“Maura, dokter bilang katanya kandunganmu lemah. Jadi kamu harus istirahat total seenggaknya selama trimester pertama ini.”Maura terdiam sambil menggigit bibirnya dan menatap Andreas yang duduk di samping ranjang pasien yang ditempatinya.“Maaf udah ngerepotin, Mas,” ucapannya perlahan. “Sebenarnya aku malu, karena hanya aku satu-satunya orang yang paling sering mengambil libur.”Andreas tersenyum lembut sambil menepuk punggung tangan Maura.“Nggak perlu malu, Maura. Aku paham keadaan kamu. Jadi mulai besok, sebaiknya kamu jangan masuk kerja dulu sampai kandunganmu cukup kuat. Kalau kamu tetap memaksakan bekerja, kemungkinan anak dalam kandunganmu nggak bisa bertahan.”“Mas, aku dipecat, ya?” tanya Maura dengan mata berkaca-kaca.Andreas tertawa pelan. “Nggak, lah. Kamu bisa kerja lagi kalau kandunganmu cukup kuat. Oke?”Maura terdiam sambil berpikir sejenak, lalu mengangguk.
Maura segera membaringkan tubuhnya begitu dia tiba di kamar. Dia sangat lelah hingga tak sanggup untuk melakukan apapun lagi. “Kondisi awal kehamilan seperti ini rentan keguguran. Sebaiknya Anda perbanyak istirahat, ya, Bu. Jangan terlalu banyak bekerja dan jangan terlalu lelah.” Nasihat dari dokter sebelum Maura meninggalkan ruang pemeriksaan terngiang-ngiang di telinganya. Haruskah dia menambah aktivitasnya agar kandungannya keguguran? Maura menggelengkan kepalanya begitu pemikiran itu terlintas di benaknya. Tak semudah itu dia memaksakan diri bekerja. Pulang dari rumah sakit saja sudah membuatnya kerepotan dan malas bergerak lagi. Wanita itu menatap foto janin yang dilihatnya tadi di monitor. Seukuran apakah anak itu sekarang? Pasti masih sangat kecil. Dia sangat penasaran sebenarnya. “Kasihan kamu kalau harus sampai lahir. Pasti kamu nggak dapat kasih sayang seorang ayah, sama sepertiku,” gumam Maura perlahan. Wanita itu meletakkan foto janinnya di atas nakas, lalu meraih
Sore itu sebelum jam kerja berakhir, di dalam ruang kantor Dewangga, Alena duduk tenang menghadapi atasannya. “Kamu tahu alasan saya memintamu datang ke sini?” tanya Dewangga dengan nada dingin. “Apa karena saya ngambil sesuatu dari laci Anda?” tebak Alena, yang sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari. “Lebih tepatnya saya mengambil sesuatu dari map biru tua yang Anda simpan di sana.” “Kenapa kamu lakuin itu?” tanya Dewangga, yang tak perlu repot memaksakan pengakuan dari wanita itu padahal dia sudah menyiapkan rekaman CCTV apabila wanita itu menyangkal. “Udah lama Anda ingin bercerai dari Maura. Udah tiga tahun, kan? Entah karena alasan sibuk, entah karena alasan lain, Anda menunda perceraian Anda. Anda yang dulu biasanya tak pernah ragu mengambil keputusan. Tapi Anda yang sekarang seolah bimbang. Saya cuma sedikit membantu mengirimkan dokumen itu,” kata Alena dengan nada suara yang tanpa ragu. “Mungkin … hari ini atau besok, Maura akan dapat undangan untuk mediasi.” Dewangga b
Jam menunjukkan waktu sekitar setengah sembilan malam.Dewangga menghentikan mobilnya di depan pintu pagar rumah Maura.Sepanjang perjalanan tak ada obrolan apapun di antara mereka.Bahkan mereka tak membahas soal oma Ambar yang meminta mereka menginap, namun mereka tolak dengan berbagai alasan dan memilih pulang.Dia yang dulu biasanya menurunkan Maura di jalan setelah jauh dari kediaman oma Ambar, kini rela mengantarkannya pulang. Padahal rumah mereka tak searah.Ternyata tak hanya Maura yang berubah, dia juga turut berubah.Maura segera membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil, masih tanpa sepatah katapun.“Maura,” panggil Dewangga dengan ragu.Maura menoleh sebelum dia sempat menutup pintu mobil dengan bibir tertutup rapat.Hening sejenak, kemudian Dewangga menggelengkan kepalanya.“Nggak jadi,” ujarnya.Maura menutup pintu mobilnya segera, kemudian berjalan memasuki halaman rumahnya tanpa kata, tanpa mengucapkan terima kasih, tanpa menoleh apalagi berbasa-basi. Sementara itu,
Sudah berlalu lebih dari seminggu sejak saat itu. Tak ada komunikasi apapun di antara Maura dan Dewangga.Istirahat siang itu, Dewangga yang berada di dalam ruang kantornya masih duduk di depan meja kerja.Di tangannya terdapat seberkas persyaratan yang sudah lengkap.“Mau di kirim sekarang?” Zefan yang berada di ruangan itu, mengalihkan perhatian pria itu.“Apanya?”“Berkas perceraian itu,” tunjuk Zefan dengan dagunya ke arah kertas-kertas di tangan Dewangga.“Nanti,” jawab Dewangga sambil membereskan berkasnya, lalu memasukkannya ke dalam map biru tua.“Ragu?” tebak pria berkacamata itu.Dewangga hanya mengangkat kelopak matanya, menatap Zefan sejenak, kemudian meletakkan map biru tua itu di atas tumpukan dokumen lain.“Anda tak pernah seperti ini sebelumnya,” kata Zefan meneruskan. “Biasanya Anda tak pernah ragu mengambil keputusan apapun.”D
Maura terburu-buru menuruni tangga dan berdiri di depan pintu.Di luar sana, Dewangga masih mengetuk, menunggu Maura membukakan pintunya.“Maura, buka pintunya!”“Nggak, Dewangga. Aku bilang, aku nggak leluasa ketemu siapapun,” ujar wanita itu, yang berdiri dengan gugup sambil menatap pintu yang terkunci.Ketukan di pintu berhenti.“Maura, kita harus membicarakan masalah semalam sampai jelas,” kata Dewangga dengan suara yang lebih rendah.“Masalah semalam udah jelas, Dewangga. Kita lupain aja semuanya,” ucap Maura sambil menelan ludahnya dan berjalan semakin mendekati pintu.“Lupain? Kamu benar-benar lupa kejadian semalam?” Suara Dewangga kali ini lebih rendah lagi, namun masih terdengar jelas.Maura bersandar di pintu, sambil menoleh ke samping seolah dia bisa melihat sosok pria itu di balik tubuhnya.“Aku nggak ingat,” jawab wanita itu sambil meremas ujung roknya. “Aku nggak tahu kenapa bisa ada di ka