Share

Sebelum Kita Bercerai
Sebelum Kita Bercerai
Penulis: Clau Sheera

Bab 1. PERNIKAHAN DI UJUNG TANDUK

Hari masih cukup pagi ketika seorang wanita bermake-up tebal dengan pakaian mini duduk di sofa di tengah sebuah ruangan.

Pandangannya berkeliling melihat jejeran rak penuh buku, melihat foto berbingkai pigura minimalis bercat hitam, dan sebuah meja kerja yang atasnya tertata rapi dengan jarak lebih dari enam meter di depannya.

Di meja itu, dia menatap seorang pria yang tengah merapikan setumpuk kertas dengan wajah sedikit tertunduk penuh fokus.

Pria itu berwajah tampan, namun tatapan matanya dingin dan muram. Tak ada sambutan hangat apalagi pelukan yang diterimanya kala mereka bertemu sehingga membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.

'Bukannya aku istrinya? Kenapa dia nggak acuh banget dan gak peduli sama aku?' bisik hati kecilnya.

"Kebetulan, kamu pulang di saat yang tepat," ujar pria itu memecah keheningan sambil mengangkat wajahnya dan berjalan ke arah sofa, kemudian dia duduk di seberang wanita itu.

"Saya ingin menanyakan tentang berkas perceraian kita. Apa kamu sudah tanda tangan?"

"Berkas perceraian?" Wanita di depannya menatap pria itu dengan ekspresi terkejut.

Baru dua puluh menit lalu dia sampai di rumah setelah menempuh beberapa jam penerbangan dari Perancis ke Indonesia, suaminya sudah menanyakan surat cerai mereka.

"Jadi maksudmu kita akan bercerai?" tanya wanita itu dengan mata terbelalak.

Pria itu mengerutkan alisnya, tanda tak suka. Wajah tampannya semakin terlihat muram.

"Jangan berpura-pura lupa, Maura," ujar pria itu dengan nada dingin sambil menautkan jari jemarinya dan menatap tajam pada wanita yang dipanggil Maura itu. "Kamu tak perlu bersandiwara."

Maura terperangah dengan apa yang pria itu katakan. Ekspresi pria itu pun menggambarkan rasa tak suka dan kebencian kuat. Terlihat jelas, pria itu tak menaruh sedikitpun rasa percaya padanya seolah dia tak layak dipercaya.

Maura menghela napas sambil memainkan kuku jarinya. Wajahnya masih terlihat begitu lelah karena dia belum beristirahat.

"Aku tak berpura-pura. Aku memang melupakan semuanya, Dewangga. Aku masih amnesia semenjak kecelakaan di Perancis bulan lalu," jawab Maura dengan wajah murung.

"Bukannya Lusi udah ngasih tahu kamu menenai aku yang kecelakaan? Tapi kenapa kamu gak pernah datang menyusulku ke sana untuk memastikan keadaanku?" tanya Maura sambil menatap pria bernama Dewangga itu untuk mencari sebuah jawaban yang mengganjal hatinya selama hampir sebulan.

"Maura, di sini tidak ada orang lain selain kita. Kamu masih mau berpura-pura bahwa kamu amnesia? Apa kamu pikir saya mudah dibodohi?" Pria yang bernama Dewangga itu balik bertanya dengan raut wajah yang menggambarkan sebuah amarah tertahan. Matanya yang dingin, bagaikan sebilah pisau yang siap menusuk jantung Maura kapanpun.

"Aku gak berpura-pura, Dewangga. Aku membawa berkas kesehatan yang menyatakan bahwa aku benar-benar amnesia," jawab Maura sambil meletakkan berkas kesehatannya di meja.

"Lantas, kamu pikir saya akan percaya dengan isi berkas itu?"

Maura menatap wajah Dewangga dengan pandangan rumit. Jelas Maura bingung.

"Kamu menuduhku memalsukan isi berkas ini, Dewangga?" tanya Maura tak percaya.

"Kamu selalu punya banyak trik murahan, Maura. Amnesia ini salah satu trik murahanmu, kan, agar aku tak menceraikanmu?" tuduh Dewangga.

Maura terhenyak. Pria di depannya benar-benar telah menuduhnya berdusta?

Dia mulai memahami beberapa hal yang selama ini menjadi pertanyaan di hatinya. Sepertinya dia dan suaminya tak memiliki hubungan harmonis. Kesalahpahaman apa yang mereka miliki?

"Gak apa-apa kalau kamu gak percaya sama aku. Kamu bisa cari tahu sendiri apa aku amnesia beneran atau bohongan," jawab Maura lirih.

Maura menunduk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Dia tak berharap air matanya jatuh.

"Kamu tahu? Akan ada konsekuensi yang harus kamu terima kalau kamu berani menipu saya lagi," ujar Dewangga dengan rahang mengeras.

Lagi?

Maura terbelalak. Ucapan pria itu memantik rasa ingin tahu Maura. Wanita itu mengangkat wajahnya menatap Dewangga.

"Menipu kamu lagi? Jadi maksudmu, sebelumnya aku pernah menipu kamu?"

"Ya."

Maura menelan ludahnya. Dia menatap sepasang manik mata yang sedingin es menghujam tepat ke ulu hatinya.

"A-aku pernah menipu apa?" tanya Maura gelisah.

Dia melupakan segalanya. Dia tak ingat lagi kesalahan apa yang pernah dibuatnya di masa lalu.

Wajah Dewangga terlihat marah. Tangannya terkepal kuat ketika mengingat kejadian beberapa tahun silam.

"Kamu ingin mengungkit kenangan buruk saya, Maura? Apa kamu berani membuat suasana hati saya berantakan?"

Maura terdiam menatap pria itu. Dia butuh jawaban tetapi juga tak ingin membuat pria di depannya meledak karena emosi.

"Aku ...."

Wanita itu menghela napas berat. Hidupnya sudah terasa cukup sulit semenjak dia terbangun dan tak mengenal siapapun.

Dia merasa masa lalunya bagaikan mimpi panjang yang tak bisa diingatnya dalam sadar.

Masih beruntung saat dia mengalami kecelakaan di Perancis, ada Lusi yang pergi bersamanya sehingga ada seseorang yang menjaga dan memberi tahunya banyak hal.

"Boleh aku tahu, kenapa kita menikah kalau akhirnya kita akan bercerai?" Maura mengganti pertanyaannya dengan hati-hati.

Dewangga mengerutkan alisnya sambil menarik napas berat. Kentara sekali dia tak suka dengan pertanyaan itu. Emosinya semakin tergambar jelas.

"Maura, kamu benar-benar ingin mengungkit masa lalu saya yang buruk," jawab Dewangga dingin.

Maura merasa pertanyaan yang diajukannya salah. Tapi, pertanyaan itu sudah terlontar dan tak bisa ditarik lagi. Dia memang sangat penasaran.

Sungguh, Maura ingin tahu lebih banyak mengenai kehidupan yang pernah dijalaninya dahulu. Ada ratusan pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya.

Dia berharap suaminya menantikan kepulangannya dan berbagi cerita indah mereka. Namun kini harapan itu tak akan pernah terwujud.

"Tiga tahun lalu sebelum kita menikah, kamu menjebak saya di kamar hotel saat saya menghadiri sebuah pesta," ujar Dewangga dengan rahang mengeras sambil menatap Maura tajam.

Andaikan tatapan bisa membunuh seseorang, mungkin Maura sudah terluka parah saat itu.

"Menjebak?" Maura terkejut, tak percaya.

"Ya. Entah cara apa yang kamu pakai, tiba-tiba saja kita berada di dalam satu kamar yang sama tanpa pakaian," lanjut Dewangga dengan tatapan jijik.

Mulut Maura terbuka. Dia menatap pria itu dengan mata terbelalak lebar.

"Saat itu kamu mencampurkan obat bius ke dalam minuman saya, Maura," jawab Dewangga dengan pandangan merendahkan. "Oma Ambar yang memergoki kita memaksa saya untuk menikahimu dengan dalih menjaga nama baik dua keluarga."

"Gak mungkin!" ujar Maura setengah berteriak sambil menggeleng. Dia tak percaya ada kejadian seburuk itu. "Aku gak mungkin ngelakuin hal rendahan seperti itu!"

"Ya. Kamu memang sudah melakukan hal rendahan, Maura," tuduh Dewangga kejam. "Kamu masih tetap mau mengelak seperti biasa?"

Maura mematung dengan raut wajah kebingungan. Dia mencoba mengingat masa lalu, tetapi kepalanya berdenyut dan berdengung hebat sehingga membuat wajah lelahnya memucat.

Sungguh, Maura merasa sangat menderita dan tak berdaya dengan kondisinya yang sekarang.

Haruskah dia menerima tuduhan itu? Apa benar dia serendah dan selicik itu?

"Sampai kapanpun, saya tak akan pernah lupa dengan kejadian itu, Maura," lanjut Dewangga sambil mengepalkan tangannya menahan amarah. "Jadi, jangan harap kamu bisa bahagia dalam pernikahan ini karena saya akan membuat kamu menderita."

Napas Maura tercekat. Dia merasakan atmosfer di sekitarnya penuh tekanan. Dia berusaha tenang dan tak memaksakan diri mengingat terlalu keras agar kepalanya tak sakit.

Dia menunduk menatap karpet coklat yang dipijaknya. Air matanya mulai menggenang kembali, tetapi dia menahannya agar tak jatuh.

"Kalau begitu ... supaya suasana hatimu gak semakin buruk, aku pamit ke kamar. Aku belum istirahat sama sekali, Dewangga," pinta Maura yang sudah ingin pergi dari sana semenjak memasuki ruangan itu sambil mengurut kepalanya.

"Aku cuma bisa ninggalin berkas kesehatanku di sini. Kamu harus membuka dan membacanya."

"Ambil lagi. Saya tak butuh berkas itu," ujar Dewangga tak berminat. "Yang saya mau, berkas perceraian kita sudah ditandatangani."

"Kalau itu ... aku gak ingat apa aku udah tanda tangan atau belum. Aku juga gak ingat di mana aku menyimpan berkasnya," jawab Maura dengan suara bergetar.

Dewangga mengangkat kelopak matanya sambil memiringkan kepalanya. Dia memandang wajah pucat Maura dengan tajam.

"Aku akan mencarinya nanti," ujar Maura tertekan.

"Tidak perlu," jawab Dewangga sambil berdiri dan berjalan dengan tenang ke arah meja kerjanya.

"Mungkin berkas itu sudah kamu robek dan buang. Jadi, saya sudah menyiapkan berkas lain," lanjut pria itu sambil membawa sebuah map hitam dan meletakkannya dengan kasar di meja, tepat di depan Maura.

"Ini berkas perceraian kita. Inti dari isi berkas ini adalah kita berpisah secara baik-baik dan suka rela," ujar Dewangga dengan nada bicara yang lebih tenang. "Kamu bisa meninggalkan rumah ini paling lambat seminggu setelah berkas itu ditandatangani."

"Satu lagi. Tanpa ada harta gono gini. Kita tak memiliki anak."

Maura terdiam menatap deretan tinta hitam di atas kertas itu. Dalam waktu seminggu, dia harus pergi. Tapi, dia sama sekali tak memiliki tempat tujuan. Apa yang harus dilakukannya?

"Saya beri kamu waktu setengah jam untuk membaca berkas itu," lanjut Dewangga berjalan kembali menuju meja kerjanya dan duduk di kursi, kemudian dia menatap ke luar jendela sambil menyalakan sebatang rokok.

Maura menggapai berkas itu dengan tangan bergetar. Berbagai pikiran bergulat di benaknya.

Kali ini Maura menatap Dewangga yang tak acuh dengan mata yang benar-benar basah. Dia tak bisa lagi menahan air matanya. Sungguh, Maura sangat tertekan.

Maura menyeka pipinya. Tanpa sadar dia menghela napas panjang dan berat sehingga mengalihkan perhatian Dewangga dari pikirannya.

Mata Maura terpaku pada sekumpulan teks di atas kertas, namun fokusnya tak ke sana.

"Maura, kamu sudah selesai membaca?"

Dewangga berdiri menjulang di dekat Maura tanpa wanita itu sadari.

"Aku ...." Maura mendongak.

"Kalau kamu sudah selesai membaca, segera tandatangani berkasnya," ujar Dewangga sambil meletakkan sebuah pena bertinta hitam di meja dengan sama kasarnya seperti ketika pria itu meletakkan berkas perceraian mereka.

Maura kembali menarik napasnya panjang sambil meraih pena itu. Dia tertegun menatap namanya di sana.

Beragam pikiran dan pertimbangan muncul silih berganti bagaikan benang kusut.

"Maura, apa yang kamu tunggu? Ayo, tanda tangan," desak Dewangga sambil duduk di depan wanita itu dengan tak sabar.

Maura mengangkat wajahnya dan menatap Dewangga tepat ke maniknya yang gelap.

Semenjak mereka bertemu beberapa waktu lalu, pria itu tak pernah tersenyum padanya. Alisnya selalu berkerut seolah selalu marah.

Nada bicaranya pun tak pernah enak didengar. Bahkan, pria itu tak sekalipun menanyakan keadaan kesehatannya hingga saat ini.

Dari sikap dan caranya bicara, Maura tahu bahwa Dewangga sangat membencinya.

Wanita itu pun mencondongkan tubuhnya ke depan, bersiap untuk memberikan coretan di atas namanya.

Namun, baru saja ujung pena itu menyentuh permukaan kertas, dia terdiam.

"Ada apa, Maura? Apa lagi yang kamu tunggu?" tanya Dewangga tak sabar.

Maura mengangkat wajahnya dengan raut yang polos dan jujur. "Dewangga, aku lupa seperti apa tanda tanganku."

Dewangga menarik napasnya panjang sambil memejamkan kedua matanya. Tangannya terkepal menahan amarah.

"Kamu lupa dengan tanda tanganmu sendiri?" tanyanya dengan rahang mengeras.

Maura mengangguk takut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status