ini barang bawaannya bisa dikurangi?" ujarku dengan nada pelan.
"Eh, emang kenapa coba, ini tuh barang-barang penting yang emang harus dibawa!" ujar Della.
"Ya nggak gitu Del, coba aja bawa pakaian penting-penting aja, toh nanti di kampung juga mungkin nggak kepakai semua apa yang dibawa," terangku.
Setelah agak lama kami berunding, akhirnya Della luluh, dari 3 tas yang penuh barang dia bawa, menjadi hanya 1 tas saja."Nah ... gini kan, enak," ucapku.Della tidak menjawab, seperti terlihat raut wajah kecewa ditampakkan oleh dirinya.
Aku menstater kembali sepeda motorku, dan mulai memacu gas dengan kecepatan sedang.Sepanjang perjalanan hampir tidak ada obrolan diantara kami. Entah kami yang terlalu menikmati perjalanan, atau malah kami yang enggan mengobrol disepanjang perjalanan.Pada rambu lalu lintas ke 4 dari tempat kami beranjak, ketika rambu berwarna merah menyala, disaat itu pula ada sedikit pemandangan yang menurutku tidak terduga.Della, seorang wanita yang kuanggap keras kepala, ternyata memiliki kelunakkan hati yang luar biasa. Bagaimana tidak? Di saat aku memberhentikan sepeda motorku. Della malah turun, lalu menghampiri seorang Ibu bersama bayi yang digendong oleh dirinya. Kulihat dia menyodorkan beberapa uang kertas berwarna merah kepada Ibu tersebut. Dan kulihat saat itu pula, Ibu itu menangis terharu karena bahagianya. Sungguh, aku tidak menyangka akan kejadian ini. Della, sama sekali tidak terpintas dalam pikiran akan melakukan sesuatu yang begitu mulia ini.
Della kemudian kembali menghampiri sepeda motorku dan membonceng.
"Del," panggilku.
"Udah fokus ke jalan aja Ad, jangan banyak bicara ketika mengendara," tutur Della dengan halusnya.
Aku tidak bisa menolaknya, sepanjang perjalanan masih saja menaruh rasa kekaguman atas apa yang Della tunjukkan. Sampai membuatku berkeinginan mampir istirahat, dan berkeinginan bertanya atas apa yang baru saja dia lakukan.
Tepat sekali, di rumah masakan padang aku kembali berhenti.
"Istirahat dulu, Del," ucapku sembari melepas helm.
"Hmm ... masih jauh ya?" tanya Della.
"Ya, bentar lagi nyampai," ucapku sembari mengajak Della untuk turun dan makan.
Setelah kami selesai makan, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Della.
"Del, apa yang tadi kamu lakukan?" tanyaku.
Della hanya menatapku dan tersenyum.
"Apaan coba,"
"Ya bukan gitu, salut aja aku sama kamu, udah terlahir dari orang kaya, ternyata juga mempunyai sisi sosial yang luar biasa," ungkapku.
Kembali Della hanya tersenyum,
"Ya bagaimana ya, Ad. Namanya juga perempuan, yang apa-apa mengedepankan perasaan, melihat pemandangan demikian rasanya juga ikut merasakan, Ad. Cuma berpikir aja kalau aku dalam keadaan demikian, wah ... pasti tidak bisa terbayangkan. Betapa senang ketika ada rizki Tuhan yang diberikan lewat orang-orang melintas di jalanan," terang Della sembari menyerutup es jeruk dengan sedotan yang telah dia pesan.
Aku hanya diam, menyimak seksama perkataan Della yang terlontarkan.
"Lalu, dengan alasan apa juga'kan, ketika kita mempunyai sesuatu yang lebih dari Tuhan, tidak kita sisihkan kepada orang yang membutuhkan? Itu juga yang diajarkan oleh Nyokap Bokap gue, Ad," lanjut Della menjelaskan.
Aku hanya mangut-mangut saja tidak bisa berkomentar.
"Sama satu lagi, Ad. Kalau Lu lihat kejadian kayak tadi, siapa yang berjasa menurutmu?" tanya Della.
Sontak aku menjawab bahwa Della yang berjasa, jelas-jelas juga dia yang memberikan.
"Ya, kamu'kan yang berjasa, kamu juga yang memberikan,"
Della hanya tersenyum,
"Memang terkadang hidup ini unik, Ad. Seolah apa yang dilihat mata itulah yang berjasa. Padahal dalam kenyataan tidak seperti itu aslinya,"
"Maksutmu?" tanyaku yang masih tidak paham.
"Sekarang gini, Ad. Oke, bolehlah aku memang yang memberikan, aku juga yang diberikan sedikit kelebihan harta dari Tuhan. Tapi apakah arti dari semua itu, ketika tidak ada orang yang butuh uluran tangan seperti kejadian demikian? Menurutku, bukan aku yang berjasa, tapi Ibu itulah yang sebenarnya berjasa. Coba aja kalau tidak ada Ibu seperti tadi, apakah aku akan memberikan sedikit dari apa yang aku punya? Tidak'kan!" terang Della dengan yakin.
Aku kembali hanya mangut-mangut diam. Mengolah setiap kalimat yang terlontarkan oleh Della. Meski tidak dalam waktu seketika paham, tetapi setidaknya hal demikian mampu menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagiku.Setelah beberapa saat kami berbincang, kami melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 30 menitan akan sampai kampung halaman. Ada makna yang sangat begitu berarti dari perjalanan ini.
'Jangan menilai orang dari fisik semata, aku kamu tidak akan pernah mengerti apa yang sebenarnya ada dalam isi hati manusia'
Sebuah kemanfaatan perjalanan yang luar biasa, dalam pikiranku saat itu.
Rencana untuk kembali ke kota sudah tiba. Pagi yang cukup cerah, serta harapan yang di inginkan sekadar mencari uang rasanya harus kembali benar-benar diperjuangkan. "Ini beneran balik ke kota?" tanya Della. "Lhah iya, emang mau tinggal berapa lama lagi? Kakek juga nanti udah bisa dibawa pulang." Fuad memberi pernyataan serta penjelasan. "Hmm, kalau boleh jujur sih, rasanya nyaman banget sini, sudah seperti rumah sendiri," terang Della yang merasa masih berat hati untuk kembali ke kota. Bagaimana dia tidak merasa nyaman? Kala keramahan serta penuh perhatian setiap hari diperlihatkan oleh Ibu Fuad. Sebenarnya, hal demikian yang membuat Della merasa iri hati. "Ad, apalagi yang belum dibawa?" tanya Ibu sembari mengecek barang bawaan. "Oh, itu Bu, masih ada ransel di kamar satu," ujar Fuad. Tanpa banyak kata, Ibu langsung pergi ke kamar bermaksud untuk mengambilkan. Ha
Deru angin malam bertiup sepoi-sepoi yang menenangkan. Pohon-pohon melambai dengan penuh penghayatan menemani perjalananku dengan Della menuju kerumah.Setengah sepuluh malam, kulihat arlojiku menunjukan pukul demikian. Dengan penuh ketidakpastian serta kenyamanan yang diberikan oleh kampungku, rasanya Della enggan untuk beranjak, dan ingin hati lebih berlama untuk tinggal."Ad, kita mau balik ke kota besok beneran?" tanya Della menyela."Lah, iya, gimana emang?" tanyaku menanggapinya pertanyaannya."Ya, nggak papa, masih nyaman aja gue disini," ujar Della dengan sedikit nada pasrah."Hmm, lain kali masih ada waktu, besok gue ajak lagi kesini," ujarku menenangkan Della.Dingin sekali rasanya angin malam itu, masih tidak terpikirkan sebelumnya. Sudah lebih lima hari aku bersama Della dalam satu atap rumah. Dan menjadi salah satu cerita peringan luka sebelumnya yang sempat singgah, dan merekah untuk beberapa saat.Sesampai di depan ruma
Sebelum kembali ke kota. Ada satu hal yang hampir lupa, mendatangi Wak Klasin."Oh iya, Del. Lu, di rumah aja ya, sama Bapak Ibu, lupa gue belum datang kerumah Wak Klasin!" pintaku kepada Della."Wak Klasin siapa, Ad?" tanya Della."Adiknya Bapak, tapi udah kaya Bapak sendiri!" ujarku memberi sedikit penjelasan."Hmm, gue gak ikut?" pinta Della.Aku diam sesaat, berpikir takut nanti kalau ajak Della malah jadi salah sangka."Bentar, gue pamit sama Bapak boleh nggak ngajak Lu, hehehe, takutnya nanti ada salah paham lagi!" ujarku lalu mencari Bapak berniat meminta ijin pergi ke rumah Wak Klasin dengan Della."Nyari siapa, Ad?" tanya Ibu yang melihatku mondar mandir mencari keberadaan Bapak."Bapak dimana ya, Bu?" tanyaku kepada Ibu yang sedang memotong kacang di ruang depan."Oh, coba cari di belakang, kaya'nya tadi bilang lagi mau nyantai di belakang!" terang Ibu menunjuk ke ruang belakang, tempat Bapak menyantai setelah
Entah apa yang sebenarnya sedang aku rasakan. Ketika aku sudah mulai lupa dengan satu persatu orang yang pernah aku kagumi, atau bahkan orang yang pernah berhasil bersemayam dalam hati dan sempat untuk memiliki, kini tiba-tiba harus kembali membuat dilema dengan kembalinya mereka. Entah dengan alasan apa aku'pun tidak tahu persisnya.Kemarin Adinda, dan malam ini di tengah-tengah persiapan mengemas pakaian untuk dibawa kembali ke kota, Chelsi ... tiba-tiba menghubungiku via telepon."Eh, kenapa nih orang?" batinku melihat layar ponsel ada panggilan masuk dari Chelsi.Memanglah demikian, aku sama sekali tidak mempunyai rasa dendam kepada siapa saja walau berulang kali menaruh sebuah luka. Apalagi harus sampai memblokir nomer mereka. Aku yang sebenarnya tersakiti, aku pula yang malah merasa mengasihani.Buru-buru aku angkat telpon itu."Assalamualaikum, selamat malam, Chel!" sapaku pertama mengangkat telepon itu."Waalaikumsalam, Ad!" jawab Ch
Salah satu moment kembali yang berhasil aku ingat sebelum aku kembali ke kota. Kala itu, kala dimana Della sudah mulai berhasil adaptasi dengan keluargaku, adaptasi dengan warga sekitar. Bahkan, tidak jarang tiba-tiba dia menghilang dari rumah dan singgah di rumah tetangga sebelah. Hal demikian tentu membuatku tambah mengagumi dirinya. Relatif singkat sekali dia mampu beradaptasi. Dan membuat Bapakku serta Ibukku juga ikut terkesan.Pernah, waktu itu. Sampai di isukan dalam tetangga, kalau Della memang benar-benar akan menjadi calon istriku. Ketika mendengar hal itu, Della hanya tersenyum dan mengiyakan apa yang menjadi rumor tetangga sekitar. Apalagi Pakdhe Irul yang sangat mendukung hal demikian. Sampai-sampai beliau berjanji, kalau besok waktu resepsi, beliau mau menyumbang dua ekor sapi untuk dijadikan syukuran. Mengesankan bukan? Nominal uang yang tidak sedikit dengan nilai dua ekor sapi.Namun, ada hal lain yang membuatku sedikit termenung akan hal demikian. Baga
Seperti biasa, suasana kantor berjalan semestinya. Meski tanpa ada aku disana, rasanya tidak ada masalah. Syahrul masih ada disana setidaknya, siap mewakili dan menuntaskan segala pekerjaanku. Salah satu keuntungan tersendiri bagi tempat kantorku bekerja. Kendati demikian, ketidak hadiran Della membuat salah satu topik menarik bagi Pak Bos. Karena tanpa izin pula dia tidak masuk kerja. Dan membuat Pak Bos yang sangat santai itu terhadap semua karyawan ataupun karyawati menjadi gundah gulana."Syahrul! Ke ruang saya sekarang juga!" telpon Pak Bos kepada Syahrul melalui via telpon khusus kantor."Siap, Pak!" sanggup Syahrul bergegas menuju ruangan Pak Bos.Tanpa banyak kata dan sangkaan, Syahrul langsung menuju ke ruangan Pak Bos. Seperti biasa mungkin pikirnya, mendapat pekerjaan tambahan dan juga gaji tambahan pula mestinya.Sebelum masuk keruangan Pak Bos. Tepat di depan pintu ruangan itu, Syahrul menata rapi kembali pakaian serta rambut miliknya. Setela