Suhu udara di ruang kerja terasa turun beberapa derajat selsius. Maura merasakan perasaan dingin yang menusuk pori-pori.
"Jadi, kamu masih mau berlagak amnesia?" tanya Dewangga yang kesabarannya semakin menipis."Aku memang amnesia, Dewangga."Air mata Maura kembali menggenang mengaburkan pandangannya. Dia tak tahu bagaimana caranya meyakinkan pria itu bahwa dirinya tak berbohong.Maura menunduk dalam-dalam sambil menggenggam erat pena hitam. Detik berikutnya air matanya tumpah membasahi pipinya lagi.Dia menyeka wajahnya. Suara sesenggukkan dari tangisnya mulai terdengar amat pelan dan tertahan."Ini berkas pemeriksaan kesehatanku. Harusnya kamu baca walaupun hanya sebentar," kata Maura putus asa sambil menyodorkan berkas kesehatannya yang tadi ditolak pria itu.Dewangga menghela napasnya kasar. Ini pertama kalinya dalam tiga tahun pernikahan mereka, dia melihat Maura menangis seberapapun kerasnya dia membuat wanita itu menderita di rumahnya.Dewangga pun mengambil berkas kesehatan itu dengan kasar, kemudian membaca isinya sekilas.Sejenak kemudian dia mengangkat kelopak matanya dan memandang Maura yang tertunduk sambil mengusap pipinya.Maura mengangkat wajahnya. Pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Dewangga yang dingin.Walaupun pria itu adalah suaminya, dia merasa mereka sangat asing.Maura tahu mempertahankan pernikahan yang seperti itu hanya akan membuang-buang waktu mereka."Aku akan belajar membuat tanda tanganku lagi," ucap Maura dengan suara hampir serak. "Beri aku waktu, Dewangga.""Berapa lama? Sehari? Dua hari?"Maura menenangkan diri agar tak kembali menangis. "Aku masih amnesia. Aku butuh waktu sedikit banyak.""Berapa lama?""Mungkin ... setahun?" ujar Maura ragu."Kamu gila? Kamu meminta saya menunggu selama itu, Maura? Kamu mau mempermainkan saya?" tanya Dewangga marah sambil berdiri dan membanting berkas kesehatan Maura ke meja."Setahun akan cepat berlalu tanpa terasa, Dewangga," ujar Maura gelagapan dan putus asa. "Lagi pula keadaanku masih amnesia. Aku butuh waktu untuk pulih.""Tanpa terasa kamu bilang?" ucap Dewangga berapi-api. "Tiga tahun ini saya sudah sering kali muak terhadapmu, Maura!"Maura menunduk gelisah. "Kecelakaan dan mengalami amnesia bukanlah keinginanku," ujarnya dengan perasaan campur aduk. Wanita itu hampir menangis lagi."Aku tak bisa mengingat apapun. Bahkan aku lupa dengan keluargaku sendiri," lanjut Maura. "Aku hanya butuh waktu untuk mempersiapkan segalanya sebelum kita resmi berpisah."Dewangga kembali duduk sambil berusaha meredam amarahnya."Kalau kamu keberatan ... delapan bulan saja. Beri aku waktu delapan bulan.""Tidak bisa!" tolak Dewangga keras. "Saya tak mau membuang-buang waktu lagi.""Tapi ....""Tiga bulan," ujar Dewangga. Nada bicara pria itu lebih terkontrol. "Saya beri kamu waktu tiga bulan.""Tiga bulan?" Maura termenung.Dia tak tahu apakah waktu sesingkat itu akan cukup baginya untuk mempersiapkan segalanya atau tidak. Tapi dia tak punya pilihan."Ya. Saya beri kamu waktu tiga bulan untuk tinggal di sini," ujar Dewangga. "Dan saya beri kamu waktu tiga hari untuk belajar lagi membuat tanda tangan. Setelah tiga hari, kamu tetap harus menandatangani surat cerai ini. Setelah tiga bulan, surat cerai ini akan saya bawa untuk segera diproses," ucap Dewangga sambil meraih berkas cerai mereka.Maura tertunduk dengan beragam pikiran campur aduk."Jangan serakah, Maura. Tiga bulan harusnya cukup untukmu bersiap-siap pergi dari rumah ini," ujar Dewangga dengan amarah yang mulai mereda. "Saya sudah cukup berbelas kasih. Jadi, jangan pernah menjadi orang yang tamak dan tak tahu diri.""Baiklah." Maura mengangguk setelah memikirkan beberapa pertimbangan secara singkat. "Setelah tiga bulan, kamu bisa hidup tenang tanpaku.""Ya, setelah tiga bulan saya akan hidup tenang tanpa kamu," ujar Dewangga. "Tapi ....""Tapi apa?" Maura menatap pria itu dengan gugup.Dewangga mencondongkan tubuhnya ke depan. Tatapan matanya menghujam dingin dan mengancam."Selama tiga bulan ini, saya tak akan membiarkan kamu hidup tenang di rumah ini."Maura menelan ludahnya. Matanya terbelalak menatap Dewangga yang bersungguh-sungguh."Selama kamu tinggal di rumah ini, kamu urus sendiri kebutuhanmu. Bersihkan sendiri pakaian dan kamarmu. Mulai hari ini, tak ada lagi orang yang akan melayanimu," lanjut pria itu.Dewangga memeriksa arloji di pergelangan tangannya. Dia berdiri sambil merapikan kemeja dan jasnya, kemudian menyimpan berkas perceraian itu di laci meja kerjanya dan berlalu pergi meninggalkan Maura dengan membawa beberapa map.Keheningan dan kehampaan menyergap hati dan pikiran Maura. Wanita itu menarik napas lagi entah yang keberapa kalinya.Dia berdiri dengan tubuh lelah sambil meraih berkas kesehatannya dan pergi meninggalkan ruang kerja Dewangga yang penuh aroma buku.Ketika dia hendak menuju kamarnya, Maura melewati ruang tengah yang sunyi.Di sana dia melihat seorang wanita cantik tengah duduk tersenyum sambil membaca sebuah majalah bisnis dengan secangkir teh hangat di tangannya. Seketika pandangan mata mereka bertemu."Kenapa melihatku seperti itu, Maura?" tanya wanita itu sambil meletakkan cangkir tehnya di meja dengan elegan."Anda siapa? Anda mengenal saya?" tanya Maura dengan alis berkerut.Wanita itu berdiri sambil meletakkan majalah yang dibacanya di meja dan tersenyum. Sungguh, dia terlihat semakin cantik dan menawan dengan senyumnya."Jadi kamu beneran amnesia?" tanyanya setengah mengejek.Maura semakin mengerutkan alisnya."Aku Alena, saudara tiri kamu. Kamu nggak ingat?"Maura tertegun. Dia pernah mendengar nama Alena dari Lusi saat Lusi menceritakan sedikit tentang keluarganya. Lusi bilang, hubungan mereka tak begitu akur bahkan mereka sering bertengkar."Untuk apa kamu ke sini?" tanya Maura tak senang. "Kamu ... datang bukan untuk menjengukku, kan?"Alena tersenyum mencibir. Kendati begitu, dia masih terlihat begitu cantik. "Menjengukmu? Apa aku kurang kerjaan?""Alena, berkas kemarin apa sudah kamu siapkan?" tanya Dewangga yang datang dari arah tangga sambil membawa tas kerja dan menghampiri wanita itu."Sudah." Alena mengangguk."Apa ada masalah?" tanya Dewangga lagi, menaruh perhatian pada Alena tanpa menyadari bahwa tak jauh dari sana ada Maura."Nggak ada, kok. Semuanya berjalan baik. Kamu bisa memeriksanya siang ini." Alena tersenyum lembut sambil memandang Dewangga dengan tatapan memuja."Baguslah. Saya tahu kamu bisa diandalkan," ujar Dewangga sambil tersenyum dan menepuk ringan pundak wanita itu.Maura memegang dadanya. Ada perasaan aneh menelusup masuk ke hati."Ayo, kita berangkat," ajak Dewangga pada Alena."Kalian akan pergi bersama?"Lontaran pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Maura sehingga Dewangga menoleh ke arahnya.Dewangga menatap Maura dengan pandangan dingin."Ya," jawab pria itu singkat."Ayo, Dewangga. Hari semakin siang," ujar Alena tersenyum sambil mengulurkan tangannya dan memegang lengan pria itu.Keduanya berlalu dari sana sambil mengobrol perihal pekerjaan dan meninggalkan Maura yang semakin tertegun.Maura melihat Dewangga tersenyum hangat menatap Alena sambil keduanya berjalan beriringan.Itu pertama kalinya bagi Maura melihat pria itu tersenyum. Hanya saja, senyumannya bukan untuknya."Apa mungkin mereka punya hubungan khusus?" gumam Maura perlahan.Entah mengapa hati Maura berdenyut sakit ketika dia memikirkan kemungkinan itu.Maura menggeleng menepis pikiran buruknya."Aku harus istirahat. Habis itu, aku mau ketemu sama papa."***Maura tiba-tiba terbangun dari tidur lelapnya. Dia segera menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh."Apa sekarang udah malam? Kenapa gak ada yang bangunin aku?" ujar Maura sambil turun dari tempat tidur dengan terburu-buru dan mengenakan sandalnya.Dilihatnya langit di luar masih terang, padahal dia merasa sudah lama tertidur."Kenapa masih pukul sebelas siang," ujarnya sambil melirik jam di atas nakas.Semenjak amnesia, dia sering merasa tertidur cukup lama, padahal waktu bergulir baru beberapa jam.Maura menghela napasnya. Perutnya terasa lapar karena semenjak turun dari pesawat dan tiba di rumah, dia belum makan apapun.Dia pun segera pergi menuju ruang makan dengan rambut sedikit berantakan dan make-up tebal yang belum dibersihkannya."Mbok, tolong siapin makan siang," pinta Maura pada seorang wanita paruh baya yang sedang mengelap beberapa gelas wine.Wanita paruh baya itu menatap Maura dengan gugup, seolah melihat hantu."Maaf, Nyonya. Tuan Dewangga sudah berpesan tadi pagi bahwa saya ataupun asisten rumah tangga yang lain tak boleh melayani Nyonya lagi seperti dulu," tolaknya sambil menggenggam erat kain lap di tangannya. "Kalau Nyonya mau makan, Nyonya bisa bikin sendiri di dapur."Maura tertegun. Dia ingat dengan ucapan pria itu tadi pagi. Pria itu sungguh tak main-main dengan ucapannya."Baiklah."Maura pun beranjak ke dapur yang letaknya bersebelahan dengan ruang makan."Apa aku bisa masak sesuatu?" tanya Maura pada dirinya.Maura menatap beberapa bahan makanan di depannya. Dia kebingungan. Tak ada satupun ide yang terlintas di benaknya.Dia tak tahu harus membuat apa dan bagaimana cara membuat masakan.Maura memilih opsi yang mungkin paling mudah. Dia menggoreng sebuah telur dengan canggung."Hambar. Aku lupa masukin garam," gumam Maura perlahan saat telur goreng buatannya yang hampir gosong telah berpindah ke piring.Dia menggoreng telur lain, namun telurnya terlalu asin sehingga dia tak sanggup untuk memakannya.Sampai percobaan ke lima, dia baru berhasil membuat telur goreng yang sedikit gosong di pinggirannya namun masih layak dimakan menurut versinya."Ya, udah. Yang ini aja."Maura tersenyum cukup puas.Dia teringat hari-hari tersulit dalam hidupnya ketika nyawanya hampir terenggut dan hanya ada Lusi di sampingnya.Kematiannya saja berhasil dia taklukkan, mengapa dia harus menyerah karena tak bisa memasak telur?Maura berjanji, sesulit apapun dia hidup di rumah itu, dia yakin bisa bertahan. Ya, Maura harus bertahan.Dibawanya telur itu menuju meja makan. Tetapi, baru saja beberapa langkah meninggalkan dapur, dia mendengar percakapan seseorang yang tak jauh darinya."Kasihan nyonya Maura. Setelah dia amnesia, dia gak boleh dilayani lagi seperti dulu," ucap seseorang sambil mengelap sebuah guci berukuran besar."Apanya yang kasihan? Biar dia tahu rasa!" ujar seorang wanita paruh baya yang juga sedang mengelap guci lain dengan nada puas. "Nyonya Maura kan jahat, biar aja dia susah sendiri. Sok-sokan bikin telur goreng. Palingan juga gosong."Maura menggenggam erat piring di tangannya. Ada rasa sedih dan juga marah.Sebenarnya dia pernah berbuat jahat apa pada mereka? Mengapa mereka mengatakan hal seperti itu?Majikan dan pembantu, mereka sama-sama menindasnya dalam keadaannya yang sekarang.Dewangga duduk di tepi ranjang kosong di kamar yang pernah Maura tempati di rumahnya sendiri. Semenjak wanita itu pergi dari sana, dia sering sekali memasuki kamar itu hanya untuk duduk diam dan merenung. Terkadang, dia juga tertidur di sana ditemani aroma stroberi yang tertinggal. Aroma kesukaan Maura. Bukankah bagus karena Maura sudah pergi dari rumahnya? Bukankah ini berita menggembirakan? Mengapa dia tetap saja merasa tak senang padahal sudah lewat dua minggu? Berkali-kali dia menghibur dirinya sendiri, namun selalu gagal. Ditatapnya sebuah gaun pink yang dibelinya untuk wanita itu. Gaun itu tergantung rapi dan bersih di atas standing hanger sebelah meja rias. Mengapa wanita itu meninggalkan gaunnya? Apakah dia tak menyukainya? Beberapa kali pria itu sempat meraih ponselnya, mengetik sebuah pesan untuk Maura, berniat menanyakan kabar atau keberadaannya. Namun berkali-kali pula dia urung melakukannya. ‘Apakah kamu benar-benar rela pergi gitu aja?’ gumamnya ratusan kali saat
Dua minggu berlalu, namun Maura masih belum mendapatkan surat panggilan untuk sidang perceraian, meski dia rutin memeriksa kotak surat maupun surelnya.Selama dua minggu itu, dia sibuk melakukan banyak hal di restoran, yang membuat pikirannya teralihkan dari masalah perpisahannya sehingga saat pulang nanti, dia sudah tak punya tenaga untuk memikirkan apapun lagi dan bisa langsung tidur pulas setelah mandi.“Sebaiknya besok kamu libur,” ujar Andreas begitu Maura hendak berpamitan untuk pulang sore itu bersama beberapa orang lainnya.“Tapi aku masih semangat kerja, Mas,” kata Maura keberatan.“Udah dua minggu kamu kerja terus tanpa ngambil libur, Maura. Kamu mungkin merasa sanggup, tapi lama-lama badan kamu bakal drop, lho,” protes Andreas dengan raut wajah khawatir. “Kamu terlalu memaksakan diri. Di sini, kamu banyak ngerjain apapun. Andy lagi nyuci piring aja kamu ambil alih dengan paksa. Pokoknya besok kamu libur, titik.”Maura membuka mulutnya hendak melayangkan protes, namun urung
“Seperti yang pernah kamu bilang dulu, sekarang aku benar-benar menyesal karena kita menikah. Jadi, ayo kita bercerai, Dewangga.”Bagi Maura, tak mudah mengatakan hal itu. Dia memang sangat mencintai Dewangga.Tentu saja Maura menyesal. Dia menyesal karena tak bisa melihat dengan jelas bahwa hati Dewangga benar-benar tertutup untuknya.Mengapa dia terus menerus melambungkan harapan untuk tetap bersama hingga berharap Dewangga akan membalas cintanya?‘Dewangga tertekan dan tak bahagia bersamaku.’Kenyataan itu sebenarnya sudah disadarinya sejak awal. Namun harapannya yang terlalu tinggi memaksanya untuk bertahan dalam pernikahan yang tak bahagia.Maura juga menyadari bahwa dia tak benar-benar bahagia melihat Dewangga tak bahagia.Dia ingat, mereka selalu bertengkar setiap kali bertemu. Dia juga ingat bahwa dia terlalu menuntut Dewangga agar memperlakukannya seperti seorang istri.Tentu saja Dewangga tak sanggup karena dia terpaksa menikahi Maura.Maura juga tahu, ada banyak kesalahpaha
Hujan baru saja turun saat Dewangga tiba di rumahnya setelah perjalanan dari luar kota.Jadwal yang direncanakan akan selesai dalam waktu seminggu, ternyata bisa diselesaikan dalam beberapa hari.Tak biasanya memang.Dulu, meski urusannya selesai lebih cepat, biasanya dia akan pergi ke suatu tempat atau menginap di tempat lain lebih dulu. Bukan pulang ke rumah dan bertemu Maura yang bersiap menumpahkan kemarahannya karena dia pergi tanpa pamit.Tapi sekarang, rasanya dia ingin langsung pulang, bahkan membelikan oleh-oleh untuknya.“Mia, berikan ini pada Maura,” pinta Dewangga begitu dia masuk dan disambut oleh Mia, sambil menyerahkan paperbag kecil berisi parfum favorit Maura.“Nyonya lagi keluar, Tuan,” jawab Mia sambil menerima paper bag kecil itu. “Mau saya taruh di kamarnya aja?”“Ya, simpan aja di kamarnya. Dan tolong bawakan koper ini ke kamar saya.” Dewangga menyerahkan kopernya, kemudian berjalan ke arah ruang kerja dengan membawa sebuah map hitam.“Ya, Tuan.” Mia dengan cepat
Maura termenung sendirian di ruang kerja Dewangga di rumahnya sambil duduk di sofa, tempat yang dia duduki pertama kali setelah amnesia. Pertama kali dia ke sana saat itu, atmosfernya terasa menyesakkan. Namun setelah datang beberapa kali, dia mulai merasa nyaman dalam kesepian, terlebih sekarang saat ingatannya telah pulih. Bukankah terkadang dulu dia suka pergi ke sana diam-diam hanya untuk menenangkan diri meski Dewangga selalu memarahinya kalau ketahuan? Dia selalu mengobati rasa kesepiannya dengan membayangkan bahwa Dewangga ada di sana bersamanya, menemaninya, meski hanya ditemani sedikit aroma parfumnya yang tertinggal. Wanita itu melihat langit yang gelap. Mungkin akan turun hujan sebentar lagi. Jam di dinding menunjukkan waktu pukul setengah delapan malam. Dia pun berdiri dan berjalan menuju meja kerja Dewangga yang rapi. Dia membuka lacinya. Berkas perjanjian perpisahannya dengan Dewangga masih ada di sana. Dia tak ingin menyentuhnya, takut tergoda untuk merobeknya.
Malam menjelang.Maura tiba di rumah Dewangga sekitar pukul tujuh dan langsung bertemu Mia yang seolah menunggu sesuatu.“Nyonya,” sapa Mia dengan wajah khawatir. “Nyonya baik-baik aja?”Maura tersenyum menatap Mia. Sejak bekerja di rumah itu, Mia selalu memperhatikan segala kebutuhannya, namun dia selalu abai dan sibuk dengan perasaan cintanya yang tak terbalaskan. Seingatnya, dia belum pernah memberikan Mia apapun sebagai rasa terima kasihnya.“Aku baik-baik aja, jangan khawatir,” jawab Maura sambil berjalan masuk rumah lebih dulu.“Bukan saya yang khawatir, Nyonya, tapi tuan,” ujar Mia, membuat Maura menoleh.“Dewangga?”Mia mengangguk.“Ngaco, kamu.” Maura tersenyum tulus sambil berlalu.Tiba di ruang keluarga, dia melihat Dewangga tengah duduk di sofa, sambil menumpukan dagunya di jari-jari tangannya yang saling terjalin, sementara sikunya bertumpu di lututnya.Maura mengerutkan alisnya saat pandangan mata mereka bertemu. Pria itu terlihat gelisah sekaligus marah.“Apa ponselmu b