Share

bab 8. JANJI TEMU

Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Maura gugup.

Mungkin dia telah melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi sekarang, jangan sampai dia membuat Dewangga dan Alena bertengkar karenanya.

"Maaf, Alena. Aku bisa jelasin," kata Maura tak enak hati sambil berdiri.

Wanita itu benar-benar mengira Dewangga dan Alena memiliki hubungan khusus.

"Duduk, Maura. Kakimu harus istirahat," ujar Dewangga menekan pundak Maura sehingga wanita itu kembali duduk. "Diam di sini. Tak ada yang perlu dijelaskan," lanjut pria itu dengan tegas. Dia mengerti dengan jelas maksud perkataan Maura yang mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Alena.

"Tapi Dewang—"

"Saya yang membawa Maura ke sini." Dewangga memotong ucapan Maura sambil berdiri tegak, sekaligus menjawab pertanyaan Zefan dan Alena.

Zefan maupun Alena semakin terkejut. Keduanya saling melempar pandang, sementara Maura semakin tak enak hati.

"Maura, kamu tunggu di sini. Aku akan memastikan pertemuan ini tak akan lebih dari satu jam," kata Dewangga sambil mengecek kembali jam di tangannya. "Aku akan meminta seseorang menemanimu."

Maura mengangguk ragu.

Zefan menelengkan kepalanya dengan alis berkerut. Ada kata ganjil dalam kalimat Dewangga. Pria itu mengatakan kata 'aku'? Padahal ketika dia berbicara dengannya ataupun dengan orang lain biasanya Dewangga menggunakan kata 'saya'.

Keganjilan itu dirasakan juga oleh Alena. Wanita cantik itu menggertakkan giginya diam-diam sambil mengepalkan tangan.

Ada rasa iri dalam hati keduanya walaupun dengan kadar dan persepsi berbeda.

"Ayo, kita tak punya banyak waktu lagi," ucap Dewangga sambil beranjak pergi diikuti keduanya meninggalkan Maura.

Maura menghela napasnya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang sepi.

"Harusnya tadi Dewangga ngasih kesempatan buatku untuk menjelaskan yang sebenarnya pada Alena," ucapnya berbicara pada dirinya sendiri. "Mereka bakal berantem gak, ya?"

Maura membuka ponselnya untuk mengusir jenuh. Tetapi ketukan di pintu membuatnya menoleh. Seorang wanita cantik berpenampilan rapi masuk dengan sopan sambil membawa sebuah nampan.

"Selamat siang, Bu," sapanya sambil tersenyum dan meletakkan secangkir teh hangat di meja, tepat di depan Maura. "Saya Devina, bawahannya pak Dewangga. Saya di sini untuk menemani Ibu."

Maura tersenyum. "Saya Maura. Terima kasih banyak tehnya. Tapi ... mungkin kamu punya pekerjaan."

"Oh, pekerjaan saya gak penting, Bu. Yang paling penting itu perintah dari pak Dewangga harus dilaksanakan dengan baik," jawab Devina cepat, takut menyinggung perasaan Maura.

"Oh? Perintah menemani saya di sini?" tanya Maura memastikan.

"Iya, betul." Devina melihat pergelangan kaki Maura yang kemerahan dan katanya terkilir.

Maura menggeleng. "Gak apa-apa. Saya lagi pengen sendiri. Kamu boleh pergi. Dewangga gak bakal marahin kamu, kok," ujar Maura. 'Palingan yang bakal dia marahin itu aku,' lanjut Maura dalam hati.

"Bapak bilang katanya kaki Ibu terkilir. Apa Ibu butuh kompres hangat?"

Maura berpikir sejenak. Dia merasa kakinya baik-baik saja. "Nggak, tadi udah dioles minyak gosok," tolaknya kemudian.

"Baiklah." Devina menatap Maura ragu. "Bu, kalau boleh tahu ... Ibu ini siapanya pak Dewangga?"

"Saya?" Maura menatap Devina sedikit bingung. Dia sendiri tak bisa menjelaskan siapa dirinya karena secara teknis mereka tak memiliki hubungan. Mereka hanya terikat pernikahan yang tak diinginkan, hanya pernikahan di atas kertas. Namun sebentar lagi juga akan bercerai.

"Apa Ibu istrinya pak Dewangga?" tanya Devina menebak.

"Secara hukum, bisa dibilang begitu." Maura tersenyum sambil mengangguk. Dia tak berani menjawab dengan kata 'iya' ataupun kalimat lainnya.

Devina tampak terkejut.

"Oh. Saya hanya pernah mendengar kalau pak Dewangga sudah menikah selama tiga tahun. Tapi baru kali ini saya ketemu sama istrinya secara langsung," ucap Devina menyembunyikan antusiasnya.

Dia senang karena menjadi orang pertama yang tahu bahwa Dewangga benar-benar sudah menikah dan istrinya sedang duduk tepat di depannya.

Maura kembali tersenyum. "Terus, apa boleh kalau saya pengen sendiri di sini?" pinta Maura.

"Oh, iya, Bu. Saya ada di depan pintu, berjaga-jaga siapa tahu Ibu butuh sesuatu," jawab Devina cepat sambil mengangguk dan beranjak meninggalkan Maura.

Devina tak bodoh dengan mengganggunya terus menerus. Kalau Maura bilang dia ingin sendiri, itu artinya dia belum dibutuhkan di sana.

Devina menutup pintu ruang kerja Dewangga sehalus mungkin agar tak mengganggu. Tiga temannya yang lain telah menunggunya di luar sana.

"Dia siapa? Perempuan itu siapanya pak Dewangga?" tanya salah satu temannya penasaran sambil berbisik.

"Istrinya," jawab Devina dengan volume suara yang kecil, karena takut Maura dapat mendengarnya.

"Yang bener?" Dua yang lain tak percaya. "Jadi selama ini pak Dewangga udah nikah?!"

"Iya. Ternyata pak Dewangga selama ini emang udah nikah," jawab Devina.

"Aku pikir ... pak Dewangga ada hubungan khusus sama bu Alena."

"Aku juga mikirnya begitu," timpal yang lain.

"Banyak yang mikir begitu. Gimana enggak? Pak Dewangga sama bu Alena kan kalau ke mana-mana biasanya berdua. Mau ada undangan pesta, acara kantor, bahkan acara apapun juga sama bu Alena."

Keempat orang itu terus bergosip. Sementara di dalam ruangan, Maura melonjak kegirangan dan hampir lupa bahwa kakinya sedang terkilir.

"Ahh ...," keluhnya sambil duduk kembali dan mengusap pergelangan kakinya.

Maura sangat senang ketika membuka aplikasi market place, ada dua pesanan masuk ke akun tokonya.

"Setelah dua hari, akhirnya ada pesanan masuk."

Maura tersenyum lebar sambil menerima pesanan tersebut dan mengecek pesanan apa saja yang harus disiapkan nanti.

"Semoga nanti malam pesanannya bisa kukirim setelah pulang dari kelas memasak," ujar Maura sambil menjelajahi marketplace itu untuk melihat-lihat toko lain yang menjual berbagai macam produk.

Setelah bosan, Maura melihat kotak pesannya. Pesannya untuk Lusi akhirnya terkirim dan centang dua. Wanita itu pun segera menghubungi sahabat satu-satunya itu.

"Halo, Maura. Gimana kabar kamu belakangan ini?" tanya Lusi di seberang sana begitu dia mengangkat telepon.

"Cukup baik," jawab Maura. "Kamu sendiri gimana kabarnya? Masih di Australi?"

"Capek, Maura, capek. Jadi budak korporat itu gak enak banget. Atasanku ngasih kerjaan banyak. Baru juga aku pulang nganterin kamu ke rumah suamimu, bosku nyuruh aku pergi ke sini," keluh Lusi. "Aku masih harus di sini. Mungkin lima harian baru bisa pulang ke Indonesia."

Maura tertawa ringan. "Seenggaknya kamu punya kerjaan, gak kayak aku. Aku jadi iri."

"Apa gak salah? Lebih enak jadi nyonya Dewangga ketimbang kerja bagai kuda kayak gini." Lusi menertawakan dirinya sendiri.

"Ah, nggak juga," jawab Maura. "Aku ... udah tanda tangan surat cerai. Tiga bulanan lagi aku harus keluar dari rumahnya Dewangga."

"Apa?!" Lusi terdengar sangat syok. "Kan aku udah bilang, Maura. Kalau Dewangga ngasih surat cerai, jangan ditandatangani."

"Percuma mempertahankan pernikahan yang kayak gini, Lusi. Lebih baik aku sama Dewangga cerai aja mumpung kami belum punya anak," jawab Maura.

Lusi menghela napasnya berat. "Kalau kamu gak amnesia, mungkin kamu nggak bakal bilang begitu."

"Lupain dulu soal perceraian. Aku pengen tahu, kira-kira ... di perusahaan tempat kamu kerja ada lowongan buatku, nggak?" tanya Maura penuh harap.

"Lowongan? Kamu mau kerja?"

"Iya."

"Maura, di tempatku memang biasanya ada lowongan pekerjaan, sih. Tapi ... yang dicari pegawai yang berpengalaman. Semenjak kamu lulus kuliah, 'kan, kamu belum pernah bekerja."

"Iya, sih." Maura menghela napasnya. Dia mengangguk walaupun tahu bahwa Lusi tak akan melihatnya.

"Gini aja, deh. Kalau ada lowongan yang cocok, aku kasih tahu kamu, ya," kata Lusi setelah dia berpikir sejenak.

"Oke." Maura tersenyum senang.

"Udah dulu, Maura. Aku masih ada kerjaan lain," ucap Lusi berpamitan.

"Ya. Kalau udah pulang, kabari aku," pinta Maura.

"Oke."

Panggilan telepon pun terputus. Tak masalah kalau di perusahaan tempat Lusi bekerja tak ada pekerjaan untuknya. Mungkin dia bisa menjual sesuatu seperti sekarang? Atau dia bisa memulai usahanya sendiri?

Maura terdiam sambil bersandar. Pergelangan kakinya terasa sedikit nyeri karena dia melonjak senang tadi. Diusapnya kembali kakinya.

Perhatiannya teralihkan ketika sebuah pesan masuk.

[Andreas : Hai, Maura. Jangan lupa sore ini ada kelas memasak. Kamu mau datang?]

Maura tersenyum menerima pesan tersebut dan segera membalasnya.

[Maura : Aku gak lupa. Kelas memasaknya menyenangkan.]

[Andreas : Baguslah. Mau belajar tambahan lagi setelah kelas selesai? Kita bisa belajar membuat bumbu dasar untuk berbagai masakan.]

[Maura : Apa ada biaya tambahan?]

[Andreas : Gratis.]

[Andreas : Tapi mungkin aku ingin menagih secangkir kopi untuk bayarannya.]

Maura tersenyum. Hanya secangkir kopi untuk kelas tambahan? Maura tak rugi sedikit pun.

Baru saja Maura mengetikkan sesuatu untuk membalas pesan pria itu, ponselnya melayang ke udara.

Lebih tepatnya seseorang mengambil ponselnya begitu saja sehingga membuat Maura terkejut dan refleks mendongak.

"Kamu ngapain senyum-senyum sendiri?" tanya Dewangga dingin sambil melihat layar ponsel Maura yang retak, dan meletakkan paper bag yang dibawanya ke atas meja.

Zefan yang melihat itu, hanya bisa mengerutkan alisnya. Mengapa bosnya jadi ikut campur urusan orang lain? Terlebih orang itu adalah Maura yang selama tiga tahun ini selalu dibencinya.

"Kembalikan ponselku," pinta Maura sambil berdiri.

Dewangga menghindar ketika tangan Maura hendak meraih ponselnya. Pria itu memeriksa pesan yang diterima maupun yang dikirim Maura.

"Sore ini kamu tak bisa datang ke kelas memasak," kata Dewangga sambil meletakkan ponsel Maura di meja, dan duduk di seberang wanita itu.

"Lho? Kenapa?" tanya Maura tak terima sambil kembali duduk dan mengambil ponselnya.

"Sore ini kamu sudah ada janji temu dengan psikolog. Zefan sudah mengaturnya untukmu," jawab Dewangga sambil membuka paper bag dan mengeluarkan isinya.

"Hah?!" Zefan yang namanya disebut terperanjat.

Dia belum membuat janji temu apapun untuk Maura. Baru beberapa menit lalu Dewangga memintanya mencarikan psikolog untuk besok. Mengapa berubah jadi hari ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status