Share

Bab 2. HARUS BERTAHAN

Suhu udara di ruang kerja terasa turun beberapa derajat selsius. Maura merasakan perasaan dingin yang menusuk pori-pori.

"Jadi, kamu masih mau berlagak amnesia?" tanya Dewangga yang kesabarannya semakin menipis.

"Aku memang amnesia, Dewangga."

Air mata Maura kembali menggenang mengaburkan pandangannya. Dia tak tahu bagaimana caranya meyakinkan pria itu bahwa dirinya tak berbohong.

Maura menunduk dalam-dalam sambil menggenggam erat pena hitam. Detik berikutnya air matanya tumpah membasahi pipinya lagi.

Dia menyeka wajahnya. Suara sesenggukkan dari tangisnya mulai terdengar amat pelan dan tertahan.

"Ini berkas pemeriksaan kesehatanku. Harusnya kamu baca walaupun hanya sebentar," kata Maura putus asa sambil menyodorkan berkas kesehatannya yang tadi ditolak pria itu.

Dewangga menghela napasnya kasar. Ini pertama kalinya dalam tiga tahun pernikahan mereka, dia melihat Maura menangis seberapapun kerasnya dia membuat wanita itu menderita di rumahnya.

Dewangga pun mengambil berkas kesehatan itu dengan kasar, kemudian membaca isinya sekilas.

Sejenak kemudian dia mengangkat kelopak matanya dan memandang Maura yang tertunduk sambil mengusap pipinya.

Maura mengangkat wajahnya. Pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Dewangga yang dingin.

Walaupun pria itu adalah suaminya, dia merasa mereka sangat asing.

Maura tahu mempertahankan pernikahan yang seperti itu hanya akan membuang-buang waktu mereka.

"Aku akan belajar membuat tanda tanganku lagi," ucap Maura dengan suara hampir serak. "Beri aku waktu, Dewangga."

"Berapa lama? Sehari? Dua hari?"

Maura menenangkan diri agar tak kembali menangis. "Aku masih amnesia. Aku butuh waktu sedikit banyak."

"Berapa lama?"

"Mungkin ... setahun?" ujar Maura ragu.

"Kamu gila? Kamu meminta saya menunggu selama itu, Maura? Kamu mau mempermainkan saya?" tanya Dewangga marah sambil berdiri dan membanting berkas kesehatan Maura ke meja.

"Setahun akan cepat berlalu tanpa terasa, Dewangga," ujar Maura gelagapan dan putus asa. "Lagi pula keadaanku masih amnesia. Aku butuh waktu untuk pulih."

"Tanpa terasa kamu bilang?" ucap Dewangga berapi-api. "Tiga tahun ini saya sudah sering kali muak terhadapmu, Maura!"

Maura menunduk gelisah. "Kecelakaan dan mengalami amnesia bukanlah keinginanku," ujarnya dengan perasaan campur aduk. Wanita itu hampir menangis lagi.

"Aku tak bisa mengingat apapun. Bahkan aku lupa dengan keluargaku sendiri," lanjut Maura. "Aku hanya butuh waktu untuk mempersiapkan segalanya sebelum kita resmi berpisah."

Dewangga kembali duduk sambil berusaha meredam amarahnya.

"Kalau kamu keberatan ... delapan bulan saja. Beri aku waktu delapan bulan."

"Tidak bisa!" tolak Dewangga keras. "Saya tak mau membuang-buang waktu lagi."

"Tapi ...."

"Tiga bulan," ujar Dewangga. Nada bicara pria itu lebih terkontrol. "Saya beri kamu waktu tiga bulan."

"Tiga bulan?" Maura termenung.

Dia tak tahu apakah waktu sesingkat itu akan cukup baginya untuk mempersiapkan segalanya atau tidak. Tapi dia tak punya pilihan.

"Ya. Saya beri kamu waktu tiga bulan untuk tinggal di sini," ujar Dewangga. "Dan saya beri kamu waktu tiga hari untuk belajar lagi membuat tanda tangan. Setelah tiga hari, kamu tetap harus menandatangani surat cerai ini. Setelah tiga bulan, surat cerai ini akan saya bawa untuk segera diproses," ucap Dewangga sambil meraih berkas cerai mereka.

Maura tertunduk dengan beragam pikiran campur aduk.

"Jangan serakah, Maura. Tiga bulan harusnya cukup untukmu bersiap-siap pergi dari rumah ini," ujar Dewangga dengan amarah yang mulai mereda. "Saya sudah cukup berbelas kasih. Jadi, jangan pernah menjadi orang yang tamak dan tak tahu diri."

"Baiklah." Maura mengangguk setelah memikirkan beberapa pertimbangan secara singkat. "Setelah tiga bulan, kamu bisa hidup tenang tanpaku."

"Ya, setelah tiga bulan saya akan hidup tenang tanpa kamu," ujar Dewangga. "Tapi ...."

"Tapi apa?" Maura menatap pria itu dengan gugup.

Dewangga mencondongkan tubuhnya ke depan. Tatapan matanya menghujam dingin dan mengancam.

"Selama tiga bulan ini, saya tak akan membiarkan kamu hidup tenang di rumah ini."

Maura menelan ludahnya. Matanya terbelalak menatap Dewangga yang bersungguh-sungguh.

"Selama kamu tinggal di rumah ini, kamu urus sendiri kebutuhanmu. Bersihkan sendiri pakaian dan kamarmu. Mulai hari ini, tak ada lagi orang yang akan melayanimu," lanjut pria itu.

Dewangga memeriksa arloji di pergelangan tangannya. Dia berdiri sambil merapikan kemeja dan jasnya, kemudian menyimpan berkas perceraian itu di laci meja kerjanya dan berlalu pergi meninggalkan Maura dengan membawa beberapa map.

Keheningan dan kehampaan menyergap hati dan pikiran Maura. Wanita itu menarik napas lagi entah yang keberapa kalinya.

Dia berdiri dengan tubuh lelah sambil meraih berkas kesehatannya dan pergi meninggalkan ruang kerja Dewangga yang penuh aroma buku.

Ketika dia hendak menuju kamarnya, Maura melewati ruang tengah yang sunyi.

Di sana dia melihat seorang wanita cantik tengah duduk tersenyum sambil membaca sebuah majalah bisnis dengan secangkir teh hangat di tangannya. Seketika pandangan mata mereka bertemu.

"Kenapa melihatku seperti itu, Maura?" tanya wanita itu sambil meletakkan cangkir tehnya di meja dengan elegan.

"Anda siapa? Anda mengenal saya?" tanya Maura dengan alis berkerut.

Wanita itu berdiri sambil meletakkan majalah yang dibacanya di meja dan tersenyum. Sungguh, dia terlihat semakin cantik dan menawan dengan senyumnya.

"Jadi kamu beneran amnesia?" tanyanya setengah mengejek.

Maura semakin mengerutkan alisnya.

"Aku Alena, saudara tiri kamu. Kamu nggak ingat?"

Maura tertegun. Dia pernah mendengar nama Alena dari Lusi saat Lusi menceritakan sedikit tentang keluarganya. Lusi bilang, hubungan mereka tak begitu akur bahkan mereka sering bertengkar.

"Untuk apa kamu ke sini?" tanya Maura tak senang. "Kamu ... datang bukan untuk menjengukku, kan?"

Alena tersenyum mencibir. Kendati begitu, dia masih terlihat begitu cantik. "Menjengukmu? Apa aku kurang kerjaan?"

"Alena, berkas kemarin apa sudah kamu siapkan?" tanya Dewangga yang datang dari arah tangga sambil membawa tas kerja dan menghampiri wanita itu.

"Sudah." Alena mengangguk.

"Apa ada masalah?" tanya Dewangga lagi, menaruh perhatian pada Alena tanpa menyadari bahwa tak jauh dari sana ada Maura.

"Nggak ada, kok. Semuanya berjalan baik. Kamu bisa memeriksanya siang ini." Alena tersenyum lembut sambil memandang Dewangga dengan tatapan memuja.

"Baguslah. Saya tahu kamu bisa diandalkan," ujar Dewangga sambil tersenyum dan menepuk ringan pundak wanita itu.

Maura memegang dadanya. Ada perasaan aneh menelusup masuk ke hati.

"Ayo, kita berangkat," ajak Dewangga pada Alena.

"Kalian akan pergi bersama?"

Lontaran pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Maura sehingga Dewangga menoleh ke arahnya.

Dewangga menatap Maura dengan pandangan dingin.

"Ya," jawab pria itu singkat.

"Ayo, Dewangga. Hari semakin siang," ujar Alena tersenyum sambil mengulurkan tangannya dan memegang lengan pria itu.

Keduanya berlalu dari sana sambil mengobrol perihal pekerjaan dan meninggalkan Maura yang semakin tertegun.

Maura melihat Dewangga tersenyum hangat menatap Alena sambil keduanya berjalan beriringan.

Itu pertama kalinya bagi Maura melihat pria itu tersenyum. Hanya saja, senyumannya bukan untuknya.

"Apa mungkin mereka punya hubungan khusus?" gumam Maura perlahan.

Entah mengapa hati Maura berdenyut sakit ketika dia memikirkan kemungkinan itu.

Maura menggeleng menepis pikiran buruknya.

"Aku harus istirahat. Habis itu, aku mau ketemu sama papa."

***

Maura tiba-tiba terbangun dari tidur lelapnya. Dia segera menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh.

"Apa sekarang udah malam? Kenapa gak ada yang bangunin aku?" ujar Maura sambil turun dari tempat tidur dengan terburu-buru dan mengenakan sandalnya.

Dilihatnya langit di luar masih terang, padahal dia merasa sudah lama tertidur.

"Kenapa masih pukul sebelas siang," ujarnya sambil melirik jam di atas nakas.

Semenjak amnesia, dia sering merasa tertidur cukup lama, padahal waktu bergulir baru beberapa jam.

Maura menghela napasnya. Perutnya terasa lapar karena semenjak turun dari pesawat dan tiba di rumah, dia belum makan apapun.

Dia pun segera pergi menuju ruang makan dengan rambut sedikit berantakan dan make-up tebal yang belum dibersihkannya.

"Mbok, tolong siapin makan siang," pinta Maura pada seorang wanita paruh baya yang sedang mengelap beberapa gelas wine.

Wanita paruh baya itu menatap Maura dengan gugup, seolah melihat hantu.

"Maaf, Nyonya. Tuan Dewangga sudah berpesan tadi pagi bahwa saya ataupun asisten rumah tangga yang lain tak boleh melayani Nyonya lagi seperti dulu," tolaknya sambil menggenggam erat kain lap di tangannya. "Kalau Nyonya mau makan, Nyonya bisa bikin sendiri di dapur."

Maura tertegun. Dia ingat dengan ucapan pria itu tadi pagi. Pria itu sungguh tak main-main dengan ucapannya.

"Baiklah."

Maura pun beranjak ke dapur yang letaknya bersebelahan dengan ruang makan.

"Apa aku bisa masak sesuatu?" tanya Maura pada dirinya.

Maura menatap beberapa bahan makanan di depannya. Dia kebingungan. Tak ada satupun ide yang terlintas di benaknya.

Dia tak tahu harus membuat apa dan bagaimana cara membuat masakan.

Maura memilih opsi yang mungkin paling mudah. Dia menggoreng sebuah telur dengan canggung.

"Hambar. Aku lupa masukin garam," gumam Maura perlahan saat telur goreng buatannya yang hampir gosong telah berpindah ke piring.

Dia menggoreng telur lain, namun telurnya terlalu asin sehingga dia tak sanggup untuk memakannya.

Sampai percobaan ke lima, dia baru berhasil membuat telur goreng yang sedikit gosong di pinggirannya namun masih layak dimakan menurut versinya.

"Ya, udah. Yang ini aja."

Maura tersenyum cukup puas.

Dia teringat hari-hari tersulit dalam hidupnya ketika nyawanya hampir terenggut dan hanya ada Lusi di sampingnya.

Kematiannya saja berhasil dia taklukkan, mengapa dia harus menyerah karena tak bisa memasak telur?

Maura berjanji, sesulit apapun dia hidup di rumah itu, dia yakin bisa bertahan. Ya, Maura harus bertahan.

Dibawanya telur itu menuju meja makan. Tetapi, baru saja beberapa langkah meninggalkan dapur, dia mendengar percakapan seseorang yang tak jauh darinya.

"Kasihan nyonya Maura. Setelah dia amnesia, dia gak boleh dilayani lagi seperti dulu," ucap seseorang sambil mengelap sebuah guci berukuran besar.

"Apanya yang kasihan? Biar dia tahu rasa!" ujar seorang wanita paruh baya yang juga sedang mengelap guci lain dengan nada puas. "Nyonya Maura kan jahat, biar aja dia susah sendiri. Sok-sokan bikin telur goreng. Palingan juga gosong."

Maura menggenggam erat piring di tangannya. Ada rasa sedih dan juga marah.

Sebenarnya dia pernah berbuat jahat apa pada mereka? Mengapa mereka mengatakan hal seperti itu?

Majikan dan pembantu, mereka sama-sama menindasnya dalam keadaannya yang sekarang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status