Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Maura gugup.
Mungkin dia telah melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi sekarang, jangan sampai dia membuat Dewangga dan Alena bertengkar karenanya. "Maaf, Alena. Aku bisa jelasin," kata Maura tak enak hati sambil berdiri. Wanita itu benar-benar mengira Dewangga dan Alena memiliki hubungan khusus. "Duduk, Maura. Kakimu harus istirahat," ujar Dewangga menekan pundak Maura sehingga wanita itu kembali duduk. "Diam di sini. Tak ada yang perlu dijelaskan," lanjut pria itu dengan tegas. Dia mengerti dengan jelas maksud perkataan Maura yang mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Alena. "Tapi Dewang—" "Saya yang membawa Maura ke sini." Dewangga memotong ucapan Maura sambil berdiri tegak, sekaligus menjawab pertanyaan Zefan dan Alena. Zefan maupun Alena semakin terkejut. Keduanya saling melempar pandang, sementara Maura semakin tak enak hati. "Maura, kamu tunggu di sini. Aku akan memastikan pertemuan ini tak akan lebih dari satu jam," kata Dewangga sambil mengecek kembali jam di tangannya. "Aku akan meminta seseorang menemanimu." Maura mengangguk ragu. Zefan menelengkan kepalanya dengan alis berkerut. Ada kata ganjil dalam kalimat Dewangga. Pria itu mengatakan kata 'aku'? Padahal ketika dia berbicara dengannya ataupun dengan orang lain biasanya Dewangga menggunakan kata 'saya'. Keganjilan itu dirasakan juga oleh Alena. Wanita cantik itu menggertakkan giginya diam-diam sambil mengepalkan tangan. Ada rasa iri dalam hati keduanya walaupun dengan kadar dan persepsi berbeda. "Ayo, kita tak punya banyak waktu lagi," ucap Dewangga sambil beranjak pergi diikuti keduanya, meninggalkan Maura. Maura menghela napasnya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang sepi dan asing. "Harusnya tadi Dewangga ngasih aku kesempatan buat menjelaskan yang sebenarnya pada Alena," ucapnya berbicara pada dirinya sendiri. "Mereka bakal berantem nggak, ya? Semoga nggak ada salah paham." Maura membuka ponselnya untuk mengusir jenuh. Tetapi ketukan di pintu membuatnya menoleh. Seorang wanita cantik berpenampilan rapi masuk dengan sopan sambil membawa sebuah nampan. "Selamat siang, Bu," sapanya sambil tersenyum dan meletakkan secangkir teh hangat di meja, tepat di depan Maura. "Saya Devina, bawahannya pak Dewangga. Saya di sini untuk menemani Ibu." Maura tersenyum. "Saya Maura. Terima kasih banyak tehnya. Tapi ... mungkin kamu punya pekerjaan." "Oh, pekerjaan saya nggak penting, Bu. Yang paling penting itu perintah dari pak Dewangga harus dilaksanakan dengan baik," jawab Devina cepat, takut menyinggung perasaan Maura. "Oh? Perintah menemani saya di sini?" tanya Maura memastikan. "Iya, betul." Devina melihat pergelangan kaki Maura yang kemerahan dan katanya terkilir. Maura menggeleng. "Gak apa-apa. Saya lagi pengen sendiri. Kamu boleh pergi. Dewangga nggak bakal marahin kamu, kok," ujar Maura. 'Palingan yang bakal dia marahin itu aku,' lanjut Maura dalam hati. "Bapak bilang katanya kaki Ibu terkilir. Apa Ibu butuh kompres hangat?" Maura berpikir sejenak. Dia merasa kakinya baik-baik saja. "Nggak, tadi udah dioles minyak gosok," tolaknya kemudian. "Baiklah." Devina menatap Maura ragu. "Bu, kalau boleh tahu ... Ibu ini siapanya pak Dewangga?" "Saya?" Maura menatap Devina sedikit bingung. Dia sendiri tak bisa menjelaskan siapa dirinya secara gamblang karena secara teknis mereka tak memiliki hubungan. Mereka hanya terikat pernikahan yang tak diinginkan, hanya pernikahan di atas kertas. Namun sebentar lagi juga akan bercerai. "Apa Ibu istrinya pak Dewangga?" tanya Devina menebak. "Secara hukum, bisa dibilang begitu." Maura tersenyum sambil mengangguk. Dia tak berani menjawab dengan kata 'iya' ataupun kalimat lainnya. Devina tampak terkejut. "Oh. Saya hanya pernah mendengar kalau pak Dewangga sudah menikah selama tiga tahun. Tapi baru kali ini saya ketemu sama istrinya secara langsung," ucap Devina menyembunyikan antusiasnya. Dia senang karena menjadi orang pertama yang tahu bahwa Dewangga benar-benar sudah menikah dan istrinya sedang duduk tepat di depannya. Maura kembali tersenyum. "Terus, apa boleh kalau saya pengen sendiri di sini?" pinta Maura. "Oh, iya, Bu. Saya ada di depan pintu, berjaga-jaga siapa tahu Ibu butuh sesuatu," jawab Devina cepat sambil mengangguk dan beranjak meninggalkan Maura. Devina tak bodoh dengan mengganggunya terus menerus. Kalau Maura bilang dia ingin sendiri, itu artinya dia belum dibutuhkan di sana. Devina menutup pintu ruang kerja Dewangga sehalus mungkin agar tak mengganggu. Tiga temannya yang lain telah menunggunya di luar sana. "Dia siapa? Perempuan itu siapanya pak Dewangga?" tanya salah satu temannya penasaran sambil berbisik. "Istrinya," jawab Devina dengan volume suara yang kecil, karena takut Maura dapat mendengarnya. "Yang bener?" Dua yang lain tak percaya. "Jadi selama ini pak Dewangga udah nikah?!" "Iya. Ternyata pak Dewangga selama ini emang udah nikah," jawab Devina. "Aku pikir ... pak Dewangga ada hubungan khusus sama bu Alena." "Aku juga mikirnya begitu," timpal yang lain. "Banyak yang mikir begitu. Gimana enggak? Pak Dewangga sama bu Alena kan kalau ke mana-mana biasanya berdua. Mau ada undangan pesta, acara kantor, bahkan acara apapun juga sama bu Alena." Keempat orang itu terus bergosip. Sementara di dalam ruangan, Maura melonjak kegirangan dan hampir lupa bahwa kakinya sedang terkilir. "Ahh ...," keluhnya sambil duduk kembali dan mengusap pergelangan kakinya. Maura sangat senang ketika membuka aplikasi market place, ada dua pesanan masuk ke akun tokonya. "Setelah dua hari, akhirnya ada pesanan masuk." Maura tersenyum lebar sambil menerima pesanan tersebut dan mengecek pesanan apa saja yang harus disiapkan nanti. "Semoga nanti malam pesanannya bisa kukirim setelah pulang dari kelas memasak," ujar Maura sambil menjelajahi marketplace itu untuk melihat-lihat toko lain yang menjual berbagai macam produk. Setelah bosan, Maura melihat kotak pesannya. Pesannya untuk Lusi akhirnya terkirim dan centang dua. Wanita itu pun segera menghubungi sahabat satu-satunya itu. "Halo, Maura. Gimana kabar kamu belakangan ini?" tanya Lusi di seberang sana begitu dia mengangkat teleponnya. "Cukup baik," jawab Maura. "Kamu sendiri gimana kabarnya? Masih di Australi?" "Iya, masih. Aku capek, Maura, capek. Jadi budak korporat itu nggak enak banget. Atasanku ngasih kerjaan banyak. Baru juga aku pulang nganterin kamu ke rumah suamimu, bosku nyuruh aku pergi ke sini," keluh Lusi. "Aku masih harus di sini. Mungkin lima harian baru bisa pulang ke Indonesia." Maura tertawa ringan. "Seenggaknya kamu punya kerjaan, nggak kayak aku. Aku jadi iri." "Apa nggak salah? Lebih enak jadi nyonya Dewangga ketimbang kerja bagai kuda kayak gini." Lusi menertawakan dirinya sendiri. "Ah, nggak juga," jawab Maura. "Aku ... udah tanda tangan surat cerai. Tiga bulanan lagi aku harus keluar dari rumahnya Dewangga." "Apa?!" Lusi terdengar sangat syok. "Kan aku udah bilang, Maura. Kalau Dewangga ngasih surat cerai, jangan ditandatangani." "Percuma mempertahankan pernikahan yang kayak gini, Lusi. Lebih baik aku sama Dewangga cerai aja mumpung kami belum punya anak," jawab Maura. Lusi menghela napasnya berat. "Kalau kamu gak amnesia, mungkin kamu nggak bakal bilang begitu." "Lupain dulu soal perceraian. Aku pengen tahu, kira-kira ... di perusahaan tempat kamu kerja ada lowongan buatku, nggak?" tanya Maura penuh harap. "Lowongan? Kamu mau kerja?" "Iya." "Maura, di tempatku memang biasanya ada lowongan pekerjaan, sih. Tapi ... yang dicari pegawai yang berpengalaman. Semenjak kamu lulus kuliah, 'kan, kamu belum pernah bekerja." "Iya, sih." Maura menghela napasnya. Dia mengangguk walaupun tahu bahwa Lusi tak akan melihatnya. "Gini aja, deh. Kalau ada lowongan yang cocok, aku bakal kasih tahu kamu, ya," kata Lusi setelah dia berpikir sejenak. "Oke." Maura tersenyum senang. "Udah dulu, Maura. Aku masih ada kerjaan lain," ucap Lusi berpamitan. "Ya. Kalau udah pulang, kabari aku," pinta Maura. "Oke." Panggilan telepon pun terputus. Tak masalah kalau di perusahaan tempat Lusi bekerja tak ada pekerjaan untuknya. Mungkin dia bisa menjual sesuatu seperti sekarang? Atau dia bisa memulai usahanya sendiri? Maura terdiam sambil bersandar. Pergelangan kakinya terasa sedikit nyeri karena dia melonjak senang tadi. Diusapnya kembali kakinya. Karena bosan, wanita itu membuka sosial medianya yang memiliki ribuan pengikut. Dia pun mengunggah foto pakaiannya dan link produk ke marketplace tempat dia menjualnya. Baru saja mengunggah foto, beberapa detik kemudian postingannya dibanjiri tanda suka dan beberapa komentar. Maura tersenyum membaca komentar-komentar itu, meski ada beberapa komentar jahat. Dia tak peduli. Setidaknya dengan begitu, toko preloved-nya akan semakin banyak pengunjung. Perhatiannya teralihkan ketika sebuah pesan masuk. [Andreas : Hai, Maura. Jangan lupa sore ini ada kelas memasak. Kamu mau datang?] Maura tersenyum menerima pesan tersebut dan segera membalasnya. [Maura : Ya, aku nggak lupa. Kelas memasaknya menyenangkan.] [Andreas : Baguslah. Mau belajar tambahan lagi setelah kelas selesai? Kita bisa belajar membuat bumbu dasar untuk berbagai masakan.] [Maura : Apa ada biaya tambahan?] [Andreas : Gratis.] [Andreas : Tapi mungkin aku ingin menagih secangkir kopi untuk bayarannya.] Maura tersenyum. Hanya secangkir kopi untuk kelas tambahan? Maura tak rugi sedikit pun. Baru saja Maura mengetikkan sesuatu untuk membalas pesan pria itu, ponselnya melayang ke udara. Lebih tepatnya seseorang mengambil ponselnya begitu saja sehingga membuat Maura terkejut dan refleks mendongak. "Kamu ngapain senyum-senyum sendiri?" tanya Dewangga dingin sambil melihat layar ponsel Maura yang retak, dan meletakkan paper bag yang dibawanya ke depan Maura. Zefan yang melihat itu, hanya bisa mengerutkan alisnya. Mengapa bosnya jadi ikut campur urusan orang lain? Terlebih orang itu adalah Maura yang selama tiga tahun ini selalu dibencinya. "Kembalikan ponselku," pinta Maura sambil berdiri. Dewangga menghindar ketika tangan Maura hendak meraih ponselnya. Pria itu memeriksa pesan yang diterima maupun yang dikirim Maura. "Sore ini kamu tak bisa datang ke kelas memasak," kata Dewangga sambil meletakkan ponsel Maura di meja, dan duduk di seberang wanita itu. "Lho? Kenapa?" tanya Maura tak terima sambil kembali duduk dan mengambil ponselnya. "Sore ini kamu sudah ada janji temu dengan psikolog. Zefan sudah mengaturnya untukmu," jawab Dewangga sambil membuka paper bag dan mengeluarkan isinya. "Hah?!" Zefan yang namanya disebut terperanjat. Dia belum membuat janji temu apapun untuk Maura. Baru beberapa menit lalu Dewangga memintanya mencarikan psikolog untuk besok. Mengapa berubah jadi hari ini?Maura menoleh menatap Zefan, mempertanyakan apa yang Dewangga katakan. "Oh, itu ... jadwalnya udah ditetapkan, Nyonya. Jam empat sore nanti Nyonya harus udah tiba di sana," kata Zefan. "Kenapa kamu gak tanya dulu ke saya? Saya belum menyetujui apapun," protes Maura. "Sore ini saya ada kelas memasak." "Maaf, Nyonya. Saya yang salah. Saya nggak tahu kalau nyonya udah ada rencana. Tapi ... gak mudah bikin janji sama psikolog ini, Nyonya." Zefan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia sudah terbiasa menjadi kambing hitam bosnya, tetapi kejadian hari ini sedikit membuatnya kesal karena dia belum siap. "Saya gak mau pergi ke psikolog hari ini," tolak Maura. "Jadwalnya ganti aja jadi besok pagi. Saya mau ikut kelas memasak." "Tidak bisa. Kakimu terkilir. Pastikan kondisi kakimu baik dulu baru ikut kelas memasak lagi," ujar Dewangga tegas, kemudian tatapannya berubah mengancam. "Jangan membuat oma selalu mencemaskanmu, Maura." Maura menarik napasnya. Ya, oma Ambar pasti akan semakin m
Alena dengan cepat menguasai perasaannya. Wanita itu tersenyum begitu manis dan memikat, dengan senyuman tulus dan polos andalannya. "Jangan menuduhku sembarangan, Zefan. Menuduh tanpa bukti, sama aja dengan fitnah," kata Alena dengan sikap yang tenang sambil memperbaiki dasi Zefan yang sedikit miring. "Apa kamu punya buktinya?" Zefan mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Alena mampu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Dia juga tahu senyum wanita itu saat ini adalah senyuman palsu. "Aku belum memiliki bukti apapun. Tapi, kalau benar itu perbuatanmu, bukti pasti akan mengarah padamu, Alena," jawab Zefan sambil menyingkirkan tangan wanita itu. "Kalau begitu, cari aja dulu buktinya," kata Alena sambil tersenyum. "Tapi bukti itu tak akan pernah ada karena memang aku tak melakukan apapun." Alena berlalu dari sana dengan tenang seolah tak pernah terjadi apapun, sementara Zefan mematung memikirkan hal yang baru saja Alena katakan. "Semakin menyangkal, semakin besar dugaannya, dan
Meja penuh dengan beragam menu karena Maura memesan makanan lain lagi bersama Andreas. Obrolan mengalir didominasi oleh Maura dan Andreas. Sementara Dewangga hanya sedikit bicara sambil mempertahankan kesabarannya. "Mas Andreas, bagaimana kelas memasak sore tadi? Apa menyenangkan?" tanya Maura penasaran. Andreas mengangguk sambil tersenyum. "Lumayan. Hanya saja ada cerita memilukan dari salah satu peserta." "Cerita memilukan? Apa ada peserta yang sakit?" tanya Maura penasaran sambil mengunyah makanan. Andreas menggeleng. "Ketika seluruh peserta kelas ditanya alasan mereka mengikuti program kelas memasak ini, salah satu peserta—bu Maya—menceritakan bahwa alasan dia ikut kelas memasak karena dia butuh hiburan." "Hiburan?" Maura masih tak mengerti letak memilukannya di mana. "Ya. Saat ini bu Maya sedang menghadapi sidang perceraian dengan suaminya karena suaminya terbukti berselingkuh. Anak mereka hanya ada satu. Kedua belah pihak memperebutkan hak asuh anak, jadi sidangnya cukup a
"Maaf, Alena. Kamu bisa bersama Dewangga nantinya," kata Maura perlahan dengan perasaan yang semakin bersalah. "Aku ... sudah menanda-tangani surat perceraian itu. Setelah tiga bulan, kalian bisa bersama secara resmi." "Begitukah?" Alena menatap Maura dengan pandangan rumit. Dalam hatinya, wanita itu bersorak karena tiba-tiba dia memiliki sebuah ide. "Mengapa harus menunggu tiga bulan? Mengapa tidak sekarang?" "Itu karena aku—" "Alena? Mengapa kamu ada di sini?" Di atas tempat tidur, Dewangga telah bangun dan duduk menatap keduanya yang tengah berada di ambang pintu. "Hai, Dewangga. Selamat pagi," sapa Alena dengan senyum hangat. "Aku datang buat jemput kamu. Kenapa kamu baru bangun? Ini udah siang." "Kalian ngobrol aja dulu. Aku mau mandi di kamar sebelah," kata Maura sambil terburu-buru pergi dengan menyeret kakinya yang masih terasa sakit. "Apa yang kamu katakan padanya?" tanya Dewangga dingin sambil menatap tajam Alena. Alena tersenyum kaku. "Aku nggak bilang apapun." "Ben
Alena memegangi pergelangan kakinya dengan wajah sendu dan berurai air mata. "Alena, kamu baik-baik saja? Apanya yang sakit?" tanya Dewangga panik sambil berjongkok di depan wanita itu. "Apa kakimu terkilir?" "Sepertinya begitu, Dewangga," jawab Alena sambil mengangguk dengan wajah polos yang berderai air mata. "Pinggangku juga sakit." Maura menyaksikan adegan itu. Hatinya kembali berdenyut, lebih sakit dari sebelumnya. "Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang," ajak Dewangga sambil membantu Alena berdiri. "Aku nggak apa-apa, Dewangga," jawab Alena sambil menggeleng. Dia berdiri dengan pincang sambil berpegangan kuat pada tangan Dewangga. "Maura cuma nggak sengaja dorong aku." Maura tercengang. Mengapa Alena berbohong dan menuduhnya? Terlebih wanita itu mengadu pada Dewangga seperti itu. Maura mempertahankan kesabarannya. "Alena, mengapa kam—" "Segera minta maaf, Maura," potong Dewangga dengan tatapan dingin yang menghujam. Hati Maura memanas, juga berdarah. Maura menggele
Di rumah sakit, Dewangga kembali memakai jasanya ketika Alena telah selesai melakukan pemeriksaan tahap awal. "Kamu mau pergi?" tanya Alena yang berbaring di ranjang pasien. "Saya sudah menghubungi orangtuamu. Sebentar lagi harusnya mereka tiba," ujar Dewangga sambil mengecek arlojinya. "Besok kamu harus menemui dokter ortopedi untuk memeriksakan tulang kaki dan pinggangmu—" "Jadi, kamu nggak mau nemenin aku di sini?" tanya Alena dengan wajah memelas. "Kamu bukan lagi anak kecil, Alena." Dewangga mengecek ponselnya sebelum beranjak. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mia. Entah apa yang terjadi di rumah. Alena mengepalkan tangannya. Hatinya terasa pilu mendengar jawaban pria itu. "Saya akan pulang sekarang," ujar pria itu sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku jas bagian dalam, kemudian dia berjalan menuju pintu. "Apa kamu mencintainya?" Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Dewangga mematung. Dewangga tahu siapa yang Alena maksud. Pria itu tak menoleh meski tanganny
"Lihat, kan, Tuan? Mia udah ngaku," ujar bu Asih senang karena tak hanya dirinya yang terkena masalah. Mia terdiam sambil menelan ludahnya. Dia tahu dia sudah melakukan kesalahan karena Dewangga tak ingin siapapun melayani Maura. "Beberapa hari ini Mia membantu nyonya Maura melakukan semuanya dari mulai memasak, sampai membereskan kamarnya, Tuan," adu bu Asih. "Mbok Narti juga tuh." Mbok Narti menghela napasnya. Dia sudah pasrah jika harus mendapatkan peringatan keras dan gajinya dipotong. "Tuan, oma Ambar sering berpesan pada saya buat jagain dan bantuin nyonya Maura," kata Mia membela diri. "Karena itulah saya tetap membantu nyonya Maura walaupun udah Tuan larang." Dewangga terdiam beberapa saat kemudian dia berbicara dengan ekspresi datar, "Bagaimana dengan bu Asih? Apa Bu Asih juga membantu Maura secara diam-diam?" "Saya? Oh, saya manut, Tuan. Saya nggak pernah bantuin nyonya Maura apapun. Biar aja nyonya Maura yang ngerjain sendiri," jawab bu Asih senang. "Pokoknya, saya ngg
Dewangga menatap Maura dengan wajah datar dan muram. Pangkal alisnya berkerut. "Kenapa?" tanya pria itu. "Gak kenapa-kenapa," jawab Maura sambil bersiap-siap beranjak. "Kalau nggak mau, ya berarti gak mau." Maura pergi menenteng kantong berisi paketnya menuju pintu pagar tanpa mau menoleh lagi. Namun beberapa menit kemudian Dewangga tiba di sisinya menggunakan mobil. Tanpa berkata-kata lagi, Dewangga segera turun dan mengambil alih kantong di tangan Maura dan meletakkannya di jok belakang mobil. "Dewangga, kamu ngapain, sih?" protes Maura tak terima. "Balikin!" "Naik!" Alih-alih mendengarkan Maura, pria itu memberinya perintah sambil duduk di belakang kemudi. Maura menatap Dewangga tak percaya. Semua ucapannya sama sekali tak digubris tapi pria itu ingin ucapannya dituruti? Rasa sesak kembali hadir di dada Maura kala dia mengingat setiap perlakuan buruk pria itu padanya. Matanya hampir berkaca-kaca. Namun pada akhirnya Maura mengalah. Wanita itu duduk di sebelah Dewangga denga
Maura mundur beberapa langkah dan secara naluri berlindung di balik tubuh Dewangga. Tiba-tiba saja ada perasaan takut yang menyergap hatinya saat melihat sorot mata pria asing itu. “Dia beneran pacarmu, Maura?” tanya Dewangga menahan geram sambil menoleh dan menatapnya penuh penghakiman. “Aku nggak tahu, aku nggak ingat,” jawab Maura dengan pupil mata bergetar. Dewangga menarik napasnya panjang sambil mengepalkan tangannya. Amarahnya yang hampir meledak, diredamnya dalam-dalam. Dia ingat bahwa Maura masih amnesia. Jadi percuma menuntut jawaban dari wanita itu saat ini. Sisi hatinya meyakinkan bahwa Maura diam-diam telah mempermainkan pernikahan mereka selama ini dengan melakukan pengkhianatan. Namun sisi hatinya yang lain percaya bahwa Maura yang dulu selalu tergila-gila padanya hingga tak bisa menerima siapapun lagi. Dua sisi hatinya yang saling bertentangan membuatnya kian bimbang. Tapi bisa
Dewangga melihat-lihat beberapa pakaian yang telah Alena pilihkan.“Terima kasih, Alena. Saya akan mengambil semuanya,” ujar pria itu mengangguk puas. “Kamu bisa pilih pakaian yang kamu mau, biar saya yang bayar.”“Aku … udah milih gaun ini. Menurut kamu gimana? Bagus nggak buatku?” tanya wanita itu sambil meletakkan gaun itu di depan tubuhnya.Dewangga melihatnya sekilas dan mengangguk. “Bagus,” ujarnya yang perhatiannya segera teralihkan pada sebuah gaun sifon lembut berwarna pink muda dengan model asimetris di bagian roknya yang terselip diantara gaun lain, membuat Alena sedikit kecewa karena pria itu tak menaruh perhatian lebih padanya.“Apa ada pakaian yang mau dibeli lagi buat tante Laura?” tanya Alena sambil melihat ke arah pandang Dewangga, mencoba mencari tahu sesuatu namun dia tak yakin.“Tak ada.” Dewangga segera menggeleng dan mengalihkan pandangannya pada Alena.“Aku udah milih satu gaun yang cocok dengan selera Maura,” kata Alena sambil menumpuk pakaian miliknya dan bebe
Di sebuah mall, Maura dan Dewangga berjalan bersisian dengan sedikit jarak di antara keduanya. Sebenarnya Mauralah yang sengaja menjaga jarak. Lebih tepatnya menjaga jarak agar hatinya tak menjadi goyah dan berdebar-debar tak karuan.“Hadiah apa yang akan kita beli buat mama?” Dewangga membuka suara.Maura menghela napasnya. “Kamu salah bertanya, Dewangga. Aku nggak tahu selera mama Laura. Kenapa kamu nggak pergi sama Alena aja?”“Dia mungkin udah nunggu—”“Dewangga?” Seorang wanita cantik yang berjalan berpapasan dengan mereka menyapa tiba-tiba dan berhenti di depan Dewangga dengan wajah antusias. Di tangannya terdapat beberapa kantong belanjaan. “Apa kabar? Udah lama kita nggak ketemu.”Dewangga menghentikan langkahnya dengan raut wajah terkejut, Maura pun ikut berhenti.“Sandrina?” Pria itu menyebut namanya.Wanita bernama Sandrina itu tertawa renyah, terlihat sangat senang karena masih dikenali oleh Dewangga.Sementara Maura memperhatikan ekspresi keduanya dan membaca situasi. Se
Maura membeku dengan degup jantungnya yang berdebar kencang.Sudah berapa kali pria itu berdiri terlalu dekat dengannya tanpa jarak seperti itu? Jika dia melangkah mundur, pasti punggungnya bersentuhan dengan dada pria itu.Orang yang melihat mereka sekilas, mungkin akan berpikir bahwa Dewangga tengah memeluknya dari belakang.“Dewangga?” Maura mendongak. “Bukannya kamu mau berangkat kerja?”“Sebentar lagi,” jawab pria itu sambil menggulungkan lengan baju Maura yang satunya lagi. “Aku akan membilas gelas dan piringnya, kamu yang menyabuni semua.”“Tapi Dewang—”“Dewangga, kita udah telat,” protes Alena tak terima sambil mendekat, sambil menahan hatinya yang terbakar cemburu melihat interaksi mereka yang terlalu dekat dan terlihat lebih intim. “Pagi ini kita ada rapat penting.”Dewangga menoleh.“Sudah kubilang, kamu berangkat saja lebih dulu,” ujarnya sambil berdiri di sisi Maura, sambil melepas kancing lengan k
Dewangga mengerutkan alisnya di balik topeng. Tapi tatapannya yang terhunus tajam dirasakan dengan jelas oleh Maura yang berpura-pura tak mendengar atau melihat apapun.Maura memilih menatap ke tempat lain sambil menopang dagunya, daripada menatap pria itu yang kembali dirangkul Alena sambil berjalan menuju kursi kosong di depannya.Apanya yang tak memiliki hubungan? Sudah terlihat jelas mereka sedekat itu, yang anehnya membuat Maura merasa kesal. Kesal dibohongi, padahal sebelumnya dia hampir percaya dengan ucapan pria itu yang mengatakan bahwa dirinya dan Alena tak memiliki hubungan apapun.Mustahil mereka tak memiliki hubungan, disaat mereka bekerja di tempat yang sama, bertemu dan berinteraksi setiap hari, bahkan kadang wanita itu mampir ke rumahnya hanya untuk makan malam atau menjemputnya di pagi hari agar bisa berangkat bekerja bersama.Itukah yang disebut tak memiliki hubungan apapun?Maura merasakan tenggorokannya tercekat dan haus. Dia segera menghabiskan minumannya dan mele
Musik indah mengalun lembut saat Maura dan Narendra masuk ke ballroom hotel, tempat diadakannya acara resepsi pernikahan itu.Keduanya telah mengenakan topeng yang dibagikan di pintu masuk saat memperlihatkan undangan yang dibawa pria itu pada staff yang berjaga di depan karena tamu yang menghadiri pesta itu sangat terbatas.Maura menatap dekorasi pesta yang terlihat mewah dan glamor. Lampu-lampu hias menggantung, ada yang seperti air mancur, ada juga yang seperti bintang-bintang.Aneka makanan dan minuman terhidang di meja yang dilapisi kain satin hitam. Mulai dari makanan ringan, sampai makanan berat.Lalu di ujung panggung pengantin, sepasang penyanyi melantunkan lagu cinta dengan suara yang merdu.“Apa Dewangga udah ada di sini?” bisik Maura sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ke wajah orang-orang yang telah mengenakan topeng separuh yang menutupi mata, sama sepertinya.“Entahlah,” jawab Narendra acuh tak acuh. “Kita harus menemui tuan rumah dulu dan kedua mempelai. Aku
Di kantor sore itu, Zefan yang tengah membantu merapikan beberapa berkas kontrak, menatap bosnya setelah membaca sebuah pesan yang masuk. Keduanya sama-sama duduk di sofa setelah selesai berdiskusi singkat.“Malam ini ada acara, kan? Pernikahan anaknya pak Bobby,” katanya membuka suara sekaligus mengingatkan, membuat Dewangga menoleh sekilas. “Setelan jas pesananmu katanya akan tiba di sini sebentar lagi. Gaun dan sepatunya juga.”Dewangga menjawab dengan anggukan.“Dengan siapa kamu akan datang? Apa aku harus menghubungi nyonya Maura buat minta dia bersiap-siap?”Dewangga terdiam sejenak. Dia teringat dengan penolakan Maura padanya saat pria itu mengajaknya membeli hadiah kalau wanita itu libur bekerja nanti. Mungkin Maura juga akan menolak ajakannya datang ke pesta pernikahan itu malam ini.Bukankah memang sebelumnya dia tak pernah mengajak wanita itu menghadiri berbagai acara? Pasti Maura juga bisa menebaknya meski sekarang dia amnesia.“Nggak usah hubungi dia,” ujar pria itu denga
“Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah. “Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.” Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.” Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu. Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya. “Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar. Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya. “Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sa
Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria