Share

Izin Bos

last update Last Updated: 2021-09-25 02:19:01

   Entah apa yang membuatku lupa malam itu. Seharusnya lekas mencari bos untuk meminta cuti, malah tidak jadi. Della oh Della, meski memberi bahagia, namun malah menambah problematika.

Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, tempat kerjaku agak sedikit unik daripada yang lain. Ketika hendak mengambil cuti, cukup memberi kabar via w******p saja. Itu sudah lebih dari kata cukup, tapi ketika tanpa kabar absen dan mengambil cuti seenaknya saja, siap-siap saja akan terjadi perang dunia yang ke lima.

"Etdah, gimana ini ... mana belum izin cuti lagi," batinku sembari menengok jam tangan yang menunjukkan pukul 06:30.

   Menambah gusar saja keadaan demikian, bergegas saja aku beranikan masuk kerja untuk meminta izin cuti. Seperti yang pernah aku ceritakan pada bab sebelumnya, rutinitas pagi, saling tegur sapa ketika melihat rekan kerja. Senyum pagi yang terpancar, dengan segala kemungkinan yang semoga lekas Tuhan jadikan sebuah kenyataan.

"Eh, Ad, mau kemana lu?" tanya Syahrul, salah satu rekan setia kerjaku.

"Mau ke kantor bos, bro. Mau minta izin cuti," ucapku memberi penjelasan.

"Llah, emang mau cuti ngapain coba?" tanya kembali Syahrul kepadaku.

"Kemarin dapat kabar dari Ibuk di desa, Mbah katanya sakit, dan sekarang rawat inap di puskesmas daerah desaku. Eh, bro, kalau mau minta izin cuti langsung ke kantor Pak Bos, nanti dimarahin kagak?" kini aku yang berbalik tanya kepada Syahrul. Karena juga Syahrul, adalah teman kerjaku yang sering ambil cuti tanpa alasan yang jelas. Tapi tidak heran juga, karena dia termasuk anak kesayangan Pak Bos, bagaimana tidak? Ketika aku berhasil memasarkan 1 desain buatanku, Syahrul temanku ini, sudah mampu memasarkan 5 desain sekaligus, emang gila pandainya ini orang.

"Oh ... tinggal masuk aja, bilang alasan yang jelas. Dan jangan berani-berani bohong!" tegas Syahrul dihadapanku.

"Kaya lu sok jelas aja bro ... bro!" aku menimpali.

"Eh, ni anak dibilangin. Hal seperti itu hanya dilakukan oleh orang-orang profesional." Dengan mempergerakan tangan, layaknya orang yang sedang maju untuk menjelaskan presentase.

"Llahh ... gitu ya? Ya udah, gue masuk dulu, bro," ucapku sembari berlalu dari hadapan Syahrul.

"Oh iya, bro. Nanti kalau lu masuk, usahakan dengan nada penuh harap, dan ekspresi yang meyakinkan, gue jamin! Nanti lu bakal dapat kejutan!" tutur Syahrul dengan nada penuh yakin.

Aku hanya tersenyum dan berlalu menuju kantor Pak Bos.

Tok ... tok ... tok

Aku mengetuk pintu kantor Pak Bos dengan penuh hati-hati.

"Ya, silahkan masuk!" suara Pak Bos dengan penuh wibawanya.

"Ada apa, Ad?" tanya Pak Bos menatapku dengan begitu tajam.

   Entah kenapa, sebenarnya juga Pak Bos ini sama sekali tidaklah keras seperti di film-film yang sering di pertontonkan. Beliau sangat ramah, dan murah senyum. Tapi, karisma serta wibawa dari pandangan mata dan suaranya, aku akui sangatlah luar biasa. Sampai aku tidak berani menatap wajahnya secara langsung. Aku hanya menundukkan kepala dihadapannya.

"Gini,Pak. Maaf sebelumnya, tadi malam mau minta izin lewat via w******p. Tapi, saya lupa, Pak. Lalu maksut saya kesini, mau meminta izin cuti dari Bapak untuk beberapa hari kedepan," ucapku dengan nada dan raut wajah seperti yang dianjurkan oleh Syahrul.

"Lha ini, Bapak yang suka malah, meski dalam aturan boleh meminta izin via w******p, tapi kamu malah milih izin langsung, semoga dapat dicontoh oleh teman-teman kerja lain," Pak Bos dengan penuh simpati menuturkan hal demikian. Aku hanya tersenyum dengan masih menundukkan kepala.

"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa, Ad?" tanya Pak Bos melanjutkan.

"Itu, Pak, kemarin saya dapat telvon dari Ibuk di desa. Kalau mbah saya sedang sakit dan rawat inap di puskesmas," tuturku menjelaskan.

"Owalah ya ... ya. Sudah berapa hari, Ad?" tanya kembali Pak Bos.

"Kurang tahu, Pak. Yang jelas, kata Ibuk saya. Sudah beberapa hari itu juga, Mbah saya hanya mencari-cari saya. Padahal saya juga belum waktunya libur, Pak," ucapku kembali melanjutkan.

"Ya jangan gitu kamu. Itu menandakan, kalau kamu memang dibutuhkan kehadirannya. Mungkin bisa saja, Mbahmu sakit karena merindukanmu 'kan? Deket ya kamu sama Mbah?" kembali Pak Bos bertanya sembari menasihati.

"Ya begitulah, Pak. Dari kecil, memang lebih sering bercengkerama dengan Mbah saya," jelasku.

"Hmm ... ya ... ya. Ya udah, saya izinin kamu," Pak Bos mengijinkan.

Aku hanya mengangguk dengan penuh kegemberiaan. Belum saja aku pamit dan beranjak dari tempat duduk, Pak Bos menahanku.

"Bentar, Ad. Ini ada uang sedikit buat biaya kamu diperjalanan, sama salamin dari Bapak untuk keluarga kamu di desa. Kamu gak usah mikirin pekerjaan, biar nanti saya suruh si Syahrul untuk mengerjakan. Semua beres, keluarga nomer satu, dan kamu harus ingat itu!" tutur Pak Bos, sembari menyodorkan beberapa kertas uang 100 ribuan.

   Aku hanya diam, dan tidak menyangka akan terjadi hal demikian. Aku pamit, dan beranjak dari hadapan Pak Bos. Lega sekali rasanya, terlebih dapat uang jajan bila boleh dijelaskan.

Saat aku berlalu dari kantor Pak Bos, Syahrul sudah menungguku di luar.

"Gimana, bro? Dapat uang saku berapa elu?" tanya Syahrul dengan cengingisan.

"Kampret lu, ya? Pantes lebih suka izin cuti langsung ke kantor!" tuturku kepada Syahrul.

"Hehehe, jangan bilang teman-teman yang lain. Takutnya besok kagak ada yang berangkat kerja. Emang paling unik nih kantor!" ucap Syahrul sembari tertawa kecil.

"Oh iya, bro. Tadi Pak Bos bilang, besok kalau gue belum masuk. Lu yang bakal ngerjain pekerjaan gue, tolong ye!" Pintaku kepada Syahrul sembari menepuk pundaknya. Dan Syahrul ini adalah salah satu rekan kerja yang tergila-gila dengan Della. Namun, sama seperti dengan aku, hanya mampu memendam perasaan dalam diam. Tidak lebih dan tidak kurang, terkadang aku juga sering berbicara dengan diriku sendiri, seorang Syahrul yang mempunyai keistimewaan, juga memiliki wajah rupawan saja, dihadapan Della, tidak berani menyuarakan perasaan. Bagaimana dengan aku? Fuad? Anak magang?!

"Siap beres, bro. Pasti akan dapat gaji plus plus ini, hehehehe," ucap Syahrul menyanggupi.

"Makasih, bro. Gue pulang dulu ya,"

"Siap, hati-hati dijalan, salam buat keluarga lu di desa. Besok kalau udah liburan, bolehlah ajak gue menikmati panorama perdesaan," pinta Syahrul.

"Beres! Anak Pak Bos, wkwkwk," ucapku sembari berlalu memberi hormat kepada Syahrul. Yang memang dia terkenal menjadi anak Pak Bos, karena dia bisa dikatakan menjadi tangan kanan Pak Bos di kantor.

Syahrul hanya tersenyum dan mengepalkan tangan kepadaku.

   Sungguh, kekhawatiran yang sebelumnya dikhawatirkan, kini berbalik kenyataan. Menjadi rasa mantap kesenangan dalam perasaan.

Dari sini pula aku belajar,

Wibawa serta kharisma bukan didapat hanya dengan memperindah suara, tapi dengan perilaku serta akhlak dalam kehidupan nyata.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebelum Hujan Membasahi   Kembali Ke Kota

    Rencana untuk kembali ke kota sudah tiba. Pagi yang cukup cerah, serta harapan yang di inginkan sekadar mencari uang rasanya harus kembali benar-benar diperjuangkan. "Ini beneran balik ke kota?" tanya Della. "Lhah iya, emang mau tinggal berapa lama lagi? Kakek juga nanti udah bisa dibawa pulang." Fuad memberi pernyataan serta penjelasan. "Hmm, kalau boleh jujur sih, rasanya nyaman banget sini, sudah seperti rumah sendiri," terang Della yang merasa masih berat hati untuk kembali ke kota. Bagaimana dia tidak merasa nyaman? Kala keramahan serta penuh perhatian setiap hari diperlihatkan oleh Ibu Fuad. Sebenarnya, hal demikian yang membuat Della merasa iri hati. "Ad, apalagi yang belum dibawa?" tanya Ibu sembari mengecek barang bawaan. "Oh, itu Bu, masih ada ransel di kamar satu," ujar Fuad. Tanpa banyak kata, Ibu langsung pergi ke kamar bermaksud untuk mengambilkan. Ha

  • Sebelum Hujan Membasahi   Lucunya Aku

    Deru angin malam bertiup sepoi-sepoi yang menenangkan. Pohon-pohon melambai dengan penuh penghayatan menemani perjalananku dengan Della menuju kerumah.Setengah sepuluh malam, kulihat arlojiku menunjukan pukul demikian. Dengan penuh ketidakpastian serta kenyamanan yang diberikan oleh kampungku, rasanya Della enggan untuk beranjak, dan ingin hati lebih berlama untuk tinggal."Ad, kita mau balik ke kota besok beneran?" tanya Della menyela."Lah, iya, gimana emang?" tanyaku menanggapinya pertanyaannya."Ya, nggak papa, masih nyaman aja gue disini," ujar Della dengan sedikit nada pasrah."Hmm, lain kali masih ada waktu, besok gue ajak lagi kesini," ujarku menenangkan Della.Dingin sekali rasanya angin malam itu, masih tidak terpikirkan sebelumnya. Sudah lebih lima hari aku bersama Della dalam satu atap rumah. Dan menjadi salah satu cerita peringan luka sebelumnya yang sempat singgah, dan merekah untuk beberapa saat.Sesampai di depan ruma

  • Sebelum Hujan Membasahi   Wak Klasin

    Sebelum kembali ke kota. Ada satu hal yang hampir lupa, mendatangi Wak Klasin."Oh iya, Del. Lu, di rumah aja ya, sama Bapak Ibu, lupa gue belum datang kerumah Wak Klasin!" pintaku kepada Della."Wak Klasin siapa, Ad?" tanya Della."Adiknya Bapak, tapi udah kaya Bapak sendiri!" ujarku memberi sedikit penjelasan."Hmm, gue gak ikut?" pinta Della.Aku diam sesaat, berpikir takut nanti kalau ajak Della malah jadi salah sangka."Bentar, gue pamit sama Bapak boleh nggak ngajak Lu, hehehe, takutnya nanti ada salah paham lagi!" ujarku lalu mencari Bapak berniat meminta ijin pergi ke rumah Wak Klasin dengan Della."Nyari siapa, Ad?" tanya Ibu yang melihatku mondar mandir mencari keberadaan Bapak."Bapak dimana ya, Bu?" tanyaku kepada Ibu yang sedang memotong kacang di ruang depan."Oh, coba cari di belakang, kaya'nya tadi bilang lagi mau nyantai di belakang!" terang Ibu menunjuk ke ruang belakang, tempat Bapak menyantai setelah

  • Sebelum Hujan Membasahi   Lagi dan Lagi

    Entah apa yang sebenarnya sedang aku rasakan. Ketika aku sudah mulai lupa dengan satu persatu orang yang pernah aku kagumi, atau bahkan orang yang pernah berhasil bersemayam dalam hati dan sempat untuk memiliki, kini tiba-tiba harus kembali membuat dilema dengan kembalinya mereka. Entah dengan alasan apa aku'pun tidak tahu persisnya.Kemarin Adinda, dan malam ini di tengah-tengah persiapan mengemas pakaian untuk dibawa kembali ke kota, Chelsi ... tiba-tiba menghubungiku via telepon."Eh, kenapa nih orang?" batinku melihat layar ponsel ada panggilan masuk dari Chelsi.Memanglah demikian, aku sama sekali tidak mempunyai rasa dendam kepada siapa saja walau berulang kali menaruh sebuah luka. Apalagi harus sampai memblokir nomer mereka. Aku yang sebenarnya tersakiti, aku pula yang malah merasa mengasihani.Buru-buru aku angkat telpon itu."Assalamualaikum, selamat malam, Chel!" sapaku pertama mengangkat telepon itu."Waalaikumsalam, Ad!" jawab Ch

  • Sebelum Hujan Membasahi   Terlupakan?

    Salah satu moment kembali yang berhasil aku ingat sebelum aku kembali ke kota. Kala itu, kala dimana Della sudah mulai berhasil adaptasi dengan keluargaku, adaptasi dengan warga sekitar. Bahkan, tidak jarang tiba-tiba dia menghilang dari rumah dan singgah di rumah tetangga sebelah. Hal demikian tentu membuatku tambah mengagumi dirinya. Relatif singkat sekali dia mampu beradaptasi. Dan membuat Bapakku serta Ibukku juga ikut terkesan.Pernah, waktu itu. Sampai di isukan dalam tetangga, kalau Della memang benar-benar akan menjadi calon istriku. Ketika mendengar hal itu, Della hanya tersenyum dan mengiyakan apa yang menjadi rumor tetangga sekitar. Apalagi Pakdhe Irul yang sangat mendukung hal demikian. Sampai-sampai beliau berjanji, kalau besok waktu resepsi, beliau mau menyumbang dua ekor sapi untuk dijadikan syukuran. Mengesankan bukan? Nominal uang yang tidak sedikit dengan nilai dua ekor sapi.Namun, ada hal lain yang membuatku sedikit termenung akan hal demikian. Baga

  • Sebelum Hujan Membasahi   Terbuka

    Seperti biasa, suasana kantor berjalan semestinya. Meski tanpa ada aku disana, rasanya tidak ada masalah. Syahrul masih ada disana setidaknya, siap mewakili dan menuntaskan segala pekerjaanku. Salah satu keuntungan tersendiri bagi tempat kantorku bekerja. Kendati demikian, ketidak hadiran Della membuat salah satu topik menarik bagi Pak Bos. Karena tanpa izin pula dia tidak masuk kerja. Dan membuat Pak Bos yang sangat santai itu terhadap semua karyawan ataupun karyawati menjadi gundah gulana."Syahrul! Ke ruang saya sekarang juga!" telpon Pak Bos kepada Syahrul melalui via telpon khusus kantor."Siap, Pak!" sanggup Syahrul bergegas menuju ruangan Pak Bos.Tanpa banyak kata dan sangkaan, Syahrul langsung menuju ke ruangan Pak Bos. Seperti biasa mungkin pikirnya, mendapat pekerjaan tambahan dan juga gaji tambahan pula mestinya.Sebelum masuk keruangan Pak Bos. Tepat di depan pintu ruangan itu, Syahrul menata rapi kembali pakaian serta rambut miliknya. Setela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status