Share

Part 10. Maukah Kau Melahirkan Anak-anakku?

Federick membaca berkas laporan yang dikirim seseorang di email-nya. Dari ekspresi wajahnya menampakkan keseriusan, seolah sedang memeriksa laporan penting.

 

"Hmmm, jadi begini, dasar licik," desisnya geram.

Dia masih begitu serius membaca email itu, ketika terdengar dering panggilan telepon di Smartphone nya.

 

"Ya."

"Teruskan saja, jangan ada yang terlewat!"

"Okay, kutunggu laporannya."

 

Demikian instruksi yang dia perintahkan pada orang di seberang sana. Setelah dia menutup telepon, Federick kembali sibuk dengan laptopnya. 

 

"Gue akan membongkar semua misteri ini untuk elo, semoga elo tenang di sana, Sher," gumamnya pelan.

 

Federick Adi Wijaya menghembuskan nafas panjang. Dia terkenang dengan masa sekian puluh tahun yang lalu. Ketika dia masih memakai seragam putih abu.

 

"Sher, bulan depan keluarga gue mau pindah ke Amrik. Jadi gue harus ikut ke sana," pamit Federick.

"Yah, kita ga bisa ketemu lagi dong," protes Sherly.

"Bisalah, kayak ga ada pesawat aja," keduanya kemudian tertawa bersama.

 

"Makasih, ya. Selama ini udah jadi sahabat terbaik gue," Federick berucap sambil menggandeng tangan sahabatnya itu.

 

"Baiklah, elo boleh pergi. Tapi janji, ya. Tar balek lagi ke indonesia," pinta Sherly mengiba.

"Pasti, Sher,"

 

"Gimana kalau misal kita bikin perjanjian, tar misal anak gue cewek dan anak elo cowok kita jodohin aja, ya. Pasti seru," ujar Sherly.

"Hahaha ... masih SMA udah mikir jodohin anak," balas Federick.

"Biarin, biar elo ga lupa sama gue, Drik," sungut Sherly.

"Kenapa ga kita aja yang merried? Kayaknya lebih asyik tuh," goda Federick.

"Ogah, males banget gue jadi istri elo," Sherly terbahak-bahak.

"Sialan Lo, emang kenapa coba?" Federick manyun.

"Pokoknya gue ogah, kita tetap jadi sahabat sampai kapanpun," 

"Okay, gue bakal kembali bawa anak cowok, buat jadi suami anak elo," Federick menjawab sambil terbahak.

"Elo harus inget janji ini, Drik. Kalau ga, tar gue tagih terus, meskipun gue udah mati, gue bakal menghantui hidup elo,"

 

Tiba-tiba airmata Federick mengalir, mengingat perbincangan mereka di masa itu.

 

"Gue ga lupa janji gue, Sher. Anne akan gue jaga semampu gue," ucapnya yakin.

Semenjak Federick pindah di Amerika, mereka hanya saling berkirim kabar lewat email atau telephone.

 

Begitu juga saat Sherly menikah dengan Darren Atmaja, Federick selalu mendapatkan kabar tentang keluarganya dari email yang hampir sebulan sekali di kirim Sherly.

 

Sampai akhirnya ketika anak mereka sudah sekolah di sekolah menengah Federick dan istrinya pulang di Indonesia. Mendirikan perusahaan cabang di sini. Sementara anak-anaknya memilih tetap tinggal di Amerika, karena setelah satu tahun ikut di Indonesia mereka belum bisa membiasakan diri dengan suasana Indonesia.

 

Saat itu beberapa kali berjumpa dengan Darren Atmaja dan Sherly. Membahas kerjasama bisnis, sekaligus juga melanjutkan perbincangan tentang janji mereka di masa putih abu. Meski hanya sekedar perbincangan saja karena anak-anak mereka toh masih sekolah SMP. 

 

Sampai kemudian Federick mendengar berita tentang kecelakaan yang menewaskan keduanya.

 

Sebagai sahabat lama Sherly, dia curiga dengan kecelakaan itu. Sehingga dia menyewa detektif untuk menyelidiki bahkan mengawasi keluarga Atmaja, sampai hari ini.

 

Ketika Federick tahu, Anne aktiv di sebuah yayasan tuna rungu, dia kemudian memutuskan untuk menjadi donatur tetap yayasan itu. 

 

Semua itu dia lakukan karena dia ingin bisa dekat dan mengawasi Anne, se-alami mungkin. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan pihak yang masih berkeliaran mengancam nyawa Anne setiap saat.

 

Semua informasi telah dia dapatkan, termasuk bagaimana keluarga Atmaja memperlakukan Anne.

 

Federick bahkan sangat geram saat dia melihat sendiri bagaimana keluarga Atmaja mencoba mempermalukan Anne didepannya,  saat makan malam untuk mempertemukan Hanzel dan Anne saat itu.

Sehingga dia memutuskan untuk segera pergi dari sana segera, bukan kesal dengan Anne. Tapi kesal melihat Anne dipermalukan didepannya.

 

"Mereka akan membayar lunas semuanya, Sher. Gue janji sama elo," gumamnya seraya mengusap airmata yang lolos dari sepasang matanya.

 

 

***

 

 

"Lex, gimana,"

Raka sore ini ketemuan sama Alex di kafe sepulang kerja. 

"Gue galau, Ka,"

"Apaan sih, cuma gitu doang," Raka mencibir.

"Tapi tar kalo ketahuan gue bisa di penjara, hidup gue bakal hancur," ucap Alex.

"Ya, jangan sampai ketahuan dong, Bro. Kerja yang rapi, biar ga ketahuan," Raka terus membujuk.

 

"Gue belum pernah ngelakuin kayak gini, Ka. Gue anak baik-baik, tahu ga," kata Alex kemudian.

"Heleh, cemen, Lo," jiwa ke-lelaki-annya merasa tertantang dengan ejekan Raka.

 

Alex tampak berpikir.

 

"Please, bro, tolongin gue. Miska bakal bawel banget kalo tar elo nolak," bujuk Raka.

"Yah, elo. Sama Adek aja kalah," ejek Alex balik.

"Tau tuh, nyokap pilih kasih banget sama gue," Raka tampak kesal.

 

"Kalau Miska minta semua dikabulin, nah giliran gue yang minta pasti diceramahin panjang lebar, bete banget tau ga," ucap Raka.

"Elo kayak anak tiri aja deh, Ka," Alex menimpali.

 

Raka hanya mendengus kesal. Selama ini bahkan dia sudah menjadi kakak yang baik buat Miska, tapi kenapa dia masih diperlakukan tidak adil seperti ini.

 

"Udah ah, kok jadi ngomongin gue," Raka menimpali.

"Trus jadi apa keputusan elo?" tanya Raka.

"Gue butuh waktu, Ka. Karena gue harus menimbang-nimbang baik buruknya," jawab Alex.

"Yaelah, kelamaan dong, Lex. Miska butuh kepastian," desak Raka.

 

"Ga bisa buru-buru dong, Ka. Bisa berabe kalo buru-buru. Semua harus dibikin Mateng dulu, baru eksekusi," ujar Alex.

"Cie, kayaknya elo udah punya pengalaman eksekusi," cibir Raka.

"Hahaha ... ya ga gitu juga, cuma ya jangan grasak-grusuk," elak Alex.

 

Raka manggut-manggut, kemudian dia berpamitan pulang.

 

"Ya udah deh, gue tunggu kabar dari elo, apapun keputusan elo,"  tukas Raka.

"Oke, Bro. Asiyap," jawab Alex. 

Setelahnya Raka melangkah menjauh, pulang.

 

 

 

***

 

 

Anne duduk di depan Hanzel. Siang ini Hanzel menjemput Anne di yayasan karena mengajaknya makan siang. Mereka makan siang di sebuah restoran sea food kesukaan Hanzel.

 

Sejak perkataan papanya yang mengatakan bahwa Alex berbahaya. Hanzel jadi kepikiran. Dia berusaha lebih sering mendatangi yayasan untuk bertemu Anne.

 

"Ann, kamu mau makan apa?"

"Aku bisa makan apa aja, Hanz," 

"Masak sih? Buktinya saat itu kamu makan sup sama minum juz alpukad, dilepehin," goda Hanzel.

 

Wajah putih Anne memerah saat dia teringat peristiwa itu. Betapa memalukan sikapnya saat itu.

 

"Waktu itu juz nya asin, Hanz," bela Anne.

"Ya ampun, Ann. Pelayan yang di rumah kamu apa ga bisa bedain gula sama garam sih?" Hanzel terbahak.

"Ya kali dikiranya kuah sup makanya dikasih garam, untung aja kamu ga nyobain," ucap Anne polos.

 

Hanzel tersenyum. Entah apa yang telah membuatnya selalu merindukan wanita di depannya ini. 

 

Wajah polos tanpa make-up, penampilan sangat sederhana. Padahal dia berasal dari keluarga konglomerat. Hanzel tak habis pikir. Kenapa bisa bertolak belakang dengan penampilan Miska.

 

Tak lama kemudian pelayan restoran mengantar pesanan mereka, dan mereka kemudian makan dalam diam.

 

"Hanz,"

"Hmmm,"

 

"Bisa ga lain kali makan di warung lesehan pinggir jalan, gitu," tanya Anne membuat mata Hanzel tak berkedip. Hanzel tak habis pikir dengan permintaan Anne.

 

"Kenapa?"

"Ya gapapa sih, cuma sayang uangnya. Aku jadi inget anak-anak di yayasan," kata Anne lirih.

 

"Makanan dengan citarasa seperti ini, aku tahu tempat yang jual dengan harga yang sangat merakyat, kapan-kapan kita makan di situ, kalau kamu mau sih," cicit Anne kemudian.

 

"Kamu ngajak aku nge-date nih, Ann?" goda Hanzel jahil.

"Okay, kapan kita makan di sana? sesekali nurutin permintaan calon istri," lanjut Hanzel kemudian. Kemudian Hanzel nyengir kuda.

 

Wajah Anne memerah mendengar Hanzel menggodanya. Padahal tadinya dia hanya merasa sayang harus bayar mahal, jika ada makanan dengan citarasa yang sama dengan harga yang murah, kenapa ga di coba.

 

Hanzel tersenyum penuh kemenangan, melihat wanita di depannya kini wajahnya  mirip udang rebus. Memerah.

 

"Ann."

"Ya."

"Apakah kamu bersedia menjadi ibu dari  anak-anakku?"

 

Anne yang baru minum lemon tea jadi tersedak mendengar perkataan Hanzel. 

 

"Uhuk, uhuk," Anne tersedak.

"Pelan-pelan, Ann," tukas Hanzel.

 

Hanzel segera berdiri menepuk punggung Anne, sambil menunduk. Kemudian mengelus rambut Anne penuh sayang.

 

Sementara dari kejauhan sepasang mata yang mengawasi mereka dari tadi tampak kesal. Karena dari jauh pemandangan itu terlihat seolah Hanzel sedang bermesraan dengan Anne. 

 

"Elo harus jelasin sama gue, Hanz," ucapnya kemudian beranjak pergi dari restoran itu sambil menahan geram.

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status