Share

Kampung Halaman

    Dua jam perjalanan telah dilalui, udara segar tanah kelahiran mulai tercium. Suasana damai mulai dirasakan. Belum lama juga aku meninggalkan kampung halaman yang dari lahir menjadi tempat tinggal, rasa rindu itu hadir bak bunga yang hendak mekar, menjadi tempat dimana aku mulai mengenal dunia, menjadi tempat menaruh suka serta duka, serta menjadi awal dari segala impian yang tertanam.

    Pohon-pohon sepanjang jalan seakan menyambutku dengan melambaikan dedaunan penuh senyuman. Kicau burung liar masih begitu khas didengar. Kabut tipis juga ikut menyambut dengan penuh kelarasan.

"Gimana, Del?" tanyaku sembari memperlambat kecepatan sepeda motor.

"Wwiiiih ... asli ini mah, keren, Ad!" ujar Della menyatakan sebuah kekaguman.

Aku hanya tersenyum, dan juga tidak henti-hentinya menikmati segala kealamian yang ada.

"Pelan-pelan aja, Ad," ucap Della.

"Weh ... iya iya beres," tuturku sembari semakin memperlambat kecepatan.

   Ada satu moment yang begitu melekat, dan menurutku ini sangat khas, kenapa menurutku begitu khas? Karena hal demikian sudah jarang sekali aku temukan di kota, tegur sapa aku menyebutnya. Entah itu dengan siapa, asal kita memberi sedikit saja sebuah senyuman yang terpancar, maka bersiaplah mendapat balasan yang lebih hangat dari warga sekitar.

"Mari Buk," sapaku kepada seorang Ibuk dengan capil berada di kepala, selendang serta sebuah wadah berada dipunggungnya.

"Mari Mas," balas Ibuk itu dengan penuh keramahan serta senyuman.

Della menyenggolku,

"Eh, Ad. Emang lu kenal ya sama tu orang?" tanya Della ketika melihatku menyapa orang dijalan.

"Jangan sembarangan nyapa orang lu!" lanjut Della.

   Aku tertawa saja mendengar pernyataan yang Della lontarkan. Ya, memang wajar juga, jika dia mengatakan demikian. Karena diperkotaan memang hampir tidak ada budaya seperti yang baru saja diperlihatkan.

"Ini beda ya ... gak kaya di kota, Del," tuturku.

"Maksutmu?" tanya Della masih tidak paham.

"Coba aja kalau nanti berpapasan dengan orang, lu sapa seperti gua tadi," perintahku.

"Eh, gile lu, ya," ucap Della masih tidak tahu tentang adab kesopanan di kampung.

"Udeh, nurut aja napa!" ucapku.

Della tidak menjawab, kembali saja dia nikmati suasana perkampungan dengan nikmatnya.

"Monggo Pak," sapaku kembali kepada seorang Bapak yang melintas di samping sepeda motorku.

"Monggo mas," sapa balik dari Bapak itu.

Aku langsung saja paham, beliau adalah Pakdhe Irul, kakak dari Bapakku. Bergegas aku mengerem sepeda motorku secara mendadak.

"Etdah ... gile lu ya!" ucap Della kaget.

"Bentar ... bentar, Del," ucapku sembari menstandard sepeda motor dan meninggalkan Della sendirian.

Aku menghampiri Pakdhe Irul dengan segera, melepas helm serta masker yang aku kenakkan.

"Assalamualaikum, Pakdhe," sapaku memberi salam dan meraih tangan Beliau.

"Walaikumsalam, Fuad?" tanya Pakdhe Irul, seakan pangling melihatku.

"Weladalah ... tambah ganteng aja kamu," tutur Pakdhe Irul melanjutkan sembari menepuk-nepuk pundakku.

"Hehehe, bisa aja, Pakdhe. Gimana kabarnya, sehat?" tanyaku kepada Pakdhe.

"Alhamdulillah, Ad. Sehat, Kakekmu aja yang sedang sakit," terang Pakdhe Irul.

"Iya, Pakdhe, ini saya pulang juga karena dapat televon dari Ibuk. Katanya Kakek nyari saya terus," ucapku memberi alasan sebab pulang.

"Nah, emang iya, Ad. Dari kemarin juga gantian giliran nungguin Kakek di rumah sakit. Kemarin Pakdhe, sekarang kayaknya jatah Bapakmu, Ad," terang Pakdhe.

"Wowalah, gitu ya, Pakdhe. Siaap siaap, nanti malam biar saya yang nunggu di rumah sakit,"

"Harus itu, si Azka malah gak bisa pulang katanya, lagi ngejar skripsi atau apalah itu," tutur Pakdhe memberitahuku kalau Azka, anak nomer 3 dari keluarganya yang sedang menempuh kuliah di kota tidak bisa pulang.

"Maklum aja, Pakdhe. Kalau kuliah emang kaya gitu, kalau udah nyampai skripsi, pasti nggak bisa diganggu," ucapku.

   Pakdhe Irul hanya mangut-mangut menandakan kepahaman, lalu Beliau melirik ke Della yang juga ikut turun, sekadar mengambil foto-foto pemandangan untuk diabadikan.

"Eh ... ngomong-ngomong, itu siapa, Ad?" tanya Pakdhe Irul.

"Oh itu ... temen kerja dari kota, Pakdhe. Kemarin dia tahu kalau Fuad mau pulang, dia mau ikut, mau refresing katanya," tuturku menjelaskan.

"Hmm ya ya," Pakdhe Irul masih memandangi Della.

Sontak saja aku memanggil Della, bermaksut memperkenalkannya.

"Del, sini!" teriakku memanggil sembari melambaikan tangan.

Della kemudian memasukkan ponsel kesaku miliknya dan bergegas berjalan menuju kami.

"Kenalin, ini Pakdheku," ucapku mengenalkan Pakdhe Irul kepada Della.

Della membuka masker yang dikenakkan,lalu mengulurkan tangan kepada Pakdhe Irul,

"Kenalin, Om. Saya Della," ucap Della penuh kesopanan.

   Pakdhe Irul hanya bengong, aneh saja rasanya. Sudah mulai lanjut usia, tapi ketika melihat wanita yang cantik, rasa-rasanya masih terlihat dalam raut wajahnya seperti remaja.

"H ... allo, Om," Della kembali menyapa Pakdhe Irul.

Aku dibuat sedikit tertawa melihat keadaan demikian. Memang, paras yang dimiliki Della luar biasa untuk memikat hati kaum Adam. Bayangkan saja, seorang Pakdhe Irul yang sudah berkepala 5 dan hampir mempunyai cucu, masih bisa terpesona melihat Della.

"Ee ... ehh iya, kenalin juga, saya Pakdhe Irul, jangan panggil Om, kesannya malah kayak orang tua yang nakal, hehehehe," ucap Pakdhe Irul.

"Oh iya, m ... maaf Om, eh ... Pakdhe," Della berujar belepotan.

   Rasanya memang demikian, kata Om untuk sapaan orang masih tabu dirasakan. Malah terkesan seperti orang-orang jahat. Entah darimana semua ini berasal, mungkin saja karena korban drama pertelevisian.

"Ini temen kerja Fuad atau calon istrinya?" tanya Pakdhe Irul memastikan.

Della terdiam, dia melirikku sebentar. Tanpa basa basi dan mengatakan dengan penuh kemantapan, Della mengatakan.

"Hehehe, iya, Pakdhe. Saya calon istrinya Mas Fuad, katanya ini juga mau dikenalkan dengan keluarga Mas Fuad,"

Pakdhe Irul menatapku dengan tatapan tajam. Aku hanya menggaruk-nggaruk kepala meski sebenarnya tidak merasa gatal, serta cengingisan tidak karuan.

"Gak salah memang, jauh-jauh pergi ke kota, belum ada 5 bulan, pulang-pulang udah bawa bidadari dari surga," ucap Pakdhe Hilal.

Kulihat Della menahan tawa mendengar hal demikian. Sebenarnya aku juga aku agak sok mendengar pernyataan yang Della lontarkan. Aku hanya diam, dan tersenyum geli.

"Ya udah, sana lekas pulang. Ibumu sudah nungguin kamu dari tadi, Pakdhe mau pergi ke sawah dulu, nanti lanjutin ngobrol di rumah," terang Pakdhe Irul sembari kembali meletakkan pacul dipundak yang tadi dia turunkan.

"Oh ya, Pakdhe," aku mengiyakan dan kembali mencium tangan kanan milik Pakdhe Irul. Della juga ikut mencium tangan Pakdhe Irul.

"Istri sholehah," ucap lirih Pakdhe Irul saat Della juga ikut mencium tangan.

Sebenarnya aku nahan tawa melihat kejadian itu. Kini Della hanya cengingisan. Selepas Pakdhe Irul berlalu, Della menabokku.

"Eh gile, gua dikatain istri sholehah. Padahal tadi kan juga cuma guyonan," tutur Della.

"Salahnya siapa coba?" tanyaku.

"Ya gak gitu konsepnya Bambanggg," Della berujar.

"Padahal lho ya, Del. Kalau dikeluargaku berbicara soal hubungan sampai ke suami istri gitu. Pasti dianggap keseriusan, bukan lagi guyonan," terangku kepada Della sambil berjalan menuju sepeda motor.

Sontak Della memberhentikan langkahnya,

"Fu ... addddd, napa lu gak ngomong dari tadi siiiiiiiii!" tutur Della dengan penuh nada kesal.

Aku hanya tertawa,

"Syukurin, barangkali itu bisa jadi doa, wkwkwk," ucapku menambah kekesalan kepada Della.

   Raut wajah Della yang asalnya bahagia, berubah kecut menandakan penuh kekesalan. Tapi bagaimanapun, hal demikian sama sekali tidak mengurangi kecantikan yang Tuhan berikan kepada Della. Malah membuat semakin cantik saja menurutku.

"Dah ... cepat naik, 5 menit lagi sampai kerumah," ajakku kepada Della.

"Anterin pulang aja gue, Ad. Jadi males gue!" ujar Della tanpa berpikir panjang.

"Emang gile lu ya, ini perjalanan 3 jam, dan dengan mudah seakan tanpa dosa kau mengajak pulang kembali ke kota? Emang gile lu ya!" ucapku dengan nada gemas.

"Habisnya ... lu juga siii," Della merengek, menyesali apa yang tadi dia katakan.

"Udah ... udah, tadi gue cuma bercanda, ya kali lu mau jadi istri gue," ucapku menenangkan.

"Tapi, kalau hidup di kampung ini, mungkin bisa aku pertimbangkan sih, Ad. Nyaman banget gue sama suasananya," ucap Della yang sudah berbeda nada.

"Emang gile lu ya. Dah lah, capek gue, cepetan naik!"

Della tidak lagi berkata, dan langsung beregegas naik sepeda motor.

   Di sepanjang jalan menuju rumah, banyak sekali berpapasan dengan warga, saling tegur sapa, menambah kehangatan etika yang selalu terjaga. Terlebih ketika aku memboncengkan seorang wanita, rasanya tidak ada sepasang mata yang tidak menatap.

Hingga tidak jarang, ada juga yang memanggil namaku.

"Ad!" seru seorang pemuda didepan teras rumah.

Aku hanya melambaikan tangan dengan penuh senyum yang terpancar.

Sesampai tepat didepan rumah, aku melihat Ibuk sedang mengobrol dengan seorang wanita.

"Assalamualaikum, Buk," salamku pertama kepada Ibukku.

Ibuk langsung menghampiriku dan memelukku.

"Waalaikumsalam, Ad,"

Aku mencium kedua pipi Ibukku serta tidak lupa mencium tangan seperti yang aku lakukan kepada Pakdhe Irul.

"Gimana kabarmu? Sehat'kan?" tanya Ibukku yang dari raut wajahnya menampakkan sebuah kesenangan.

"Alhamdulillah, sehat banget, Buk. Apalagi lihat Ibuk juga sehat bahagia seperti ini,"

  Tidak ada lagi keindahan yang terbantahkan, kecuali masih mampu melihat Ibuk sehat bahagia, terlebih senyum tulus dari pipinya. Ibuk tidak henti-hentinya kembali memelukku sembari menepuk pundakku.

  Satu lagi pedoman yang sangat aku tanamkan,

    'Bagaimanapun keadaanmu, ketika Ibumu masih bisa tersenyum, maka duniamu masih baik-baik saja, begitupula sebaliknya'

"Itu siapa, Ad?" tanya Ibuk menunjuk kearah Della yang sedang sibuk menurunkan barang bawaan.

"Oh itu Della Buk, temen kerja, katanya mau menikmati suasana perdesaan gitu, maklum dia belum pernah liburan ke desa," terangku.

Ibuk hanya tersenyum dan lekas menghampiri Della berniat membantu membawakan barang bawaan miliknya.

"Fuad?" tanya seorang wanita yang tadi kulihat sedang mengobrol dengan Ibuk.

"Iya, ini siapa? Kok aku lupa?" tanyaku pada wanita berhijab hitam dengan wajah penuh kedamaian serta keanggunan.

"Aku Adinda, Ad. Masak lupa?" wanita itu menjelaskan.

"Bentar bentar. Adinda, masih lupa aku," 

Dia kemudian hanya terdiam, sedikit kecewa juga digambarkan oleh raut wajahnya.

"Dinda, yuk ikut masuk," ajak Ibuk yang sedang berjalan bersama Della membawakan barang bawaan.

"Ya buk,"

Belum sempat aku dapat mengingat Adinda, dia meninggalkanku dari tempat aku berdiri bersama Della dan Ibuk.

Aku masih mencoba mengingat siapa itu Adinda. Wajar saja, 5 bulan lalu, sebelum aku pergi dari kampungku, aku belum pernah melihat wanita yang berhijab itu. Dengan wajah yang anggun dan penuh kedamaian yang terpancar. Aku masih belum berhasil mengingat. Sampai ketika aku melangkahkan kaki menuju pintu rumah.

"Adinda? Apakah dia Adinda anak Pak Kasmono di seberang desa itu? Yang dulu pernah menolakku?" batinku yang mulai berhasil mengingat.

"Arrgghh, tidak mungkin, bukankah dia dulu tidak berhijab waktu SMA? malahan gaya penampilannya seperti remaja-remaja kota?" Aku masih mereka-reka dengan seribu tanda tanya.

Adinda, adalah wanita kembang desa ketika aku dulu duduk dibangku SMA, seperti halnya Della, setiap pasang mata kaum Adam yang menatapnya, pastinya akan dibuat jatuh hati seketika. Kala itu pula, aku pernah mengungkapkan perasaan didepannya. Aku masih ingat, dia menolakku dengan alasan selepas SMA, kedua orang tuanya menginginkan dia masuk universitas di luar kota. Dan dia takut ketika mempunyai hubungan jarak, akan berimpas menjadi penghalang konsentrasi ketika belajar. Yang masih aku ingat dari penolakannya, dia berkata :

"Aku tidak menolakmu, Ad. Aku hanya menunggu waktu yang tepat."

Bagaimanapun, aku masih menganggap hal demikian adalah wujud penolakkan.

Kenangku kala itu.

"Fu ... Ad. Ngapain malah bengong disitu," panggil Ibuk yang melihatku bengong didepan rumah.

"Eh ... iya Buk." Aku bergegas masuk kerumah, dan kulihat Della dan Adinda sama-sama menatapku dengan senyum yang terpancar.

"Entahlah, dia adalah Adinda yang pernah menolakku atau tidak, nanti saja aku pastikan kepada Ibuk," batinku mengalah dengan cecar beribu-ribu pertanyaan yang tidak kunjung aku temu jawab kepastian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status