Share

Part 9. Sesal yang Datang di Akhir

"Tolong ... siapapun, tolong kami .... "

 

Di tengah malam buta, saat cahaya rembulan sedang bersembunyi di balik awan gelap. Sedangkan bintang-bintang juga sedang begitu malas menampakkan diri. Sebuah mobil yang meluncur membelah jalan raya menuju puncak Bogor, tiba-tiba tak terkendali dan menghantam marka pembatas jalan. Mobil itu berguling beberapa kali hingga kemudian terbalik.

 

Suara minta tolong itu terdengar menyayat hati. Tapi apa hendak dikata, malam ini tak ada satupun kendaraan yang lewat di tempat itu.

 

Bahkan rintik hujan mulai turun mengguyur bumi, seolah meredam gejolak panas angkara murka.

 

"Tolong, tolong kami," suara minta tolong itu terdengar semakin lirih.

 

Dalam keadaan setengah sekarat, suara itu tak berputus asa meminta pertolongan.

 

Setengah jam kemudian dari kejauhan tampak cahaya lampu mobil mendekat kearah mereka, melihat cahaya itu, sosok yang merintih minta tolong itu seolah melihat cahaya harapan. Berharap dewa penolong telah datang menolong mereka.

 

Anne terbangun, nafasnya tersengal-sengal. Keringat membanjiri tubuhnya. Sampai hari ini Anne masih sering mengalami mimpi buruk ini. 

 

Mimpi buruk yang selalu datang menghampiri. Mimpi yang selalu sama, yaitu saat dia mengalami titik terendah dalam hidupnya. Saat dimana kecelakaan tragis itu terjadi. 

 

Itu adalah Pengalaman mengerikan yang dia alami di masa kecilnya, yang kerap kali hadir begitu saja dalam mimpinya.

 

Saat itu Anne baru berusia 14tahun, dia masih kelas 2 SMP. Dia mengalami kecelakaan maut yang merenggut kedua orang tua nya sekaligus, nyatanya bekas itu tidak mudah untuk dihapus begitu saja.

 

Anne sering mengalami mimpi buruk, yang selalu sama, seperti kaset yang diputar berulang-ulang.

 

Dalam mimpinya, saat itu Anne antara sadar dan tidak, dia mendengar papanya merintih minta tolong, mama yang disampingnya sudah tidak lagi bergerak. 

 

Sementara dia sendiri terpejam, masih mendengar sayup-sayup suara papanya. Tapi tak mampu menjawab ataupun bergerak.

 

Anne mendengar langkah kaki sayup-sayup mendekati mobil mereka.

 

"Han-do-ko, to-long ka-mi," suara Darren.

 

Itu adalah suara papanya yang terakhir yang bisa Anne dengar. Setelah itu Anne hanya mendengar papanya seperti merintih karena tercekik. Dan setelahnya dia sudah tidak bisa mendengar suara apapun lagi.

 

Keringat dingin membasahi baju tidurnya. Ketika mimpi itu datang dia hanya bisa melantunkan dzikir dan doa untuk kedua orang tuanya.

 

Secara nyata dia tidak bisa mengingat dengan jelas. Karena begitu Anne siuman,  saat itu dirinya sudah ada di rumah sakit. Anne tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit. 

 

Hampir tiga minggu Anne menjalani perawatan. Karena dokter menyatakan dia kehilangan pendengarannya.

 

Betapa hancur hidupnya saat itu, kehilangan pendengarannya serta kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. 

 

Bagaimanapun dia hanya seorang anak remaja saat itu. Apa yang dia alami adalah sebuah mimpi buruk yang tidak sanggup dia bayangkan sebelumnya. Hingga rasa kehilangan itu telah merenggut paksa  kebahagiaannya.

 

Sampai akhirnya Anne menjalani banyak terapi pendengaran dan memakai alat bantu dengar. Kemudian dia bertemu dengan komunitas yang saling menguatkan satu sama lain. Semua itu perlahan-lahan bisa memulihkan rasa kehilangan itu. 

 

"Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah ... "

 

Anne masih berdzikir di sudut kamar. Sajadah panjang itulah yang menjadi satu-satunya tempat menenangkan diri, setiap kali mimpi buruk itu datang.

 

Merindukan ketenangan hidup, seperti ketika papa dan mamanya masih hidup. Mama, Anne rindu ... Hiks ... 

 

Derai air mata semakin deras, mengalir menganak sungai menuju ke samudra batin yang terasa teriris sembilu.

 

 

❤️❤️❤️

 

 

"Hanz, Papa perhatikan dari tadi kok bengong aja," ujar Federick.

 

Federick masuk di ruangan Hanzel dan melihat putranya sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.

 

"Hanzel baru memeriksa keuangan bulan ini, Pa. Udah deh ga usah ganggu," cicitnya.

 

"Tapi papa lihat laptopnya mati tuh, Hanz," Papanya tersenyum jahil.

 

"Hmm itu karena, Hanzel lupa baterei nya habis,"

 

Wajahnya tampak pilon, dengan senyum setengah niat. Bukan senyum, lebih tepatnya meringis menahan malu.

 

"Hahaha ... Hanz, papa tuh pernah muda lho. Pernah ngerasain jatuh cinta juga. Jadi ya, Papa maklum sih," papanya menggoda.

 

"Apaan sih, Pa?"

 

Om Federick tersenyum, kemudian bertanya.

 

"Kamu ga sedang cemburu kan, Hanz?"

 

"Cemburu sama siapa emang?" balas Hanzel cuek.

 

"Siapa lagi kalau bukan sama Alex," tegas Federick.

 

"Ya ga lah," elak Hanzel.

 

"Ah yang bener?"

 

Hanzel memutar bola mata malas, sementara Federick berjalan mendekati Hanzel. 

 

"Tapi kamu harus hati-hati sama Alex, Hanz. Dia berbahaya," ucapnya dengan wajah serius.

 

"Maksud papa?"

 

"Saran Papa, jangan kasih kendor. Atau kamu akan kehilangan Anne," desak papanya.

 

"Apaan sih Pa, bete deh," sungut Hanzel.

 

"Papa serius, Hanz. Dia berbahaya," kini Federick memandang putranya lekat-lekat.

 

Ditepuknya beberapa kali bahu anaknya itu, kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangan Hanzel.

 

Hanzel terdiam penuh tanya. Hanzel tahu persis ekspresi Papanya itu tidak sedang bercanda. Karena dia hafal Papanya itu orang seperti apa.

 

Tapi kenapa papa memberi teka-teki seperti ini. Hanzel yakin, mata-mata papanya yang telah memberi tahu papa siapa Alex itu yang sebenarnya.

 

Jadi aku harus bagaimana?

 

Pepetin Anne tiap hari gitu?

 

Ah, kalau itu sih Hanzel mau banget dong.

 

Semburat merah tiba-tiba muncul di kedua pipinya. Kedua bibirnya melengkung,  menampilkan deretan gigi diantara jenggot dan kumis tipisnya yang menawan. Itulah pesona seorang Hanzel Adi Wijaya yang digilai para wanita.

 

 

❤️❤️❤️

 

 

"Tumben masih sore kok sudah pulang to, Pak?" Sapa istri Pak Hardiman ketika suaminya pulang kerja.

 

"Iya, Buk. Tadi Pak Ardian mengijinkanku pulang lebih awal. Katanya tidak butuh tenaga bapak malam ini, ya sudah bapak pulang aja. Memangnya ibu ga suka kalau bapak pulang awal?" Canda Pak Hardiman pada istrinya.

 

Sepasang suami istri itu kini hidup hanya berdua, kedua anaknya sudah hidup mandiri dengan keluarga mereka masing-masing di kota yogya.

 

Sebulan ini Pak Hardiman dan istrinya  mengikuti majikan mereka pindah di Jakarta. Mereka berdua di kontrakkan rumah oleh majikannya tidak jauh dari rumah majikannya itu. Jadi Pak Hardiman datang ke rumah majikannya setelah subuh untuk nyuci mobil dulu, sebelum mengantar keluarga majikannya beraktivitas setiap hari. Tugasnya adalah sopir di keluarga itu.

 

"Beberapa hari ini, ibu perhatikan Bapak kok kayak sedih gitu, kenapa to Pak?" Istrinya menatapnya penuh tanya.

 

"Ndakpapa, Bu. Cuma bapak merasa bersalah," jawabnya.

 

"Merasa bersalah bagaimana? Memangnya bapak berbuat salah apa pada Pak Ardian?" Tanya istrinya.

 

"Mungkin memang Gusti Allah menginginkan kita bertanggungjawab, Bu," ucap Pak Hardiman lirih.

 

Pak Hardiman tampak gelisah menghela napas panjang. Sang istri segera menyadari arah pembicaraan suaminya.

 

Kemudian sang istri juga mendadak gelisah. Saat itu seharusnya mereka berdua tidak pergi. Tidak semestinya mereka menghilang begitu saja saat keluarga Atmaja sedang berduka. Berduka dengan meninggalnya Darren Atmaja dan sherly istrinya.

 

Seharusnya mereka tetap berada disana. Tapi apalah daya, mereka saat itu begitu ketakutan. Keadaan sudah berada diluar kendali mereka. Fitnah yang akan mereka terima akan sangat kejam.

 

Mungkin mereka akan menjadi pihak yang dikorbankan oleh kelicikan seseorang. Mereka tidak mau ditumbalkan, sehingga pilihan satu-satunya hanyalah lari sejauh mungkin dari kehidupan keluarga itu sebelum terlambat.

 

Begitulah, Pak Hardiman dan keluarganya memilih untuk pindah ke kota yogyakarta untuk memulai kehidupan baru dengan Mencari pekerjaan baru. Menjauh dari keluarga Atmaja.

 

Sampai akhirnya dipertemukan dengan majikannya yang sekarang. Yaitu keluarga Ardian, dia bekerja padanya sudah hampir sepuluh tahun.

 

Tidak disangka, kadang nasib mempermainkan manusia sedemikian rupa. Ketika Pak Hardiman sudah hidup tenang selama sepuluh tahun ini, majikannya malah mengajaknya pindah ke Jakarta. 

 

Lebih parahnya, takdir seolah telah menjebaknya dalam situasi ini. Siapa sangka jika Ardian adalah teman dari Federick. Yang merupakan calon besan dari keluarga Atmaja.

 

Itulah yang membuatnya dirundung kegelisahan. Terlebih saat mendengar cerita dari majikannya, bahwa Anne Putri Atmaja, putri majikannya yang dulu sering dia antar ke sekolah sekarang menjadi tuli Karena kecelakaan itu.

 

Duh, seandainya dulu dia berani berkata yang sebenarnya kepada majikannya. Tentunya semua tidak akan jadi begini.

 

Ketika nasib telah membawanya kembali kesini, itu adalah sebuah isyarat dari Allah. Bahwa Allah menginginkannya untuk tetap di sini. Dia tidak berniat untuk melarikan diri lagi. Entah apa yang sudah Allah rencanakan dengan ini ...

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status