Dewangga menatap sepasang sepatu yang diserahkan salah satu penjaga keamanan padanya.Itu sepatu Maura, yang di bagian tumitnya terdapat noda pink samar dan juga basah oleh hujan.Noda darah, yang berarti Maura meninggalkan rumah itu tanpa alas kaki dan kakinya terluka.***Hujan masih turun deras seolah sengaja tumpah dan membuat jalanan aspal penuh air. Parit-parit yang biasanya cukup untuk menampung hujan kini membeludak.Dewangga yang tengah menyetir sambil melihat sekitar jalanan yang sepi, segera menghubungi telepon rumahnya, berharap Maura sudah pulang.“Ya, halo?” Suara Mia yang sedikit mengantuk menjawab telepon rumah di ruang tengah.“Mia, apa sekarang Maura udah di rumah?” tanya Dewangga penuh harap.“Sejak Tuan nelpon dan bilang nyonya pergi dari sana, saya dan mbok Narti nungguin di ruang tengah,” jawab Mia. “Tapi nyonya masih belum pulang, Tuan.”“Oke. Kabari kalau dia pulang. Maaf sudah m
“O-oma … aku … aku … hiks, hiks, hiks ….” Tangis Alena pecah, sedikit lebih keras dari yang tadi, membuat semua orang kebingungan. Wanita itu menutupi wajahnya yang memerah menahan malu, menahan isak tangisnya yang tetap keluar lebih banyak. “Jadi, kamu mau mengakui atau nggak?” tanya oma Ambar tegas. “Alena, kamu …. Nggak mungkin kamu ngelakuin itu, kan?” tanya Laura tak percaya, namun Alena tetap menangis. “Jadi kamu beneran nyiram diri kamu sendiri buat nuduh Maura?” Vivian yang juga tak percaya, membulatkan matanya. “Nggak mungkin!” Clara yang masih percaya pada Alena meski kepercayaannya mulai runtuh sedikit demi sedikit, menatap Alena. “Kak, ayo bilang sejujurnya. Kak Ale nggak mungkin ngelakuin hal itu. Ini beneran perbuatan Maura. Ayo, Kak, bilang!” “Cukup, Clara. Apa kamu nggak lihat? Secara nggak langsung dia udah ngasih jawabannya,” ujar Narendra tegas meski hatinya merasa lega.
“Tante … hiks, hiks, hiks …. Jangan dekat-dekat, nanti kena tumpahan jus.” Dengan mata berkaca-kaca, Alena menjaga jarak dari Laura dan Vivian.“Kamu ….” Laura yang menunjuk Maura, sempat kehilangan kata-katanya. “Saya udah ngerasa agak tenang karena kamu nggak bikin ulah di pesta ulang tahun saya, tapi tetep aja ujung-ujungnya kamu malah bikin onar kayak gini.”“Ma, i-itu nggak benar. Aku … aku lihat dia yang nyiram dirinya sendiri pakai jus itu,” jawab Maura sedikit gugup.“Halaahh …. Masa iya, Alena mempermalukan dirinya sendiri kayak gini, sih? Kamu aja yang nggak mau ngaku atas perbuatanmu,” tuduh Vivian dengan wajah galak. “Mentang-mentang kamu disayang sama oma, akhirnya kamu benar-benar ngelunjak.”“Tante, aku—”“Nggak usah cari-cari alasan! Minimal kamu minta maaf, kek!” ujar Laura keras.“Ada apa ini, Ma?” Dewangga yang mendengar keributan segera mendekat bersama Zefan, lalu menatap Alena yang berantakan.“Dia tuh, udah nyiram Alena pakai jus,” tuduh Vivian yakin sambil menu
Maura duduk menyepi di sudut kursi taman yang terlindung dari cahaya lampu, sambil bertelanjang kaki.Sepasang sepatunya, dibiarkan tergeletak rapi di samping.Sejak mendengar gosip-gosip buruk tentang dirinya, dia merasa tak pantas berada di sana, di antara banyaknya orang yang bersuka cita menceritakan keburukannya.Dia butuh waktu dan ruang untuk berdamai dengan segala hal. Dengan dirinya, dengan masa lalunya yang masih terlupakan, serta dengan orang-orang yang memandangnya rendah.Satu persatu tamu pergi. Dia hanya bisa menatap dari kejauhan, bersembunyi di balik kegelapan. Hanya di tempat sepi itu dia merasa sedikit aman.Jam menunjukkan hampir pukul sebelas. Sudah satu jam lamanya dia di sana. Dia yakin, ruang utama tempat diadakannya acara ulang tahun itu mulai sepi dari para tamu.Tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan dari Dewangga masuk.Selama dia memulai hidup barunya setelah kecelakaan dan amnesia, bisa dihitung jari berapa kali pria itu menghubunginya lebih dulu, membu
“Tolong lepasin tangan saya, Tante,” pinta Maura sambil menarik tangannya, namun wanita paruh baya itu enggan dan mencengkeramnya semakin erat, membuat Maura meringis kesakitan.“Saya nggak mau. Saya belum selesai ngomong,” ujar bu Sintia dengan nada suara rendah dan rahang mengeras.“Tante, sebenarnya Tante punya masalah apa sama saya? Kalau saya pernah menyinggung perasaan Tante sebelumnya, saya minta maaf,” kata Maura sambil menarik tangannya lebih kencang, membuat wanita paruh baya itu hampir terjungkal.Bu Sintia merapikan poni tipisnya yang sedikit berantakan sambil menegakkan tubuhnya, sementara Maura menatap pergelangan tangannya yang memerah.“Minta maaf?!” Bu Sintia terlihat semakin marah walaupun suaranya tetap ditahan agar tak menarik perhatian siapapun. “Kamu pernah godain suami saya dengan mengenakan pakaian terbuka. Mentang-mentang punya tubuh bagus. Udah berbulan-bulan sampai sekarang suami saya tergila-gila sama kamu sampai-sampai dia udah nggak mau tidur sekamar sama
“Eh?” Narendra membulatkan matanya, terkejut. “Ma-maksudku … dia … dia—”“Apa mereka putus karena aku dan Dewangga menikah?” tanya Maura, memotong konfirmasi yang hendak dibuat pria itu sambil menatapnya lekat, yang justru sudah cukup memberinya jawaban jelas.Ada harapan kecil di matanya, harapan akan sebuah jawaban yang jujur yang juga dibalut sebuah ketakutan samar. Dia berharap bahwa tebakannya salah. Bukan karena dia, mereka putus.Bukankah tempo hari saat di mall Sandrina sempat mengatakan bahwa dia dan Dewangga lama tak bertemu? Tapi mungkin saja ada sesuatu yang dia tak tahu.“Nggak, lah. Mereka putus jauh sebelum kalian menikah, saat kelulusan SMA. Mereka nggak lagi berkirim kabar karena hilang komunikasi,” jawab pria itu cepat, agar Maura tak salah paham.Maura mengangguk mengerti. Jadi mereka benar-benar baru dipertemukan lagi setelah sekian lama?Kalau mereka putus karena hilang komunikasi, bukankah mereka belum putus secara resmi?“Ngeliat dia ada di sini setelah sekian l