Maura mengerutkan alisnya saat rasa perih dan sakit di intinya mengusik tidur lelapnya.Wanita yang hampir tak bisa menggerakkan ujung jarinya itu membuka matanya perlahan.Pandangan pertamanya tertuju pada langit-langit kamar yang remang, disusul rasa sakit yang kian mengganggu, lalu rasa dingin di permukaan kulitnya yang terbuka.Ada yang tak beres.Ada apa dengan tubuhnya? Mengapa sangat sulit digerakkan? Dan mengapa dia tidur tanpa pakaian? Rasanya ….Maura membeku saat dia menoleh ke samping.Dilihatnya seorang pria tidur terlentang di sisinya, dengan wajah yang sedikit menoleh ke arahnya.Diantara ruangan yang remang-remang, dia mengenal wajah itu.Tidak!Maura memaksakan diri untuk duduk meski tubuhnya sulit digerakkan. Wanita itu menutup mulutnya, menatap Dewangga yang tidur lelap tanpa pakaian di bawah selimut yang sama yang ia kenakan.Maura memastikan lagi tubuhnya yang tanpa busana. Lalu pandangannya berkeliling melihat pakaiannya yang berceceran bersama pakaian Dewangga.
“Aku mau lagi lemon drop-nya, Riaa ….” Maura tertawa-tawa kecil sambil memeluk sebuah gelas bir yang isinya hampir habis, sementara Ria dan Devina sedikit kewalahan membujuk Maura di lorong hotel untuk segera membawanya beristirahat.“Udah, Bu … udah …,” bujuk Ria untuk yang kesekian kalinya. “Ini lemon drop-nya biasanya nggak pake gelas segede gini, Bu. Gelasnya, ‘kan, biasanya kecil. Bu Maura udah ngabisin banyak.”“Tapi aku mau lagiii ….”Devina dan Ria sama-sama menghela napas.“Tahu begini, tadi kita nggak usah ngajakin bu Maura, ya, Ria,” keluh Devina sambil menuntun Maura yang sempoyongan dibantu Ria.“Iya, lah. Mana aku tahu kalau bu Maura nggak tahan alkohol,” ujar Ria sambil menopang tubuh Maura dari sisi lain. “Lagian, masa sih, pak Zefan nggak tahu kalau toleransi alkohol bu Maura rendah banget?”“Iya, ya. Pak Dewangga juga tadi nggak bilang apa-apa, tuh,” kata Devina heran.“Marah nggak, ya, pak Dewangga lihat istrinya mabuk gini?” tanya Ria cemas.“Nggak tahu, lah. Yang
Perjalanan malam menggunakan bus cukup tenang. Meski jam masih menunjukkan waktu pukul sepuluh lebih beberapa menit, beberapa orang sudah tertidur termasuk Maura yang sejak pagi harus bekerja hingga sore. Wanita itu bersandar pada sebuah bantal leher yang diberikan Mawar untuknya, tanpa selimut dan hanya mengenakan jaket jeans sementara udara dalam bus cukup dingin. “Apa ada selimut tambahan?” tanya Dewangga dengan suara rendah pada Zefan yang duduk di deretan kursi sebelah kanan, tepat di sebelahnya. “Buat Nyonya Maura?” tebak pria itu yang duduk bersebelahan dengan Mawar yang sudah tidur. “Ya.” “Nggak ada, Bos, cuma ada itu aja.” Zefan menggeleng sambil menunjuk selimut di pangkuan Dewangga. “Anda nggak nyiapin selimut tambahan, ya?” “Kalau saya harus repot-repot nyiapin selimut tambahan, apa gunanya kamu sebagai asisten?” gerutu Dewangga. Zefan memberikan cengiran lebar. “Anda bisa berbagi selimut kalau gitu. Saya juga berbagi selimut sama Mawar,” ujarnya sambil menguap, la
“Menikahlah dengan Dewangga.”Satu kalimat yang dilontarkan oma Ambar itu meruntuhkan sunyi, namun membangun keraguan di hati Maura.Maura mendongak, menatap wanita baya yang masih cantik dan anggun itu, yang duduk di sofa tepat di depannya sambil tersenyum menikmati secangkir teh hangat yang terhidang.Sudah empat hari berlalu sejak saat itu. Dia pun sudah menjelaskan detail kejadian menurut ingatannya. Bahkan dia sudah melakukan visum.Tak ada aktivitas fisik yang dicurigai. Tak ada kejadian apapun. Mereka murni hanya tidur bersama walau tanpa sehelai benangpun.Meski begitu, Dewangga tetap marah padanya.“Oma, tapi ‘kan menurut keterangan dokter, aku ….”“Oma tahu.” Oma Ambar mengangguk, masih tersenyum. “Tapi Maura, kalau kejadian ini bocor ke publik, citra keluarga kita akan rusak. Dan kemungkinan buruk, bisa berdampak pada perusahaan yang tengah dikelola Dewangga sekarang. Ini semua bukan demi oma atau siapapun, tapi demi kebaikan Dewangga. Kamu mau, 'kan, nikah sama dia?”Maura
“Maura, lihat.” Alena datang membuka pintu kamar Maura tanpa permisi. “Ini gaun baru yang aku dan mama pilih buatmu. Cantik, ‘kan?” Dengan wajah sumringah, dia memperlihatkan sebuah gaun merah anggur yang ditaburi kilauan sekuin, saat Maura tengah menulis sesuatu di buku diary-nya sambil telungkup di atas ranjang di kamarnya. Maura menoleh dengan wajah datar menatap gaun di tangan Alena yang masih sama seperti gaun-gaun lain yang mereka berikan untuknya. Gaun dengan potongan rendah dan pendek. Gaun seksi yang menonjolkan lekuk tubuhnya. “Gaun buat apa?” tanyanya acuh tak acuh sambil menopang dagunya. “Kamu lupa? Malam ini kita harus menghadiri undangan pernikahan. Papa bilang, semua anggota keluarga harus ikut.” “Eh? Aku lupa!” seru Maura terkejut sambil bergegas duduk dan menerima gaun dari Alena. “Tapi … gaun ini terlalu seksi dibandingkan dengan gaun lainnya yang pernah kamu kasih, Alena. Aku malu kalau harus pakai ini.” “Apanya yang seksi? Gaun ini biasa aja, tahu,” ujar Ale
“Udah puas?” Maura menatap tajam Dewangga sambil melipat kedua tangannya di dada, menahan kekesalan.Tak pernah sebelumnya dia melihat sisi Dewangga yang seperti itu, impulsif seenaknya masuk ke rumah memeriksa segala sudut meski sudah dilarang.Pria itu dengan wajah acuh tak acuh hanya melirik Maura sekilas, kemudian lanjut memeriksa setiap jendela dan pintu yang tersisa.Dia tak hanya mencari keberadaan seseorang di sana, juga memastikan bahwa tempat wanita itu tinggal sangat aman.“Udah puas belum?” Maura mengulang pertanyaannya.“Udah.”“Kalau gitu kamu cepetan pulang,” kata Maura sambil mendorong punggung pria itu menuju pintu.“Tunggu, Maura. Ada yang mau aku bicarakan,” ucap Dewangga memutar tubuhnya, melepaskan diri dari dorongan Maura.“Masalah apa? Apa kamu ke sini buat nganterin surat panggilan dari pengadilan?”“Surat panggilan dari pengadilan?” Pria itu mengerutkan alisnya.“Aku nungguin surat panggilan buat sidang perceraian kita,” kata Maura lebih jelas.“Aku belum meng