Share

Iblis Molekular 2

Mereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha-

25 April.

“Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett  yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?” Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar.

Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap.

Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan terbentuk pada dirinya.

“Jika suatu ketika beberapa dari tetanggamu mengatakan bahwa udara di sekitarmu beracun lalu menawarkan padamu tabung oksigen dengan harga tak masuk akal, apakah lantas kamu akan membelinya tanpa berpikir panjang?” Lelaki metroseksual itu masih berbicara dengan tenang dan lancar. Intonasi suaranya begitu terkontrol dan sorot mata itu, membuat beku lidah siapapun yang tersihir olehnya.

Begitulah news anchor berita bergaun merah maroon dengan rambut ikal panjang yang dirapikan sedikit ke belakang membawakan berita pagi. Pemilik suara lembut nan tegas yang berkali-kali menyabet nominasi anchor terfavorit nasional. Ia selalu mampu membawakan berita dengan menarik.

Berita itu diliris tepat sehari setelah konferensi yang kuhadiri bersama Pria tua itu berakhir. Mereka memang selalu tepat waktu, pukul sepuluh tepat pers conference dimulai, seperti yang disepakati, segala yang mereka katakan pun, tak secuil pun melenceng dari hasil konferensi saat itu. Memilih Tuan Gatta sebagai juru bicara memang keputusan tepat. Siapa yang mengira jika ternyata dia memiliki peran besar dari skandal dunia di banyak negara.

“Lalu Pak, bagaimana dengan negeri-negeri tetangga yang mulai menutup akses dari dan menuju negeri Amnqexia?” Wanita yang sedari tadi memperhatikan setiap kalimat politikus sekaligus penanam saham sukses itu mengajukan tanya yang mengganjal di hati setiap orang.

Sebenarnya padanan yang ia pakai untuk menggambarkan desas-desus wabah ini sungguh tidak sesuai. Namun, bahkan aku perlu beberapa detik untuk berpikir saat mendengar nada suara yang begitu terjaga dan penuh dengan tekanan halus. Lelaki yang pandai bersilat lidah, pantas jika jabatan juru bicara otomatis berada di pundaknya, bahkan lebih dari itu.

“Negeri Amnqexia sudah menjadi kolega kita sejak dulu, jikapun wabah itu benar terjadi di sana, bukankah seharusnya kita memberi dorongan moral bagi pemerintah dan rakyat Amnqexia?”

‘Slap’

Layar yang beberapa detik lalu masih menampilkan paras penuh wibawa lelaki lima puluh tahunan dengan dandanan parlentenya itu seketika padam. Pria yang entah -sejak kapan dan dari mana ia datang- itu tiba-tiba saja berkacak pinggang sambil memegang remote di hadapanku.

Wajah hitam manis itu kini nampak seperti kepiting rebus yang baru ditiriskan dari panci, merah padam. Semerah kedua bola mata yang terlihat kurang tidur, rambut gondrong yang sedikit ikal itu acak-acakan. Benar-benar menggambarkan tampilan seorang pria yang kacau, walau sebenarnya nasib lelaki itu tak sekacau hidup yang dijalani hingga detik ini.

“Serigala bermulut licin! Dorongan moral katanya?” Kalimat yang keluar dari mulut pria ini sudah sama berantakan dengan fisiknya.

Pria pemikir itu mungkin sudah berada pada titik yang fisiknya tak mampu lagi menanggung beratnya beban pikiran. Dalam keadaan normal, kurasa dia tak akan mengumpat seperti tadi seberapapun dia merasa kesal atau kecewa.

“Lang, kamu sama direktur kemarin itu ngapain aja, sih? Lihat ulah profesor tamak itu. Ular berbisa! Dia juga paham betul virus jenis apa Scarlett  itu. Mau bikin kiamat lebih cepat dia?” Pria berparas hitam manis dengan hidung menjulang setinggi mahameru itu mengamuk seperti kuda kesetanan.

Skandal di balik tersebarnya virus berbahaya yang sedang dikembangkan para peneliti di negeri Amnqexia itu mulai menjadi buah bibir masyarakat dunia. Namun, tak banyak yang tahu pasti hal besar apa di balik tragedi Scarlett. Ganesha, adalah salah satu ilmuwan yang turut dalam proyek penelitian besar itu.

“Lu ngomong sama gue, Sha?” Dengan santai kuseruput kopi hitam dingin yang tergeletak sejak sepuluh menit lalu pada meja tengah. Melihat tanggapanku, wajah itu berubah merah padam.

Apakah dia juga ikut mengambil peranan dalam drama kali ini? Setahuku, dia adalah salah satu ilmuwan yang paling paham tentang sejarah kehidupan Scarlett. Dia juga salah satu manusia di dunia ini yang memiliki peran untuk mencegah atau menciptakan epidemi bahkan sebuah pandemi dunia. Sekarang dia bicara meracau, setelah ekspedisi pelariannya tiga bulan lalu yang merepotkan.

“Woles, Bray. Lu aja sana ngegantiin gue ngedampingin Direktur. Gue siapin mesin waktu.” Jawabku sambil berdiri hendak berlalu.

“Mau kemana kamu, Lang?” Pria itu, selalu tak senang jika perkataannya diacuhkan. Ia menimpali tingkahku dengan pertanyaan bernada dingin yang menyebalkan.

Entah apa yang sebenarnya terjadi dalam laboratorium Rowan di Kota Wanhzu, bahkan Ganesha pun tak bisa mengatakan dengan jujur kejadian sebenarnya. Seberapa mematikan virus yang dia bilang memiliki daya regenerasi tinggi itu, aku sendiri lebih sibuk dengan ruang bawah tanah ketimbang memikirkan kegilaan mereka. Mungkin dia benar tentang sifat tamak mereka itu.

“Oh, mau bikin cake. Buat ngerayain keberuntungan Lu, lolos dari tempat terkutuk itu tepat sehari sebelum wabah nyebar. Lu emang The Lucky Man, Sha.” Aku menepuk pundak lelaki itu sambil tergelak. Membuat wajah pria hitam manis itu semakin masam.

Ganesha tak memperhatikan ejekanku atas sikapnya barusan. Kurasa dia sudah mulai larut dalam teorema-teorema dalam kepala. Skandal, virus, pandemi, tragedi dan rahasia. Gestur tubuh dan mimik wajah lelaki berparas manis dengan rahang kuat itu terlihat lain ketika sedang berpikir atau merenungkan sesuatu.

Aku hanya menebak hal apa yang sedang mereka rencanakan dengan intuisi yang biasanya sangat kuat. Sedangkan Ganesha, agaknya dia dua langkah lebih di depan. Hanya butuh beberapa detik bagi dia berpikir lalu mulai menyusun rencana.

“Mereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu.” Masih terngiang ucapan Ganesha bulan lalu dalam jaringan roaming internasional.

Satu hari lalu, direktur memintaku menemani hadir dalam sebuah konferensi tertutup. Saat mengetahui siapa saja peserta konferensi itu, mendadak perut ini mual. Ini bukan sekedar konferensi biasa. Ini pembicaraan bawah tanah dan hal yang telinga ini tangkap setelahnya membuat diafragma seolah diberi tekanan berat. Membuatku tak hanya mual, tetapi sekaligus sesak napas. Manusia-manusia itu sudah hilang waras.

Ganesha benar, mereka gila.

Splash.

Adonan cake muncrat dari dalam wadah karena speed mixer yang terlalu tinggi. Isi kepala ini sedang tak fokus dengan apa yang dikerjakan tubuhnya. Sial, adonan tadi mengenai mata dan sebagian wajahku.

“Aaghh ...” Refleks saja mulut ini berteriak. Buru-buru tubuh berbalik hendak menuju wastafel setelah sebelumnya tangan refleks mematikan mixer yang bekerja keras mengaduk adonan shiffon.

Di saat yang bersamaan, Ganesha yang mendengar teriakanku tergopoh-gopoh menuju dapur. Dengan mata yang terpejam, tubuh jenjang atletis itu tak tertangkap indera. Sehingga tumbukan pun tak terelakkan.

“Kamu ngapain, Lang?” Kalimat itu lagi, entah ada apa dengan kepala Ganesha hingga setiap kali ada sesuatu terjadi, kalimat yang pertama terlontar darinya selalu kalimat itu.

Ngapain, Lang. Sedang apa. Ada apa? Seolah tak ada pilihan kata lain untuk membuat kalimat yang lebih enak didengar dan tidak monoton. Apakah lelaki itu tak bosan ya, dengan diksi menjemukan semacam itu? Dasar saintis koleris!

“Lu gak lihat muka gue kena adonan? Air, air ... buruan!”

Byur. Sebaskom besar air tersiram di wajah hingga membasahi T-Shirt. Si jenius ini kadang bisa bertindak begitu bodoh juga. Dia menyelesaikan masalah di wajahku, tetapi menimbulkan bencana lain dalam ekosistem yang lebih komplek. Jika kawanan Rowan seperti itu semua, tak heran kalau mainan mereka kini jadi pandemi dunia.

“Sha! Ya ampun, apa-apaan, sih? Lu liat, dapur gue berantakan. Baju gue basah.” Omelku padanya.

Apakah dia tidak bisa berpikir lebih cerdas dengan hanya membawaku ke wastafel lalu menyalakan keran air alih-alih menyiramkan sebaskom air ke badan dan membasahi seluruh dapur?

Tanganku mengusap-usap rambut yang lepek penuh dengan tetesan air yang membasah hingga ke wajah hampir seperti habis disiram hujan lebat. Sebuah handuk kering tiba-tiba melayang dan mendarat tepat di muka sebelum sempat tangan bergerak menangkapnya. Langkah yang tenang berirama perlahan menuju kursi seberang mendudukkan tubuh pada salah satu kursi dan menikmati pemandangan dari kekacauan bencana yang ia ciptakan tanpa sengaja.

Tanpa sengaja, tiba-tiba saja otak ini menyambungkan sinaps-sinaps mengenai wabah itu. Scarlett, benarkah semua itu tak sengaja? Kecerobohan atau keacuhan mereka yang membuat tragedi ini mendunia.

Apakah bukan karena kesengajaan yang tiba-tiba?  Seperti yang baru saja dilakukan Ganesha. Mungkin otak mereka terbiasa dituntut bertindak cepat.

Kepanikan, bukankah tadi ia terkejut karena teriakan. Waktu itu, dia bilang mereka mengembangkan iblis molekular. Apakah teori itu memicu kepanikan segelintir dari mereka?

“Tadi kamu bilang minta air ‘kan? Kusiram saja air di baskom samping wastafel itu. Masalah lantai dan baju basah, itu tinggal dipel dan ganti baju. Beres.” Dia berbicara sambil mengunyah kroket kentang sisa tadi pagi.

“Lagian, ngapain juga adonan dalam wadah kamu lempar ke muka? Kamu ini dokter ato tukang kue, sih, Lang?” Kini dia melangkah menuju lemari pendingin.

Mengeluarkan botol besar berisi satu liter jus mangga. Lalu kembali melangkah menuju rak, mengambil gelas dan menuangkan isi botol di dalamnya. Tindakan yang tidak praktis.

Meskipun dia ingin bertindak higienis dengan tanpa menenggak langsung isi botol ke dalam mulut, seharusnya dia bisa bersikap praktis dengan mengambil gelas terlebih dahulu sebelum menuju lemari pendingin.

Bukankah dia justru menyia-nyiakan energi dengan melakukan banyak gaya untuk bergerak dari kursi menuju lemari pendingin lalu berbalik ke rak gelas yang letaknya hanya satu setengah meter ke barat daya dari kursi dan lima langkah dari kulkas? Sehingga dia menghabiskan waktu 3 menit lebih lama hanya untuk meminum segelas jus mangga. Jenius yang kurang efektif.

“Speednya terlalu kenceng tadi, gue cuma buat cake shiffon loyang kecil. Biar sekali makan habis.” Tanganku masih sibuk mengelap beberapa bagian lantai dengan kain pel, memerasnya lalu kembali menyapu air yang masih menggenang seperti kenangan yang enggan menghilang.

“Speed?” Aktivitas meneguk isi gelasnya tertahan lima detik. Lalu dengan alis terangkat sebelah ia mendekati adonan belum selesai yang masih dalam wadah.

Aku memperhatikan sikapnya yang serius mengaduk adonan shiffon pelan dengan spatula. Mulut yang masih menyisakan warna kuning pekat dengan sedikit semburat jingga dari jus mangga yang telah diteguknya itu menggumamkan sesuatu tentang penampang lebar dan gravitasi. Entahlah, tidak terlalu terdengar. Lalu tangannya lancang menyalakan mixer dengan putaran maksimum.

Adonan kembali terciprat, kali ini tidak sampai mengenai wajahnya. refleks yang bagus. Hanya beberapa detik saja mixer menyala full speed, kemudian kembali mati. Aku tahu dia menemukan sesuatu saat dia berlalu dengan langkah tenang dan mantap sambil berkata, “Terima kasih”.

Jika bukan karena wasiat pria tua itu, ucapan terima kasihnya akan kuhadiahi bogem mentah karena telah mengacak-acak adonan shiffonku. Melihat dapur dan adonan kue yang berantakan, membuka kembali kenangan akan tempat itu, surga yang meninggalkanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status