Fuad, adalah sosok pemuda yang mengaitkan segala sesuatu dengan perasaan. Bagaimana tidak? Apa yang menjadi perkataan orang, pasti menjadi sebuah pikiran. Menepis segala apa yang ada dalam pemikiran orang, terlebih dari kedua orang tuanya. Hal demikian pula yang menjadi alasan dia mencari pekerjaan hingga keluar jauh dari kampung halamannya. Hingga dari itu pula, dia dapat mengenal beberapa perempuan yang berhasil merebut hatinya. Kondisi demikian yang menimbulkan sebuah konflik tersendiri dalam jalan menuju penggapaian impian yang Fuad inginkan. Memikirkan pekerjaan saja, terkadang membuat pikiran Fuad terperanjat. Ditambah lagi, perihal perasaan yang terkadang berampas kehampaan. Bagaimana kisah Fuad dalam menyelesaikan permasalahan kehidupuan berlatarkan pekerjaan serta perasaan?
View MoreNamanya juga mendung. Tak selamanya ia mampu mengundang hujan. Hadirnya hanya memberi isyarat kepada makhluk bumi agar lebih siap ketika hujan turun kembali membasahi. Sedia payung sebelum hujan, mungkin suatu selogan yang tidak asing lagi terdengar pada sepasang telinga kita. Perihal mendung dan hubungan, seakan menjadi sebuah kalimat yang berbeda, namun hampir mirip dalam pemberian makna. Bagaimana tidak? Ketika mendung mampu hadir tanpa memberi hujan, begitupula sebuah hubungan. Ia mampu hadir memberi kenyamanan, datang dengan sebongkah kata kepalsuan. I love you, I Miss You, dan lain sebagainya. Namun tanpa berdasarkan sebuah rasa sayang yang timbul dari perasaan.
Aku menamainya sebagai sebuah tabir dari kepalsuan. Dan hal demikian adalah salah satu hal yang paling aku takutkan dalam sebuah hubungan. Bagaimana tidak? Ketika kita sudah merasa nyaman dengan suatu hubungan, kita hanyut dalam asmara perasaan, terlebih kita mendengar kata I Love You, ataupun berupa tulisan dari dirinya yang ditunjukkan untuk kita. Kita bahagia, tentu saja. Karena dia yang mengatakan atau menuliskan adalah orang yang kita anggap istimewa dalam hidup, dan ternyata dia datang dan mengatakan hal demikian tanpa didasari dengan sebuah rasa sayang. Sakit, tapi tak berdarah kawan.
Panggil saja aku Fuad, seorang laki laki yang sedang merasakan sakit karena seorang wanita. Wanita yang aku anggap istimewa, wanita yang aku anggap mampu menjadi alasanku bahagia. Dan ternyata seperti yang aku takutkan sebelumnya, dia datang dengan sebongkah cinta, lalu pergi meninggalkan sebuah luka.
Tepat hari ini, hari dimana memasuki tahun ke 2 hubungan asmara yang telah dirajut bersama. Dan kandas dengan begitu indahnya. Ada laki-laki lain yang datang, dan berhasil merebut hatinya. Pedih, tragis, mengenaskan jika boleh aku katakan. Rencana hubungan melangkah sampai jenjang pernikahan, namun kenyataan harus kandas ditengah jalan.
"Beb, ada waktu libur Minggu ini?" Aku teringat dia memberi pesan singkat, dan begitu indah terlihat pada layar gadget-ku.
"Ada, Beb, besok malam Minggu." Balasku singkat.
"Kita jalan ya, ada sesuatu hal serius yang harus aku katakan." Chelsi kembali membalas tak berselang lama.
Chelsi, itulah nama wanita yang pernah menjadi kekasihku kala itu. Wanita dengan paras yang sangat luar biasa. Dari ujung rambut dikepalanya, sampai ujung kaki jarinya. Rasa-rasanya dia adalah bidadari dari surga yang sudah Tuhan ciptakan dan hadirkan di dunia. Sempurna, aku menilai dirinya. Dari fisik yang dimiliki olehnya, adalah salah satu alasanku mengagumi dirinya. Terlebih sifat yang dimiliki, ketika dia melontarkan sebuah kalimat dari mulutnya, seakan itu adalah musik simponi yang begitu indah aku dengar. Menentramkan, seakan duka seketika sirna ketika mendengar suara darinya. Jika suaranya saja mampu memberi efek demikian, apalagi senyum yang terpancar. Luar biasa, salah satu alasan aku menyempatkan namanya disetiap doa yang aku pinta.
Malam Minggu, malam yang sebelumnya tak pernah aku pikirkan akan menjadi seperti ini jadinya. Malam yang aku anggap menjadi sebuah kebahagiaan seperti malam-malam sebelumnya, nyatanya berbalik dengan ekspektasi yang ada dalam pikiran serta hati."Hay, Beb, bagaimana kuliahmu?" Aku membuka percakapan diantara kami."Baik, Beb, ya ... beginilah. Sibuk terus ngejar skripsi." Tutur Chelsi sembari menyerutup teh tarik kurma kesukaan yang pasti dia pesan ketika kami bersama.
Dari sini aku sudah merasa aneh, tidak seperti biasanya. Sikap Chelsi, sungguh tidak seperti biasanya yang aku kenal sebagai wanita yang periang.
"Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanyaku.
Dia hanya diam, sembari sesekali menatapku dengan wajah penuh kesedihan.
Pikirku semakin penasaran saja dibuat olehnya. Ada apa? Batinku. Padahal rasanya tidak ada masalah antara hubungan kita. Ditengah-tengah kalimat tanya yang aku rasakan, Chelsi akhirnya membuka percakapan."Kamu cinta beneran sama aku?" tanya Chelsi, sebuah pertanyaan yang seakan tidak pantas diucapkan.
"Kau benar-benar menanyakan hal itu?" balik aku bertanya.
Chelsi hanya menghela napas panjang. Dia menengok kekanan kekiri mengisyaratkan sebuah kegelisahan.
Aku seakan dibuat bingung atas sikapnya seketika."Beb, tak pantas rasanya kau menanyakan hal demikian. Padahal sedang aku usahakan untuk segera menjalankan pernikahan denganmu setelah kelulusan." Ucapku.
Chelsi hanya diam, tak berucap.
"Aku sisihkan uang dari sedikit untuk biaya pernikahan seperti yang pernah kita janjikan. Bagaimana pantas kau menanyakan hal demikian?" kembali aku berucap dengan pertanyaan memojokkan.
Chelsi kembali menyerutup teh tanpa menikmatinya.
Segera dia mengeluarkan sesuatu dari tas miliknya. Ia menyodorkan kertas diatas meja, sembari berkata lirih.
"M-mmaf," itulah kata lirih yang terlontar dari bibir manisnya.
"Apa ini?" Segera aku raih sesuatu berupa kertas yang telah disodorkan oleh Chelsi.
Happy Wedding
Ali & ChlesiAku tidak melanjutkan membukanya.
"Beb, apa ini?" tanyaku masih tak percaya, dan tidak tahu maksutnya.
Chelsi hanya memalingkan wajah, dan kulihat pipinya basah oleh air mata.
"Beb!" Dia sama sekali tak mengubris panggilanku. Dia hanya tersedu sedu menahan tangis, tanpa berucap sepatah kata.
Aku lanjutkan saja membuka kertas itu. Dan boom, rasa seperti tersayat seribu pedang tumpul, bagai tersambar petir yang menggelegar menyambar. Aku terdiam, gemetar tak karuan. Demikian pula dengan Chelsi, sesekali tatapan matanya kepadaku menambah duka yang tak terencana.
"Ali? Kau mau menikah dengan Ali? Yang kau katakan laki-laki yang pernah datang dengan janji, dan pergi menancapkan duri?" aku masih dibuat tidak percaya dengan kenyataan yang ada.
Seperti awal perkenalanku dengan Chelsi di cafe yang sedang kami tempati. Aku mengenal dia dari saling tatap, dan aku beranikan diri untuk berkenalan, hingga sampai saat ini sukses menjalin sebuah hubungan.
Ali adalah laki-laki yang pernah menjadi alasan Chelsi patah hati. Dan meninggalkan Chelsi 2 tahun lalu tanpa alasan. Begitulah yang aku ketahui sedikit cerita dari mereka. Aku tak pernah mengungkit masa lalu milik mereka, hingga aku tersadar bahwa Chelsi, wanita yang sudah aku jadikan komitmen sampai pernikahan, ternyata masih memendam perasaan terhadap mantannya.
"Tolong, jelaskan ini,Beb," aku meminta penjelasan kepada Chelsi dengan nada lirih.
Chelsi sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata kecuali maaf tadi yang seperti yang aku dengar. Ia hanya menangis, meneteskan air mata. Lalu bergegas pergi meninggalkanku sendiri dengan undangan pernikahan miliknya.
Aku terdiam, mengeluarkan bungkus rokok dalam saku jaket. Menghisapnya perlahan, meremas undangan yang telah diberikan. Aku masih tetap terdiam dengan seribu satu tanda tanya yang belum aku temukan jawabannya.
Dia tidak mencintaimu, dia hanya kesepian dan kebetulan ada kamu.Satu quotes dari Wira Nagara yang begitu pas jika aku rasa.
Tidak menutup sebuah kemungkinan, bahwa hadirku dalam hatinya, hanyalah suatu pelampiasan semata. Pelarian atau apalah istilahnya. Sungguh, hal demikian begitu sakit sesak jika dirasakan.
Untuk sesaat, dengan kopi aku mampu melupakanmu, kekasih. Kini tinggal mencari cara untuk berhenti merindukanmu.
Ujar temanku yang pernah mengatakan hal itu.Rencana untuk kembali ke kota sudah tiba. Pagi yang cukup cerah, serta harapan yang di inginkan sekadar mencari uang rasanya harus kembali benar-benar diperjuangkan. "Ini beneran balik ke kota?" tanya Della. "Lhah iya, emang mau tinggal berapa lama lagi? Kakek juga nanti udah bisa dibawa pulang." Fuad memberi pernyataan serta penjelasan. "Hmm, kalau boleh jujur sih, rasanya nyaman banget sini, sudah seperti rumah sendiri," terang Della yang merasa masih berat hati untuk kembali ke kota. Bagaimana dia tidak merasa nyaman? Kala keramahan serta penuh perhatian setiap hari diperlihatkan oleh Ibu Fuad. Sebenarnya, hal demikian yang membuat Della merasa iri hati. "Ad, apalagi yang belum dibawa?" tanya Ibu sembari mengecek barang bawaan. "Oh, itu Bu, masih ada ransel di kamar satu," ujar Fuad. Tanpa banyak kata, Ibu langsung pergi ke kamar bermaksud untuk mengambilkan. Ha
Deru angin malam bertiup sepoi-sepoi yang menenangkan. Pohon-pohon melambai dengan penuh penghayatan menemani perjalananku dengan Della menuju kerumah.Setengah sepuluh malam, kulihat arlojiku menunjukan pukul demikian. Dengan penuh ketidakpastian serta kenyamanan yang diberikan oleh kampungku, rasanya Della enggan untuk beranjak, dan ingin hati lebih berlama untuk tinggal."Ad, kita mau balik ke kota besok beneran?" tanya Della menyela."Lah, iya, gimana emang?" tanyaku menanggapinya pertanyaannya."Ya, nggak papa, masih nyaman aja gue disini," ujar Della dengan sedikit nada pasrah."Hmm, lain kali masih ada waktu, besok gue ajak lagi kesini," ujarku menenangkan Della.Dingin sekali rasanya angin malam itu, masih tidak terpikirkan sebelumnya. Sudah lebih lima hari aku bersama Della dalam satu atap rumah. Dan menjadi salah satu cerita peringan luka sebelumnya yang sempat singgah, dan merekah untuk beberapa saat.Sesampai di depan ruma
Sebelum kembali ke kota. Ada satu hal yang hampir lupa, mendatangi Wak Klasin."Oh iya, Del. Lu, di rumah aja ya, sama Bapak Ibu, lupa gue belum datang kerumah Wak Klasin!" pintaku kepada Della."Wak Klasin siapa, Ad?" tanya Della."Adiknya Bapak, tapi udah kaya Bapak sendiri!" ujarku memberi sedikit penjelasan."Hmm, gue gak ikut?" pinta Della.Aku diam sesaat, berpikir takut nanti kalau ajak Della malah jadi salah sangka."Bentar, gue pamit sama Bapak boleh nggak ngajak Lu, hehehe, takutnya nanti ada salah paham lagi!" ujarku lalu mencari Bapak berniat meminta ijin pergi ke rumah Wak Klasin dengan Della."Nyari siapa, Ad?" tanya Ibu yang melihatku mondar mandir mencari keberadaan Bapak."Bapak dimana ya, Bu?" tanyaku kepada Ibu yang sedang memotong kacang di ruang depan."Oh, coba cari di belakang, kaya'nya tadi bilang lagi mau nyantai di belakang!" terang Ibu menunjuk ke ruang belakang, tempat Bapak menyantai setelah
Entah apa yang sebenarnya sedang aku rasakan. Ketika aku sudah mulai lupa dengan satu persatu orang yang pernah aku kagumi, atau bahkan orang yang pernah berhasil bersemayam dalam hati dan sempat untuk memiliki, kini tiba-tiba harus kembali membuat dilema dengan kembalinya mereka. Entah dengan alasan apa aku'pun tidak tahu persisnya.Kemarin Adinda, dan malam ini di tengah-tengah persiapan mengemas pakaian untuk dibawa kembali ke kota, Chelsi ... tiba-tiba menghubungiku via telepon."Eh, kenapa nih orang?" batinku melihat layar ponsel ada panggilan masuk dari Chelsi.Memanglah demikian, aku sama sekali tidak mempunyai rasa dendam kepada siapa saja walau berulang kali menaruh sebuah luka. Apalagi harus sampai memblokir nomer mereka. Aku yang sebenarnya tersakiti, aku pula yang malah merasa mengasihani.Buru-buru aku angkat telpon itu."Assalamualaikum, selamat malam, Chel!" sapaku pertama mengangkat telepon itu."Waalaikumsalam, Ad!" jawab Ch
Salah satu moment kembali yang berhasil aku ingat sebelum aku kembali ke kota. Kala itu, kala dimana Della sudah mulai berhasil adaptasi dengan keluargaku, adaptasi dengan warga sekitar. Bahkan, tidak jarang tiba-tiba dia menghilang dari rumah dan singgah di rumah tetangga sebelah. Hal demikian tentu membuatku tambah mengagumi dirinya. Relatif singkat sekali dia mampu beradaptasi. Dan membuat Bapakku serta Ibukku juga ikut terkesan.Pernah, waktu itu. Sampai di isukan dalam tetangga, kalau Della memang benar-benar akan menjadi calon istriku. Ketika mendengar hal itu, Della hanya tersenyum dan mengiyakan apa yang menjadi rumor tetangga sekitar. Apalagi Pakdhe Irul yang sangat mendukung hal demikian. Sampai-sampai beliau berjanji, kalau besok waktu resepsi, beliau mau menyumbang dua ekor sapi untuk dijadikan syukuran. Mengesankan bukan? Nominal uang yang tidak sedikit dengan nilai dua ekor sapi.Namun, ada hal lain yang membuatku sedikit termenung akan hal demikian. Baga
Seperti biasa, suasana kantor berjalan semestinya. Meski tanpa ada aku disana, rasanya tidak ada masalah. Syahrul masih ada disana setidaknya, siap mewakili dan menuntaskan segala pekerjaanku. Salah satu keuntungan tersendiri bagi tempat kantorku bekerja. Kendati demikian, ketidak hadiran Della membuat salah satu topik menarik bagi Pak Bos. Karena tanpa izin pula dia tidak masuk kerja. Dan membuat Pak Bos yang sangat santai itu terhadap semua karyawan ataupun karyawati menjadi gundah gulana."Syahrul! Ke ruang saya sekarang juga!" telpon Pak Bos kepada Syahrul melalui via telpon khusus kantor."Siap, Pak!" sanggup Syahrul bergegas menuju ruangan Pak Bos.Tanpa banyak kata dan sangkaan, Syahrul langsung menuju ke ruangan Pak Bos. Seperti biasa mungkin pikirnya, mendapat pekerjaan tambahan dan juga gaji tambahan pula mestinya.Sebelum masuk keruangan Pak Bos. Tepat di depan pintu ruangan itu, Syahrul menata rapi kembali pakaian serta rambut miliknya. Setela
Tidak terasa, sudah 5 hari aku berada di tanah dimana aku dilahirkan. Bertepatan dengan itu pula, kabar baik dari kondisi Kakek berangsur lebih membaik. Dan rencana selanjutnya, mungkin lusa aku bisa kembali bekerja."Del, lusa balik kota!" ajakku kepada Della yang sedang menikmati pemandangan di salah satu kebun teh di desaku."Hmm ... gue betah disini, Ad!" ujar Della.Wajar saja, suasana yang menentramkan di desa rasanya memang sangat sulit untuk meninggalkannya. Apalagi keramah tamahan warganya yang selalu membuat betah berlama didalamnya."Kondisi Kakek juga udah membaik, uang gue juga udah nipis banget ini!" ujarku kepada Della.Della menatapku, kemudian dia bertanya."Administrasi udah diselesaikan?""Udah kemaren, habis lumayan juga sih, gaji dua bulan!" ujarku."Kok gak bilang ke gue sih, padahal udah gue siapin biayanya!" ujar Della kembali menatapku."Llah, kenapa, Lu yang malah repot mau biayain administrasi,
Selang tiga hari, ternyata Syahrul, sang pengagum dalam diam Della baru sadar, kalau wanita pujaan hatinya itu tidak masuk kerja. Lekas saja dia menghubungiku lewat sebuah pesan, mungkin karena khawatir dengan keadaan Della dikira ada apa-apa."Oiy, Ad. Della kenapa ya kok udah 3 hari gak masuk kerja?" tanya Syahrul via whatsapp.Tidak langsung aku balas pesan itu, masih memikirkan cara bagaimana jawaban yang tepat untuk dirinya. Bukan karena apa, cuma mau ngetes aja, atas kesungguhan kekaguman Syahrul atas Della. Hingga lebih dari setengah jam baru aku balas."Lha emang kemana Della? Lu yang masuk kerja terus, malah nanya ama Gue yang lagi cuti, suka ngadi-ngadi ya, Lu!" balasku berlagak tidak tahu keberadaan Della, padahal jelas-jelas dia berada disampingku."Eh, bangs*t, Lu, Ad. Bukan gitu maksutnya, barangkali Lu tahu keberadaan Della!" balas kembali Syahrul tidak berselang lama."Llah, Lu ...tanya ama gue gitu?" kembali aku memutar balikkan is
"Ad, jalan-jalan yuk," ajak Della pagi-pagi sekali."Jalan-jalan kemana, masih terlalu pagi juga," jawabku seakan ingin menolak ajakan dari Della."Healah, kapan lagi juga ... bisa jalan-jalan pagi dengan suasana perdesaan yang menentramkan," Della kembali merayuku.Disaat waktu yang tepat pula, terlihat Adinda datang membawa piring dengan bubur manis khas perdesaan, sebagai suatu tanda ada slametan dari sanak keluarga atau sebagainya.Memang, tradisi seperti ini masih sangat hangat berlaku di desaku. Ada yang menggunakan bubur manis plus juroh (gula Jawa yang dicairkan) atau bubur manis merah dengan beras ketan putih di tengah. Sebagai suatu tanda perayaan ulang tahun yang di rayakan dengan cara sederhana, ataupun acara hajatan seperti pondasi rumah, pernikahan, dan lain sebagainya."Assalamualaikum," sapa Adinda."Waalaikumsalam," jawab kami serentak."Ibuk ada, Ad?" tanya Adinda."Oh ... ada, di dalam, bentar ... bentar, aku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments