Share

Kenangan Masa Lalu

“Tidaaakk, Zaa ....” Seorang wanita paruh baya berbadan montok memengangiku kuat-kuat sambil terus berbicara sesuatu, aku tidak begitu memperhatikan perkataannya.

“Althaf, tenang, Nak. Jangan seperti itu, ada kami di sini.” Seorang wanita lainnya datang memeluk dengan wajah sendu.

“Bu, jangan biarkan mereka membawa Za. Aku mau Za kembali, aku sayang Za. Rumah Za di sini, bukan?” Aku masih terus berontak sambil menceracau tak karuan, dua wanita yang memegangiku tak kuasa menahan haru, akhirnya lolos juga air mata yang mereka coba bendung.

Hari itu, siang hari mentari tidak seganas biasanya. Angin sepoi bertiup menenangkan, cicit burung bersahutan dari kebun belakang diiringi dengungan serangga dan kecipak air dari sungai yang mengenai bebatuan. Namun, sendunya hari itu sungguh menambah remuk hati yang telah pecah berkeping-keping. Membuatku selalu membenci kecipak air dan suara kesiur angin dari tempat ini, mungkin selamanya.

“Jangan seperti itu, Al. Kamu sayang Za, kan? Kami pun sayang, biarkan Za. Dia akan aman bersama mereka, mereka akan melindungi da--.” Aku berteriak lantang tak terima, memotong perkataan wanita tua yag sejak tadi begitu sabar dan teguh membesarkan hati serta menenangkan bocah lelaki yang tak juga kunjung diam dari tantrumnya, aku.

“Aku pun bisa melindungi Za di sini. Bukankah kami semua saling melindungi, saling menyayangi dan berbagi banyak hal di tempat ini?”Aku berteriak, kencang sekali. Napasku memburu, dada naik turun dengan cepat seperti atlit sprint yang habis mati-matian mengejar lawan demi memenangkan perlombaan di menit-menit terakhir, tanganku terkepal sempurna dengan mata merah yang basah dan wajah penuh peluh.

Tempat ini seharusnya menjadi tempat paling indah untukku, untuk Za dan seluruh anak-anak yang menemukan dirinya terbuang dari klan, keluarga bahkan ditinggal sejak lahir dari rahim menuju dunia. Kami di sini saling menemukan, memaknai kata keluarga dengan bahasa paling sederhana, tertawa, sedih, bahagia bersama-sama. Saling menghibur saat susah dan tertawa bersama ketika kebahagiaan menyapa, membenci bersama dan mencintai banyak hal yang sama. Kami saling menjaga satu sama lain, bukan hanya fisik, tetapi juga menjaga hati.

“Apakah kami semua akan terpisah-pisah, Mbok? Kemarin Boris, dua hari lalu Niken dan Salman, lalu sekarang Za. Kenapa, bukankah Ibu dan Mbok pernah bilang kita adalah keluarga dan tak akan pernah terpisah?” Dian, berbicara patah-patah karena sesenggukan menahan tangis. Dia salah satu yang tertua, usia gadis itu dua tahun di atasku, walau sebenarnya kami tidak tahu persis usia mengenai itu. Ibu panti menemukan kami dalam keadaan yang berbeda-beda, sehingga usia merupakan konstanta yang tidak dapat dihitung dengan akurat di sini.

                               ~○0○~

“Ranu, hei Ranuu!” Suara yang amat lekat di telinga mengagetkanku, membabgunkan dari lamun panjang kala pandangan terpaku pada dua sosok gadis cilik yang sedang berlarian di taman rumah sakit bersama satu bocah lelaki yang terlihat amat riang gembira.

Jiwaku telah kembali ke raga setelah melintasi lorong waktu menuju memori enam belas tahun silam. Aku menatap sekitar dengan seksama, mengusap wajah dengan tangan kanan lalu sejenak menundukkan pandangan. Kurang dari satu menit, aku mengangkat kepala sambil mendesah keras, seolah ada beban yang masih menyumbat di rongga dada dan tak hendak keluar. Kenangan itu, seperti mimpi buruk yang datang menghapiri tanpa mengenal waktu dan suasana, bahkan dalam lamun seperti tadi dia dengan seenaknya berjingkat lalu melonjak-lonjak di atas kepala membuat syaraf berdenyut-denyut nyeri. Tangan pun dengan reflek menyentuh kedua sisi kepala lalu menarik kasar rambut yang tumbuh di sana, nyeriku bukannya berkurang malah justru berpindah tempat.

Mentari siang ini begitu pemalu, berkali-kali bersembunyi di balik mega seolah tak ingin sinarnya menyentuh permukaan bumi. Seperti waktu itu, angin semilir menggoyangkan dedaunan lembut, menyapa anak rambut gadis-gadis cilik itu serta wanita di hadapanku yang masih setengah membungkuk merentangkan telapak tangan lalu menggoyangkan di depan wajahku. Mataku beradu pandang selama dua menit, menatap retina kecoklatan miliknya yang sendu seolah detik ingin kuhentikan di situ saja. Sejenak aku melupakan tempat dimana tubuh berpijak sekarang, tidak sadar diperhatikan beberapa pengunjung serta sesama petugas.

“Ka-kau ... baik saja, Ranu? Aku memanggilmu sejak tadi, tetapi kau diam saja. Makanya aku-- eh ....” Tanpa banyak bicara aku menarik lengan wanita itu agar ikut duduk di sampingku, menikmati sendunya siang ini. Bisa jadi dalam kesempatan lain aku akan lebih menikmati menatap kedalaman mata yang jernih itu berlama-lama, entah bagaimana mata itu selalu menenangkanku.

“Menurutmu, apa yang lebih mengerikan, kematian atau rasa takut yang dalam?” Aku kembali menatapnya, kini wajah kami benar-benar berhadapan. Entah bagaimana, dia menoleh bersamaan saat wajahku menghadap ke kiri. Jarak kami hanya selebar bahu, bersitatap selama kurang dari satu menit, hingga aku sadar wajah wanita itu memerah bukan karena terpaan sinar matahari. Aku memutar wajah 90° kembali menatap pelataran taman Medica Center yang lengang.

Wanita ini mengerjap-ngerjap memandangiku, bibirnya masih terkunci selama dua menit, mencerna setiap kata yang diterima telinga dan mencoba memahami arah pembicaraan ini. Aku hanya bertanya sesuatu yang spontan saja terlintas dalam benak, sesuatu yang mengganjal dan mungkin akan menjadi sandungan yang meruntuhkan dunia, rasa takut dan kematian. Keduanya sangat berkelindan.

“Kamu ini kenapa, Ranu. Ada masalah?” Wanita, memang seperti labirin rumit yang berliku-liku dengan jalur yang bercabang-cabang dan ribuan persimpangan yang memusingkan. Semakin kau masuk ke dalamnya, semakin sulit menemukan jalan keluar. Sama seperti makhluk di sampingku yang alih-alih menjawab pertanyaan justru membuat pertanyaan lain atas argumen pribadi yang dibuat dari kalimat tanyaku. Merepotkan saja.

“Jika ada seseorang bertanya, sebaiknya dijawab. Bukan malah melontar balik pertanyaan yang lain.” Danik terbengong sesaat dengan jawabanku, lalu tersenyum tipis.

Senyum itu menyiratkan sebuah makna, aku tahu dia wanita yang cerdas dan kuat. Setiap kata yang keluar dari bibir dan cara dia menghadapi masalah selalu membuatku terkesan. Wanita ini bertindak lebih hati-hati, bicara lebih sedikit dan berpikir lebih banyak. Sangat berbeda dari lazimnya wanita yang kutemui, mereka mudah terbawa perasaan dan mengikuti ego hingga bicara sekehendak hati tanpa memikirkan apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Dia tersenyum dengan menarik ujung bibir sebelah kanan sedikit ke atas. Sudut bibir yang lembut itu semakin meruncing lalu menebal di bagian tengah bibir dengan semburat warna merah muda yang natural. Gambaran sempurna untuk sebuah bibir yang sensual, dengan lesung yang mulai terbit di pipi bagian bawah. Tanpa sadar wajahku berjalan mendekat,---.

“Pertanyaanmu aneh, Ranu. Itu sebabnya.” Dia mengusapkan telapak tangannya dengan lembut ke wajahku yang hanya berjarak beberapa centi. Aroma blossom yang lembut menguar dari sana, dengan cepat wajah kami berpaling saling membelakangi.

“Tidak ada yang aneh dari pertanyaan itu, yang aneh justru orang yang membuat ribet hidupnya dengan membalas pertanyaan dengan pertanyaan lain. Oh, dan aku sekarang baik-baik saja.” Aku mengukir senyum termanis di wajah dengan sedikit kesan dramatis yang dibuat-buat.

Lima menit, waktu yang dibutuhkan Danik untuk mencerna seluruh kata-kataku lantas menjawabnya. Selama itu, aku memerhatikan setiap gerakan halus yang terjadi pada wajahnya. Dahi yang berkerut, kelopak mata yang menyipit entah karena sinar yang mulai kembali terik atau karena memikirkan sesuatu dengan keras. Perubahan mimik wajahnya selalu dinamis dan anggun, aku suka pergerakan setiap otot wajah Danik yang lembut dan seolah teratur itu. Pupil itu membesar lalu mengecil lagi ketika berbicara atau mengekspreaikan sesuatu, bibirnya yang merekah lalu membuat sebuah kerucut kecil yang lucu. Serta mata yang berkedip-kedip manja seirama dengan nada suara yang terkadang dibarengi dengan gerakan alis yang naik turun.

“Ya, baiklah Tuan Dokter. Di tempat ini, apa yang lebih menakutkan mereka semua selain bayang-bayang kematian? Bahkan beberapa dari mereka sampai mengalami trauma untuk kembali ke tempat ini.” Caranya menjawab, dengan tatapan tajam dan kalimat lugas tanpa dibuat-buat. Dia mengangkat dagu sedikit ke atas tanpa memberi kesan angkuh, itu membuatnya terlihat cerdas dan elegan.

Aku tersenyum tipis, hipotesa yang keliru. Sesuatu yang jauh di seberang sana membisikiku, bahwa Sang maut sebentar lagi akan menjadi kambing hitam atas rasa takut yang mencekik tidak hanya leher orang-orang, tetapi juga hati dan pikiran mereka. Mata mereka akan dibutakan oleh kabut kegelisahan, seluruh indera mereka tak berfungsi disumbat ketakutan. Hingga diam-diam rasa takut membunuh dengan kesakitan yang luar biasa keras lebih menyakitkan dari pada kematian yang dibawa oleh Sang maut. Lalu jiwa-jiwa mereka bergelimpangan hingga tubuh pun ikut membusuk.

“Kamu tahu, jika ada yang lebih cepat membunuh umat manusia, itu adalah rasa takut. Rasa takut yang besar yang menguasai jiwa dan pikiran mereka, maka kendalikan rasa takutmu jika dia datang nanti.” Aku beranjak dari bangku, melagkah menuju koridor utara meiggalka Danik dan pikirannya yang mungkin masih berusaha mencerna kalimatku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status