Share

Mimpi Buruk

Ikuti saja alurnya, melawan arus yang deras adalah kematian yang disengaja. -Sebening Tirta-

                                 ~○0○~

Hanya butuh waktu lima belas menit bagi Kiowa untuk mencapai titik ordinat yang ditunjukkan Ganesha. Tempat itu ribuan mil jauhnya dari kamar di mana seseorang dikejutkan dari tidurnya setelah puluhan mimpi buruk yang merongrong setiap malam. Benar-benar berada di tengah lautan luas, jauh dari daratan, hanya buih air yang bergelombang di hamparan luas berwarna biru yang nampak tenang. Pilot kiowa mulai bingung, dia diseranta di pagi buta untuk mengendarai kiowa sekonyong-konyong menuju lautan paling luas di permukaan bumi yang bahkan pelaut paling handal sekalipun dapat tersesat jika terlantar sendirian tanpa radar dan kompas apalagi saat gemintang justru bersembunyi di balik mega-mega.

Tak ada sesuatu di tempat ini kecuali riak gelombang datar dari samudera yang dipukul angin laut. Apakah ini sebuah lelucon? Namun sebuah seranta dini hari yang memintanya mengemudikan kiowa tanpa melapor kepada Direktur terlebih dahulu, terlalu menggelikan untuk dapat dikatakan sebagai lelucon. Sang pilot jelas tak akan mau melakukannya jika tak melihat siapa yang menyeranta di gelap malam itu. Sang pengintai.

Helikopter berputar dengan tenang beberapa kali di sekitar tempat itu mencari sesuatu yang mungkin muncul atau apa pun yang dapat dijadikan petunjuk atau pertanda sesuatu atau seseorang. Nihil, air kembali menggulung gelombang, kali ini sedikit lebih besar. Tidak, itu bukan gelombang biasa yang normal terjadi pada lautan, anomali gelombang yang aneh. Di area itu lautan seolah terbelah airnya lalu dari balik perut air yang tersibak, muncul sesuatu semacam gundukan besar dari dalam perut samudera. Seakan sebuah bukit lahir menyibak gelombang yang kian surut dari puncaknya. Setelah sekian detik baru sang pilot kiowa tersadar bahwa itu adalah badan kapal selam.

“Shit!” gumamnya sambil memutar mengitari kapal dari jarak aman. Deru mesin helikopter itu hampir tak terdengar.

Saat riak air yang surut dari badan kapal mulai tenang, sebuah pintu palka terbuka. Seseorang menyalakan suar dan membuat tanda. Pilot helikopter kiowa mengenali tanda tersebut, ia bergegas memacu kiowa, menurunkan tangga darurat lalu segera pergi tanpa harus diberi aba-aba untuk berlalu. Sekuat tenaga seseorang di bawah sana berusaha menyeimbangkan badan dari terpaan angin laut yang kencang agar tetap mampu naik menuju kabin demgan satu tangan berpengangan pada tali dan tangan lainnya fokus memegangi sesuatu. Sementara samg pilot yang hanya diperintah untuk menjemput dengan hati-hati lalu pergi secepat mungkin tanpa terlihat mengemudikan kendaraan udara itu secepat yang mesin canggih itu dapat lakukan. Sekuat tenaga lelaki berkulit kecoklatan itu bergelantungan pada tangga tali sambil menggerutu kepada sang pilot yang tak dapat mendengar gumamannya, setelah beberapa menit bergaya seperti monyet yang berakrobat di tengah arena sirkus, lekaki itu merebahkan punggung di kabin penumpang.

“Alihkan tujuan kiowa, kita ke arah barat daya.” Tanpa basa-basi ia langsung memerintah sang pilot yang seketika kaget.

“Maaf Tuan, tetapi saya hanya diperintah untuk menjemput tanpa diperbolehkan mengubah tujuan.” Dia tahu, jika sang pengintai yang memerintah itu artinya turuti saja atau kau akan dalam masalah besar bisa jadi nyawa menjadi taruhan.

“Kamu tak punya pilihan lain, atau mungkin kamu lebih suka ada timah bersarang di urat leher atau tenggorokanmu?” Dia merasakan sesuatu yang dingin menempel di tengkuk bersamaan bunyi ‘klik' pelan.

Sang pilot juga tahu, bahwa hal-hal yang berada jauh diluar kewenangan serta keahliannya akan selalu membuat ia berada dalam posisi sulit seperti saat ini. Perintah dari sang pengintai adalah maut, itulah yang dia pahami dan pilot tersebut sudah mulai bersahabat dengan hal-hal seperti ini. Instingnya selalu mengatakan ikuti saja alurnya, karena bagaimana pun, melawan arus yang deras adalah kematian yang disengaja. Itulah yang membuatnya selalu lolos dari maut, setidaknya hingga detik ini. Ia berusaha mengendalikan laju helikopter dan setanang mungkin mengubah arah menuju barat daya.

“Bisa anda tunjukkan titik koordinat tujuan kita, Tuan?” Meskipun beberapa kali mengalami hal ini, -ditodong senjata oleh penumpang jemputannya sendiri- ia tetap tak bisa mengendalikan rasa ketakutan yang bergetar di setiap syarafnya. Walau begitu, ia berusaha menjawab dengan suara yang sewajar mungkin.

                                  ~○0○~

Medica Centra dini hari tetap tak pernah benar-benar lelap. Lampu-lampu di koridor memang selalu dibiarkan menyala hingga larut, bahkan sampai langit mempersembahkan semarak fajar dari puncak bukit Ammountcement yang terletak jauh di sebelah timur sana. Pukul dua dini hari, beberapa petugas kesehatan yang berjaga sedang menghangatkan diri di dalam ruangan sambil memegang secangkir kopi yang lainnya berpatroli jaga menyusuri koridor, memeriksa kamar para pasien. Dari ruang resepsionis sesekali telepon berdering dan alarm berbunyi. Beberapa pasien memang terkadang tak mampu membedakan kamar VIP rumah sakit dengan suite room hotel bintang lima. Beberapa kemalangan pun tak pernah menghiraukan waktu, mereka tak ingin peduli bahwa para petugas medis yang berjaga itu sudah sangat lelah atau bahkan stress karena kesibukan mereka yang terkadang kabar gembira bagi orang lain justru menjadi tekanan mental bagi mereka.

Ketenangan Medica Centra malam dini hari itu, mungkin tak akan berulang lagi di malam-malam selanjutnya. Di gedung utara Medica Centra, gedung terjauh dari hiruk pikuk gedung utama, sebuah helikopter berwarna hitam legam dengan suara yang hampir tak terdengar menurunkan seorang penumpang di balik gedung tersebut, tempat parkir khusus yang hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya. Hanya beberapa detik saja peristiwa -yang tak seorang pun penghumi Medica Centra yang tahu- itu berlangsung. Detik berikutnya kendaraan tempur pengintai itu segera pergi dan suasana kembali hening.

"Kal, tolong kau periksa pasien di koridor 3A nomor 041M. Panel lampu menyala sejak dua menit lalu." Seorang penjaga berbicara dengan rekannya sambil menggeliat malas yang diajak bicara hanya menguap lebar sambil tangan kiri menutup mulutnya. Dia kembali menyeruput kopi yamg masih memgepulkan uap panas dari cangkir yang dia genggam untuk sedikit mengusir rasa kantuk sebelum akhirnya beranjak dengan malas.

"3A nomor 041M? Hahh ... bukankah itu pasien status dramaticus yang tak pernah berhenti memgeluh sakit ini itu padahal di catatan pemeriksaan semua baik-baik saja?" Dia mengeluh mendengar nomor kamar yang disebut rekannya.

"Lalu kenapa? Itu tugasmu, Kal. Seorang pekerja medis harus selalu ramah dan siap melayani pasiennya. Sana periksa! Siapa tahu kali ini benar-benar terjadi sesuatu. Danik bilang pasien itu mengalami beberapa komplikasi." Rekannya menjawab sambil mengunyah camilan yang hampir tandas di piring saji. Pria sedikit tambun berkulit bersih dengan tinggi proporsional itu hanya menggumamkan gerutuan tak tentu arah, mengambil catatan dan berjalan menuju lorong 3A.

Sementara Ganesha membuka panel rahasia menuju ruang parkir khusus yang tersembunyi di bawah tanah di gedung utara Medica Centra dengan begitu tenang tanpa diperhatikan oleh siapa pun. Ruang parkir itu lengang hanya terdapat sebuah volvo hitam yang sangat dikenali Ganesha terparkir di sana. Untuk ukuran ruang parkir, tempat ini memang sangat nyaman, bahkan terlalu mewah. Pencahayaan yang maksimal dengan sistem pengatur suhu otomatis yang akan menyesuaikan dengan kondisi cuaca di luar ruangan, beberapa mesin otomatis dan cctv tersembunyi di berbagai sudut yang strategis dilengkapi pengaman inframerah dan pengenal wajah serta sidik jari di palka depan. Tempat ini bukanlah ruang parkir rumah sakit biasa, tetapi seolah menyembunyikan sesuatu yang berharga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status