Alena dengan cepat menguasai perasaannya. Wanita itu tersenyum begitu manis dan memikat, dengan senyuman tulus dan polos."Jangan menuduhku sembarangan, Zefan. Itu bisa menjadi fitnah," kata Alena dengan sikap yang tenang sambil memperbaiki dasi Zefan yang sedikit miring. "Apa kamu punya buktinya?"Zefan mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Alena mampu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Dia juga tahu senyum wanita itu saat ini adalah senyuman palsu."Aku belum memiliki bukti apapun. Tapi, kalau benar itu perbuatanmu, bukti pasti akan mengarah padamu, Alena," jawab Zefan sambil menyingkirkan tangan wanita itu."Kalau begitu, cari aja dulu buktinya," kata Alena sambil tersenyum. "Tapi bukti itu tak akan pernah ada karena memang aku tak melakukan apapun."Alena berlalu dari sana dengan tenang seolah tak pernah terjadi apapun, sementara Zefan mematung memikirkan hal yang baru saja Alena katakan."Semakin menyangkal, semakin besar dugaannya, dan semakin aku tak percaya," gumam Zefan
Meja penuh dengan beragam menu karena Maura memesan makanan lain lagi bersama Andreas.Obrolan mengalir didominasi oleh Maura dan Andreas. Sementara Dewangga hanya sedikit bicara sambil mempertahankan kesabarannya."Mas Andreas, bagaimana kelas memasak sore tadi? Apa menyenangkan?" tanya Maura penasaran.Andreas mengangguk sambil tersenyum. "Lumayan. Hanya saja ada cerita memilukan dari salah satu peserta.""Cerita memilukan? Apa ada peserta yang sakit?" tanya Maura penasaran sambil mengunyah makanan.Andreas menggeleng. "Ketika seluruh peserta kelas ditanya alasan mereka mengikuti program kelas memasak ini, salah satu peserta—bu Maya—menceritakan bahwa alasan dia ikut kelas memasak karena dia butuh hiburan.""Hiburan?" Maura masih tak mengerti letak memilukannya di mana."Ya. Saat ini bu Maya sedang menghadapi sidang perceraian dengan suaminya karena suaminya terbukti berselingkuh. Anak mereka hanya ada satu. Kedua belah pihak memperebutkan hak asuh anak, jadi sidangnya cukup alot dan
"Maaf, Alena. Kamu bisa bersama Dewangga nantinya," kata Maura perlahan dengan perasaan yang semakin bersalah. "Aku ... sudah menanda-tangani surat perceraian itu. Setelah tiga bulan, kalian bisa bersama secara resmi.""Begitukah?" Alena menatap Maura dengan pandangan rumit. Dalam hatinya, wanita itu bersorak karena tiba-tiba dia memiliki sebuah ide. "Mengapa harus menunggu tiga bulan? Mengapa tidak sekarang?""Itu karena aku—""Alena? Mengapa kamu ada di sini?"Di atas tempat tidur, Dewangga telah bangun dan duduk menatap keduanya yang tengah berada di ambang pintu."Hai, Dewangga. Selamat pagi," sapa Alena dengan senyum hangat. "Aku datang buat jemput kamu. Kenapa kamu baru bangun? Ini udah siang.""Kalian ngobrol aja dulu. Aku mau mandi di kamar sebelah," kata Maura sambil terburu-buru pergi dengan menyeret kakinya yang masih terasa sakit."Apa yang kamu katakan padanya?" tanya Dewangga dingin sambil menatap tajam Alena.Alena tersenyum kaku. "Aku nggak bilang apapun.""Benarkah?" D
Alena memegangi pergelangan kakinya dengan wajah sendu dan berurai air mata."Alena, kamu baik-baik saja? Apanya yang sakit?" tanya Dewangga panik sambil berjongkok di depan wanita itu. "Apa kakimu terkilir?""Sepertinya begitu, Dewangga," jawab Alena sambil mengangguk penuh kasihan. "Pinggangku juga sakit."Maura menyaksikan adegan itu. Hatinya kembali berdenyut, lebih sakit dari sebelumnya."Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang," ajak Dewangga sambil membantu Alena berdiri."Aku gak apa-apa, Dewangga," jawab Alena sambil menggeleng. Dia berdiri dengan pincang sambil berpegangan kuat pada tangan Dewangga. "Maura cuma gak sengaja dorong aku."Maura tercengang. Mengapa Alena berbohong dan menuduhnya? Terlebih wanita itu mengadu pada Dewangga seperti itu.Maura mempertahankan kesabarannya. "Alena, mengapa kam—""Segera minta maaf, Maura," potong Dewangga dengan tatapan dingin yang menghujam.Hati Maura memanas, juga berdarah. Maura menggeleng. "Mengapa aku harus meminta maaf?""Sud
Di rumah sakit, Dewangga kembali memakai jasanya ketika Alena telah selesai melakukan pemeriksaan tahap awal."Kamu mau pergi?" tanya Alena yang berbaring di ranjang pasien."Saya sudah menghubungi orangtuamu. Sebentar lagi harusnya mereka tiba," ujar Dewangga sambil mengecek arlojinya. "Besok kamu harus menemui dokter ortopedi untuk memeriksakan tulang kaki dan pinggangmu—""Jadi, kamu gak mau nemenin aku di sini?" tanya Alena dengan wajah memelas."Kamu bukan lagi anak kecil, Alena." Dewangga mengecek ponselnya sebelum beranjak. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mia. Entah apa yang terjadi di rumah.Alena mengepalkan tangannya. Hatinya terasa pilu mendengar jawaban pria itu."Saya akan pulang sekarang," ujar pria itu sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku jas bagian dalam, kemudian dia berjalan menuju pintu."Apa kamu mencintainya?" Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Dewangga mematung. Dewangga tahu siapa yang Alena maksud. Pria itu tak menoleh meski tangannya baru men
"Lihat, kan, Tuan? Mia udah ngaku," ujar bu Asih senang karena tak hanya dirinya yang terkena masalah.Mia terdiam sambil menelan ludahnya. Dia tahu dia sudah melakukan kesalahan karena Dewangga tak ingin siapapun melayani Maura."Beberapa hari ini Mia membantu nyonya Maura melakukan semuanya dari mulai memasak, sampai membereskan kamarnya, Tuan," adu bu Asih. "Mbok Narti juga tuh."Mbok Narti menghela napasnya. Dia sudah pasrah jika harus mendapatkan peringatan keras dan gajinya dipotong."Tuan, oma Ambar sering berpesan pada saya buat jagain dan bantuin nyonya Maura," kata Mia membela diri. "Karena itulah saya tetap membantu nyonya Maura walaupun udah Tuan larang."Dewangga terdiam beberapa saat kemudian dia berbicara dengan ekspresi datar, "Bagaimana dengan bu Asih? Apa Bu Asih juga membantu Maura secara diam-diam?""Saya? Oh, saya manut, Tuan. Saya gak pernah bantuin nyonya Maura apapun. Biar aja nyonya Maura yang ngerjain sendiri," jawab bu Asih senang. "Pokoknya, saya gak bakal m
Dewangga menatap Maura dengan wajah datar dan muram. Pangkal alisnya berkerut."Kenapa?" tanya pria itu."Gak kenapa-kenapa," jawab Maura sambil bersiap-siap beranjak. "Kalau nggak mau, ya berarti gak mau."Maura pergi menenteng kantong berisi paketnya menuju pintu pagar tanpa mau menoleh lagi. Namun beberapa menit kemudian Dewangga tiba di sisinya menggunakan mobil.Tanpa berkata-kata lagi, Dewangga segera turun dan mengambil alih kantong di tangan Maura dan meletakkannya di jok belakang mobil."Dewangga, kamu ngapain, sih?" protes Maura tak terima. "Balikin!""Naik!" Alih-alih mendengarkan Maura, pria itu memberinya perintah sambil duduk di belakang kemudi.Maura menatap Dewangga tak percaya. Semua ucapannya sama sekali tak digubris tapi pria itu ingin ucapannya dituruti?Rasa sesak kembali hadir di dada Maura kala dia mengingat setiap perlakuan buruk pria itu padanya. Matanya hampir berkaca-kaca.Namun pada akhirnya Maura mengalah. Wanita itu duduk di sebelah Dewangga dengan wajah d
Maura menggeleng. "Maksudku ... aku memang belum pernah punya pengalaman.""Lalu, siapa Lusi?" tanya Andreas mengulang."Temanku sejak SMA. Aku udah tanya mengenai lowongan pekerjaan ke dia, tapi Lusi bilang katanya di tempatnya bekerja masih belum ada pekerjaan yang cocok buat aku. Di sana juga yang dibutuhkan pegawai yang udah berpengalaman."Andreas mengangguk paham."Kalau begitu ... sebelum kamu dapat pekerjaan di tempat lain, barangkali kamu minat bekerja sama aku? Kebetulan aku masih kekurangan staff. Kurang dari seminggu lagi, aku mau mulai membuka restoran," kata Andreas sambil menatap Maura dengan serius."Yang benar, Mas?" Maura terlihat antusias. Matanya berbinar."Iya.""Mau, Mas. Berapapun gajinya, asal ada pekerjaan, aku mau."Andreas tertawa kecil. "Restoran yang akan aku buka ini belum bisa mempekerjakan banyak orang, Maura. Mungkin ... pekerjaan kamu merangkap jadi waitress sekaligus bagian kasir atau dapur. Atau ....""Gak masalah. Aku pengen kerja. Pengen ada kegiat